Di sepanjang jalannya rapat siang ini Laura tampak lebih banyak termenung. Axel yang duduk bersisian dengan gadis angkuh itu beberapa kali menyenggol bahunya. “Oh, gimana?” respon Laura. Wajahnya benar-benar terlihat sangat konyol, seperti orang yang baru bangun dari mimpi panjang. Semua orang yang hadir di ruangan rapat itu terheran-heran mendapati Laura seperti itu, sebab selama ini mereka mengenal Laura sebagai sosok yang tegas, keras dan selalu serius dalam hal apapun. Bahkan mereka bisa memastikan jika Laura tidak pernah merasakan gangguan mood atau semacamnya. Siang ini benar-benar sisi Laura yang lain yang membuat mereka penasaran.“Lanjutkan,” ujar Axel pada seseorang yang tengah memberikan presentasi di depan. Orang itu pun menganggukkan kepalanya.“Parfum dengan merek baru yang baru saja kita produksi dengan mengedepankan ciri khas bau buah yang lembut dan penuh gairah akan siap diluncurkan di pasaran menggunakan iklan dari perusahaan picture style.”Laura menautkan jari j
Tatapan dingin Laura tertuju pada Devan.“Pihak rumah sakit menelpon, ayahmu bangun dari tidur panjangnya.”Linglung seperti orang kehilangan arah untuk beberapa saat, tetapi setelah itu Devan berlari.“Eh! Eh!” Laura terkejut menatap punggung suaminya yang tengah berlari seperti orang gila. “Axel.”“Iya, Nona.”Mereka meninggalkan Naina seorang diri di sana, menyusul Devan dan membunyikan klakson dan berhenti tepat di sisi Devan.“Masuk!”Tidak banyak bicara, Devan bergegas masuk ke dalam mobil. Beberapa saat kemudian mereka tiba di rumah sakit, Devan kembali berlari menemui ayahnya.Devan berusaha mengontrol nafasnya yang terengah-engah.“Ayah,” lirihnya. Bola matanya berkaca-kaca. Rasa syukur yang tiada terhingga memenuhi rongga di dalam dada Devan. Laki-laki tua yang terlihat ringkih itu membalas menatap.“Devan.”Kaca-kaca bening yang mengkristal di dalam bola mata Devan akhirnya pecah dan jatuh membasahi pipi, dia mengangguk. “Iya, Ayah.”“Maafin Ayah udah nyusahin kamu,” suara
Malam sudah larut, suara jangkrik bersahutan memekakkan pendengaran. Devan berdiri di depan jendela kamar menatap pada langit malam yang tengah mendung. Hatinya seperti ruang kosong yang hampa, tatapan matanya pun nanar.Mendesah beberapa kali dengan helaan nafas panjang. Hidupnya seperti terombang-ambing dan tidak memiliki tujuan. Dia rela menjual dirinya, merendahkan harga dirinya hanya demi uang agar sang ayah bisa berobat dan bisa pulih seperti sedia kala, siapa yang mengira usahanya hanyalah sebuah kesia-siaan. Ayahnya tetap pergi untuk selama-lamanya. Sekarang dia hanya punya adik yang harus ia jaga dan harus dia jadikan orang berguna.Sedangkan di sisi ranjang tua berbahan kayu, Laura tampak gelisah membolak-balikkan posisi tubuhnya. Letih ke kiri putar ke kanan, embun malam yang di sapu angin masuk ke dalam kamar sangat berbeda dari rasa dingin AC di ruangan kamar Laura. Rasa dingin ini sangat ngilu. Tadinya Laura ingin pulang, tetapi entah mengapa pikirannya tidak tenang, lal
Seketika Laura membeku, isi di dalam kepalanya blank. Devan memperhatikan wajah istrinya itu dengan ujung bibir yang tertarik. Memiringkan kepalanya, lalu mengecup bibir lembut yang membuatnya merasa candu. Tidak ada penolakan seperti pertama kali waktu itu. Laura terkesan seperti membiarkan hingga membuat Devan semakin berani. Awalnya hanya mengecup, kini perlahan bergerak menari di sana dengan kelopak mata tertutup seolah menikmati. Untuk beberapa lama Devan asik sendiri sampai saat dia terkejut dan membuka mata ketika Laura membalasnya. Bisa-bisanya Devan tersenyum dalam pagutan itu. Kembali menutup mata.Tangannya bergerak nakal mencari tempat yang bisa memuaskan dahaga khayalannya selama ini. Sampai saat itulah Laura tersadar, dia menahan tangan Devan dan membuka mata. Pipinya memerah merona menahan malu. Bisa-bisanya dia terhanyut oleh sentuhan bocah tengil ini.“Kenapa mbak?” wajah Devan memelas penuh hasrat yang berkobar. Laura menjauh dan turun dari atas ranjang. Sungguh dia
Di sepanjang perjalanan menuju pulang ke rumah, Laura terus saja melamun menatap keluar jendela mobil. Pikirannya terpusat pada Devan dan Tiara, lalu dia menghela nafas panjang. Axel melirik. “Ada apa, Nona Laura?”Dengan gerakan malas, Laura melirik pada Axel. “Kamu pernah nggak mikir? ternyata di luaran sana banyak orang yang hidup tidak seberuntung kita.”Axel tertawa lirih. Lucu rasanya mendengar pertanyaan Laura.“Lah, selama ini Nona ke mana aja? Kenyataannya memang banyak kan orang-orang yang kurang beruntung.”Laura mengangguk setuju. “Huum. Kamu benar.”Axel kembali melirik pada atasannya itu sekaligus sahabat dekatnya. “Tumben nanya kayak gitu, ada apa?” “Menurutmu Devan itu gimana orangnya?”Tatapan Axel lekat menatap wajah Laura.“Fokus nyetirnya, Axel!”Axel pun kembali menatap pada jalanan. Wajah bersahabatnya berubah seketika menjadi datar. “Jangan bilang kamu mulai menyukai bocah tengil itu.”“Dihh! Sembarangan kalau ngomong.”“Terus?”“Kalau kamu nggak minat jawab ng
Orang-orang mulai melangkah masuk ke dalam rumah, menaruh cateringan dalam jumlah besar. “Mbak bisa kita ngomong sebentar?” Raut wajah Devan tampak sangat tidak senang.Daffa menyikut pinggang Devan. Dia berpikir jika Devan terlalu tidak sopan berucap ketus dengan wajah yang tidak menyenangkan terhadap tamu yang berniat baik. Padahal Daffa melihat effort mbak mbak cantik jelita itu sungguh sangat besar yang sudah sepatutnya pantas diberikan ucapan terima kasih dengan cara yang menyenangkan hati.Daffa memiringkan posisi kepalanya merapat pada pangkal telinga Devan, dia mulai berbisik,”bisa nggak? wajah dingin lu itu dibuang jauh-jauh. Nggak sopan tahu, kayak gitu sama orang yang udah berniat baik buat membantu.”Aziel bergegas menarik Dafa buat menjauh, meskipun mendapat penolakan. “Ck. Lu lagi Ziel! Seharusnya lu ikut nasehatin Devan.”“Ayo kita ngomong di kamar,” ujar Devan sembari melangkah berlalu dari sana. Laura pun mengikuti langkah bocah itu.Biji mata Dafa membulat sempurna,
Devan berdiri di tepian jalan raya sembari mengotak-atik ponsel dalam genggaman tangannya. Hujan baru saja reda menyisakan beberapa genangan air di atas tanah maupun di atas aspal. Menyelesaikan ujian susulan berikut dengan ujian hari ini, lalu pulang ke rumah untuk mengganti pakaian sekolah dengan pakaian OB. Tiara memperhatikan saudara laki-lakinya itu. “Mas mau ke mana?”Devan memperbaiki kerah leher bajunya. “Mas kerja. Kalau kamu keluar bersama teman-temanmu jangan terlalu lama pulang. Ntar malam kamu nggak perlu nungguin Mas buat makan bersama.”“Mas kerja di mana?”Tin tin. Sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi dari kejauhan. Devan bergegas lebih mundur jauh ke pinggir jalan. Namun, begitu bajunya tetap terkena cipratan air yang dihasilkan dari lintasan ban mobil tersebut.“Sial!” maki Devan. “Oyy! Jalan ini bukan punya bapak moyang kau!”Pengemudi mobil tersebut sempat menjulurkan kepala. “Cuihh!”Kesal tapi tidak bisa berbuat apapun. Akhirnya Devan hanya bisa mengibas-n
Laura menjuling mata dengan jengah. “Sembarangan!”Tiba-tiba Devan beringsut mendekat, tangannya berayun menyentuh tepi bibir istrinya itu. Dimana ada saos menempel di sana. Laura ingin protes karena Devan telah berani bersikap lancang, tetapi entah mengapa bibirnya terbungkam tidak bisa bersuara. Tubuhnya pun membeku tidak ingin menghindar. Dia membiarkan jari jempol Devan mengusap tepi bibirnya. Bola mata mereka beradu tatapan. Degup di dalam dada tidak beraturan. Sampai akhirnya suara ketukan pintu dari luar menyadarkan keduanya. Laura tampak panik, Devan pun mengerti dengan kepanikan istrinya itu.“Ayo sembunyi di sini.” Laura melambaikan tangannya, lalu menunjuk kolong meja. Bodohnya Devan menurut begitu saja. Dia berlari dan bersembunyi di bawah sana. Laura mulai duduk di kursi kebesarannya. “Masuk!”Ketika melihat pemilik wajah dibalik pintu itu membuat aura wajah Laura tampak gelap seperti langit yang sedang mendung ditutupi oleh awan hitam. Orang tersebut melangkah masuk de
Usai menelpon orang yang dipercayakan untuk mengurus ayahnya di luar negeri, Laura berdiri di depan cermin dengan tatapan datar. Beberapa orang pembantu masuk ke dalam kamar. Mereka datang untuk mendandani Laura dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ya, setelah pulang dari kediaman Wiguna, Laura langsung mencari Devan, dia mulai mengajak suaminya itu berbicara empat mata. Setelah pembicaraan itu mereka berdua sepakat untuk mengadakan konferensi pers hari ini. Axel masuk ke dalam kamar, dia melangkah mendekati Laura. “Nona, kita berangkat sekarang?”“Huum. Dimana Devan?”“Dia ada di ruang tamu.”Laura membalik tubuhnya, lalu melangkah dengan anggun. Axel berusaha mensejajarkan langkah mereka. “Nona, aku sudah berusaha menekan segala informasi tentang Devan, tapi setelah kejadian ini dia pasti akan jadi bahan perhatian. Sulit untuknya tetap seperti biasa.”“Baiklah.”Laura sudah berdiri di depan Devan yang menatapnya dengan pandangan tidak bersemangat. Baru saja tadi malam dia merasaka
Nada dering ponsel terdengar begitu berisik memenuhi ruangan kamar hotel membuat mimpi indah Laura terganggu. Dia membuka mata sembari meliuk dan meraih ponsel itu. Dia memposisikan tubuhnya terlentang sembari menatap layar ponsel pada genggaman tangannya, tetapi suara gumaman Devan yang tengah meliuk memutar tubuh ke arah dirinya membuat Laura tersentak kaget. Tiba-tiba pipinya merona merah tersipu malu. Dia memperhatikan wajah Devan yang tengah terlelap dalam wajah damai. Tidak sengaja bibirnya tertarik membentuk lengkungan indah saat menikmati wajah tampan itu. Tidak bisa mengendalikan diri, tangan bergerak begitu saja menyentuh bibir yang membuatnya tergila-gila hingga membuat Devan bergerak, Laura bergegas menarik tangannya, lalu mengubah posisi tubuh terlentang seperti semula.“Mbak, kamu sudah bangun?”“Hmmm.”Devan miring ke arah Laura. “Lagi yuk, Mbak.”Sontak Laura melirik pada suaminya dengan tatapan melotot. “Bicara yang sopan!” cercanya dalam debaran jantung tidak mene
“Mas, ayo kita samperin Mbak Laura.”“Kita cari tempat makan lain aja.” Devan memutar tubuhnya dan itu membuat Tiara kebingungan serta serba salah. Untuk beberapa menit dia menatap kakak iparnya bangkit dari duduk dengan pandangan mata tertuju pada Devan yang sudah mendorong pintu sembari keluar, di saat itulah Tiara berlari mengejar saudara laki-lakinya itu. “Mas!” dadanya turun naik karena berusaha mengatur nafas yang ngos-ngosan. Devan mengulurkan helm. “Cepat pakai.”Tiara hanya bisa pasrah dan meraih helm tersebut. Dia tidak mengerti mengapa Devan begitu tampak marah ketika melihat kakak iparnya dengan laki-laki lain, menurut pemikiran Tiara bukankah seharusnya hal seperti ini tidak perlu terlalu di perhitungkan karena bisa jadi laki-laki itu adalah klien atau semacamnya jika mengingat status sosial kakak iparnya tidak sederhana seperti mereka berdua. Namun, begitu Tiara tetap duduk di belakang Devan dalam diam dan mereka mulai melaju.Sementara itu, Bisma yang melihat reaksi tid
Tiara berlarian menghambur memeluk Devan, sedangkan Daffa tetap duduk di atas motor sport sembari memandangi gadis pujaannya tengah melepaskan rindu dengan sahabat baiknya. Arya yang duduk di sebelah menantunya itu sampai mengernyitkan dahi, bingung kenapa ada gadis lain memeluk suami putrinya.Devan berusaha melerai pelukan adiknya itu. “Tiara, jangan kenceng-kenceng dong meluknya, ini Mas sampai nggak bisa nafas.”Tiara bergegas melepaskan pelukan dari tubuh masnya itu sembari cengengesan. “Hehehe,” lalu ekspresi itu cepat berubah berganti marah-marah. “Mas kenapa nggak ada kasih kabar! Mas tahu nggak kalau Tiara khawatir banget! Gak mikir gimana takutnya Tiara kalau sampai terjadi apa-apa sama Mas seperti waktu itu.”Melihat kecemasan yang dipunyai adiknya membuat Devan merasa bersalah, bukan maksud hatinya untuk membuat sang adik merasa khawatir teramat sangat seperti ini, semua karena pekerjaannya yang tidak berkesudahan sedangkan ponselnya jatuh di dalam timba sabun saat memberi
Jam istirahat, Tiara melangkah menuju kelas XII IPS, dia ingin mencari keberadaan Devan yang sedari pagi tidak tampak batang hidungnya sama sekali. Bukan hanya pagi ini, bahkan dari kemarin mas nya itu tidak ada kabar ataupun pulang ke rumah orang tua mereka sekedar untuk bertanya kabar tentang dirinya. Namun, sentuhan tangan seseorang membuat Tiara memutar kepala, ketika dia tahu orang yang menyentuh bahunya tersebut adalah laki-laki yang paling tidak ingin ia lihat membuat wajahnya cemberut.“Mau cari Devan,” tanya Daffa sembari memamerkan senyumnya, tetapi Tiara malah merespon dengan wajah jutek. “Jangan ganggu aku!”Daffa melangkah dan berdiri di hadapan adik perempuan sahabatnya itu. “Galak amat sih adik manis.” Tangan Daffa terulur ingin menyentuh dagu Tiara tetapi gadis itu bergegas menepisnya kasar. “Lama kelamaan kamu gak sopan ya.” Mata Tiara melotot dengan aura tidak senang. Bukannya tersinggung, Daffa malah tertawa seperti orang yang sedang menikmati permainan menyenangkan
“Susah banget sih ngomong sama bocah abg! dikit-dikit marah, dikit-dikit tersinggung. Lama kelamaan dia udah kayak cewek gak sih!” Laura amat sangat kesal dengan sikap datar Devan padanya. Bahkan suami brondongnya itu berani mengacuhkan dirinya begitu saja hanya karena bocah itu menganggap ucapannya di kantor tadi menyakiti. Sebagai seorang yang tidak pernah berpikir keras bagaimana cara mengerti perasaan seorang laki-laki, kini Laura melakukan hal itu. Dia pusing memikirkan apa yang menyebabkan suami brondongnya tersinggung sedangkan ucapan yang dia katakan semua merupakan fakta, lalu di bagian mana yang telah membuat tersinggung?“Gini amat nikah sama bocah!” Laura berbaring sembari menarik selimut dan menutupi sebagian tubuhnya. Perlahan ingin menutup mata, tetapi urung setelah melihat sosok Devan keluar dari kamar mandi. Dada Laura kembang kempis menahan sesak ketika melihat dada telanjang suaminya itu. Matanya bergerak sendiri menikmati keindahan yang tengah tersungguh. Air dari
“Maaf,” cicit Devan dengan nada datar. Dia kembali ingin menutup pintu ruangan tersebut tetapi Laura menahannya. “Masuklah!” Mau tidak mau Devan menganggukkan kepala sembari melangkahkan kaki dan berdiri di hadapan istrinya itu. Laura menatap Axel dan mengangkat dagunya sebagai isyarat agar laki-laki itu keluar dari ruangannya. Axel yang paham langsung undur diri.“Ada apa?” tanya Laura. Devan bergegas mengulurkan berkas, menaruhnya di atas meja. “Aku disuruh mengantar ini sama Mbak.”Laura menatap berkas itu sesaat, lalu kembali menatap pada suaminya. “Lain kali jangan mau di suruh-suruh seperti ini lagi.” Devan tertawa lirih. “Apa aku bisa menolak dengan posisiku di perusahaan ini.”Laura tercenung. Benar yang dikatakan oleh suaminya, laki-laki itu hanya seorang office boy yang pasti akan menjadi pesuruh siapa saja. Suami seorang Presdir jadi pesuruh siapapun di perusahan apakah itu pantas? Laura menghela nafas panjang, dan berpikir ini tidak boleh dibiarkan. Selama Devan menyandan
Sudah hampir 3 menit Laura hanya memandangi suaminya yang tengah berdiri tanpa suara. “Kenapa kamu melakukan itu?” akhirnya Laura mengeluarkan suara membuat Devan yang menundukkan kepala mengangkat wajahnya menatap sang istri. “Dia berbohong,” ujar Devan. “Dia yang memaki-maki dengan kata-kata kasar dan menamparku, dia memutar balikan fakta bahkan meskipun begitu aku tetap meminta maaf padanya.”“Yang aku tanyakan tentang USB itu,” nada bicara Laura terdengar dingin.“Aku tidak sengaja melakukannya.” Devan berpaling.“Kamu pikir Nona Laura orang bodoh!” Axel yang kesal ikut menghardik suami Nona mudanya itu. “Siapapun tahu kamu melakukannya dengan sengaja.”Devan menatap Axel dengan tatapan tajam, sedikitpun tidak ada rasa takut di dalam tatapannya itu. “Aku bilang! aku nggak sengaja.”Axel menggeram geram. “Kamu!”“Axel!” Laura berusaha menghentikan. “Kamu keluarlah.”“Tapi Nona Laura.”“Keluar Axel.”Akhirnya Axel hanya bisa menganggukkan kepala. “Baiklah.” Dia melangkah melewati D
Sepanjang perjalanan menuju kantor, Laura maupun Devan sama-sama diam. Laura sibuk pada laptop di atas pahanya sedangkan Devan sesekali melirik. ‘Apa matanya gak perih sepanjang waktu menatap layar seperti itu?’ batin Devan di dalam hati. Namun, dia sadar untuk berada di puncak tertinggi seperti status Laura pasti ada harga yang harus dibayar.Ketika laju mobil telah berhenti di basement perusahaan, Devan turun lebih dulu dan mengucapkan terima kasih atas tumpangan yang telah diberikan Laura padanya, setelah itu Devan langsung bergegas masuk ke dalam gedung yang menjulang tinggi tersebut. Laura menyadari sikap Devan padanya, bocah itu kembali dingin seperti pertama kali mereka bertemu dulu. Laura termangu untuk beberapa saat karena memikirkan hal itu, tetapi bukankah seperti ini justru akan lebih baik dan membuat Laura merasa tenang, Ia pun bergegas turun dari mobil dan mulai melangkah menuju lobby. Di sana dia berselisih jalan dengan Devan yang sudah mulai aktif bekerja, keduanya sal