Usai menelpon orang yang dipercayakan untuk mengurus ayahnya di luar negeri, Laura berdiri di depan cermin dengan tatapan datar. Beberapa orang pembantu masuk ke dalam kamar. Mereka datang untuk mendandani Laura dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ya, setelah pulang dari kediaman Wiguna, Laura langsung mencari Devan, dia mulai mengajak suaminya itu berbicara empat mata. Setelah pembicaraan itu mereka berdua sepakat untuk mengadakan konferensi pers hari ini. Axel masuk ke dalam kamar, dia melangkah mendekati Laura. “Nona, kita berangkat sekarang?”“Huum. Dimana Devan?”“Dia ada di ruang tamu.”Laura membalik tubuhnya, lalu melangkah dengan anggun. Axel berusaha mensejajarkan langkah mereka. “Nona, aku sudah berusaha menekan segala informasi tentang Devan, tapi setelah kejadian ini dia pasti akan jadi bahan perhatian. Sulit untuknya tetap seperti biasa.”“Baiklah.”Laura sudah berdiri di depan Devan yang menatapnya dengan pandangan tidak bersemangat. Baru saja tadi malam dia merasaka
"Kenapa kalian menculiknya?" Laura tengah duduk tenang di atas sofa yang berhadapan langsung dengan tempat dimana pemuda yang tengah pingsan tersebut terbaring."Lah! bukannya Nona mewajibkan tetap membawa dia," ujar Axel."Tapi kenapa harus dibius seperti ini!" "Ya, karena dia tidak mau ikut.""Ini tidak benar," gumam Laura."Tidak benar apanya!" gerutu Axel merasa kesal. Bersusah payah dia membujuk pemuda yang tengah pingsan ini untuk ikut bersamanya agar mau menikah dengan Laura, tetapi pemuda ini menolaknya mentah-mentah. Mau tidak mau Axel dan beberapa orang anak buahnya mengambil tindakan ini."Aku yakin, jika kamu menjelaskan padanya secara rinci bahwa yang akan menikahinya itu adalah aku, pasti dia mau," ujar Laura dengan percaya diri. Dia selalu yakin dengan pesona yang Ia miliki. Ya, walaupun kepercayaan dirinya itu sempat hancur setelah dirinya dikhianati oleh mantan kekasihnya."Haisss!" Axel geleng-geleng kepala."Kamu menyepelekan aku!" eram Laura saat melihat reaksi
Wajah Devan tampak muram. Dia persis seperti robot kaku. Raganya seperti tidak memiliki nyawa. Sangat pasrah dengan apa yang tengah di lakukan perias pengantin pada dirinya.Terdengar suara hentakan dari hak sepatu beradu dengan kramik. Laura masuk ke ruangan di mana Devan tengah di persiapkan memakai baju pengantin pria. Gadis itu menatap dengan tatapan lurus. "Apa dia sudah siap?" tanyanya pada mua tanpa mengalihkan tatapannya pada punggung Devan.Devan melirik pada sumber datangnya suara. Menatap pada gadis yang telah memaksanya untuk menikah. Kata perempuan itu butuh dirinya menjadi suami hanya untuk enam bulan saja dan setelah itu dia akan di bebaskan dari ikatan pernikahan. Sebagai seorang remaja tentu saja hal ini membuat Devan menolak dengan tegas dan keras. Masa depannya masih panjang, ya kali harus menikah muda, terlebih lagi dengan seorang perempuan yang kelihatannnya jauh lebih dewasa di atas usianya. Devan akui Laura sangat cantik. Bahkan sangat, sangat cantik, tetapi
Keluar dari mobil, Devan menyapu pandangannya ke seluruh sudut halaman rumah yang berdiri mewah di depannya. Sebuah pemandangan yang sangat menakjubkan. Kemudian Devan mendongakkan kepala memperhatikan rumah kediaman istri yang baru saja Ia nikahi beberapa jam yang lalu. Hebat. Sungguh hebat. Devan tidak mengira perempuan itu sekaya ini.“Tuan, Devan,” tegur orang suruhan Laura yang membawa Devan ke rumah ini.“Oh.” Devan tersadarkan.“Ayo silakan masuk. Saya akan mengantar Tuan Devan sampai ke dalam kamar.”Devan menganggukkan kepala sembari mengikuti langkah laki-laki itu. Saat memasuki rumah, rasa takjub Devan semakin menjadi-jadi. Seketika jiwa miskinnya sangat meronta-ronta. Jangankan memiliki rumah semewah ini, untuk makan tiga kali sehari saja dia harus bekerja keras. Sampai akhirnya langkah kaki Devan berhenti di depan sebuah kamar.Laki-laki berpakaian hitam itu memutar handle pintu. “Silakan istirahat. Ini kamar Nona Laura. Tuan Devan akan tinggal di sini.”Devan mengangguk
Setelah terlelap seorang diri sepanjang malam, Devan terbangun pagi-pagi sekali. Dia meraih ponsel dari atas nakas. “Jam lima pagi. Ternyata dia tidak pulang. Ah, sangat menyebalkan.” suara khas orang yang baru bangun tidur. Terdengar berat dan jika diperhatikan dengan seksama agak-agak terdengar sexi.Menyibak selimut dan menjuntaikan kaki ke lantai, berdiri gontai dan malas, Devan mulai melangkah. Dia tidak berharap Laura pulang dan tidur bersamanya atau bahkan menghabiskan malam pertama dengan dirinya. Itu semua jauh dari dalam pikiran Devan. Dia kesal perempuan itu belum pulang dan itu artinya dia harus masih tertahan di rumah mewah ini. “Ahh! sial! Baju sekolahku,” racau Devan bersungut-sungut. Dia terus mengumpat kesal.Pandangannya memindai setiap sudut kamar sembari sesekali menguap mencari keberadaan handuk. Harus segera mandi kalau tidak ingin terlambat ke sekolah. Apapun ceritanya dia harus bergegas, andaipun Laura juga belum pulang, dia harus menyelinap keluar tanpa diketa
Usai memakai seragam sekolahnya, Devan menutup pintu dan mengunci rumah yang selama ini menjadi tempatnya berteduh dari hujan dan panas. Meskipun rumah itu kecil dan terlihat kuno, tetap saja dia merasa nyaman karena itu rumahnya dan dia tinggal disana bersama sang ayah.Memakai tas gendong ke punggung, lalu menumpu tangan pada bahu Daffa, Devan melebarkan langkah kaki dan duduk di belakang sahabatnya itu. “Pegang erat-erat,” Daffa memberikan peringatan sembari menarik gas motor yang mulai melaju kencang membelah jalanan.“Aziel gak bareng kita?”“Gue buru-buru setelah lu kirim pesan tadi. Lu ngapain pagi-pagi di sana?”Devan terdiam sejenak, bola matanya berputar karena otaknya tengah bekerja mencari alasan. “Ceritanya panjang,” hanya kalimat itu yang bisa terpikirkan. Mungkin jika nanti Daffa masih menanyakan tentang itu, Devan perlu memikirkan jawaban lain sekali lagi.Laju motor yang tengah dikendarai oleh Daffa akhirnya melewati gerbang sekolah dan berhenti di area parkir. Kedua
Usai mengganti baju seragam sekolahnya, Devan sudah rapi dengan baju kaos oblong yang dipadukan dengan hoodie serta celana jeans. Dia keluar dari rumah dan mengunci pintu. Melangkah dengan lebar menuju jalan Raya. Seharusnya saat ini dia ingin ke rumah sakit buat menjenguk sang ayah yang tengah terbaring tidak berdaya sebelum nanti dia berangkat pergi bekerja. Namun, ketidakberdayaan membuatnya harus memilih pergi pulang ke rumah Laura.Devan bergegas naik di atas motor Abang ojol yang tadi dia pesan dan mulai melaju menuju kediaman Laura. Setibanya di kawasan elit itu, Devan turun dari motor ojol. Melihat kehadiran Devan disana, security bergegas membuka gerbang. “Pak,” tegur security itu ramah.Devan membalas senyum security itu dengan perasaan canggung. “Panggil aku Devan aja Pak,” ujarnya, lalu mulai melangkah hingga tiba di depan pintu utama kediaman Arya Wiguna.Tresno menyusul. “Mas, sudah di tunggu Tuan besar sama Nona Laura.”Devan menganggukkan kepala sembari mengikuti langk
Setengah hari menghabiskan waktu di rumah sang istri membuat Devan merasa frustasi. Kini hari telah malam, Devan maupun Laura sudah sama-sama berada di dalam kamar yang sama tanpa obrolan ataupun sapaan. Laura duduk di atas ranjang ditemani oleh sebuah laptop dan beberapa berkas, gadis berusia 27 tahun itu tampak asyik sendiri dengan pekerjaannya. Dia terlihat sangat berwibawa persis seperti seorang pemimpin sejati. Sementara dengan Devan sendiri, laki-laki muda itu tengah duduk seorang diri di atas sofa dengan ponsel di tangannya berbalas pesan di grup WA yang beranggotakan hanya tiga orang. Siapa lagi kalau bukan Devan Aziel dan Daffa.“Dev, lu udah pulang kerja?” Aziel.Devan keceplosan. “Aku nggak kerja.”“Lah! Terus sekarang lu gi di rumah?” Daffa.“Emm. Aku salah ketik. Maksudnya masih di tempat kerja,” Devan.“Yahhh! Udah jam segini masih di tempat kerja. Padahal gue mau ngajak kalian keluar. Pusing gue di rumah,” Aziel.“Eh, barusan Gue chat sama Kara, katanya dia lagi sama Na
Usai menelpon orang yang dipercayakan untuk mengurus ayahnya di luar negeri, Laura berdiri di depan cermin dengan tatapan datar. Beberapa orang pembantu masuk ke dalam kamar. Mereka datang untuk mendandani Laura dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ya, setelah pulang dari kediaman Wiguna, Laura langsung mencari Devan, dia mulai mengajak suaminya itu berbicara empat mata. Setelah pembicaraan itu mereka berdua sepakat untuk mengadakan konferensi pers hari ini. Axel masuk ke dalam kamar, dia melangkah mendekati Laura. “Nona, kita berangkat sekarang?”“Huum. Dimana Devan?”“Dia ada di ruang tamu.”Laura membalik tubuhnya, lalu melangkah dengan anggun. Axel berusaha mensejajarkan langkah mereka. “Nona, aku sudah berusaha menekan segala informasi tentang Devan, tapi setelah kejadian ini dia pasti akan jadi bahan perhatian. Sulit untuknya tetap seperti biasa.”“Baiklah.”Laura sudah berdiri di depan Devan yang menatapnya dengan pandangan tidak bersemangat. Baru saja tadi malam dia merasaka
Nada dering ponsel terdengar begitu berisik memenuhi ruangan kamar hotel membuat mimpi indah Laura terganggu. Dia membuka mata sembari meliuk dan meraih ponsel itu. Dia memposisikan tubuhnya terlentang sembari menatap layar ponsel pada genggaman tangannya, tetapi suara gumaman Devan yang tengah meliuk memutar tubuh ke arah dirinya membuat Laura tersentak kaget. Tiba-tiba pipinya merona merah tersipu malu. Dia memperhatikan wajah Devan yang tengah terlelap dalam wajah damai. Tidak sengaja bibirnya tertarik membentuk lengkungan indah saat menikmati wajah tampan itu. Tidak bisa mengendalikan diri, tangan bergerak begitu saja menyentuh bibir yang membuatnya tergila-gila hingga membuat Devan bergerak, Laura bergegas menarik tangannya, lalu mengubah posisi tubuh terlentang seperti semula.“Mbak, kamu sudah bangun?”“Hmmm.”Devan miring ke arah Laura. “Lagi yuk, Mbak.”Sontak Laura melirik pada suaminya dengan tatapan melotot. “Bicara yang sopan!” cercanya dalam debaran jantung tidak mene
“Mas, ayo kita samperin Mbak Laura.”“Kita cari tempat makan lain aja.” Devan memutar tubuhnya dan itu membuat Tiara kebingungan serta serba salah. Untuk beberapa menit dia menatap kakak iparnya bangkit dari duduk dengan pandangan mata tertuju pada Devan yang sudah mendorong pintu sembari keluar, di saat itulah Tiara berlari mengejar saudara laki-lakinya itu. “Mas!” dadanya turun naik karena berusaha mengatur nafas yang ngos-ngosan. Devan mengulurkan helm. “Cepat pakai.”Tiara hanya bisa pasrah dan meraih helm tersebut. Dia tidak mengerti mengapa Devan begitu tampak marah ketika melihat kakak iparnya dengan laki-laki lain, menurut pemikiran Tiara bukankah seharusnya hal seperti ini tidak perlu terlalu di perhitungkan karena bisa jadi laki-laki itu adalah klien atau semacamnya jika mengingat status sosial kakak iparnya tidak sederhana seperti mereka berdua. Namun, begitu Tiara tetap duduk di belakang Devan dalam diam dan mereka mulai melaju.Sementara itu, Bisma yang melihat reaksi tid
Tiara berlarian menghambur memeluk Devan, sedangkan Daffa tetap duduk di atas motor sport sembari memandangi gadis pujaannya tengah melepaskan rindu dengan sahabat baiknya. Arya yang duduk di sebelah menantunya itu sampai mengernyitkan dahi, bingung kenapa ada gadis lain memeluk suami putrinya.Devan berusaha melerai pelukan adiknya itu. “Tiara, jangan kenceng-kenceng dong meluknya, ini Mas sampai nggak bisa nafas.”Tiara bergegas melepaskan pelukan dari tubuh masnya itu sembari cengengesan. “Hehehe,” lalu ekspresi itu cepat berubah berganti marah-marah. “Mas kenapa nggak ada kasih kabar! Mas tahu nggak kalau Tiara khawatir banget! Gak mikir gimana takutnya Tiara kalau sampai terjadi apa-apa sama Mas seperti waktu itu.”Melihat kecemasan yang dipunyai adiknya membuat Devan merasa bersalah, bukan maksud hatinya untuk membuat sang adik merasa khawatir teramat sangat seperti ini, semua karena pekerjaannya yang tidak berkesudahan sedangkan ponselnya jatuh di dalam timba sabun saat memberi
Jam istirahat, Tiara melangkah menuju kelas XII IPS, dia ingin mencari keberadaan Devan yang sedari pagi tidak tampak batang hidungnya sama sekali. Bukan hanya pagi ini, bahkan dari kemarin mas nya itu tidak ada kabar ataupun pulang ke rumah orang tua mereka sekedar untuk bertanya kabar tentang dirinya. Namun, sentuhan tangan seseorang membuat Tiara memutar kepala, ketika dia tahu orang yang menyentuh bahunya tersebut adalah laki-laki yang paling tidak ingin ia lihat membuat wajahnya cemberut.“Mau cari Devan,” tanya Daffa sembari memamerkan senyumnya, tetapi Tiara malah merespon dengan wajah jutek. “Jangan ganggu aku!”Daffa melangkah dan berdiri di hadapan adik perempuan sahabatnya itu. “Galak amat sih adik manis.” Tangan Daffa terulur ingin menyentuh dagu Tiara tetapi gadis itu bergegas menepisnya kasar. “Lama kelamaan kamu gak sopan ya.” Mata Tiara melotot dengan aura tidak senang. Bukannya tersinggung, Daffa malah tertawa seperti orang yang sedang menikmati permainan menyenangkan
“Susah banget sih ngomong sama bocah abg! dikit-dikit marah, dikit-dikit tersinggung. Lama kelamaan dia udah kayak cewek gak sih!” Laura amat sangat kesal dengan sikap datar Devan padanya. Bahkan suami brondongnya itu berani mengacuhkan dirinya begitu saja hanya karena bocah itu menganggap ucapannya di kantor tadi menyakiti. Sebagai seorang yang tidak pernah berpikir keras bagaimana cara mengerti perasaan seorang laki-laki, kini Laura melakukan hal itu. Dia pusing memikirkan apa yang menyebabkan suami brondongnya tersinggung sedangkan ucapan yang dia katakan semua merupakan fakta, lalu di bagian mana yang telah membuat tersinggung?“Gini amat nikah sama bocah!” Laura berbaring sembari menarik selimut dan menutupi sebagian tubuhnya. Perlahan ingin menutup mata, tetapi urung setelah melihat sosok Devan keluar dari kamar mandi. Dada Laura kembang kempis menahan sesak ketika melihat dada telanjang suaminya itu. Matanya bergerak sendiri menikmati keindahan yang tengah tersungguh. Air dari
“Maaf,” cicit Devan dengan nada datar. Dia kembali ingin menutup pintu ruangan tersebut tetapi Laura menahannya. “Masuklah!” Mau tidak mau Devan menganggukkan kepala sembari melangkahkan kaki dan berdiri di hadapan istrinya itu. Laura menatap Axel dan mengangkat dagunya sebagai isyarat agar laki-laki itu keluar dari ruangannya. Axel yang paham langsung undur diri.“Ada apa?” tanya Laura. Devan bergegas mengulurkan berkas, menaruhnya di atas meja. “Aku disuruh mengantar ini sama Mbak.”Laura menatap berkas itu sesaat, lalu kembali menatap pada suaminya. “Lain kali jangan mau di suruh-suruh seperti ini lagi.” Devan tertawa lirih. “Apa aku bisa menolak dengan posisiku di perusahaan ini.”Laura tercenung. Benar yang dikatakan oleh suaminya, laki-laki itu hanya seorang office boy yang pasti akan menjadi pesuruh siapa saja. Suami seorang Presdir jadi pesuruh siapapun di perusahan apakah itu pantas? Laura menghela nafas panjang, dan berpikir ini tidak boleh dibiarkan. Selama Devan menyandan
Sudah hampir 3 menit Laura hanya memandangi suaminya yang tengah berdiri tanpa suara. “Kenapa kamu melakukan itu?” akhirnya Laura mengeluarkan suara membuat Devan yang menundukkan kepala mengangkat wajahnya menatap sang istri. “Dia berbohong,” ujar Devan. “Dia yang memaki-maki dengan kata-kata kasar dan menamparku, dia memutar balikan fakta bahkan meskipun begitu aku tetap meminta maaf padanya.”“Yang aku tanyakan tentang USB itu,” nada bicara Laura terdengar dingin.“Aku tidak sengaja melakukannya.” Devan berpaling.“Kamu pikir Nona Laura orang bodoh!” Axel yang kesal ikut menghardik suami Nona mudanya itu. “Siapapun tahu kamu melakukannya dengan sengaja.”Devan menatap Axel dengan tatapan tajam, sedikitpun tidak ada rasa takut di dalam tatapannya itu. “Aku bilang! aku nggak sengaja.”Axel menggeram geram. “Kamu!”“Axel!” Laura berusaha menghentikan. “Kamu keluarlah.”“Tapi Nona Laura.”“Keluar Axel.”Akhirnya Axel hanya bisa menganggukkan kepala. “Baiklah.” Dia melangkah melewati D
Sepanjang perjalanan menuju kantor, Laura maupun Devan sama-sama diam. Laura sibuk pada laptop di atas pahanya sedangkan Devan sesekali melirik. ‘Apa matanya gak perih sepanjang waktu menatap layar seperti itu?’ batin Devan di dalam hati. Namun, dia sadar untuk berada di puncak tertinggi seperti status Laura pasti ada harga yang harus dibayar.Ketika laju mobil telah berhenti di basement perusahaan, Devan turun lebih dulu dan mengucapkan terima kasih atas tumpangan yang telah diberikan Laura padanya, setelah itu Devan langsung bergegas masuk ke dalam gedung yang menjulang tinggi tersebut. Laura menyadari sikap Devan padanya, bocah itu kembali dingin seperti pertama kali mereka bertemu dulu. Laura termangu untuk beberapa saat karena memikirkan hal itu, tetapi bukankah seperti ini justru akan lebih baik dan membuat Laura merasa tenang, Ia pun bergegas turun dari mobil dan mulai melangkah menuju lobby. Di sana dia berselisih jalan dengan Devan yang sudah mulai aktif bekerja, keduanya sal