Kedatangan Laura di kantor HRD membuat seluruh karyawan bangkit dari duduk dan membungkuk memberi hormat. “Bu Laura,” suara yang terdengar sangat sungkan penuh rasa hormat.“Ehem!” Wajah datar dan dingin, Laura berdehem. “Karyawan atas nama Devan Abimanyu kenapa kamu menerimanya bekerja?” Aura wajah yang penuh kharismatik membuat kepala HRD sungkan menatap. Tangan yang saling bertautan, kepala yang sedikit menunduk penuh rasa hormat. “Pak Arya Wiguna yang merekomendasinya secara langsung, kami tidak bisa menolak.”Awal Devan masuk ke perusahaan membuat kepala HRD dan beberapa orang karyawan merasa penasaran tentang hubungan Devan dengan sang pemilik perusahaan. Laki-laki itu memiliki koneksi yang cukup kuat dan merupakan orang yang paling berpengaruh nomor satu di perusahaan. Ya, walaupun posisi Devan hanyalah seorang office boy tetap saja membuat mereka penasaran.Laura mengernyitkan dahi. Isi dalam kepalanya penuh dengan banyak tanya. Sekarang dia sudah tahu Devan diterima di peru
Beberapa orang karyawan yang sempat menyaksikan kejadian langka itu cukup tercengang melihat tingkah laku Laura yang tidak seperti biasanya. Seorang perempuan yang begitu disegani di perusahaan ini bertingkah laku sangat konyol. Berjalan terseok-seok sembari menutup wajah seperti seorang pencuri yang takut ketahuan. “Nona, ada apa?” Axel mengikuti langkah Laura dengan penuh rasa prihatin yang mendalam.“Wahh! ini pemandangan yang sangat menakjubkan,” tutur salah seorang karyawan dengan pandangan yang tidak lepas dari tingkah laku konyol Laura.“Apa dunia akan segera kiamat. Bos angkuh kita terlihat aneh hari ini.”“Nona, Laura, apa Anda baik-baik aja? sepertinya kaki Anda terkilir,” kata Axel mencoba memastikan.Laura masuk di kantor eksekutif dan menyandar pada dinding. Melihat kedatangan Laura membuat kepala eksekutif berdiri dan membungkuk memberi hormat. “Nona Laura,” tegurnya.Wajah Laura kembali ke setelan pabrik, Dia terlihat dingin dan datar. “Sepertinya kakiku terkilir, Ax
Aziel melempar baju hoodie dan celana jeans pada Devan yang refleks langsung menyambut. Dia menatap Aziel sembari memeluk hoodie dan celana jeans di dada bidangnya. “Celana sama baju kamu udah terlalu banyak aku warisi Ziel.”“Lantas nggak akan membuat gue kekurangan pakaian. Pakai itu cepat! Gue nungguin lu di luar.” Aziel melangkah keluar dari dalam kamarnya.“Den Aziel mau ke mana?” tanya seorang pembantu. Meskipun hanya seorang pembantu tetapi dia bukan pembantu biasa, Dia memiliki arti lebih buat Aziel, karena wanita tua itu yang mengasuhnya sejak kecil. Aziel menghentikan langkah. “Mbok. Ehehe. Aziel ada keperluan di luar sebentar.”“Tapi Den, Nyonya barusan nelpon katanya Aden Aziel jangan ke mana-mana.”“Biarin aja Mama ngomong kayak gitu. Selama ini Mama cuman ngomong doang nggak pernah punya waktu buat Aziel kan.”“Tapi Bibik khawatir sama Aden. Jangan bilang Aden mau balapan lagi.” wajah tua itu terlihat sangat khawatir.Aziel menatap Devan yang baru saja keluar dari dalam
“Hei, kau mau apa!” Laura benar-benar panik dengan tubuh yang menegang.Devan berhenti tepat di depan wajah istrinya itu. Tatapannya lurus dan datar. “Lain kali jangan pernah katakan Aku bocah lagi atau aku benar-benar akan menitipkan satu bocah di dalam rahimmu!” suara itu terdengar begitu dingin, kemudian Devan menjauhkan dirinya sembari berbaring dengan posisi tubuh yang terlentang menghadap pada langit-langit kamar seolah baru saja tidak pernah terjadi apapun. Namun, berbeda halnya dengan Laura, dia terperangah, masih merasa tidak percaya atas apa yang baru saja dia dengar. Walaupun Devan suami sahnya dan berhak meminta tubuhnya, tetap saja setelah mengingat tentang usia suaminya itu membuat Laura merasa kurang nyaman, dia bahkan merasa seperti sedang dilecehkan anak di bawah umur. Astaga! Mengingat itu membuat Laura merasa gila. Dia menatap suaminya yang mulai menutup mata dengan pikiran yang tidak percaya atas tingkah laku Devan barusan. Tingkah laku Devan tidak mencerminkan se
Naina bersorak saat Devan berhasil memasukkan bola basket ke dalam ring. Pun begitu juga dengan gadis-gadis remaja yang berada di sekitar lapangan basket tersebut. Devan membuka bajunya yang penuh dengan keringat sehingga membuat suasana semakin riuh dan histeris pekik menggema. Bagaimana bisa remaja-remaja Putri di SMA taruna tidak histeris ketika menyaksikan body sexy Devan. Bahkan beberapa orang merasa gila memikirkan halu mereka masing-masing, sayangnya hanya satu, Devan bukanlah berasal dari keluarga kaya seperti teman yang lainnya. Devan melangkah ke tepi lapangan basket, Naina menghampirinya dan mengulurkan sebotol air minum mineral. Devan menatap kedalam manik milik gadis itu yang sedang tersipu malu.“Buat kamu,” ujar Naina. Devan meraih botol mineral itu. “Makasih.”Naina menganggukkan kepala. Daffa ikut menghampiri mereka, nafas laki-laki itu tampak ngos-ngosan. “Cuma buat Devan doang? Punyaku nggak ada?”“Hehehe, air minumnya cuma satu.”“Ya ya ya, baiklah. Bilang aja itu
Kaki panjang Devan berselonjor dengan punggung menyandar acuh pada kursi yang tengah didudukinya, terkesan seperti tengah bermalas-malasan dan duduk dengan posisi yang tidak sopan. Rekan bisnis Laura menatapnya dengan tatapan menilai pun tidak ia pedulikan sampai Axel menyenggol kakinya, Devan mengangkat kepala menatap Axel yang menatap tajam.Laura tersenyum canggung pada rekan bisnisnya. “Hmm, aku rasa perbincangan kita hari ini cukup, mari lain kali kita bicarakan lagi.”Laki-laki di hadapan Laura bangkit dari duduknya, dia mengulurkan tangan, Laura bergegas bangkit dan menyambut uluran tangan itu. Setelah kepergian orang tersebut Axel menarik kerah baju Devan dengan kasar. “Apa orang tuamu nggak pernah mengajarkan sopan santun, hah!”Seketika rahang Devan mengeras. Seburuk apapun dirinya dihina dan direndahkan tidak akan membuatnya membalas dengan begitu mudah, tetapi jika kedua orang tuanya di bawa sebagai alasan untuk merendahkan dirinya, Devan tidak akan pernah terima hal itu
Laura menatap kantong plastik yang diulurkan Devan padanya, lalu mendongak menatap pada Devan. “Apa ini?”“Tadi mau minta tolong dibelikan koyo dan teman-temannya juga.”“Bukannya kamu pergi berkencan?”Ketika Devan keluar dari kamar beberapa menit yang lalu, Laura mengira suaminya itu jadi pergi bersama teman-temannya menonton film di bioskop, dia sangat tidak menyangka jika Devan lebih memilih tinggal dan membantunya membelikan barang-barang yang ia butuhkan.“Ck,” Devan berdecak, ia keluar dari kamar. Laura bergegas berdiri dan masuk ke kamar mandi untuk mengganti celananya.“Devan,” tegur Arya.Devan yang hendak ke dapur itu menghentikan langkah.“Eh, Pak.”“Panggil Papa.”“Papa,” Devan berucap dengan nada canggung.“Duduk dulu sini.”Devan menghampiri Ayah mertuanya itu. “Pekerjaanmu gimana? lancar?”Tangan saling bertautan satu sama lain di antara sela-sela paha, Devan menganggukkan kepala. “Lancar.”“Di perusahaan, apa kamu dan Laura sudah pernah bertemu satu sama lain?”Deva
Di sepanjang jalannya rapat siang ini Laura tampak lebih banyak termenung. Axel yang duduk bersisian dengan gadis angkuh itu beberapa kali menyenggol bahunya. “Oh, gimana?” respon Laura. Wajahnya benar-benar terlihat sangat konyol, seperti orang yang baru bangun dari mimpi panjang. Semua orang yang hadir di ruangan rapat itu terheran-heran mendapati Laura seperti itu, sebab selama ini mereka mengenal Laura sebagai sosok yang tegas, keras dan selalu serius dalam hal apapun. Bahkan mereka bisa memastikan jika Laura tidak pernah merasakan gangguan mood atau semacamnya. Siang ini benar-benar sisi Laura yang lain yang membuat mereka penasaran.“Lanjutkan,” ujar Axel pada seseorang yang tengah memberikan presentasi di depan. Orang itu pun menganggukkan kepalanya.“Parfum dengan merek baru yang baru saja kita produksi dengan mengedepankan ciri khas bau buah yang lembut dan penuh gairah akan siap diluncurkan di pasaran menggunakan iklan dari perusahaan picture style.”Laura menautkan jari j