Laura memutar tubuhnya menghadap pada Asraff. Dagunya terangkat penuh dengan aura keangkuhan. “Aku tidak layak?” ujarnya dingin. “Siapa yang layak? Papamu? Kamu? Atau adikmu yang suka memungut barang bekas sisa dari orang lain itu?”Tangan Asraf terkepal erat sampai memutih. Dia mempersingkat jarak antara dirinya dengan Laura. “Kamu!” dia benar-benar tidak bisa mengendalikan diri. Axel laju berdiri di depan Laura dengan dada yang membusung. Asraff menatap laki-laki itu dengan tatapan hina. Ujung bibirnya tertarik penuh dengan sinis. Baginya Axel tidak lebih daripada sampah yang siap menjilati tuannya. “Dasar sampah tidak berguna!” Kemudian Asraf melangkah keluar.Laura menghela nafas. Dia melirik pada Axel. “Maafkan aku atas situasi ini. Seharusnya kamu tidak menerima perlakuan seperti tadi.”Axel tersenyum yang memancarkan ketampanannya. “Aku tidak masalah sama sekali demi kamu.”Laura berdehem setelah mendengar kalimat tersebut. Entahlah. Axel adalah sosok laki-laki yang selalu ber
Laura menggeleng-gelengkan kepala untuk membuang pikiran jorok yang menari di dalam pikirannya. “Astaga apakah aku begitu kesepian sampai memikirkan hal semacam itu,” batin Laura merutuki diri sendiri.Hal tersebut tidak terlepas dari penglihatan Devan. “Kenapa, Mbak? Hayooo mikirin apa?”“Apa sih! Ihh!” Laura mendengus. Wajah sang istri yang tetiba jutek membuat Devan merasa lucu.“Aku tebak. Mbak pasti mikir tentang malam itu kan?”Seketika pipi Laura merona merah. Entah bagaimana suaminya ini bisa membaca isi dalam kepalanya dengan benar. “Kamu tuh lagi sakit masih aja mesum,” elaknya.“Habisnya enak sih Mbak, ehehehe.”“DEVAN!” dada Laura kembang kempis.“Apa sayang.”Bola mata Laura membulat menatap tajam pada suaminya itu. Semakin ke sini Devan semakin berani pada dirinya. Namun, meskipun begitu entah mengapa Laura mulai merasa terbiasa, bahkan di sudut hatinya ada debar-debar aneh yang menjalar dengan perlakuan Devan seperti itu.“Sekali lagi kamu ngomong aneh-aneh Aku bakal p
Laura memalingkan wajahnya. Degup jantung sangat tidak beraturan. Pipinya terasa hangat seperti terbakar. Saat ini dia tengah membantu Devan memegang botol infus dan memegang lengan suaminya itu yang tengah buang air kecil. Gara-gara Devan ingin pergi ke kamar mandi seorang diri akhirnya Laura memutuskan untuk membantu. Daripada Devan pingsan yang ujung-ujungnya akan merepotkan dia juga nantinya.“Udah belum?” Laura bertanya ketika dirinya tidak lagi mendengar suara gemericik air kencing.“Mbak kenapa kayak gitu?” Devan baru menyadari kalau saat ini Laura tengah tersipu menghadap ke arah dinding. Dia tersenyum geli. Istri dewasanya bertingkah laku tidak ubahnya seperti perawan remaja yang tengah puber.“Jangan banyak tanya! Kamu udah belum kencingnya.”“Ck. Kayak belum pernah lihat aja sih Mbak. Padahal malam itu kamu sangat tergila-gila dengan milikku.”“DEVAN!”“Ehehe. Jangan malu-malu gitu lah Mbak. Sama suami sendiri aja kok.”“Kamu udah atau belum nih!” Laura tidak ingin melayan
Laura memutar tubuh menghadap pada laki-laki itu. Dia menatap pergelangan tangannya yang tengah digenggam oleh Bisma. “Lepaskan!” nada suaranya terdengar begitu dingin.“Laura, Aku merindukanmu.”“Aku bilang lepaskan!”Bisma tidak mengindahkan ucapan Laura padanya, bahkan dia semakin berani memegang kedua bahu Laura. Ketika Bisma merengkuh tubuh Laura dan akan memeluknya, sebuah dorongan kasar pada dada bidang itu diikuti oleh tamparan keras pada pipi setelah itu.Plak! Bisma memegang pipinya terasa panas. Menarik nafas perlahan, mencoba untuk menenangkan diri. “Laura Aku tahu kamu marah. Kamu kesal padaku, tapi biarkan aku menjelaskan kenapa aku tidak datang di hari pernikahan kita waktu itu.”“Gak usah! Simpan semua penjelasanmu itu. Aku tidak butuh.”Bisma bersekeras menahan bahu Laura. “Kamu harus mendengarkannya.”Laura meninggikan suara dan untungnya mereka tengah berada jauh dari keramaian sehingga tidak ada orang yang menyadari hal tersebut. “Bisma! tolong jaga batasanmu. Jan
“Dari keluarga mana dia berasal? Apa nama perusahaannya? Apa prestasi yang dimilikinya?” Bisma menanyakan pertanyaan secara beruntun.Gerakan tangan Devan tampak kembali ingin memberikan tinju sekali lagi pada laki-laki itu tetapi Laura menahannya. “Devan!”Devan menghadap ke arah Laura dan menatap istrinya dengan seksama. “Kenapa kamu membiarkannya memelukmu?”“Oh, jadi kamu benar-benar suaminya,” cicit Bisma. “Suami pengganti!” Bisma menekankan suaranya pada kalimat tersebut.“Bisma, tolong!” ujar Laura. Perkataan Bisma jelas-jelas memprovokasi Devan.“Aku mengatakan fakta, Laura. Dia hanya suami pengganti disaat aku tidak bisa hadir di hari pernikahan kita. Andaikan undangan belum tersebar luas mungkin saat ini kita masih bisa menjalin hubungan dengan baik.”“Kamu!” rahang Devan mengeras.Laura menarik lengan suaminya itu dan membawanya menjauh dari Bisma.“Laura,” panggil Bisma.Setelah mereka pergi cukup jauh Devan menahan langkahnya hingga membuat Laura berbalik menghadap ke ara
Laura melempar tas Hermes yang ada di dalam genggaman tangannya sembarangan, menghempaskan bokongnya di atas sofa dengan begitu gusar, dadanya turun naik menahan emosi. “Hah! Dia pikir dia itu siapa?”Sepanjang pesta, Celine sengaja mencari gara-gara dengannya, memanasi diri dengan keberadaan Bisma. Yang membuat jengkelnya laki-laki itu tampak diam saja. Hanya beberapa kali berusaha menenangkan dirinya juga Celine.“Nona Laura sabarlah.”Laura melototkan matanya. “Kamu suruh aku sabar? Kamu nggak lihat gimana tadi Celine berusaha mencari gara-gara denganku.”Axel menghela nafas. “Apakah begitu sulit bagimu untuk melupakan Bisma. Dia jelas-jelas berkhianat.”Laura memalingkan wajahnya. “Dia tidak bermaksud begitu, dia terpaksa melakukannya.”Axel ingin menjawab tetapi seseorang menemuinya dan membisikkan sesuatu di pangkal telinganya, Axel menganggukkan kepala, lalu mengibaskan tangannya untuk menyuruh seseorang tersebut pergi. “Nona Laura.”“Hhmm.”“Orang yang menusuk Devan kemarin su
Setibanya di sekolah, Devan masih memasang wajah masam karena rasa kesal di hatinya masih begitu kental. Bagaimana tidak kesal jika sebagai saudara laki-laki dirinya tidak dianggap bahkan untuk hal yang sangat besar, Tiara tidak memberitahunya tentang perjodohan yang dilakukan oleh sang bibi. Terkadang Devan berpikir apakah dirinya begitu tidak berarti untuk siapapun baik itu sebagai suami maupun sebagai Abang.“Mas, kamu masih marah?”“Apa Masmu ini berhak untuk marah?” nada suara itu terdengar sangat dingin.Tiara merangkul lengan Devan. “Jangan gitu, Mas. Tiara bukannya nggak mau ngasih tahu sama Mas tapi Mas aja baru pulang tadi malam kan.”Akhirnya Devan membalas pelukan tangan sang adik pada lengannya. Dia menggamit tangan sama adik. Tidak peduli berapa banyak pasang mata memperhatikan mereka. “Berjanjilah sama Mas, kedepannya kamu harus ceritain semuanya sama Mas.”Tiara tersenyum sembari menganggukkan kepalanya. “Janji.”Devan ikut tersenyum, tangannya terulur mengacak-acak ra
Sepanjang perjalanan menuju kantor, Laura maupun Devan sama-sama diam. Laura sibuk pada laptop di atas pahanya sedangkan Devan sesekali melirik. ‘Apa matanya gak perih sepanjang waktu menatap layar seperti itu?’ batin Devan di dalam hati. Namun, dia sadar untuk berada di puncak tertinggi seperti status Laura pasti ada harga yang harus dibayar.Ketika laju mobil telah berhenti di basement perusahaan, Devan turun lebih dulu dan mengucapkan terima kasih atas tumpangan yang telah diberikan Laura padanya, setelah itu Devan langsung bergegas masuk ke dalam gedung yang menjulang tinggi tersebut. Laura menyadari sikap Devan padanya, bocah itu kembali dingin seperti pertama kali mereka bertemu dulu. Laura termangu untuk beberapa saat karena memikirkan hal itu, tetapi bukankah seperti ini justru akan lebih baik dan membuat Laura merasa tenang, Ia pun bergegas turun dari mobil dan mulai melangkah menuju lobby. Di sana dia berselisih jalan dengan Devan yang sudah mulai aktif bekerja, keduanya sal