"Mamahmu tadi telepon. Memang ada apa? Kenapa kau tidak mengangkat panggilannya? Bukannya sejak kemarin kau terus meneleponnya?"Tanpa menghentikan gerakan tangannya Sheilla mengangkat wajah lalu menoleh ke arah samping. Seperti hari-hari biasanya, mau sarapan atau makan malam mereka hanya berdua. Walaupun kelihatannya sepi, tetapi keduanya tidak ambil pusing.Merasa tak mendapat jawaban Mathew pun menoleh. Keduanya yang sama-sama menoleh membuat tatapan mereka beradu. Sebelah alis Mathew terangkat, dia menunggu apa jawaban sang istri. Karena rasanya tak mungkin Sheilla tak mendengar."Tidak mau menjawab? Masih kesal soal kepulanganku yang telat? Kal–""Aku hanya kesal sama Mama. Sedikit, sih, tapi, tetap saja kesal. Kau tahu sendiri sejak kemarin aku berusaha menghubungi tetapi tidak ada respon. Tadi, sekalinya direspon Mama nanya ada apa. Terus katanya tumben. Loh, memang aku salah, Math kalau menelepon tanpa ada hal urgent?" Garpu serta sendok yang tadi Sheilla genggam dia letakkan
Dini hari pagi ini Sheilla semakin sadar. Apa-apa yang keluar dari mulut Mathew memang tidak ada kata bercanda. Seperti beberapa jam sebelumnya, dia dibuat kewalahan karena melayani napsu sang suami. Walaupun tanpa diingatkan soal kandungan, pria itu tetap tidak perduli dan tetap melakukan apa yang hatinya mau.Jari telunjuk Sheilla terulur mengusap pelan hidung mancung milik Mathew. Sekilas Sheilla melirik jam, ternyata masih pukul tiga pagi. Tubuhnya memang lelah, tapi entah kenapa dia terbangun jam segini. Sedangkan Mathew ... wajahnya terlihat amat sangat damai. Apa dia sudah bermimpi jauh?Puas memandangi wajah suaminya tubuh Sheilla kembali terlentang, matanya menatap langit-langit atap kamar. Cukup lama Sheilla terdiam, setelah itu dia duduk. Niat hati ingin minum karena tenggorokannya kering, tetapi air di gelas sudah habis. Sheilla menghela napas, rasanya sangat enggan kalau turun ke bawah. Tapi kalau tidak ... mana sanggup kehausan sampai pagi?!Sheilla melirik Mathew bernia
"Kamu masih marah?""Lagipula, apa yang ha–oke, oke, Mama minta maaf."Lewat ekor mata Sheilla melirik ke arah depan, arah di mana sang mama tengah duduk santai. Saking santainya, wanita itu tetap melanjutkan makan makanan miliknya. Sheilla menghela napas, dia pun bingung dengan dirinya sendiri."Ini oleh-oleh buat kamu semua. Tapi tidak, ada untuk Mathew juga. Niatnya mau belikan untuk anakmu, tapi masih terlalu dini dan ... belum tahu jenis kelaminnya apa." Lagi, suara Daisy terdengar. "Nan–"BRAK!Belum selesai Daisy melanjutkan kata-katanya, dia sudah lebih dulu dibuat kaget oleh ulah Sheilla. Bukan menyahut atau mencela, tetapi gebrakan pada meja yang membuatnya kaget serta beberapa orang menoleh menatap keduanya."Astaga, Sheilla, kamu apa-apaan, sih? Mama sudah minta maaf, Mama mengaku salah. Memang tidak ada salahnya kamu telepon tanpa ada hal urgent." Tangan Daisy terulur, menarik pelan lengan Sheilla agar duduk kembali.Sheilla manut, tetapi kepalanya menggeleng membuat keni
Tiga bulan menjalani kehamilan mampu membuat Sheilla pengap. Masih terlalu dini memang, tapi entah kenapa rasa lelah sudah menghantui beberapa minggu belakangan. Walaupun begitu Sheilla masih bisa tersenyum karena pusat perhatian Mathew tertuju padanya. Jika kemarin-kemarin prioritasnya kantor, kali ini berbeda.Terkadang pula melihat perut yang tak lagi rata membuat Sheilla tidak menyangka. Ah, ternyata memang benar, kehamilannya itu asli.Jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Jika biasanya Sheilla masih bergelut di dalam selimut, kali ini justru dia bagun lebih dulu daripada Mathew. Tubuhnya sudah wangi, sudah rapih pula walaupun tidak ada agenda ke luar rumah. Hampir sepuluh menit berlalu, tetapi Sheilla masih betah memandangi wajah Mathew. Pria itu masih terlelap damai karena semalam dia begadang mengerjakan kerjaannya.Tangan Sheilla terulur. Jari telunjuknya menoel pelan hidung mancung milik Mathew. Tak jarang Sheilla pun insecure kerena merasa suaminya itu lebih sempurna diba
"Kenapa menatapku seperti itu?""Kenapa? Kau keberatan? Tidak suka?"Sahutan sinis Sheilla membuat kekehan Mathew terkekeh. Bagi Mathew kesalnya Sheilla itu sangat menggemaskan. Saking menggemaskannya di ingin melemparnya ke tengah laut.Saat ini keduanya tengah duduk santai di ruang televisi. Eh, tidak, ralat! Yang duduk hanya Sheilla, sedangkan Mathew sudah merebahkan tubuh dengan paha Sheilla sebagai pengganti bantal. Dari bawah Mathew terus menatap wajah Sheilla. Sebenarnya Mathew menunggu Sheilla membahas soal Freya, tapi sampai detik ini istrinya masih bungkam.Ah, berbicara soal Freya. Pertemuan terakhir Mathew dengan Alexander sangatlah tidak enak. Akan tetapi, sampai sekarang mertuanya itu tidak mengadukan apapun kepada Sheilla. Padahal kalau pria itu nekat Mathew sudah punya seribu jawaban untuk menjelaskan."Nah, kau sendiri kenapa menatapku seperti itu? Apa wajahku terlihat seperti penculik?""Sedikit."Tak!Tanpa rasa kasihan satu sentilan mendarat di kening Mathew. Senti
"Mama, hari ini Mama menginap di sini tidak?""Tergantung. Kalau kalian mengizinkan, ten–""Aku mengizinkan dan akan memukul kalau ada yang keberatan!"Sahutan terakhir yang Sheilla lontarkan membuat Elena serta Mathew menoleh kompak. Kedua mata Mathew menyipit menatap sang istri. Memangnya siapa yang ingin mengutarakan keberatan? Bukan hanya Elena, Daisy pun jika sedang senggang sering menginap. Lebih dari itu Mathew terasa terbantu kalau sang mama menginap untuk menemani Sheilla saat dirinya bekerja.Elena tertawa menatap tingkah Sheilla yang menggemaskan. Ternyata umur benar-benar berbicara di sini. Semoga saja nanti Sheilla bisa berdamai dengan kedua buah hatinya."Kenapa menatapku seperti itu?" Sebelah alis Mathew terangkat menatap Sheilla. "Tidak ada alasan untukku melarang Mamahku sendiri untuk menginap. Jangankan menginap, tinggal di sini pun sangat boleh," lanjutnya.Tidak menjawab, Sheilla memilih memalingkan wajah semb
Setelah tragedy bertemu Jayden, lalu berujung bertemu sang ayah, Sheilla memang masih senantiasa mengikuti ke mana langkah Elena pergi. Rasa excited untuk membeli beberapa cemilan seketika sirna karena lagi-lagi Sheilla teringat sikap ayahnya yang … mungkin tidak akan pernah luluh. “Mama hampir selesai belanja, kamu jadinya mau beli apa? Bukannya tadi mau beli sesuatu?” tegur Elena membuat Sheilla menerjap, sadar dari lamunannya. Berhubung rasa malas sudah menyeruak di dalam hati, Sheilla menggelengkan kepalanya. Sheilla menghembuskan napasnya pelan, lalu bergeser memeluk lengan Elena. “Apa ayah benar-benar tidak akan menganggapku anak lagi?” Mendengar pertanyaan itu Elena tersenyum. Ternyata dugaannya sejak tadi benar, sang menantu gelisah karena memikirkan pertemuan tak enak dengan ayahnya. Tangan Elena terulur mengusap lembut pucuk kepala Sheilla. Sejujurnya, walaupun berubungan baik dengan Daisy, Elena tetap merasa ada yang kurang. Karena mau bagaimanapun statusnya dengan Alexan
“Bangunlah, ini sudah pagi. Semalam kau sudah melewati makan malam, sarapan pagi ini tidak boleh.”Bak alarm, tubu Sheilla langsung bergeliat mendengar suara tak asing di telinganya. Dikarenakan matanya masih mengantuk, tentu itu membuatnya sedikit terusik. Tidak ada niat untuk bangun, Sheilla justru menghempas tangan Mathew yang terus mengusap pipinya.“Kau ini kenapa sih?”“Aku masih mengantuk, Mathew, ingin tidur. Kau bisa sarapan sendiri tanpaku, lagipula ada Mama. Kalau ingin ke kantor, silahkan pergi, tubuhku tidak enak dari semalam, maka dari itu mau tidur saja.”Sejenak Mathew terdiam memandangi wajah Sheilla. Kedua mata istinya memang belum terbuka sama sekali, Mathew juga melihat wajahnya sedikit pucat. Tangan yang tadi dihempas kini menyentuh kening, dan rasa panaslah yang Mathew rasakan.“Demam,” guman Mathew. Tanpa mengatakan apapun lagi pria itu beranjak dari Kasur meninggalkan kamar.Kedua mata Sheilla sedikit terbuka, dia menatap samar tubuh Mathew yang kini hilang di