Wajah Devan tampak muram. Dia persis seperti robot kaku. Raganya seperti tidak memiliki nyawa. Sangat pasrah dengan apa yang tengah di lakukan perias pengantin pada dirinya.
Terdengar suara hentakan dari hak sepatu beradu dengan kramik. Laura masuk ke ruangan di mana Devan tengah di persiapkan memakai baju pengantin pria. Gadis itu menatap dengan tatapan lurus. "Apa dia sudah siap?" tanyanya pada mua tanpa mengalihkan tatapannya pada punggung Devan.Devan melirik pada sumber datangnya suara. Menatap pada gadis yang telah memaksanya untuk menikah. Kata perempuan itu butuh dirinya menjadi suami hanya untuk enam bulan saja dan setelah itu dia akan di bebaskan dari ikatan pernikahan. Sebagai seorang remaja tentu saja hal ini membuat Devan menolak dengan tegas dan keras. Masa depannya masih panjang, ya kali harus menikah muda, terlebih lagi dengan seorang perempuan yang kelihatannnya jauh lebih dewasa di atas usianya. Devan akui Laura sangat cantik. Bahkan sangat, sangat cantik, tetapi bukan berarti dia bisa menyukai perempuan itu. Apalagi sikap Laura yang angkuh, ponggah dan sombong. Devan membencinya."Sudah," jawab perias pengantin itu.Kemudian Laura melangkah mendekati Devan. Dia berhenti di hadapan laki-laki yang akan menjadi suaminya ini."Kalian semua keluarlah."Axel yang tengah bersilang tangan pada dadanya sendiri itu terdengar protes. "Tapi, Nona Laura."Ucapannya terhenti saat Laura mengangkat tangan ke udara sembari mengibaskan tangannya itu. Axel menghela nafas, lalu mengintruksikan kepada semua yang ada di sana untuk keluar. Setelah semuanya beranjak pergi, Axel pun mulai undur diri dan menutup pintu kamar. Tinggallah Laura berdua dengan Devan. Mereka saling bertatapan dengan tatapan yang tidak bersahabat."Aku ingin kamu menepati semua janjimu," kata Devan buka suara. "Kamu akan membiayai pengobatan ayahku sampai sembuh. Kita tidak akan terlibat dalam urusan pribadi masing-masing dan setelah enam bulan kita bercerai." Sebuah kalimat dan kata-kata yang terbilang cukup dewasa untuk seorang Devan yang masih remaja. Bahkan Devan sendiri hampir tidak bisa mempercayai ucapannya barusan. Ada semacam perasaan geli yang menyeruak. Diusianya sudah pandai berucap kata perceraian. Seperti tengah main nikah-nikahan saja, dia jadi pangeran dan Laura menjadi putri. Andaikan kedua teman-teman somplaknya mengetahui hal ini, mungkin dia akan selalu menjadi bahan ledekan."Sure! Aku bukan tipe orang yang suka melanggar janji. Aku pastikan pengobatan ayahmu sampai sembuh. Kalau masalah urusan pribadi masing-masing, aku bisa pastikan tidak akan pernah peduli kamu mau ngapain, terserah. Aku juga tidak tertarik dengan masalah pribadimu. Hah! Palingan juga tidak jauh-jauh dari cerita kemiskinanmu dan sepeda bututmu itu."Devan acuh. Dari pertama dia bertemu dengan Laura hingga sampai detik ini, dia mulai terbiasa dengan kata-kata Laura yang selalu merendahkan dirinya. Awalnya dia merasa sakit hati, setelah itu tidak bisa berbuat apa-apa selain hanya pasrah, kemudian akhirnya menjadi terbiasa. Tidak ada lagi rasa sakit meskipun serendah apa dirinya di remehkan oleh calon istrinya ini. Devan terlihat acuh dengan ekspresi wajah dinginnya."Tapi," sambung Laura. "Meskipun kita sepakat untuk tidak ikut campur dalam urusan pribadi masing-masing, hal itu tidak berlaku jika sedang di tengah keluargaku terutama ayahku. Di depan mereka kamu harus bisa memerankan peran suami dengan sangat baik. Kita harus terlihat mesra."Sontak kelopak mata Devan membuka sempurna. "Syarat lagi," protesnya keberatan. Yang benar saja! Dia tidak akan bisa berpura-pura mesra dengan perempuan yang ia benci. Lagi pula dia belum memiliki pengalaman memperlakukan seorang perempuan. Bahkan dia belum pernah berpacaran."Kamu pikir untuk apa aku bersusah payah membuatmu terjerumus dalam pernikahan ini? Apa kamu pikir aku sangat ingin menikahimu? Andaikan waktu masih panjang dan aku masih bisa santai memilih laki-laki yang aku inginkan, laki-laki yang aku cintai, mungkin saat ini kamu tidak akan pernah berada di sini. Kamu pikir aku sangat ingin bermesraan denganmu!"Oh, Tuhan! begitu nyess rasanya setiap ucapan yang terlontar dari mulut perempuan itu. Perempuan kaya raya tetapi tidak memiliki akhlak. Devan sangat membencinya. Namun, dia bisa apa? hanya sebuah anggukan kecil dengan wajah dinginnya. Laura tersenyum. "Sepakat. Ayo kita keluar. Semua tamu undangan sudah lama menunggu."Saat melangkahkan kaki ke ruangan yang akan digunakan sebagai tempat ijab qobul. Devan menghela napas panjang, lalu dia tetap melangkah. Tidak bisa di pungkiri degup jantungnya berdetak kencang bertalu-talu. Orang-orang begitu ramai. Tampak sangat jelas dari tamu undangan merupakan kalangan orang-orang kelas atas. Namun, Devan beradu pandangan dengan seorang laki-laki tua yang tengah duduk di atas kursi roda. Pria itu duduk di depan meja yang akan di gunakan sebagai tempat ijab qobul.Sama seperti halnya Devan, laki-laki tua itu sempat menunjukkan raut wajah terkejut, tetapi beberapa detik kemudian dia memamerkan senyum hangat nan tulus.Devan di bawa duduk di depan laki-laki tua itu, begitu juga dengan Laura yang dalam balutan kebaya putih dipenuhi berlian berkilauan.Pak penghulu memulai mukadimah, lalu mengucapkan kata-kata nasehat untuk kedua mempelai, kemudian barulah setelah itu Devan dan laki-laki tua itu saling berjabatan tangan untuk melakukan ijab qobul. Beberapa kali Devan salah menyebutkan nama mempelai wanitanya, Ia juga beberapa kali tergagap sampai membuat Laura menunduk malu. Namun, untungnya hal memalukan itu tidak berlangsung lama, kini dia dan Devan sudah sah sebagai sepasang suami istri setelah akhirnya Devan lancar melafalkan ijab qobul bersama ayahnya.Brukk!!Tiba-tiba saja laki-laki tua yang kini telah menjadi ayah mertua Devan itu tersungkur ke lantai. Seketika suasana menjadi riuh rendah. Laura berlari menghampiri sembari menangis sejadi-jadinya. “Pa,” pekiknya. Dia mendongakkan kepala menatap pada anak buahnya. “Kalian melihat apa!”Laju para pria berseragam hitam itu berjongkok membantu Arya Wiguna dan melarikannya ke rumah sakit. Tinggallah Devan plaga-plogo seperti orang bodoh.Walaupun Laura sudah tidak ada lagi di tempat itu, tetapi acara masih tetap berlanjut dengan perjamuan makan sebab ada yang menghandle acara ini.“Tuan, Dev. Apa Anda ingin sesuatu?” Seseorang tengah berdiri di sisi kanan Devan.Sejenak Devan melirik pada orang tersebut dan dari gaya berpakaiannya Ia tahu bahwa itu adalah orangnya Laura.“Aku ingin pulang.”“Baiklah. Ayo saya antar.”Bola mata Devan berbinar. Senyumnya terkembang sempurna. Sungguh dia tidak menyangka jika akan semudah ini di perbolehkan untuk pulang. Devan mengikuti langkah laki-laki itu sampai tiba di basement.“Silahkan, Tuan.”Devan bergegas masuk ke dalam mobil. Entah mengapa dia merasa seakan hidupnya berubah 180 derajat Celcius. Dia seolah tengah menjadi seorang pangeran. Namun, perasaan itu tidak berlangsung lama, setelah cukup lama di perjalanan dia melirik keluar jendela mobil memperhatikan jalanan.“Maaf, ini bukan jalan menuju pulang ke rumahku.”“Maaf, Tuan. Kata Nona Laura, mulai saat ini Tuan Devan akan tinggal bersamanya di kediaman Arya Wiguna.”“Apa? Gak! Aku gak mau. Bukannya dia bilang tidak akan membatasi gerakanku. Aku ingin tetap tinggal di rumahku.”“Maaf, Tuan. Masalah itu saya tidak tahu. Tuan bisa bicarakan dengan Nona Laura tentang itu setelah Nona Laura pulang dari rumah sakit.”Devan langsung memukul bagian depan mobil. Dia sangat kesal. Khayalan tingkat tinggi yang sempat berkamuflase menjadi seorang pangeran seketika telah berubah menjadi tahanan.Keluar dari mobil, Devan menyapu pandangannya ke seluruh sudut halaman rumah yang berdiri mewah di depannya. Sebuah pemandangan yang sangat menakjubkan. Kemudian Devan mendongakkan kepala memperhatikan rumah kediaman istri yang baru saja Ia nikahi beberapa jam yang lalu. Hebat. Sungguh hebat. Devan tidak mengira perempuan itu sekaya ini.“Tuan, Devan,” tegur orang suruhan Laura yang membawa Devan ke rumah ini.“Oh.” Devan tersadarkan.“Ayo silakan masuk. Saya akan mengantar Tuan Devan sampai ke dalam kamar.”Devan menganggukkan kepala sembari mengikuti langkah laki-laki itu. Saat memasuki rumah, rasa takjub Devan semakin menjadi-jadi. Seketika jiwa miskinnya sangat meronta-ronta. Jangankan memiliki rumah semewah ini, untuk makan tiga kali sehari saja dia harus bekerja keras. Sampai akhirnya langkah kaki Devan berhenti di depan sebuah kamar.Laki-laki berpakaian hitam itu memutar handle pintu. “Silakan istirahat. Ini kamar Nona Laura. Tuan Devan akan tinggal di sini.”Devan mengangguk
Setelah terlelap seorang diri sepanjang malam, Devan terbangun pagi-pagi sekali. Dia meraih ponsel dari atas nakas. “Jam lima pagi. Ternyata dia tidak pulang. Ah, sangat menyebalkan.” suara khas orang yang baru bangun tidur. Terdengar berat dan jika diperhatikan dengan seksama agak-agak terdengar sexi.Menyibak selimut dan menjuntaikan kaki ke lantai, berdiri gontai dan malas, Devan mulai melangkah. Dia tidak berharap Laura pulang dan tidur bersamanya atau bahkan menghabiskan malam pertama dengan dirinya. Itu semua jauh dari dalam pikiran Devan. Dia kesal perempuan itu belum pulang dan itu artinya dia harus masih tertahan di rumah mewah ini. “Ahh! sial! Baju sekolahku,” racau Devan bersungut-sungut. Dia terus mengumpat kesal.Pandangannya memindai setiap sudut kamar sembari sesekali menguap mencari keberadaan handuk. Harus segera mandi kalau tidak ingin terlambat ke sekolah. Apapun ceritanya dia harus bergegas, andaipun Laura juga belum pulang, dia harus menyelinap keluar tanpa diketa
Usai memakai seragam sekolahnya, Devan menutup pintu dan mengunci rumah yang selama ini menjadi tempatnya berteduh dari hujan dan panas. Meskipun rumah itu kecil dan terlihat kuno, tetap saja dia merasa nyaman karena itu rumahnya dan dia tinggal disana bersama sang ayah.Memakai tas gendong ke punggung, lalu menumpu tangan pada bahu Daffa, Devan melebarkan langkah kaki dan duduk di belakang sahabatnya itu. “Pegang erat-erat,” Daffa memberikan peringatan sembari menarik gas motor yang mulai melaju kencang membelah jalanan.“Aziel gak bareng kita?”“Gue buru-buru setelah lu kirim pesan tadi. Lu ngapain pagi-pagi di sana?”Devan terdiam sejenak, bola matanya berputar karena otaknya tengah bekerja mencari alasan. “Ceritanya panjang,” hanya kalimat itu yang bisa terpikirkan. Mungkin jika nanti Daffa masih menanyakan tentang itu, Devan perlu memikirkan jawaban lain sekali lagi.Laju motor yang tengah dikendarai oleh Daffa akhirnya melewati gerbang sekolah dan berhenti di area parkir. Kedua
Usai mengganti baju seragam sekolahnya, Devan sudah rapi dengan baju kaos oblong yang dipadukan dengan hoodie serta celana jeans. Dia keluar dari rumah dan mengunci pintu. Melangkah dengan lebar menuju jalan Raya. Seharusnya saat ini dia ingin ke rumah sakit buat menjenguk sang ayah yang tengah terbaring tidak berdaya sebelum nanti dia berangkat pergi bekerja. Namun, ketidakberdayaan membuatnya harus memilih pergi pulang ke rumah Laura.Devan bergegas naik di atas motor Abang ojol yang tadi dia pesan dan mulai melaju menuju kediaman Laura. Setibanya di kawasan elit itu, Devan turun dari motor ojol. Melihat kehadiran Devan disana, security bergegas membuka gerbang. “Pak,” tegur security itu ramah.Devan membalas senyum security itu dengan perasaan canggung. “Panggil aku Devan aja Pak,” ujarnya, lalu mulai melangkah hingga tiba di depan pintu utama kediaman Arya Wiguna.Tresno menyusul. “Mas, sudah di tunggu Tuan besar sama Nona Laura.”Devan menganggukkan kepala sembari mengikuti langk
Setengah hari menghabiskan waktu di rumah sang istri membuat Devan merasa frustasi. Kini hari telah malam, Devan maupun Laura sudah sama-sama berada di dalam kamar yang sama tanpa obrolan ataupun sapaan. Laura duduk di atas ranjang ditemani oleh sebuah laptop dan beberapa berkas, gadis berusia 27 tahun itu tampak asyik sendiri dengan pekerjaannya. Dia terlihat sangat berwibawa persis seperti seorang pemimpin sejati. Sementara dengan Devan sendiri, laki-laki muda itu tengah duduk seorang diri di atas sofa dengan ponsel di tangannya berbalas pesan di grup WA yang beranggotakan hanya tiga orang. Siapa lagi kalau bukan Devan Aziel dan Daffa.“Dev, lu udah pulang kerja?” Aziel.Devan keceplosan. “Aku nggak kerja.”“Lah! Terus sekarang lu gi di rumah?” Daffa.“Emm. Aku salah ketik. Maksudnya masih di tempat kerja,” Devan.“Yahhh! Udah jam segini masih di tempat kerja. Padahal gue mau ngajak kalian keluar. Pusing gue di rumah,” Aziel.“Eh, barusan Gue chat sama Kara, katanya dia lagi sama Na
Devan menggeliat seiring dengan kelopak matanya yang mulai terbuka. Namun, alangkah terkejutnya dia saat melihat Laura ada di dalam pelukannya. Bantal pembatas antara mereka berdua sudah terbang entah kemana. Degup jantung pun memompa tidak beraturan. Kelelakiannya menegang begitu saja.Tiba-tiba, Laura membuka mata.Plak!!Satu tamparan keras mendarat di pipi Devan hingga membuat laki-laki itu meringis dan menjauh dari tubuh istrinya. Dia langsung bergegas duduk dan menatap Laura dengan tatapan kesal. Begitu juga Laura yang ikut bergegas duduk. Laura benar-benar lupa jika telah bersuami. Saat membuka mata dan melihat wajah Devan begitu dekat dengan wajahnya membuat tangan Laura reflek menampar laki-laki itu.“Maaf, aku gak sengaja.”“Nggak jelas banget sih Mbak! KDRT tahu nggak!” Devan bergegas turun dari atas ranjang.Laura melebarkan kelopak mata. Sudut hatinya terasa mendidih mendengar panggilan sang suami pada dirinya. Padahal Laura berpikir wajahnya tidak terlihat setua itu. Ini
Kedatangan Laura di kantor HRD membuat seluruh karyawan bangkit dari duduk dan membungkuk memberi hormat. “Bu Laura,” suara yang terdengar sangat sungkan penuh rasa hormat.“Ehem!” Wajah datar dan dingin, Laura berdehem. “Karyawan atas nama Devan Abimanyu kenapa kamu menerimanya bekerja?” Aura wajah yang penuh kharismatik membuat kepala HRD sungkan menatap. Tangan yang saling bertautan, kepala yang sedikit menunduk penuh rasa hormat. “Pak Arya Wiguna yang merekomendasinya secara langsung, kami tidak bisa menolak.”Awal Devan masuk ke perusahaan membuat kepala HRD dan beberapa orang karyawan merasa penasaran tentang hubungan Devan dengan sang pemilik perusahaan. Laki-laki itu memiliki koneksi yang cukup kuat dan merupakan orang yang paling berpengaruh nomor satu di perusahaan. Ya, walaupun posisi Devan hanyalah seorang office boy tetap saja membuat mereka penasaran.Laura mengernyitkan dahi. Isi dalam kepalanya penuh dengan banyak tanya. Sekarang dia sudah tahu Devan diterima di peru
Beberapa orang karyawan yang sempat menyaksikan kejadian langka itu cukup tercengang melihat tingkah laku Laura yang tidak seperti biasanya. Seorang perempuan yang begitu disegani di perusahaan ini bertingkah laku sangat konyol. Berjalan terseok-seok sembari menutup wajah seperti seorang pencuri yang takut ketahuan. “Nona, ada apa?” Axel mengikuti langkah Laura dengan penuh rasa prihatin yang mendalam.“Wahh! ini pemandangan yang sangat menakjubkan,” tutur salah seorang karyawan dengan pandangan yang tidak lepas dari tingkah laku konyol Laura.“Apa dunia akan segera kiamat. Bos angkuh kita terlihat aneh hari ini.”“Nona, Laura, apa Anda baik-baik aja? sepertinya kaki Anda terkilir,” kata Axel mencoba memastikan.Laura masuk di kantor eksekutif dan menyandar pada dinding. Melihat kedatangan Laura membuat kepala eksekutif berdiri dan membungkuk memberi hormat. “Nona Laura,” tegurnya.Wajah Laura kembali ke setelan pabrik, Dia terlihat dingin dan datar. “Sepertinya kakiku terkilir, Ax