Share

MANTAN SIALAN!

Setelah tragedy bertemu Jayden, lalu berujung bertemu sang ayah, Sheilla memang masih senantiasa mengikuti ke mana langkah Elena pergi. Rasa excited untuk membeli beberapa cemilan seketika sirna karena lagi-lagi Sheilla teringat sikap ayahnya yang … mungkin tidak akan pernah luluh.

“Mama hampir selesai belanja, kamu jadinya mau beli apa? Bukannya tadi mau beli sesuatu?” tegur Elena membuat Sheilla menerjap, sadar dari lamunannya.

Berhubung rasa malas sudah menyeruak di dalam hati, Sheilla menggelengkan kepalanya. Sheilla menghembuskan napasnya pelan, lalu bergeser memeluk lengan Elena. “Apa ayah benar-benar tidak akan menganggapku anak lagi?”

Mendengar pertanyaan itu Elena tersenyum. Ternyata dugaannya sejak tadi benar, sang menantu gelisah karena memikirkan pertemuan tak enak dengan ayahnya. Tangan Elena terulur mengusap lembut pucuk kepala Sheilla. Sejujurnya, walaupun berubungan baik dengan Daisy, Elena tetap merasa ada yang kurang. Karena mau bagaimanapun statusnya dengan Alexander sudah menjadi keluarga.

Akan tetapi, sayang sekali harus ada dinding tinggi yang menjadi penghalang. Entah bagaimana cara untuk meruntuhkannya, sampai detik ini Elena masih tidak bisa berfikir. Lebih dari itu, Elena juga tahu bagaimana sifat Mathew jika harus ada kata ‘mengalah’ diantara mereka.

“Di dunia ini tidak ada yang namanya mantan anak, sayang. Tidak ada mantan anak, mantan orang tua. Untuk saat ini permasalahannya hanya tentang waktu. Untuk kembali normal, untuk melunakkan ego, semua ada waktu dan tentu bertahap.” Di tengah ramainya situasi supermarket, Elena tetap dengan sabar serta bijak sana dalam menasihati serta meredakan kegelisahan Sheilla.

Kata-kata simple yang Elena berikan sangat mudah bahkan langsung melekat di dalam otak Sheilla. Lagi dan lagi, Sheilla mendapat perlakuan yang sejak dulu tak dapat dia rasakan dari Daisy. Tenang dan damai, itulah yang Sheilla rasakan saat ini.

“Jadi bagaimana? Kamu mau belanja atau tidak? Mau Mama antar?” tawar Elena saat Sheilla melepaskan pelukannya.

“Tidak, Mah, moodku hilang. Nanti aku nyusul saja ajak Mathew biar dia tidak pacarana dengan laptop terus,” jawab Sheilla sambil tersenyum.

Elena mengangguk, dia pun kembali mengajak Sheilla melanjutkan jalannya menuju ke kasir. Berhubung ada beberapa antrian, mau tidak mau Sheilla ikut mengantri. Walaupun Elena mempersilakan untuk menunggu di mobil, Sheilla menolaknya.

“Hai, ketemu lagi.”

Suara itu…

“Kita itu sebetulnya jodoh, Cuma terhalang karna kedatangan pria tidak jelas itu.”

PLAK!

“Aduhh!”

Satu pukulan Sheilla layangkan ke bahu pria di sampingnya. Raut emosi Sheilla kali ini sangat dapat karena kedua tangannya sudah berdecak pinggang. Penghafalannya memang tidak salah, dan tidak salah juga tebakannya kalau yang berbicara dan terakir berbisik di telinganya adalah Jayden.

“Mantan sialan! Yang tidak benar itu kau, Jayden! Biasakan intropeksi diri sebelum bicara, ingat kejadian apa yang sudah kau buat. Sampai sini paham? Isshh, menjauh dariku!” Tanpa menunggu jawaban serta tanpa rasa kasihan Sheilla mendorong tubuh Jayden menjauh. Steven yang kebetulan berdiri di dekat Sheilla dengan sigap menarik lengan Jayden.

Alih-alih merasa rishi, Elena justru tertawa meliat pertengkaran kecil yang baru saja terjadi di depan matanya. Walaupun Elena tidak tahu tentang masalalu keduanya, yang jelas dari reaksi Sheilla ada satu hal yang belum terselesaikan. Elena memilih tidak bertanya, dia hanya mengusap punggung Sheilla agar wanita itu kembali tenang.

***

“Ternyata dunia sesempit itu ya?” Mathew tertawa sembari menggelengkan kepalanya. Sore ini, sebuah cerita baru dia dapati dari Elena. Wanita itu memberi tahu jika tadi bertemu dengan sang mertua.

Elena tidak langsung menyaut. Diambilnya cangkir berisi teh hijaunya lalu dia meminumnya sambil menunggu barang kali putranya kembali berbicara. Sesaat keduanya terdiam seraya menikmati minuman masing-masing.

Cangkir di tangan kembali Elena letakkan lalu dia berkata, “apa tidak bisa kamu yang mengalah? Perlahan perbaiki hubunganmu dengan Alexander. Math, dia mertuamu, orang tua Sheilla. Selain itu, ubungan Sheilla dengan ayahnya juga akan membaik.”

Saat ini keduanya memang tengah bersantai di ruang tamu. Sebetulnya Elena ingin memasak, namun dia ingat jika Sheilla ingin ikut membantu. Maka dari itu, selagi menunggu dia memilih mengobrol dengan Mathew. Secangkir teh hijau, dan kopi milik Mathew menjadi teman mengobrol keduanya.

“Memangnya aku salah apa? Atas dasar serta alasan apa yang buat aku harus mengalah? Mama, yang meninggikan ego itu dia, bahkan jika harus ada yang meminta maaf, dia yang harus sujud meminta maaf pada Sheilla, putrinya. Bukankah selama ini mereka yang bermasalah? Aku hadir hanya sebagai penolong untuk Sheilla.”

Lagi-lagi pembahasan yang alot serta jawaban yang tertebak.

Elena kembali meminum teh miliknya sampai habis untuk membasai tenggorokan. Walaupun terdiam, Elena tetap mengarakan tatapannya pada Mathew yang duduk tepat di depannya. Tidak ada wajah bersalah atau apapun, yang ada senyum tipisnya terukir.

“Aku tahu maksud omongan Mama, tapi kalau aku harus memulai lebih dulu, itu tidak mungkin.”

Terdengar helaan napas dari Elena. Tidak ingin membuat membuat Mathew kesal, Elena memilih menutup topik. Tubuh yang sejak tadi bersandar perlahan menegak. “Di mana Sheilla? Dia bilang mau ikut masak, makanya Mama minta Bibi untuk tunggu.”

“Tadi lagi mandi. Aku ke atas untuk lihat, Mama kalau mau masak tidak apa duluan saja. Jangan terlalu mengharapkan dia, sekalipun ikut kedapur pasti hanya bersandar sambil makan anggur.” Setelah mengatakan itu Mathew bergegas naik ke lantai atas. Sejujurnya dia juga penasaan kenapa istrinya tidak turun.

Atau … terjadi sesuatu di atas?

Satu per satu anak tangga Mathew tapaki sampai akirnya dia sampai di depan pintu kamar. Pintu tertutup rapat, namun tidak terkunci. Mathew segera masuk, mencari di mana sosok sang istri. Di saat matanya sedang menjelajah sudut kamar, Mathew mendapati Sheilla di atas ranjang terbalut selimut tebal. Perlahan Mathew mendekat, duduk di tepi ranjang. Dipandangnya wajah sang istri, tanpa sadar senyumnya terukir.

Ah, jadi sejak tadi Sheilla tidak turun menyusul karena tidur?

Perlahan-lahan tangan kekar Mathew terulur mengusap lembut pipi mulus Sheilla. Usapan Mathew sempat membuat tubu Sheilla bergeliat kecil. Sepertinya jika sedang terlelap seperti ini saja Sheilla diam tanpa banyak tingkah. Otak Mathew seketika berkelana, dia mulai memikirkan bagaimana caranya menjaga Sheilla dari dunia luar. Apa lagi saat ini Sheilla tengah mengandung penerusnya kelak. Matew tidak ingin ada yang mengusik rumah tangganya terlebih Alexander.

“Bahkan aku sendiri bingung, dari banyaknya wanita sempurna di luar sana, kenapa harus kau,” guman Mathew tanpa melepaskan pandangannya pada wajah Sheilla.

Tubuh Mathew kembali menegak, tangannya merogoh saku mencari ponsel. Diketiknya sebuah pesan untuk Elena, lalu tanpa menunggu balasan dia meletakkan benda pipih itu di atas nakas. Tubuh Mathew kembali merunduk, beberapa kecupan kecil dia sematkan di wajah Sheilla. Tidak perduli wanita itu akan terbangun, Mathew tetap saja asik dengan kegiatannya.

Bahkan tak sungkan Mathew mengecup bibir Sheilla.

“Tapi apa iya aku sudah jatuh cinta? Denganmu?” Mathew kembali berguman. Rasa-rasanya dia gemas, ingin sekali menggigit wajah damai milik Sheilla.

Semakin lama mereka bersama, perasaan aneh memang kerap kali mengampiri Mathew. Terutama di saat dia berdekatan dengan Sheilla. Sekalipun tidak ada hal istimewa yang wanita itu lakukan, terkadang hati Mathew berdesir. Selama ini Mathew memang tidak percaya cinta, karena baginya jika urusan ranjang selesai, semua juga usai.

“Tidak, tidak! Harus kau lebih dulu yang jatuh cinta padaku, Sheilla.” Mathew kembali mengecup bibir Sheilla.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status