Malam sudah larut, suara jangkrik bersahutan memekakkan pendengaran. Devan berdiri di depan jendela kamar menatap pada langit malam yang tengah mendung. Hatinya seperti ruang kosong yang hampa, tatapan matanya pun nanar.Mendesah beberapa kali dengan helaan nafas panjang. Hidupnya seperti terombang-ambing dan tidak memiliki tujuan. Dia rela menjual dirinya, merendahkan harga dirinya hanya demi uang agar sang ayah bisa berobat dan bisa pulih seperti sedia kala, siapa yang mengira usahanya hanyalah sebuah kesia-siaan. Ayahnya tetap pergi untuk selama-lamanya. Sekarang dia hanya punya adik yang harus ia jaga dan harus dia jadikan orang berguna.Sedangkan di sisi ranjang tua berbahan kayu, Laura tampak gelisah membolak-balikkan posisi tubuhnya. Letih ke kiri putar ke kanan, embun malam yang di sapu angin masuk ke dalam kamar sangat berbeda dari rasa dingin AC di ruangan kamar Laura. Rasa dingin ini sangat ngilu. Tadinya Laura ingin pulang, tetapi entah mengapa pikirannya tidak tenang, lal
Seketika Laura membeku, isi di dalam kepalanya blank. Devan memperhatikan wajah istrinya itu dengan ujung bibir yang tertarik. Memiringkan kepalanya, lalu mengecup bibir lembut yang membuatnya merasa candu. Tidak ada penolakan seperti pertama kali waktu itu. Laura terkesan seperti membiarkan hingga membuat Devan semakin berani. Awalnya hanya mengecup, kini perlahan bergerak menari di sana dengan kelopak mata tertutup seolah menikmati. Untuk beberapa lama Devan asik sendiri sampai saat dia terkejut dan membuka mata ketika Laura membalasnya. Bisa-bisanya Devan tersenyum dalam pagutan itu. Kembali menutup mata.Tangannya bergerak nakal mencari tempat yang bisa memuaskan dahaga khayalannya selama ini. Sampai saat itulah Laura tersadar, dia menahan tangan Devan dan membuka mata. Pipinya memerah merona menahan malu. Bisa-bisanya dia terhanyut oleh sentuhan bocah tengil ini.“Kenapa mbak?” wajah Devan memelas penuh hasrat yang berkobar. Laura menjauh dan turun dari atas ranjang. Sungguh dia
Di sepanjang perjalanan menuju pulang ke rumah, Laura terus saja melamun menatap keluar jendela mobil. Pikirannya terpusat pada Devan dan Tiara, lalu dia menghela nafas panjang. Axel melirik. “Ada apa, Nona Laura?”Dengan gerakan malas, Laura melirik pada Axel. “Kamu pernah nggak mikir? ternyata di luaran sana banyak orang yang hidup tidak seberuntung kita.”Axel tertawa lirih. Lucu rasanya mendengar pertanyaan Laura.“Lah, selama ini Nona ke mana aja? Kenyataannya memang banyak kan orang-orang yang kurang beruntung.”Laura mengangguk setuju. “Huum. Kamu benar.”Axel kembali melirik pada atasannya itu sekaligus sahabat dekatnya. “Tumben nanya kayak gitu, ada apa?” “Menurutmu Devan itu gimana orangnya?”Tatapan Axel lekat menatap wajah Laura.“Fokus nyetirnya, Axel!”Axel pun kembali menatap pada jalanan. Wajah bersahabatnya berubah seketika menjadi datar. “Jangan bilang kamu mulai menyukai bocah tengil itu.”“Dihh! Sembarangan kalau ngomong.”“Terus?”“Kalau kamu nggak minat jawab ng
Orang-orang mulai melangkah masuk ke dalam rumah, menaruh cateringan dalam jumlah besar. “Mbak bisa kita ngomong sebentar?” Raut wajah Devan tampak sangat tidak senang.Daffa menyikut pinggang Devan. Dia berpikir jika Devan terlalu tidak sopan berucap ketus dengan wajah yang tidak menyenangkan terhadap tamu yang berniat baik. Padahal Daffa melihat effort mbak mbak cantik jelita itu sungguh sangat besar yang sudah sepatutnya pantas diberikan ucapan terima kasih dengan cara yang menyenangkan hati.Daffa memiringkan posisi kepalanya merapat pada pangkal telinga Devan, dia mulai berbisik,”bisa nggak? wajah dingin lu itu dibuang jauh-jauh. Nggak sopan tahu, kayak gitu sama orang yang udah berniat baik buat membantu.”Aziel bergegas menarik Dafa buat menjauh, meskipun mendapat penolakan. “Ck. Lu lagi Ziel! Seharusnya lu ikut nasehatin Devan.”“Ayo kita ngomong di kamar,” ujar Devan sembari melangkah berlalu dari sana. Laura pun mengikuti langkah bocah itu.Biji mata Dafa membulat sempurna,
Devan berdiri di tepian jalan raya sembari mengotak-atik ponsel dalam genggaman tangannya. Hujan baru saja reda menyisakan beberapa genangan air di atas tanah maupun di atas aspal. Menyelesaikan ujian susulan berikut dengan ujian hari ini, lalu pulang ke rumah untuk mengganti pakaian sekolah dengan pakaian OB. Tiara memperhatikan saudara laki-lakinya itu. “Mas mau ke mana?”Devan memperbaiki kerah leher bajunya. “Mas kerja. Kalau kamu keluar bersama teman-temanmu jangan terlalu lama pulang. Ntar malam kamu nggak perlu nungguin Mas buat makan bersama.”“Mas kerja di mana?”Tin tin. Sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi dari kejauhan. Devan bergegas lebih mundur jauh ke pinggir jalan. Namun, begitu bajunya tetap terkena cipratan air yang dihasilkan dari lintasan ban mobil tersebut.“Sial!” maki Devan. “Oyy! Jalan ini bukan punya bapak moyang kau!”Pengemudi mobil tersebut sempat menjulurkan kepala. “Cuihh!”Kesal tapi tidak bisa berbuat apapun. Akhirnya Devan hanya bisa mengibas-n
Laura menjuling mata dengan jengah. “Sembarangan!”Tiba-tiba Devan beringsut mendekat, tangannya berayun menyentuh tepi bibir istrinya itu. Dimana ada saos menempel di sana. Laura ingin protes karena Devan telah berani bersikap lancang, tetapi entah mengapa bibirnya terbungkam tidak bisa bersuara. Tubuhnya pun membeku tidak ingin menghindar. Dia membiarkan jari jempol Devan mengusap tepi bibirnya. Bola mata mereka beradu tatapan. Degup di dalam dada tidak beraturan. Sampai akhirnya suara ketukan pintu dari luar menyadarkan keduanya. Laura tampak panik, Devan pun mengerti dengan kepanikan istrinya itu.“Ayo sembunyi di sini.” Laura melambaikan tangannya, lalu menunjuk kolong meja. Bodohnya Devan menurut begitu saja. Dia berlari dan bersembunyi di bawah sana. Laura mulai duduk di kursi kebesarannya. “Masuk!”Ketika melihat pemilik wajah dibalik pintu itu membuat aura wajah Laura tampak gelap seperti langit yang sedang mendung ditutupi oleh awan hitam. Orang tersebut melangkah masuk de
Laura memperhatikan Resti dengan sorot mata sadis, lalu berpindah pada bungkus makanan yang tengah dipegang oleh Devan. “Dih! Dasar! semua laki-laki itu sama. Yang baru bentuk cebong pun pandai bermain api. Tadi kerasukan minta jatah, sekarang malah menerima perhatian dari cewek lain,” Laura membatin mengata-ngatai suami brondongnya ini hanya berani sebatas di dalam hati.“Resti, kamu duluan aja,” ucap Devan akhirnya.Resti mengangkat kepala sembari memaksakan senyum, tidak berani berkutik. Dia merasa amat sangat bersyukur terhadap laki-laki di hadapannya sekarang ini karena telah menyelamatkan hidup dan matinya yang telah kepergok berkata tidak sopan untuk sang presdir.“Siapa namamu?”Suara Laura menghentikan langkah Resti. Sorot matanya redup penuh dengan dentuman keras di dalam dadanya. “Mampus! tamat riwayatku,” batin Resti memutar tubuh menghadap ke arah Laura.“Resti Septia.”“Ini peringatan terakhir untukmu. Bekerja dengan baik dan disiplin. Di perusahaan dilarang keras deng
Laura berdesis sembari membuka mata. Kepalanya terasa sangat berat. “Aahh,” keluhnya memegang kepala. Matanya terbuka, lalu tertutup dan terbuka kembali menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam retina matanya. Dia bergerak miring ke samping dan melihat Devan berada di atas tempat tidur yang sama dengan dirinya. Suami berondongnya itu dalam keadaan telanjang dada yang membuat kelopak mata Laura melebar. “Bocah gila!” Makinya. Dia bergegas beranjak duduk, dan sekali lagi dia dibuat syok berat ketika mendapati dirinya dalam keadaan polos tanpa sehelai benang pun. Saat ini hanya ada selimut yang menutupi tubuh polosnya itu. Tangannya bergerak menarik selimut dan menutupi dadanya dengan gigi gemeretak menahan amarah. Pakaian dalam, baju, celana, semuanya berserakan di atas lantai.“DEVAAAAN!”Suara teriakan Laura membahana memenuhi seisi ruangan kamar, membuat Devan tersentak dari tidur dan mimpi indahnya. Dia terlonjak duduk. Didapatinya wajah Laura merah padam menatap pada dirinya. Seke