Setengah hari menghabiskan waktu di rumah sang istri membuat Devan merasa frustasi. Kini hari telah malam, Devan maupun Laura sudah sama-sama berada di dalam kamar yang sama tanpa obrolan ataupun sapaan. Laura duduk di atas ranjang ditemani oleh sebuah laptop dan beberapa berkas, gadis berusia 27 tahun itu tampak asyik sendiri dengan pekerjaannya. Dia terlihat sangat berwibawa persis seperti seorang pemimpin sejati. Sementara dengan Devan sendiri, laki-laki muda itu tengah duduk seorang diri di atas sofa dengan ponsel di tangannya berbalas pesan di grup WA yang beranggotakan hanya tiga orang. Siapa lagi kalau bukan Devan Aziel dan Daffa.
“Dev, lu udah pulang kerja?” Aziel.Devan keceplosan. “Aku nggak kerja.”“Lah! Terus sekarang lu gi di rumah?” Daffa.“Emm. Aku salah ketik. Maksudnya masih di tempat kerja,” Devan.“Yahhh! Udah jam segini masih di tempat kerja. Padahal gue mau ngajak kalian keluar. Pusing gue di rumah,” Aziel.“Eh, barusan Gue chat sama Kara, katanya dia lagi sama Naina sedang di cafe koi. Lu nggak pengen Dev, kita nyamperin mereka?” Daffa.“Anjir! Mau ngapain Kita nyamperin mereka!” Aziel.“Lu gak tau, Ziel? Brother kita sedang suka sama seseorang. Guehehehe.”Devan berhenti mengetik pesan balasan. Dia tampak tengah berpikir, lalu menoleh kepala melirik pada Laura. Ada perasaan masih tidak percaya dengan apa yang terjadi bahwa kenyataan dirinya telah menjadi seorang suami di usia sangat muda bahkan masih sekolah, jangankan untuk menafkahi anak orang lain sedangkan untuk menafkahi dirinya sendiri dia harus membanting tulang. Namun, entah dia harus merasa beruntung karena istri yang dinikahinya seorang perempuan kaya raya, rumah saja seperti istana, sedangkan orangnya seperti jelmaan putri raja atau haruskah dia merasa sial karena telah terjebak dalam pernikahan ini yang terasa sangat konyol saat memikirkan usianya sekarang ini. Terlebih lagi dia merasa sangat canggung berada dalam satu ruangan bersama perempuan asing walaupun perempuan itu telah sah menjadi istrinya. “Eemm,” Devan mulai angkat bicara. Namun, tampaknya Laura terlalu tenggelam dalam pekerjaan sampai dia tidak sadar dengan suara laki-laki yang sudah berstatus suaminya itu hingga membuat Devan merasa terabaikan.“Mbak!” panggil Devan dengan nada besar. Laura terlonjak kaget, mengangkat kepala dan menatap pada arah datangnya suara. Seketika atensinya tersadarkan dari kenyataan bahwa dirinya tidak lagi sendirian di dalam kamar ini, tetapi ada suami yang tengah duduk menatapnya dengan tatapan kesal.“Aku mau keluar.”Laura menatap datar. “Kemana?”Raut wajah Devan masam. “Harus tau ya kemana aku harus pergi? Apa itu penting buat, Mbak!”Seketika Laura tertawa lucu atas pertanyaan laki-laki di hadapannya itu. Seolah-olah dia bertingkah laku seperti istri sungguhan yang tengah menanyai kepergian suaminya karena kepedulian. Apa dirinya terlihat seperti itu dimata laki-laki di hadapannya ini pikir Laura merasa sangat lucu. Laura kembali melirik pada Devan dan tawanya kembali pecah. Tawa yang syarat akan ejekan dan auranya penuh dengan keangkuhan. Ah! Yang benar saja! Dia seorang Dewi yang penuh dengan keagungan dan kemuliaan. Apa dirinya akan mudah menatap orang dengan rasa kepedulian terlebih lagi laki-laki yang baru Ia kenal, sangat tidak masuk akal.“Apa kamu pikir aku peduli?”Devan yang sejak tadi sudah panas hati atas tingkah laku Laura yang seolah merendahkan dirinya menatap dingin pada istrinya itu. “Baiklah, terserah. Anggap saja aku sudah menjual diriku padamu jadi terserah gimana kamu akan memperlakukan aku. Aku pikir waktu enam bulan tidak akan stuck di tempat. Waktu pasti akan berlalu.”Wajah Laura terlihat sangat konyol ketika menatap suaminya itu. “What? Kamu bilang apa barusan? Kamu menjual diri sama aku? Kamu pikir aku tante-tante girang! Astaga!” Laura terlihat jingkrak-jingkrakan tidak bisa tenang, dia tidak tahu harus bagaimana cara mengekspresikan diri atas rasa kesalnya terhadap ucapan Devan barusan. Jelas itu menjatuhkan harga dirinya.Devan bangkit dari duduknya. Meraih Hoodie sweater berwarna putih, lalu berjalan menuju pintu.“Kamu mau kemana?”Devan menarik nafas dalam-dalam, dia memutar tubuh ke arah belakang. Kesal, marah bercampur aduk, entah apa mau istrinya itu.“Kamu nggak usah salah paham,” Laura mencoba menjelaskan. “Aku bertanya bukan karena aku peduli dengan urusanmu. Aku masih ingat dengan kesepakatan kita. Masalahnya Papa sekarang sedang dalam fase terendah dalam kesehatannya, Aku berharap kamu mau bekerja sama. Tolong jangan pergi ke mana-mana untuk saat ini.”Laura tampak menahan nafas.Devan menatap wajah Laura dengan tatapan datar, lalu kembali ke atas sofa dengan melempar hoodinya.Laura tahu suaminya itu marah, tetapi dia lebih peduli dengan kesehatan ayahnya. Laura menjuntaikan kaki di lantai, dia berdiri lurus, lalu melangkah menuju meja sembari menenteng laptop dan beberapa berkas. Setelah semua dia taruh di atas sana, Laura meraih handuk beserta baju ganti dan melenggang masuk ke dalam kamar mandi. Saat akan melebarkan tirai saat itu pula sekelebat bayangan tentang Devan mandi menggerogoti isi dalam kepala Laura hingga membuatnya meremang dan merinding. Bisa-bisanya dia teringat tentang hal memalukan itu, padahal dirinya bukanlah seorang perempuan cabul.“Aku nggak bisa keluar,” Devan mengetik pesan di grup WA.“Lu ada masalah, Dev? Cerita sama kita,” Daffa.“Yup. Gue mikir akhir akhir ini lu berubah. Apa ada hal yang lu sembunyiin dari kita berdua?” Aziel.“Gak. Aman. Kalian berdua gak usah khawatir,” Devan. Kemudian dia menyimpan ponselnya. Walaupun keinginan untuk melihat sang pujaan hati terasa besar di dalam hasratnya, tetapi Devan berusaha untuk profesional, terlebih lagi dia juga menghormati Arya Wiguna yang baik dan tulus sebagai ayah mertua sementaranya. Devan jadi berpikir kenapa Arya dan Laura terlihat sangat bertolak belakang. Laura terlihat seperti iblis cantik yang angkuh dan tinggi tidak tersentuh. Di dalam pikiran seperti itu tampak Laura keluar dari kamar mandi. Rambutnya basah terurai, baju pendek tanpa lengan dipadu dengan celana pendek sepaha membuat Devan panas meriang. Jakunnya bergerak-gerak menelan air ludahnya sendiri. Wajar bukan? Dia laki-laki baligh dan berakal sehat juga memiliki nafsu seksualitas berada dalam satu kamar yang sama dengan perempuan yang berpakaian minim tentu membuatnya oleng. Meskipun masih berusia 18 tahun dia sudah bisa membedakan tentang aurat perempuan yang membuat degup jantung tidak beraturan. Devan memutar tubuhnya ke arah dinding dan membelakangi Laura sembari memaki-maki gadis yang cukup berumur itu hanya berani di dalam hati.Laura mengeringkan rambutnya menggunakan hairdryer sembari menatap punggung Devan. “Kamu mau tetap duduk jadi patung di sana?”Devan membisu. Dirinya dianggap seperti hantu yang tak kasat mata hingga perempuan itu bertindak sesuka hati saja.“Kalau kamu ingin tidur, tidurlah di atas ranjang.”Mendengar ucapan Laura membuat Devan semakin bergejolak.“Kamu jangan berpikir yang aneh-aneh. Aku hanya tidak ingin membuat kamu tidak nyaman berada di rumah ini. Aku bisa berbagi tempat tidur denganmu menggunakan pembatas.”Devan bangkit dari duduknya dan melangkah menuju ranjang. Dia langsung berbaring di sana hingga membuat Laura termangu menatap pada suaminya itu.“Tidak punya tahu malu!” kutuk Laura di dalam hati. Memang dia yang menawarkan tetapi menurut Laura setidaknya ada basi basi atau apalah namanya.Devan menggeliat seiring dengan kelopak matanya yang mulai terbuka. Namun, alangkah terkejutnya dia saat melihat Laura ada di dalam pelukannya. Bantal pembatas antara mereka berdua sudah terbang entah kemana. Degup jantung pun memompa tidak beraturan. Kelelakiannya menegang begitu saja.Tiba-tiba, Laura membuka mata.Plak!!Satu tamparan keras mendarat di pipi Devan hingga membuat laki-laki itu meringis dan menjauh dari tubuh istrinya. Dia langsung bergegas duduk dan menatap Laura dengan tatapan kesal. Begitu juga Laura yang ikut bergegas duduk. Laura benar-benar lupa jika telah bersuami. Saat membuka mata dan melihat wajah Devan begitu dekat dengan wajahnya membuat tangan Laura reflek menampar laki-laki itu.“Maaf, aku gak sengaja.”“Nggak jelas banget sih Mbak! KDRT tahu nggak!” Devan bergegas turun dari atas ranjang.Laura melebarkan kelopak mata. Sudut hatinya terasa mendidih mendengar panggilan sang suami pada dirinya. Padahal Laura berpikir wajahnya tidak terlihat setua itu. Ini
Kedatangan Laura di kantor HRD membuat seluruh karyawan bangkit dari duduk dan membungkuk memberi hormat. “Bu Laura,” suara yang terdengar sangat sungkan penuh rasa hormat.“Ehem!” Wajah datar dan dingin, Laura berdehem. “Karyawan atas nama Devan Abimanyu kenapa kamu menerimanya bekerja?” Aura wajah yang penuh kharismatik membuat kepala HRD sungkan menatap. Tangan yang saling bertautan, kepala yang sedikit menunduk penuh rasa hormat. “Pak Arya Wiguna yang merekomendasinya secara langsung, kami tidak bisa menolak.”Awal Devan masuk ke perusahaan membuat kepala HRD dan beberapa orang karyawan merasa penasaran tentang hubungan Devan dengan sang pemilik perusahaan. Laki-laki itu memiliki koneksi yang cukup kuat dan merupakan orang yang paling berpengaruh nomor satu di perusahaan. Ya, walaupun posisi Devan hanyalah seorang office boy tetap saja membuat mereka penasaran.Laura mengernyitkan dahi. Isi dalam kepalanya penuh dengan banyak tanya. Sekarang dia sudah tahu Devan diterima di peru
Beberapa orang karyawan yang sempat menyaksikan kejadian langka itu cukup tercengang melihat tingkah laku Laura yang tidak seperti biasanya. Seorang perempuan yang begitu disegani di perusahaan ini bertingkah laku sangat konyol. Berjalan terseok-seok sembari menutup wajah seperti seorang pencuri yang takut ketahuan. “Nona, ada apa?” Axel mengikuti langkah Laura dengan penuh rasa prihatin yang mendalam.“Wahh! ini pemandangan yang sangat menakjubkan,” tutur salah seorang karyawan dengan pandangan yang tidak lepas dari tingkah laku konyol Laura.“Apa dunia akan segera kiamat. Bos angkuh kita terlihat aneh hari ini.”“Nona, Laura, apa Anda baik-baik aja? sepertinya kaki Anda terkilir,” kata Axel mencoba memastikan.Laura masuk di kantor eksekutif dan menyandar pada dinding. Melihat kedatangan Laura membuat kepala eksekutif berdiri dan membungkuk memberi hormat. “Nona Laura,” tegurnya.Wajah Laura kembali ke setelan pabrik, Dia terlihat dingin dan datar. “Sepertinya kakiku terkilir, Ax
Aziel melempar baju hoodie dan celana jeans pada Devan yang refleks langsung menyambut. Dia menatap Aziel sembari memeluk hoodie dan celana jeans di dada bidangnya. “Celana sama baju kamu udah terlalu banyak aku warisi Ziel.”“Lantas nggak akan membuat gue kekurangan pakaian. Pakai itu cepat! Gue nungguin lu di luar.” Aziel melangkah keluar dari dalam kamarnya.“Den Aziel mau ke mana?” tanya seorang pembantu. Meskipun hanya seorang pembantu tetapi dia bukan pembantu biasa, Dia memiliki arti lebih buat Aziel, karena wanita tua itu yang mengasuhnya sejak kecil. Aziel menghentikan langkah. “Mbok. Ehehe. Aziel ada keperluan di luar sebentar.”“Tapi Den, Nyonya barusan nelpon katanya Aden Aziel jangan ke mana-mana.”“Biarin aja Mama ngomong kayak gitu. Selama ini Mama cuman ngomong doang nggak pernah punya waktu buat Aziel kan.”“Tapi Bibik khawatir sama Aden. Jangan bilang Aden mau balapan lagi.” wajah tua itu terlihat sangat khawatir.Aziel menatap Devan yang baru saja keluar dari dalam
“Hei, kau mau apa!” Laura benar-benar panik dengan tubuh yang menegang.Devan berhenti tepat di depan wajah istrinya itu. Tatapannya lurus dan datar. “Lain kali jangan pernah katakan Aku bocah lagi atau aku benar-benar akan menitipkan satu bocah di dalam rahimmu!” suara itu terdengar begitu dingin, kemudian Devan menjauhkan dirinya sembari berbaring dengan posisi tubuh yang terlentang menghadap pada langit-langit kamar seolah baru saja tidak pernah terjadi apapun. Namun, berbeda halnya dengan Laura, dia terperangah, masih merasa tidak percaya atas apa yang baru saja dia dengar. Walaupun Devan suami sahnya dan berhak meminta tubuhnya, tetap saja setelah mengingat tentang usia suaminya itu membuat Laura merasa kurang nyaman, dia bahkan merasa seperti sedang dilecehkan anak di bawah umur. Astaga! Mengingat itu membuat Laura merasa gila. Dia menatap suaminya yang mulai menutup mata dengan pikiran yang tidak percaya atas tingkah laku Devan barusan. Tingkah laku Devan tidak mencerminkan se
Naina bersorak saat Devan berhasil memasukkan bola basket ke dalam ring. Pun begitu juga dengan gadis-gadis remaja yang berada di sekitar lapangan basket tersebut. Devan membuka bajunya yang penuh dengan keringat sehingga membuat suasana semakin riuh dan histeris pekik menggema. Bagaimana bisa remaja-remaja Putri di SMA taruna tidak histeris ketika menyaksikan body sexy Devan. Bahkan beberapa orang merasa gila memikirkan halu mereka masing-masing, sayangnya hanya satu, Devan bukanlah berasal dari keluarga kaya seperti teman yang lainnya. Devan melangkah ke tepi lapangan basket, Naina menghampirinya dan mengulurkan sebotol air minum mineral. Devan menatap kedalam manik milik gadis itu yang sedang tersipu malu.“Buat kamu,” ujar Naina. Devan meraih botol mineral itu. “Makasih.”Naina menganggukkan kepala. Daffa ikut menghampiri mereka, nafas laki-laki itu tampak ngos-ngosan. “Cuma buat Devan doang? Punyaku nggak ada?”“Hehehe, air minumnya cuma satu.”“Ya ya ya, baiklah. Bilang aja itu
Kaki panjang Devan berselonjor dengan punggung menyandar acuh pada kursi yang tengah didudukinya, terkesan seperti tengah bermalas-malasan dan duduk dengan posisi yang tidak sopan. Rekan bisnis Laura menatapnya dengan tatapan menilai pun tidak ia pedulikan sampai Axel menyenggol kakinya, Devan mengangkat kepala menatap Axel yang menatap tajam.Laura tersenyum canggung pada rekan bisnisnya. “Hmm, aku rasa perbincangan kita hari ini cukup, mari lain kali kita bicarakan lagi.”Laki-laki di hadapan Laura bangkit dari duduknya, dia mengulurkan tangan, Laura bergegas bangkit dan menyambut uluran tangan itu. Setelah kepergian orang tersebut Axel menarik kerah baju Devan dengan kasar. “Apa orang tuamu nggak pernah mengajarkan sopan santun, hah!”Seketika rahang Devan mengeras. Seburuk apapun dirinya dihina dan direndahkan tidak akan membuatnya membalas dengan begitu mudah, tetapi jika kedua orang tuanya di bawa sebagai alasan untuk merendahkan dirinya, Devan tidak akan pernah terima hal itu
Laura menatap kantong plastik yang diulurkan Devan padanya, lalu mendongak menatap pada Devan. “Apa ini?”“Tadi mau minta tolong dibelikan koyo dan teman-temannya juga.”“Bukannya kamu pergi berkencan?”Ketika Devan keluar dari kamar beberapa menit yang lalu, Laura mengira suaminya itu jadi pergi bersama teman-temannya menonton film di bioskop, dia sangat tidak menyangka jika Devan lebih memilih tinggal dan membantunya membelikan barang-barang yang ia butuhkan.“Ck,” Devan berdecak, ia keluar dari kamar. Laura bergegas berdiri dan masuk ke kamar mandi untuk mengganti celananya.“Devan,” tegur Arya.Devan yang hendak ke dapur itu menghentikan langkah.“Eh, Pak.”“Panggil Papa.”“Papa,” Devan berucap dengan nada canggung.“Duduk dulu sini.”Devan menghampiri Ayah mertuanya itu. “Pekerjaanmu gimana? lancar?”Tangan saling bertautan satu sama lain di antara sela-sela paha, Devan menganggukkan kepala. “Lancar.”“Di perusahaan, apa kamu dan Laura sudah pernah bertemu satu sama lain?”Deva