Di sepanjang perjalanan menuju pulang ke rumah, Laura terus saja melamun menatap keluar jendela mobil. Pikirannya terpusat pada Devan dan Tiara, lalu dia menghela nafas panjang. Axel melirik. “Ada apa, Nona Laura?”Dengan gerakan malas, Laura melirik pada Axel. “Kamu pernah nggak mikir? ternyata di luaran sana banyak orang yang hidup tidak seberuntung kita.”Axel tertawa lirih. Lucu rasanya mendengar pertanyaan Laura.“Lah, selama ini Nona ke mana aja? Kenyataannya memang banyak kan orang-orang yang kurang beruntung.”Laura mengangguk setuju. “Huum. Kamu benar.”Axel kembali melirik pada atasannya itu sekaligus sahabat dekatnya. “Tumben nanya kayak gitu, ada apa?” “Menurutmu Devan itu gimana orangnya?”Tatapan Axel lekat menatap wajah Laura.“Fokus nyetirnya, Axel!”Axel pun kembali menatap pada jalanan. Wajah bersahabatnya berubah seketika menjadi datar. “Jangan bilang kamu mulai menyukai bocah tengil itu.”“Dihh! Sembarangan kalau ngomong.”“Terus?”“Kalau kamu nggak minat jawab ng
Orang-orang mulai melangkah masuk ke dalam rumah, menaruh cateringan dalam jumlah besar. “Mbak bisa kita ngomong sebentar?” Raut wajah Devan tampak sangat tidak senang.Daffa menyikut pinggang Devan. Dia berpikir jika Devan terlalu tidak sopan berucap ketus dengan wajah yang tidak menyenangkan terhadap tamu yang berniat baik. Padahal Daffa melihat effort mbak mbak cantik jelita itu sungguh sangat besar yang sudah sepatutnya pantas diberikan ucapan terima kasih dengan cara yang menyenangkan hati.Daffa memiringkan posisi kepalanya merapat pada pangkal telinga Devan, dia mulai berbisik,”bisa nggak? wajah dingin lu itu dibuang jauh-jauh. Nggak sopan tahu, kayak gitu sama orang yang udah berniat baik buat membantu.”Aziel bergegas menarik Dafa buat menjauh, meskipun mendapat penolakan. “Ck. Lu lagi Ziel! Seharusnya lu ikut nasehatin Devan.”“Ayo kita ngomong di kamar,” ujar Devan sembari melangkah berlalu dari sana. Laura pun mengikuti langkah bocah itu.Biji mata Dafa membulat sempurna,
Devan berdiri di tepian jalan raya sembari mengotak-atik ponsel dalam genggaman tangannya. Hujan baru saja reda menyisakan beberapa genangan air di atas tanah maupun di atas aspal. Menyelesaikan ujian susulan berikut dengan ujian hari ini, lalu pulang ke rumah untuk mengganti pakaian sekolah dengan pakaian OB. Tiara memperhatikan saudara laki-lakinya itu. “Mas mau ke mana?”Devan memperbaiki kerah leher bajunya. “Mas kerja. Kalau kamu keluar bersama teman-temanmu jangan terlalu lama pulang. Ntar malam kamu nggak perlu nungguin Mas buat makan bersama.”“Mas kerja di mana?”Tin tin. Sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi dari kejauhan. Devan bergegas lebih mundur jauh ke pinggir jalan. Namun, begitu bajunya tetap terkena cipratan air yang dihasilkan dari lintasan ban mobil tersebut.“Sial!” maki Devan. “Oyy! Jalan ini bukan punya bapak moyang kau!”Pengemudi mobil tersebut sempat menjulurkan kepala. “Cuihh!”Kesal tapi tidak bisa berbuat apapun. Akhirnya Devan hanya bisa mengibas-n
Laura menjuling mata dengan jengah. “Sembarangan!”Tiba-tiba Devan beringsut mendekat, tangannya berayun menyentuh tepi bibir istrinya itu. Dimana ada saos menempel di sana. Laura ingin protes karena Devan telah berani bersikap lancang, tetapi entah mengapa bibirnya terbungkam tidak bisa bersuara. Tubuhnya pun membeku tidak ingin menghindar. Dia membiarkan jari jempol Devan mengusap tepi bibirnya. Bola mata mereka beradu tatapan. Degup di dalam dada tidak beraturan. Sampai akhirnya suara ketukan pintu dari luar menyadarkan keduanya. Laura tampak panik, Devan pun mengerti dengan kepanikan istrinya itu.“Ayo sembunyi di sini.” Laura melambaikan tangannya, lalu menunjuk kolong meja. Bodohnya Devan menurut begitu saja. Dia berlari dan bersembunyi di bawah sana. Laura mulai duduk di kursi kebesarannya. “Masuk!”Ketika melihat pemilik wajah dibalik pintu itu membuat aura wajah Laura tampak gelap seperti langit yang sedang mendung ditutupi oleh awan hitam. Orang tersebut melangkah masuk de
Laura memperhatikan Resti dengan sorot mata sadis, lalu berpindah pada bungkus makanan yang tengah dipegang oleh Devan. “Dih! Dasar! semua laki-laki itu sama. Yang baru bentuk cebong pun pandai bermain api. Tadi kerasukan minta jatah, sekarang malah menerima perhatian dari cewek lain,” Laura membatin mengata-ngatai suami brondongnya ini hanya berani sebatas di dalam hati.“Resti, kamu duluan aja,” ucap Devan akhirnya.Resti mengangkat kepala sembari memaksakan senyum, tidak berani berkutik. Dia merasa amat sangat bersyukur terhadap laki-laki di hadapannya sekarang ini karena telah menyelamatkan hidup dan matinya yang telah kepergok berkata tidak sopan untuk sang presdir.“Siapa namamu?”Suara Laura menghentikan langkah Resti. Sorot matanya redup penuh dengan dentuman keras di dalam dadanya. “Mampus! tamat riwayatku,” batin Resti memutar tubuh menghadap ke arah Laura.“Resti Septia.”“Ini peringatan terakhir untukmu. Bekerja dengan baik dan disiplin. Di perusahaan dilarang keras deng
Laura berdesis sembari membuka mata. Kepalanya terasa sangat berat. “Aahh,” keluhnya memegang kepala. Matanya terbuka, lalu tertutup dan terbuka kembali menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam retina matanya. Dia bergerak miring ke samping dan melihat Devan berada di atas tempat tidur yang sama dengan dirinya. Suami berondongnya itu dalam keadaan telanjang dada yang membuat kelopak mata Laura melebar. “Bocah gila!” Makinya. Dia bergegas beranjak duduk, dan sekali lagi dia dibuat syok berat ketika mendapati dirinya dalam keadaan polos tanpa sehelai benang pun. Saat ini hanya ada selimut yang menutupi tubuh polosnya itu. Tangannya bergerak menarik selimut dan menutupi dadanya dengan gigi gemeretak menahan amarah. Pakaian dalam, baju, celana, semuanya berserakan di atas lantai.“DEVAAAAN!”Suara teriakan Laura membahana memenuhi seisi ruangan kamar, membuat Devan tersentak dari tidur dan mimpi indahnya. Dia terlonjak duduk. Didapatinya wajah Laura merah padam menatap pada dirinya. Seke
“Arrgrrrhhh!” Suara ringisan Devan membuat Tiara bergegas bangkit. Semalaman suntuk ini dia terus terjaga dan memandangi wajah saudara laki-lakinya itu tanpa henti. Matanya bengkak karena kebanyakan menangis. Di atas dunia ini hanya Devan yang dia punya sebagai kerabat terdekat yang bisa tempatnya berbagi. “Mas.”Devan membuka mata. “Dimana Mbak Laura?” itulah kalimat pertama yang diucapkan Devan ketika dia mulai sadar.Air mata Tiara menetes, dia langsung menghambur memeluk tubuh Devan hingga membuat saudara laki-lakinya itu meringis karena kesakitan. Tiara cepat melepaskan pelukannya. Sangkingkan bahagia karena Devan akhirnya siuman, Tiara sampai lupa punggung saudara laki-lakinya itu ada luka. Dalam tangisnya dia meringis cengengesan. “Maaf, Mas. Apa sakit banget?”Devan menyunggingkan senyum. Dia tahu bahwa adiknya sangat mengkhawatirkan dirinya. Tangan Devan terulur meraih jari jemari adiknya itu. “Mas gak apa-apa.”Tiara kembali menangis. “Hiks! Hiks! Hiks! Kalau sampai terjad
Laura memutar tubuhnya menghadap pada Asraff. Dagunya terangkat penuh dengan aura keangkuhan. “Aku tidak layak?” ujarnya dingin. “Siapa yang layak? Papamu? Kamu? Atau adikmu yang suka memungut barang bekas sisa dari orang lain itu?”Tangan Asraf terkepal erat sampai memutih. Dia mempersingkat jarak antara dirinya dengan Laura. “Kamu!” dia benar-benar tidak bisa mengendalikan diri. Axel laju berdiri di depan Laura dengan dada yang membusung. Asraff menatap laki-laki itu dengan tatapan hina. Ujung bibirnya tertarik penuh dengan sinis. Baginya Axel tidak lebih daripada sampah yang siap menjilati tuannya. “Dasar sampah tidak berguna!” Kemudian Asraf melangkah keluar.Laura menghela nafas. Dia melirik pada Axel. “Maafkan aku atas situasi ini. Seharusnya kamu tidak menerima perlakuan seperti tadi.”Axel tersenyum yang memancarkan ketampanannya. “Aku tidak masalah sama sekali demi kamu.”Laura berdehem setelah mendengar kalimat tersebut. Entahlah. Axel adalah sosok laki-laki yang selalu ber