Laura menjuling mata dengan jengah. “Sembarangan!”Tiba-tiba Devan beringsut mendekat, tangannya berayun menyentuh tepi bibir istrinya itu. Dimana ada saos menempel di sana. Laura ingin protes karena Devan telah berani bersikap lancang, tetapi entah mengapa bibirnya terbungkam tidak bisa bersuara. Tubuhnya pun membeku tidak ingin menghindar. Dia membiarkan jari jempol Devan mengusap tepi bibirnya. Bola mata mereka beradu tatapan. Degup di dalam dada tidak beraturan. Sampai akhirnya suara ketukan pintu dari luar menyadarkan keduanya. Laura tampak panik, Devan pun mengerti dengan kepanikan istrinya itu.“Ayo sembunyi di sini.” Laura melambaikan tangannya, lalu menunjuk kolong meja. Bodohnya Devan menurut begitu saja. Dia berlari dan bersembunyi di bawah sana. Laura mulai duduk di kursi kebesarannya. “Masuk!”Ketika melihat pemilik wajah dibalik pintu itu membuat aura wajah Laura tampak gelap seperti langit yang sedang mendung ditutupi oleh awan hitam. Orang tersebut melangkah masuk de
Laura memperhatikan Resti dengan sorot mata sadis, lalu berpindah pada bungkus makanan yang tengah dipegang oleh Devan. “Dih! Dasar! semua laki-laki itu sama. Yang baru bentuk cebong pun pandai bermain api. Tadi kerasukan minta jatah, sekarang malah menerima perhatian dari cewek lain,” Laura membatin mengata-ngatai suami brondongnya ini hanya berani sebatas di dalam hati.“Resti, kamu duluan aja,” ucap Devan akhirnya.Resti mengangkat kepala sembari memaksakan senyum, tidak berani berkutik. Dia merasa amat sangat bersyukur terhadap laki-laki di hadapannya sekarang ini karena telah menyelamatkan hidup dan matinya yang telah kepergok berkata tidak sopan untuk sang presdir.“Siapa namamu?”Suara Laura menghentikan langkah Resti. Sorot matanya redup penuh dengan dentuman keras di dalam dadanya. “Mampus! tamat riwayatku,” batin Resti memutar tubuh menghadap ke arah Laura.“Resti Septia.”“Ini peringatan terakhir untukmu. Bekerja dengan baik dan disiplin. Di perusahaan dilarang keras deng
Laura berdesis sembari membuka mata. Kepalanya terasa sangat berat. “Aahh,” keluhnya memegang kepala. Matanya terbuka, lalu tertutup dan terbuka kembali menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam retina matanya. Dia bergerak miring ke samping dan melihat Devan berada di atas tempat tidur yang sama dengan dirinya. Suami berondongnya itu dalam keadaan telanjang dada yang membuat kelopak mata Laura melebar. “Bocah gila!” Makinya. Dia bergegas beranjak duduk, dan sekali lagi dia dibuat syok berat ketika mendapati dirinya dalam keadaan polos tanpa sehelai benang pun. Saat ini hanya ada selimut yang menutupi tubuh polosnya itu. Tangannya bergerak menarik selimut dan menutupi dadanya dengan gigi gemeretak menahan amarah. Pakaian dalam, baju, celana, semuanya berserakan di atas lantai.“DEVAAAAN!”Suara teriakan Laura membahana memenuhi seisi ruangan kamar, membuat Devan tersentak dari tidur dan mimpi indahnya. Dia terlonjak duduk. Didapatinya wajah Laura merah padam menatap pada dirinya. Seke
“Arrgrrrhhh!” Suara ringisan Devan membuat Tiara bergegas bangkit. Semalaman suntuk ini dia terus terjaga dan memandangi wajah saudara laki-lakinya itu tanpa henti. Matanya bengkak karena kebanyakan menangis. Di atas dunia ini hanya Devan yang dia punya sebagai kerabat terdekat yang bisa tempatnya berbagi. “Mas.”Devan membuka mata. “Dimana Mbak Laura?” itulah kalimat pertama yang diucapkan Devan ketika dia mulai sadar.Air mata Tiara menetes, dia langsung menghambur memeluk tubuh Devan hingga membuat saudara laki-lakinya itu meringis karena kesakitan. Tiara cepat melepaskan pelukannya. Sangkingkan bahagia karena Devan akhirnya siuman, Tiara sampai lupa punggung saudara laki-lakinya itu ada luka. Dalam tangisnya dia meringis cengengesan. “Maaf, Mas. Apa sakit banget?”Devan menyunggingkan senyum. Dia tahu bahwa adiknya sangat mengkhawatirkan dirinya. Tangan Devan terulur meraih jari jemari adiknya itu. “Mas gak apa-apa.”Tiara kembali menangis. “Hiks! Hiks! Hiks! Kalau sampai terjad
Laura memutar tubuhnya menghadap pada Asraff. Dagunya terangkat penuh dengan aura keangkuhan. “Aku tidak layak?” ujarnya dingin. “Siapa yang layak? Papamu? Kamu? Atau adikmu yang suka memungut barang bekas sisa dari orang lain itu?”Tangan Asraf terkepal erat sampai memutih. Dia mempersingkat jarak antara dirinya dengan Laura. “Kamu!” dia benar-benar tidak bisa mengendalikan diri. Axel laju berdiri di depan Laura dengan dada yang membusung. Asraff menatap laki-laki itu dengan tatapan hina. Ujung bibirnya tertarik penuh dengan sinis. Baginya Axel tidak lebih daripada sampah yang siap menjilati tuannya. “Dasar sampah tidak berguna!” Kemudian Asraf melangkah keluar.Laura menghela nafas. Dia melirik pada Axel. “Maafkan aku atas situasi ini. Seharusnya kamu tidak menerima perlakuan seperti tadi.”Axel tersenyum yang memancarkan ketampanannya. “Aku tidak masalah sama sekali demi kamu.”Laura berdehem setelah mendengar kalimat tersebut. Entahlah. Axel adalah sosok laki-laki yang selalu ber
Laura menggeleng-gelengkan kepala untuk membuang pikiran jorok yang menari di dalam pikirannya. “Astaga apakah aku begitu kesepian sampai memikirkan hal semacam itu,” batin Laura merutuki diri sendiri.Hal tersebut tidak terlepas dari penglihatan Devan. “Kenapa, Mbak? Hayooo mikirin apa?”“Apa sih! Ihh!” Laura mendengus. Wajah sang istri yang tetiba jutek membuat Devan merasa lucu.“Aku tebak. Mbak pasti mikir tentang malam itu kan?”Seketika pipi Laura merona merah. Entah bagaimana suaminya ini bisa membaca isi dalam kepalanya dengan benar. “Kamu tuh lagi sakit masih aja mesum,” elaknya.“Habisnya enak sih Mbak, ehehehe.”“DEVAN!” dada Laura kembang kempis.“Apa sayang.”Bola mata Laura membulat menatap tajam pada suaminya itu. Semakin ke sini Devan semakin berani pada dirinya. Namun, meskipun begitu entah mengapa Laura mulai merasa terbiasa, bahkan di sudut hatinya ada debar-debar aneh yang menjalar dengan perlakuan Devan seperti itu.“Sekali lagi kamu ngomong aneh-aneh Aku bakal p
Laura memalingkan wajahnya. Degup jantung sangat tidak beraturan. Pipinya terasa hangat seperti terbakar. Saat ini dia tengah membantu Devan memegang botol infus dan memegang lengan suaminya itu yang tengah buang air kecil. Gara-gara Devan ingin pergi ke kamar mandi seorang diri akhirnya Laura memutuskan untuk membantu. Daripada Devan pingsan yang ujung-ujungnya akan merepotkan dia juga nantinya.“Udah belum?” Laura bertanya ketika dirinya tidak lagi mendengar suara gemericik air kencing.“Mbak kenapa kayak gitu?” Devan baru menyadari kalau saat ini Laura tengah tersipu menghadap ke arah dinding. Dia tersenyum geli. Istri dewasanya bertingkah laku tidak ubahnya seperti perawan remaja yang tengah puber.“Jangan banyak tanya! Kamu udah belum kencingnya.”“Ck. Kayak belum pernah lihat aja sih Mbak. Padahal malam itu kamu sangat tergila-gila dengan milikku.”“DEVAN!”“Ehehe. Jangan malu-malu gitu lah Mbak. Sama suami sendiri aja kok.”“Kamu udah atau belum nih!” Laura tidak ingin melayan
Laura memutar tubuh menghadap pada laki-laki itu. Dia menatap pergelangan tangannya yang tengah digenggam oleh Bisma. “Lepaskan!” nada suaranya terdengar begitu dingin.“Laura, Aku merindukanmu.”“Aku bilang lepaskan!”Bisma tidak mengindahkan ucapan Laura padanya, bahkan dia semakin berani memegang kedua bahu Laura. Ketika Bisma merengkuh tubuh Laura dan akan memeluknya, sebuah dorongan kasar pada dada bidang itu diikuti oleh tamparan keras pada pipi setelah itu.Plak! Bisma memegang pipinya terasa panas. Menarik nafas perlahan, mencoba untuk menenangkan diri. “Laura Aku tahu kamu marah. Kamu kesal padaku, tapi biarkan aku menjelaskan kenapa aku tidak datang di hari pernikahan kita waktu itu.”“Gak usah! Simpan semua penjelasanmu itu. Aku tidak butuh.”Bisma bersekeras menahan bahu Laura. “Kamu harus mendengarkannya.”Laura meninggikan suara dan untungnya mereka tengah berada jauh dari keramaian sehingga tidak ada orang yang menyadari hal tersebut. “Bisma! tolong jaga batasanmu. Jan