Naina bersorak saat Devan berhasil memasukkan bola basket ke dalam ring. Pun begitu juga dengan gadis-gadis remaja yang berada di sekitar lapangan basket tersebut. Devan membuka bajunya yang penuh dengan keringat sehingga membuat suasana semakin riuh dan histeris pekik menggema. Bagaimana bisa remaja-remaja Putri di SMA taruna tidak histeris ketika menyaksikan body sexy Devan. Bahkan beberapa orang merasa gila memikirkan halu mereka masing-masing, sayangnya hanya satu, Devan bukanlah berasal dari keluarga kaya seperti teman yang lainnya. Devan melangkah ke tepi lapangan basket, Naina menghampirinya dan mengulurkan sebotol air minum mineral. Devan menatap kedalam manik milik gadis itu yang sedang tersipu malu.“Buat kamu,” ujar Naina. Devan meraih botol mineral itu. “Makasih.”Naina menganggukkan kepala. Daffa ikut menghampiri mereka, nafas laki-laki itu tampak ngos-ngosan. “Cuma buat Devan doang? Punyaku nggak ada?”“Hehehe, air minumnya cuma satu.”“Ya ya ya, baiklah. Bilang aja itu
Kaki panjang Devan berselonjor dengan punggung menyandar acuh pada kursi yang tengah didudukinya, terkesan seperti tengah bermalas-malasan dan duduk dengan posisi yang tidak sopan. Rekan bisnis Laura menatapnya dengan tatapan menilai pun tidak ia pedulikan sampai Axel menyenggol kakinya, Devan mengangkat kepala menatap Axel yang menatap tajam.Laura tersenyum canggung pada rekan bisnisnya. “Hmm, aku rasa perbincangan kita hari ini cukup, mari lain kali kita bicarakan lagi.”Laki-laki di hadapan Laura bangkit dari duduknya, dia mengulurkan tangan, Laura bergegas bangkit dan menyambut uluran tangan itu. Setelah kepergian orang tersebut Axel menarik kerah baju Devan dengan kasar. “Apa orang tuamu nggak pernah mengajarkan sopan santun, hah!”Seketika rahang Devan mengeras. Seburuk apapun dirinya dihina dan direndahkan tidak akan membuatnya membalas dengan begitu mudah, tetapi jika kedua orang tuanya di bawa sebagai alasan untuk merendahkan dirinya, Devan tidak akan pernah terima hal itu
Laura menatap kantong plastik yang diulurkan Devan padanya, lalu mendongak menatap pada Devan. “Apa ini?”“Tadi mau minta tolong dibelikan koyo dan teman-temannya juga.”“Bukannya kamu pergi berkencan?”Ketika Devan keluar dari kamar beberapa menit yang lalu, Laura mengira suaminya itu jadi pergi bersama teman-temannya menonton film di bioskop, dia sangat tidak menyangka jika Devan lebih memilih tinggal dan membantunya membelikan barang-barang yang ia butuhkan.“Ck,” Devan berdecak, ia keluar dari kamar. Laura bergegas berdiri dan masuk ke kamar mandi untuk mengganti celananya.“Devan,” tegur Arya.Devan yang hendak ke dapur itu menghentikan langkah.“Eh, Pak.”“Panggil Papa.”“Papa,” Devan berucap dengan nada canggung.“Duduk dulu sini.”Devan menghampiri Ayah mertuanya itu. “Pekerjaanmu gimana? lancar?”Tangan saling bertautan satu sama lain di antara sela-sela paha, Devan menganggukkan kepala. “Lancar.”“Di perusahaan, apa kamu dan Laura sudah pernah bertemu satu sama lain?”Deva
Di sepanjang jalannya rapat siang ini Laura tampak lebih banyak termenung. Axel yang duduk bersisian dengan gadis angkuh itu beberapa kali menyenggol bahunya. “Oh, gimana?” respon Laura. Wajahnya benar-benar terlihat sangat konyol, seperti orang yang baru bangun dari mimpi panjang. Semua orang yang hadir di ruangan rapat itu terheran-heran mendapati Laura seperti itu, sebab selama ini mereka mengenal Laura sebagai sosok yang tegas, keras dan selalu serius dalam hal apapun. Bahkan mereka bisa memastikan jika Laura tidak pernah merasakan gangguan mood atau semacamnya. Siang ini benar-benar sisi Laura yang lain yang membuat mereka penasaran.“Lanjutkan,” ujar Axel pada seseorang yang tengah memberikan presentasi di depan. Orang itu pun menganggukkan kepalanya.“Parfum dengan merek baru yang baru saja kita produksi dengan mengedepankan ciri khas bau buah yang lembut dan penuh gairah akan siap diluncurkan di pasaran menggunakan iklan dari perusahaan picture style.”Laura menautkan jari j
Tatapan dingin Laura tertuju pada Devan.“Pihak rumah sakit menelpon, ayahmu bangun dari tidur panjangnya.”Linglung seperti orang kehilangan arah untuk beberapa saat, tetapi setelah itu Devan berlari.“Eh! Eh!” Laura terkejut menatap punggung suaminya yang tengah berlari seperti orang gila. “Axel.”“Iya, Nona.”Mereka meninggalkan Naina seorang diri di sana, menyusul Devan dan membunyikan klakson dan berhenti tepat di sisi Devan.“Masuk!”Tidak banyak bicara, Devan bergegas masuk ke dalam mobil. Beberapa saat kemudian mereka tiba di rumah sakit, Devan kembali berlari menemui ayahnya.Devan berusaha mengontrol nafasnya yang terengah-engah.“Ayah,” lirihnya. Bola matanya berkaca-kaca. Rasa syukur yang tiada terhingga memenuhi rongga di dalam dada Devan. Laki-laki tua yang terlihat ringkih itu membalas menatap.“Devan.”Kaca-kaca bening yang mengkristal di dalam bola mata Devan akhirnya pecah dan jatuh membasahi pipi, dia mengangguk. “Iya, Ayah.”“Maafin Ayah udah nyusahin kamu,” suara
Malam sudah larut, suara jangkrik bersahutan memekakkan pendengaran. Devan berdiri di depan jendela kamar menatap pada langit malam yang tengah mendung. Hatinya seperti ruang kosong yang hampa, tatapan matanya pun nanar.Mendesah beberapa kali dengan helaan nafas panjang. Hidupnya seperti terombang-ambing dan tidak memiliki tujuan. Dia rela menjual dirinya, merendahkan harga dirinya hanya demi uang agar sang ayah bisa berobat dan bisa pulih seperti sedia kala, siapa yang mengira usahanya hanyalah sebuah kesia-siaan. Ayahnya tetap pergi untuk selama-lamanya. Sekarang dia hanya punya adik yang harus ia jaga dan harus dia jadikan orang berguna.Sedangkan di sisi ranjang tua berbahan kayu, Laura tampak gelisah membolak-balikkan posisi tubuhnya. Letih ke kiri putar ke kanan, embun malam yang di sapu angin masuk ke dalam kamar sangat berbeda dari rasa dingin AC di ruangan kamar Laura. Rasa dingin ini sangat ngilu. Tadinya Laura ingin pulang, tetapi entah mengapa pikirannya tidak tenang, lal
Seketika Laura membeku, isi di dalam kepalanya blank. Devan memperhatikan wajah istrinya itu dengan ujung bibir yang tertarik. Memiringkan kepalanya, lalu mengecup bibir lembut yang membuatnya merasa candu. Tidak ada penolakan seperti pertama kali waktu itu. Laura terkesan seperti membiarkan hingga membuat Devan semakin berani. Awalnya hanya mengecup, kini perlahan bergerak menari di sana dengan kelopak mata tertutup seolah menikmati. Untuk beberapa lama Devan asik sendiri sampai saat dia terkejut dan membuka mata ketika Laura membalasnya. Bisa-bisanya Devan tersenyum dalam pagutan itu. Kembali menutup mata.Tangannya bergerak nakal mencari tempat yang bisa memuaskan dahaga khayalannya selama ini. Sampai saat itulah Laura tersadar, dia menahan tangan Devan dan membuka mata. Pipinya memerah merona menahan malu. Bisa-bisanya dia terhanyut oleh sentuhan bocah tengil ini.“Kenapa mbak?” wajah Devan memelas penuh hasrat yang berkobar. Laura menjauh dan turun dari atas ranjang. Sungguh dia
Di sepanjang perjalanan menuju pulang ke rumah, Laura terus saja melamun menatap keluar jendela mobil. Pikirannya terpusat pada Devan dan Tiara, lalu dia menghela nafas panjang. Axel melirik. “Ada apa, Nona Laura?”Dengan gerakan malas, Laura melirik pada Axel. “Kamu pernah nggak mikir? ternyata di luaran sana banyak orang yang hidup tidak seberuntung kita.”Axel tertawa lirih. Lucu rasanya mendengar pertanyaan Laura.“Lah, selama ini Nona ke mana aja? Kenyataannya memang banyak kan orang-orang yang kurang beruntung.”Laura mengangguk setuju. “Huum. Kamu benar.”Axel kembali melirik pada atasannya itu sekaligus sahabat dekatnya. “Tumben nanya kayak gitu, ada apa?” “Menurutmu Devan itu gimana orangnya?”Tatapan Axel lekat menatap wajah Laura.“Fokus nyetirnya, Axel!”Axel pun kembali menatap pada jalanan. Wajah bersahabatnya berubah seketika menjadi datar. “Jangan bilang kamu mulai menyukai bocah tengil itu.”“Dihh! Sembarangan kalau ngomong.”“Terus?”“Kalau kamu nggak minat jawab ng