Setelah tragedy bertemu Jayden, lalu berujung bertemu sang ayah, Sheilla memang masih senantiasa mengikuti ke mana langkah Elena pergi. Rasa excited untuk membeli beberapa cemilan seketika sirna karena lagi-lagi Sheilla teringat sikap ayahnya yang … mungkin tidak akan pernah luluh.
“Mama hampir selesai belanja, kamu jadinya mau beli apa? Bukannya tadi mau beli sesuatu?” tegur Elena membuat Sheilla menerjap, sadar dari lamunannya.Berhubung rasa malas sudah menyeruak di dalam hati, Sheilla menggelengkan kepalanya. Sheilla menghembuskan napasnya pelan, lalu bergeser memeluk lengan Elena. “Apa ayah benar-benar tidak akan menganggapku anak lagi?”Mendengar pertanyaan itu Elena tersenyum. Ternyata dugaannya sejak tadi benar, sang menantu gelisah karena memikirkan pertemuan tak enak dengan ayahnya. Tangan Elena terulur mengusap lembut pucuk kepala Sheilla. Sejujurnya, walaupun berubungan baik dengan Daisy, Elena tetap merasa ada yang kurang. Karena mau bagaimanapun statusnya dengan Alexander sudah menjadi keluarga.Akan tetapi, sayang sekali harus ada dinding tinggi yang menjadi penghalang. Entah bagaimana cara untuk meruntuhkannya, sampai detik ini Elena masih tidak bisa berfikir. Lebih dari itu, Elena juga tahu bagaimana sifat Mathew jika harus ada kata ‘mengalah’ diantara mereka.“Di dunia ini tidak ada yang namanya mantan anak, sayang. Tidak ada mantan anak, mantan orang tua. Untuk saat ini permasalahannya hanya tentang waktu. Untuk kembali normal, untuk melunakkan ego, semua ada waktu dan tentu bertahap.” Di tengah ramainya situasi supermarket, Elena tetap dengan sabar serta bijak sana dalam menasihati serta meredakan kegelisahan Sheilla.Kata-kata simple yang Elena berikan sangat mudah bahkan langsung melekat di dalam otak Sheilla. Lagi dan lagi, Sheilla mendapat perlakuan yang sejak dulu tak dapat dia rasakan dari Daisy. Tenang dan damai, itulah yang Sheilla rasakan saat ini.“Jadi bagaimana? Kamu mau belanja atau tidak? Mau Mama antar?” tawar Elena saat Sheilla melepaskan pelukannya.“Tidak, Mah, moodku hilang. Nanti aku nyusul saja ajak Mathew biar dia tidak pacarana dengan laptop terus,” jawab Sheilla sambil tersenyum.Elena mengangguk, dia pun kembali mengajak Sheilla melanjutkan jalannya menuju ke kasir. Berhubung ada beberapa antrian, mau tidak mau Sheilla ikut mengantri. Walaupun Elena mempersilakan untuk menunggu di mobil, Sheilla menolaknya.“Hai, ketemu lagi.”Suara itu…“Kita itu sebetulnya jodoh, Cuma terhalang karna kedatangan pria tidak jelas itu.”PLAK!“Aduhh!”Satu pukulan Sheilla layangkan ke bahu pria di sampingnya. Raut emosi Sheilla kali ini sangat dapat karena kedua tangannya sudah berdecak pinggang. Penghafalannya memang tidak salah, dan tidak salah juga tebakannya kalau yang berbicara dan terakir berbisik di telinganya adalah Jayden.“Mantan sialan! Yang tidak benar itu kau, Jayden! Biasakan intropeksi diri sebelum bicara, ingat kejadian apa yang sudah kau buat. Sampai sini paham? Isshh, menjauh dariku!” Tanpa menunggu jawaban serta tanpa rasa kasihan Sheilla mendorong tubuh Jayden menjauh. Steven yang kebetulan berdiri di dekat Sheilla dengan sigap menarik lengan Jayden.Alih-alih merasa rishi, Elena justru tertawa meliat pertengkaran kecil yang baru saja terjadi di depan matanya. Walaupun Elena tidak tahu tentang masalalu keduanya, yang jelas dari reaksi Sheilla ada satu hal yang belum terselesaikan. Elena memilih tidak bertanya, dia hanya mengusap punggung Sheilla agar wanita itu kembali tenang.***“Ternyata dunia sesempit itu ya?” Mathew tertawa sembari menggelengkan kepalanya. Sore ini, sebuah cerita baru dia dapati dari Elena. Wanita itu memberi tahu jika tadi bertemu dengan sang mertua.Elena tidak langsung menyaut. Diambilnya cangkir berisi teh hijaunya lalu dia meminumnya sambil menunggu barang kali putranya kembali berbicara. Sesaat keduanya terdiam seraya menikmati minuman masing-masing.Cangkir di tangan kembali Elena letakkan lalu dia berkata, “apa tidak bisa kamu yang mengalah? Perlahan perbaiki hubunganmu dengan Alexander. Math, dia mertuamu, orang tua Sheilla. Selain itu, ubungan Sheilla dengan ayahnya juga akan membaik.”Saat ini keduanya memang tengah bersantai di ruang tamu. Sebetulnya Elena ingin memasak, namun dia ingat jika Sheilla ingin ikut membantu. Maka dari itu, selagi menunggu dia memilih mengobrol dengan Mathew. Secangkir teh hijau, dan kopi milik Mathew menjadi teman mengobrol keduanya.“Memangnya aku salah apa? Atas dasar serta alasan apa yang buat aku harus mengalah? Mama, yang meninggikan ego itu dia, bahkan jika harus ada yang meminta maaf, dia yang harus sujud meminta maaf pada Sheilla, putrinya. Bukankah selama ini mereka yang bermasalah? Aku hadir hanya sebagai penolong untuk Sheilla.”Lagi-lagi pembahasan yang alot serta jawaban yang tertebak.Elena kembali meminum teh miliknya sampai habis untuk membasai tenggorokan. Walaupun terdiam, Elena tetap mengarakan tatapannya pada Mathew yang duduk tepat di depannya. Tidak ada wajah bersalah atau apapun, yang ada senyum tipisnya terukir.“Aku tahu maksud omongan Mama, tapi kalau aku harus memulai lebih dulu, itu tidak mungkin.”Terdengar helaan napas dari Elena. Tidak ingin membuat membuat Mathew kesal, Elena memilih menutup topik. Tubuh yang sejak tadi bersandar perlahan menegak. “Di mana Sheilla? Dia bilang mau ikut masak, makanya Mama minta Bibi untuk tunggu.”“Tadi lagi mandi. Aku ke atas untuk lihat, Mama kalau mau masak tidak apa duluan saja. Jangan terlalu mengharapkan dia, sekalipun ikut kedapur pasti hanya bersandar sambil makan anggur.” Setelah mengatakan itu Mathew bergegas naik ke lantai atas. Sejujurnya dia juga penasaan kenapa istrinya tidak turun.Atau … terjadi sesuatu di atas?Satu per satu anak tangga Mathew tapaki sampai akirnya dia sampai di depan pintu kamar. Pintu tertutup rapat, namun tidak terkunci. Mathew segera masuk, mencari di mana sosok sang istri. Di saat matanya sedang menjelajah sudut kamar, Mathew mendapati Sheilla di atas ranjang terbalut selimut tebal. Perlahan Mathew mendekat, duduk di tepi ranjang. Dipandangnya wajah sang istri, tanpa sadar senyumnya terukir.Ah, jadi sejak tadi Sheilla tidak turun menyusul karena tidur?Perlahan-lahan tangan kekar Mathew terulur mengusap lembut pipi mulus Sheilla. Usapan Mathew sempat membuat tubu Sheilla bergeliat kecil. Sepertinya jika sedang terlelap seperti ini saja Sheilla diam tanpa banyak tingkah. Otak Mathew seketika berkelana, dia mulai memikirkan bagaimana caranya menjaga Sheilla dari dunia luar. Apa lagi saat ini Sheilla tengah mengandung penerusnya kelak. Matew tidak ingin ada yang mengusik rumah tangganya terlebih Alexander.“Bahkan aku sendiri bingung, dari banyaknya wanita sempurna di luar sana, kenapa harus kau,” guman Mathew tanpa melepaskan pandangannya pada wajah Sheilla.Tubuh Mathew kembali menegak, tangannya merogoh saku mencari ponsel. Diketiknya sebuah pesan untuk Elena, lalu tanpa menunggu balasan dia meletakkan benda pipih itu di atas nakas. Tubuh Mathew kembali merunduk, beberapa kecupan kecil dia sematkan di wajah Sheilla. Tidak perduli wanita itu akan terbangun, Mathew tetap saja asik dengan kegiatannya.Bahkan tak sungkan Mathew mengecup bibir Sheilla.“Tapi apa iya aku sudah jatuh cinta? Denganmu?” Mathew kembali berguman. Rasa-rasanya dia gemas, ingin sekali menggigit wajah damai milik Sheilla.Semakin lama mereka bersama, perasaan aneh memang kerap kali mengampiri Mathew. Terutama di saat dia berdekatan dengan Sheilla. Sekalipun tidak ada hal istimewa yang wanita itu lakukan, terkadang hati Mathew berdesir. Selama ini Mathew memang tidak percaya cinta, karena baginya jika urusan ranjang selesai, semua juga usai.“Tidak, tidak! Harus kau lebih dulu yang jatuh cinta padaku, Sheilla.” Mathew kembali mengecup bibir Sheilla.***“Bangunlah, ini sudah pagi. Semalam kau sudah melewati makan malam, sarapan pagi ini tidak boleh.”Bak alarm, tubu Sheilla langsung bergeliat mendengar suara tak asing di telinganya. Dikarenakan matanya masih mengantuk, tentu itu membuatnya sedikit terusik. Tidak ada niat untuk bangun, Sheilla justru menghempas tangan Mathew yang terus mengusap pipinya.“Kau ini kenapa sih?”“Aku masih mengantuk, Mathew, ingin tidur. Kau bisa sarapan sendiri tanpaku, lagipula ada Mama. Kalau ingin ke kantor, silahkan pergi, tubuhku tidak enak dari semalam, maka dari itu mau tidur saja.”Sejenak Mathew terdiam memandangi wajah Sheilla. Kedua mata istinya memang belum terbuka sama sekali, Mathew juga melihat wajahnya sedikit pucat. Tangan yang tadi dihempas kini menyentuh kening, dan rasa panaslah yang Mathew rasakan.“Demam,” guman Mathew. Tanpa mengatakan apapun lagi pria itu beranjak dari Kasur meninggalkan kamar.Kedua mata Sheilla sedikit terbuka, dia menatap samar tubuh Mathew yang kini hilang di
“Hal remeh seperti itu harus saya yang turun tangan? Lalu gunanya kamu menjadi sekretaris plus asisten gunanya apa? Belum ada satu hari saya absen dari kantor, apalagi sampai sebulan?”Tepat di ambang pintu langkah kaki Sheilla terhenti. Pintu memang sudah terbuka sedikit, akan tetapi saat mendengar suara itu Sheilla memilih diam sejenak. Nada marah serta sedikit bentakan itu memang bukan ditunjukan untuk dirinya, tetapi Sheilla bisa menyimpulkan jika lawan bicara suaminya adalah Victor.Saat ini Sheilla memang merasa jika tubuhnya sudah lebih enak, maka dari itu dia bisa bangkit dari tempat tidur menuju ruang kerja Mathew.“Saya tidak mau tahu, kamu wajib selesaikan semuanya. Saya tidak bisa ke kantor apapun alasannya, karna Sheilla masih sakit.”Mendengar itu senyum Sheilla tanpa sadar terbit. Tidak perduli suaminya masih asik menelepon, Sheilla kembali melanjutkan langkahnya masuk ke dalam ruang kerja Mathew. Kedua tangan wanita itu terlipat di dada, langkahnya memelan, tatapannya
“Kata Mama, di bawah ada Mamahmu.”“Apa baru datang?”“Pesan dua jam yang lalu, baru aku lihat.”“HAH?!”Mendengar pekikan itu tubuh Mathew berputar. Apa kata-katanya ada yang salah? Padahal yang dikatakan tadi memang menar adanya. Terlebih setelah permainan panas, Mathew tak langsung menyentuh ponsel. Walaupun banyak deretan pesan masuk, pesan dari Elena lah yang teratas karena dia pin-kan.Ditatap balik sang suami Sheilla hanya bisa menerjapkan matanya. Daisy datang memang bukan masalah besar, yang membuat Sheilla tercengang adalah … apa betul dirinya menghabiskan waktu dua jam di dalam ruangan ini? Kalau Elena sampai mengirim pesan, itu tandanya sang mertua tahu dia di dalam ruang kerja Mathew selama ini.Saat ini Sheilla memang masih beristirahat di sofa, sedangkan Mathew bersih-bersih bahkan tampak fresh.“Kau tidak sadar kalau kita bermain selama ini, ya?” tanya Mathew. Kedua alisnya terangkat, senyum penuh godaannya dia layangkan pada sang istri.Bukan lagi tersipu, Sheilla me
Sudah beberapa minggu berlalu pasca terror, kehidupan Sheilla kini dihantui rasa takut. Pasalnya, terror itu bukan hanya sekali, melainkan beberapa kali bahkan yang terakhir dua hari lalu. Targetnya masih sama, yaitu dirinya. Walaupun sudah sejauh ini, tetapi Mathew belum pernah memberikan jawaban sesuai keinginannya.Akibat terror itupula, kini di depan rumah banyak sekali yang menjaga. Bukan hanya itu, ke manapun Sheilla melangkah pasti ada Steven dan George bahkan tak jarang Arvel atau Calvin. Hal itu tentu membuat Sheilla sedikit stress akhir-akhir ini.“Sudah tahu situasi lagi tdak kondusif, lalu ke luar Cuma buat duduk di taman? Tidak berguna.”Lamunan Sheilla buyar. Pagi ini memang dia sedang berada di taman untuk sekedar berjalan. Awalnya Sheilla mengurungkan niat saat tahu yang mengantar adalah Arvel. Iya, Arvel, musuh bebuyutan Sheilla. Saat ini mereka hanya berdua, lebih dari itu Mathew teramat mempercayai pria menyebalkan itu.Sekilas Sheilla menoleh ke arah samping, arah
“Kau mau membawaku ke mana?”“Ke mana saja kau mau. Jadi, kau bisa sebut mau ke mana dan aku dengan senang hati mengantar.”“Kalau begitu putar balik mobilmu, kita ke kantor Mathew lagi.”“Oh, jelas, kalau itu tidak bisa.”Mendengar jawaban itu Freya menghembuskan napas kasarnya. Ada rasa ingin memukul plus menendang, namun Freya sadar kalau hal itu akan percuma. Lagipula entah mimpi apa dia semalam kalau hari ini akan bertemu Calvin. Karena sejak dulu, Freya memang menghindari pria di sampingnya.“Jadi, kita mau ke mana?”“AKU INGIN BERTEMU MATHEW, CALVIN!” sentak Freya dengan nada super tingginya. Teriakan melengking itu sontak membuat Calvin meringis sambil mengusap-usap telinganya.Beberapa saat keadaan hening karena Calvin tidak langsung menjawab. Pria itu memili
Berbagai usaha untuk meloloskan diri dari rumah sudah Sheilla upayakan. Akan tetapi, semuanya tetap sia-sia karena Sheilla harus berhadapan dengan lebih dari lima orang. Alhasil, mau tidak mau Sheilla pada akhirnya terkurung di dalam kamar. Dari jendela Sheilla melihat beberapa pria menjaga gerbang, bahkan ada yang terus memantau dirinya dari bawah.Sampai saat ini Sheilla masih penasaran dengan pesan tadi. Tidak ada nama pengirim, tetapi saat ditelepon nomernya tidak aktif. Sangat tidak mungkin kalau itu salah sambung karena sudah menyebutkan nama Mathew. Rasa gelisah Sheilla semakin menjadi-jadi, bagaimana kalau terjadi sesuatu pada suaminya itu?Berubung otakknya sudah buntu, Sheilla memilih merebahkan tubuhnya di atas Kasur. Semakin bertambah usia kandungan, rasa lelah mulai menghampiri dengan intens. Lagi-lagi Sheilla tidak bisa membayangkan kalau sudah memasuki tujuh bulan.“Oh, ayolah, di mana ayah kalian?&r
“Jangan bilang kau benar-benar menaruh hati sama Maurena? Hey, aku bukan orang bodoh, aku ini sahabatmu. Jadi, gerak-gerikmu sudah kuhapal.” “Sahabat bodoh lebih tepatnya. Sudahlah, apa tidak ada pembahasan lain selain ini? Pembahasan yang lebih bermanfaat tentunya.” Calvin menggeleng dengan wajah polosnya. Walaupun memang benar pembahasan ini tidak penting, tetapi tetap saja bagi Calvin ini penting! Mau bagimanapun menyangkut kehidupan sahabatnya. Mata yang sudah sipit semakin menyipit saat Calvin memicingkan kedua matanya menatap Arvel. Susah sekali memang menebak tembok di sampingnya. “Aku pikIr tipemu sekelas Freya.” “Berisik!” “Tapi tidak salah, Maurena tetap cantik dan … seksi.” Arvel menoleh, menatap tajam Calvin. “Kau! Kau seharusnya juga mati seperti Nicholas dan hancur seperti Xavier!” Tawa Calvin tidak bisa lagi ditahan mendengar sahutan dari Arvel. Lama-lama pria di sampingnya mirip sekali anak TK yang merajuk minta gulali pada ibunya. Mendengar nama Nicholas dan jug
‘Semua selesai. Lalu, apa yang harus aku lakukan sekarang?’ “Urus sesuka hatimu. Tetap ingat jangan tinggalkan jejak sedikitpun.” Read. Seulas senyuman terbit di sudut bibir Mathew. Sheilla yang sejak tadi berdiri di depan cermin tak sengaja melihat itu sampai menyeritkan kening. Dalam rangka apa suaminya tersenyum sehabis membuka ponsel? Tubuh Sheilla berputar, kedua tangannya berdecak pinggang sambil terus melempar tatapan pada Mathew. “Wanita mana yang sukses menggodamu sampai tersenyum seperti itu?” Sadar pertanyaan itu ditunjukan untuk dirinya Mathew pun mengangkat kepalanya menatap Sheilla. Tatapan keduanya beradu, namun tak membuat Mathew memberikan klarifikasi. Sejujurnya Mathew enggan memberi tahu kabar ini pada Sheilla. Selain bukan ranahnya, Mathew juga tidak mau kalau Sheilla semakin berfikiran buruk. “Oh, tidak berani jawab rupanya. Okay, okay, tidak masalah.” “Untuk apa aku tergoda dengan teks kalau di depan mata ada yang lebih menantang dan mudah digapai?” Saat t