"Kenapa kalian menculiknya?" Laura tengah duduk tenang di atas sofa yang berhadapan langsung dengan tempat dimana pemuda yang tengah pingsan tersebut terbaring.
"Lah! bukannya Nona mewajibkan tetap membawa dia," ujar Axel."Tapi kenapa harus dibius seperti ini!""Ya, karena dia tidak mau ikut.""Ini tidak benar," gumam Laura."Tidak benar apanya!" gerutu Axel merasa kesal. Bersusah payah dia membujuk pemuda yang tengah pingsan ini untuk ikut bersamanya agar mau menikah dengan Laura, tetapi pemuda ini menolaknya mentah-mentah. Mau tidak mau Axel dan beberapa orang anak buahnya mengambil tindakan ini."Aku yakin, jika kamu menjelaskan padanya secara rinci bahwa yang akan menikahinya itu adalah aku, pasti dia mau," ujar Laura dengan percaya diri. Dia selalu yakin dengan pesona yang Ia miliki. Ya, walaupun kepercayaan dirinya itu sempat hancur setelah dirinya dikhianati oleh mantan kekasihnya."Haisss!" Axel geleng-geleng kepala."Kamu menyepelekan aku!" eram Laura saat melihat reaksi sekretaris pribadinya itu."Tidak Nona Laura, aku tidak berani seperti itu padamu," tegas Axel.Laura menyodorkan minuman kaleng pada Axel yang tengah berdiri di samping dirinya dan Axel mengambil kaleng itu, lalu membukanya dan kembali memberikannya pada Laura.Laura pun mulai meneguk air dari minuman kaleng tersebut, kemudian kembali angkat bicara,"kapan dia akan sadar?" tanyanya sambil menatap pada pemuda di depannya.Belum kering air ludah Laura yang menanyakan kapan pemuda tersebut siuman, terlihat pemuda itu meringis sambil perlahan membuka mata. Bola mata yang teduh itu tertuju menatap pada wajah Laura."Ada di mana aku? stttt!” Tangannya bergerak menyentuh kepalanya."Di apartemenku," jawab Laura santai.Devan langsung bisa mengenali sosok Laura. Perempuan yang kemarin mobilnya Ia tabrak pakai sepeda dan itu tidak sengaja. Namun, perempuan ini malah memeras dirinya dengan memaksakannya untuk menikah. Entah apa yang ada di dalam pikiran perempuan itu.Devan tertatih mencoba berdiri, kemudian dia berjalan menuju arah pintu apartemen dengan tangan yang mencoba membuka pintu. Namun, sayangnya pintu tersebut terkunci membuat Devan kembali menoleh ke arah belakang menatap pada Laura. "Aku ingin pulang.” Laura pun tertawa sembari mulai berdiri. Ia melangkah mendekati sang pemuda."Jangan terlalu buru-buru! bagaimana jika kita berbicara sebentar.""Aku mau pulang sekarang!" Rahang Devan tampak mengeras.Laura menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berucap,"ternyata kamu cukup keras kepala. Menarik! tapi sayangnya jika kamu tidak ingin membuka peluang untuk kita berbicara, maka dengan terpaksa aku harus menyekap kamu sampai waktu yang tidak bisa ditentukan."Devan menatap Laura dengan tatapan jengah."Apa yang kamu inginkan?""Mari silahkan duduk! kita bicarakan secara baik-baik." Laura mempersilahkan Sang pemuda untuk duduk di atas sofa mewah miliknya. Devan menghela napas berat, pun Ia menuruti keinginan Laura. Dia berjalan menuju sofa dan menghempaskan bokongnya di sana.Laura ikut duduk, lalu berdehem memberikan kode kepada Axel untuk memberikan sang pemuda air minum. Dengan sigap Axel bergegas mengambil minuman kaleng dari dalam kulkas, lalu memberikannya pada pemuda di hadapan Bosnya itu."Aku tidak ingin minum. Katakanlah! apa yang ingin kamu katakan?” Devan menatap Laura sangat dalam.Axel pun membuka minuman kaleng itu dan meminumnya untuk dirinya sendiri."Menikahlah denganku?" pinta Laura langsung to the point."Aku udah bilang, aku gak mau menikah. Lagi pula aku gak kenal sama kamu."Laura pun mengulurkan tangannya."Kenalkan, aku Anindira Laura.”Namun, seperti nasib Axel tadi, uluran tangan Laura hanya diabaikan begitu saja hingga membuat tawa Axel pecah seketika. Dia teringat dengan kepercayaan diri Laura setengah jam yang lalu. Bosnya begitu percaya diri tingkat tinggi. Laura berucap dengan pongah jika pemuda itu akan dengan senang hati menikah jika tau mempelai wanitanya adalah Laura. Sungguh kepercayaan diri yang sangat luar biasa lawak!Laura menatap Axel dengan melototkan mata membuat tawa Axel seketika terhenti. "Maaf," ucapnya ciut.Kemudian Laura kembali mengalihkan pandangannya pada Devan."Katakan, siapa namamu?"Wajah Devan tampak jelas seperti tengah menahan kesal. “Biarkan aku pulang, Tante!"“What!” Laura melotot tajam. Sedangkan Axel tertawa lepas. Tawa yang sangat puas.“Kamu panggil aku Tante! sejak kapan aku menikah dengan Om kamu.” Laura begitu kesal. Dia tahu pemuda di hadapannya ini memiliki paras yang rupawan. Ia sangat tampan, tetapi Laura masih bisa membedakan usia melalui tubuh seseorang. Devan tinggi dan sedikit berotot. Pasti tidak terlalu jauh dari usianya, pikir Laura. Enak saja mengatai dirinya Tante-Tante! Emangnya wajahnya setua itu, huh! Akan tetapi, Laura berusaha menekan perasaan kesalnya itu, biar bagaimanapun yang dia inginkan adalah seorang suami."Tentu saja kamu akan pulang setelah menyelesaikan semua permasalahanku,” lirihnya masih berwajah masam."Kenapa harus aku?”“Pertama, kamu menabrak mobil kesayanganku pakai sepeda bututmu itu. Apa kamu sanggup ganti rugi?”Devan mendengus mendengar itu. Dasar orang kaya, selalu berbuat seenaknya. Walaupun bukan orang cerdas, tetapi Devan tidak goblok-goblok amat jika tengah dibodohi. “Kamu jangan membodohiku!”“Axel.”“Iya, Nona Laura.”Axel maju beberapa langkah, dia meletakkan beberapa foto di atas meja. “Ini bagian depan mobil Nona Laura yang udah kamu tabrak. Tergores. Nona Laura adalah orang yang sangat perfeksionis. Dia tidak suka barang-barangnya disentuh orang lain dan kamu malah menggoresnya. Kamu tahu berapa harga kap mobil itu? Ah, mending kamu gak perlu tau kalo akhirnya akan membuat kemiskinanmu meronta.”Devan tidak habis pikir dengan isi kepala orang-orang ini. Mereka menyandranya dan memaksanya menikahi Laura, perempuan yang Ia terka jauh lebih tua jika dibandingkan dengan usianya dan itu pun hanya karena alasan sepele.“Akan aku cicil,” putus Devan. Meskipun dia sadar saat ini dia tengah di peras.“Dua puluh juta.”Devan langsung terlonjak. “Buset! Kalian memerasku!” Bola matanya memerah menahan amarah.“Ayahmu tengah di rawat di rumah sakit, bukan?” ujar Laura. “Jika kamu mau menikah denganku, maka akan aku jamin biaya pengobatannya sampai tuntas. Kamu hanya perlu menjadi suamiku. Kamu tidak akan dipaksa melakukan apapun setelah itu. Kamu bebas mau apa aja terserah. Jika menolak, ganti rugi terhadap mobilku yang kamu tabrak, kalau tidak, aku jamin kamu akan mendekam di penjara.”Devan mengepal tangannya erat. Beginikah sakitnya menjadi orang miskin? Tidak bisa membela diri, walaupun sebenarnya tidak bersalah. Bisa dipermainkan seenaknya seperti tidak memiliki harga diri. Sakit!“Bagaimana?” tanya Laura.“Apa aku punya pilihan? Aku heran dengan kamu. Jika dilihat dari parasmu, kamu memiliki wajah yang lumayan, terus kamu kaya. Apa sesulit itu mencari suami? Apa harus mempermalukan diri seperti ini?”Laura yang tadinya mulai berangsur tenang dan santai, kini berubah berwajah masam lagi. Sisi sakitnya dirobek lagi dan itu rasanya sangat sakit. Dia cantik dan kaya, tetapi untuk urusan cinta dia begitu lemah tidak berdaya. Bahkan kekasih pujaan yang Ia cintai tega menghancurkan kepercayaan juga hatinya. Ia benar-benar kehilangan kepercayaan tentang cinta.“Axel.”“Iya, Nona Laura.”“Aku rasa yang dia katakan itu benar. Aku cantik dan kaya. Apa sulitnya mencari pasangan. Semua laki-laki pasti sangat berharap bisa menjadi suamiku, terlebih dengan status sosialku. Biarkan dia pergi membayar setiap omong kosongnya. Pastikan dia bahagia dengan ucapannya yang manis itu.”Axel menganggukkan kepala. Dia mempersilahkan Devan keluar dari apartemen. Devan melangkah dengan perasaan sedikit takut, setiap baris kata yang terucap dari mulut Laura terdengar menakutkan. Namun, dia senang bisa pulang. Dia tidak perlu menikah karena masa depannya masih panjang. Akan tetapi, tepat di depan pintu keluar apartemen ponselnya berbunyi dan di layar ponsel tertera pemanggil dari pihak rumah sakit tempat ayahnya dirawat. Setelah mendengarkan informasi dari pihak rumah sakit, Devan terhenyak. Wajahnya kesal bercampur pias. Ia berbalik dengan tatapan tajam pada Laura.Wajah Devan tampak muram. Dia persis seperti robot kaku. Raganya seperti tidak memiliki nyawa. Sangat pasrah dengan apa yang tengah di lakukan perias pengantin pada dirinya.Terdengar suara hentakan dari hak sepatu beradu dengan kramik. Laura masuk ke ruangan di mana Devan tengah di persiapkan memakai baju pengantin pria. Gadis itu menatap dengan tatapan lurus. "Apa dia sudah siap?" tanyanya pada mua tanpa mengalihkan tatapannya pada punggung Devan.Devan melirik pada sumber datangnya suara. Menatap pada gadis yang telah memaksanya untuk menikah. Kata perempuan itu butuh dirinya menjadi suami hanya untuk enam bulan saja dan setelah itu dia akan di bebaskan dari ikatan pernikahan. Sebagai seorang remaja tentu saja hal ini membuat Devan menolak dengan tegas dan keras. Masa depannya masih panjang, ya kali harus menikah muda, terlebih lagi dengan seorang perempuan yang kelihatannnya jauh lebih dewasa di atas usianya. Devan akui Laura sangat cantik. Bahkan sangat, sangat cantik, tetapi
Keluar dari mobil, Devan menyapu pandangannya ke seluruh sudut halaman rumah yang berdiri mewah di depannya. Sebuah pemandangan yang sangat menakjubkan. Kemudian Devan mendongakkan kepala memperhatikan rumah kediaman istri yang baru saja Ia nikahi beberapa jam yang lalu. Hebat. Sungguh hebat. Devan tidak mengira perempuan itu sekaya ini.“Tuan, Devan,” tegur orang suruhan Laura yang membawa Devan ke rumah ini.“Oh.” Devan tersadarkan.“Ayo silakan masuk. Saya akan mengantar Tuan Devan sampai ke dalam kamar.”Devan menganggukkan kepala sembari mengikuti langkah laki-laki itu. Saat memasuki rumah, rasa takjub Devan semakin menjadi-jadi. Seketika jiwa miskinnya sangat meronta-ronta. Jangankan memiliki rumah semewah ini, untuk makan tiga kali sehari saja dia harus bekerja keras. Sampai akhirnya langkah kaki Devan berhenti di depan sebuah kamar.Laki-laki berpakaian hitam itu memutar handle pintu. “Silakan istirahat. Ini kamar Nona Laura. Tuan Devan akan tinggal di sini.”Devan mengangguk
Setelah terlelap seorang diri sepanjang malam, Devan terbangun pagi-pagi sekali. Dia meraih ponsel dari atas nakas. “Jam lima pagi. Ternyata dia tidak pulang. Ah, sangat menyebalkan.” suara khas orang yang baru bangun tidur. Terdengar berat dan jika diperhatikan dengan seksama agak-agak terdengar sexi.Menyibak selimut dan menjuntaikan kaki ke lantai, berdiri gontai dan malas, Devan mulai melangkah. Dia tidak berharap Laura pulang dan tidur bersamanya atau bahkan menghabiskan malam pertama dengan dirinya. Itu semua jauh dari dalam pikiran Devan. Dia kesal perempuan itu belum pulang dan itu artinya dia harus masih tertahan di rumah mewah ini. “Ahh! sial! Baju sekolahku,” racau Devan bersungut-sungut. Dia terus mengumpat kesal.Pandangannya memindai setiap sudut kamar sembari sesekali menguap mencari keberadaan handuk. Harus segera mandi kalau tidak ingin terlambat ke sekolah. Apapun ceritanya dia harus bergegas, andaipun Laura juga belum pulang, dia harus menyelinap keluar tanpa diketa
Usai memakai seragam sekolahnya, Devan menutup pintu dan mengunci rumah yang selama ini menjadi tempatnya berteduh dari hujan dan panas. Meskipun rumah itu kecil dan terlihat kuno, tetap saja dia merasa nyaman karena itu rumahnya dan dia tinggal disana bersama sang ayah.Memakai tas gendong ke punggung, lalu menumpu tangan pada bahu Daffa, Devan melebarkan langkah kaki dan duduk di belakang sahabatnya itu. “Pegang erat-erat,” Daffa memberikan peringatan sembari menarik gas motor yang mulai melaju kencang membelah jalanan.“Aziel gak bareng kita?”“Gue buru-buru setelah lu kirim pesan tadi. Lu ngapain pagi-pagi di sana?”Devan terdiam sejenak, bola matanya berputar karena otaknya tengah bekerja mencari alasan. “Ceritanya panjang,” hanya kalimat itu yang bisa terpikirkan. Mungkin jika nanti Daffa masih menanyakan tentang itu, Devan perlu memikirkan jawaban lain sekali lagi.Laju motor yang tengah dikendarai oleh Daffa akhirnya melewati gerbang sekolah dan berhenti di area parkir. Kedua
Usai mengganti baju seragam sekolahnya, Devan sudah rapi dengan baju kaos oblong yang dipadukan dengan hoodie serta celana jeans. Dia keluar dari rumah dan mengunci pintu. Melangkah dengan lebar menuju jalan Raya. Seharusnya saat ini dia ingin ke rumah sakit buat menjenguk sang ayah yang tengah terbaring tidak berdaya sebelum nanti dia berangkat pergi bekerja. Namun, ketidakberdayaan membuatnya harus memilih pergi pulang ke rumah Laura.Devan bergegas naik di atas motor Abang ojol yang tadi dia pesan dan mulai melaju menuju kediaman Laura. Setibanya di kawasan elit itu, Devan turun dari motor ojol. Melihat kehadiran Devan disana, security bergegas membuka gerbang. “Pak,” tegur security itu ramah.Devan membalas senyum security itu dengan perasaan canggung. “Panggil aku Devan aja Pak,” ujarnya, lalu mulai melangkah hingga tiba di depan pintu utama kediaman Arya Wiguna.Tresno menyusul. “Mas, sudah di tunggu Tuan besar sama Nona Laura.”Devan menganggukkan kepala sembari mengikuti langk
Setengah hari menghabiskan waktu di rumah sang istri membuat Devan merasa frustasi. Kini hari telah malam, Devan maupun Laura sudah sama-sama berada di dalam kamar yang sama tanpa obrolan ataupun sapaan. Laura duduk di atas ranjang ditemani oleh sebuah laptop dan beberapa berkas, gadis berusia 27 tahun itu tampak asyik sendiri dengan pekerjaannya. Dia terlihat sangat berwibawa persis seperti seorang pemimpin sejati. Sementara dengan Devan sendiri, laki-laki muda itu tengah duduk seorang diri di atas sofa dengan ponsel di tangannya berbalas pesan di grup WA yang beranggotakan hanya tiga orang. Siapa lagi kalau bukan Devan Aziel dan Daffa.“Dev, lu udah pulang kerja?” Aziel.Devan keceplosan. “Aku nggak kerja.”“Lah! Terus sekarang lu gi di rumah?” Daffa.“Emm. Aku salah ketik. Maksudnya masih di tempat kerja,” Devan.“Yahhh! Udah jam segini masih di tempat kerja. Padahal gue mau ngajak kalian keluar. Pusing gue di rumah,” Aziel.“Eh, barusan Gue chat sama Kara, katanya dia lagi sama Na
Devan menggeliat seiring dengan kelopak matanya yang mulai terbuka. Namun, alangkah terkejutnya dia saat melihat Laura ada di dalam pelukannya. Bantal pembatas antara mereka berdua sudah terbang entah kemana. Degup jantung pun memompa tidak beraturan. Kelelakiannya menegang begitu saja.Tiba-tiba, Laura membuka mata.Plak!!Satu tamparan keras mendarat di pipi Devan hingga membuat laki-laki itu meringis dan menjauh dari tubuh istrinya. Dia langsung bergegas duduk dan menatap Laura dengan tatapan kesal. Begitu juga Laura yang ikut bergegas duduk. Laura benar-benar lupa jika telah bersuami. Saat membuka mata dan melihat wajah Devan begitu dekat dengan wajahnya membuat tangan Laura reflek menampar laki-laki itu.“Maaf, aku gak sengaja.”“Nggak jelas banget sih Mbak! KDRT tahu nggak!” Devan bergegas turun dari atas ranjang.Laura melebarkan kelopak mata. Sudut hatinya terasa mendidih mendengar panggilan sang suami pada dirinya. Padahal Laura berpikir wajahnya tidak terlihat setua itu. Ini
Kedatangan Laura di kantor HRD membuat seluruh karyawan bangkit dari duduk dan membungkuk memberi hormat. “Bu Laura,” suara yang terdengar sangat sungkan penuh rasa hormat.“Ehem!” Wajah datar dan dingin, Laura berdehem. “Karyawan atas nama Devan Abimanyu kenapa kamu menerimanya bekerja?” Aura wajah yang penuh kharismatik membuat kepala HRD sungkan menatap. Tangan yang saling bertautan, kepala yang sedikit menunduk penuh rasa hormat. “Pak Arya Wiguna yang merekomendasinya secara langsung, kami tidak bisa menolak.”Awal Devan masuk ke perusahaan membuat kepala HRD dan beberapa orang karyawan merasa penasaran tentang hubungan Devan dengan sang pemilik perusahaan. Laki-laki itu memiliki koneksi yang cukup kuat dan merupakan orang yang paling berpengaruh nomor satu di perusahaan. Ya, walaupun posisi Devan hanyalah seorang office boy tetap saja membuat mereka penasaran.Laura mengernyitkan dahi. Isi dalam kepalanya penuh dengan banyak tanya. Sekarang dia sudah tahu Devan diterima di peru