Laura memalingkan wajahnya. Degup jantung sangat tidak beraturan. Pipinya terasa hangat seperti terbakar. Saat ini dia tengah membantu Devan memegang botol infus dan memegang lengan suaminya itu yang tengah buang air kecil. Gara-gara Devan ingin pergi ke kamar mandi seorang diri akhirnya Laura memutuskan untuk membantu. Daripada Devan pingsan yang ujung-ujungnya akan merepotkan dia juga nantinya.âUdah belum?â Laura bertanya ketika dirinya tidak lagi mendengar suara gemericik air kencing.âMbak kenapa kayak gitu?â Devan baru menyadari kalau saat ini Laura tengah tersipu menghadap ke arah dinding. Dia tersenyum geli. Istri dewasanya bertingkah laku tidak ubahnya seperti perawan remaja yang tengah puber.âJangan banyak tanya! Kamu udah belum kencingnya.ââCk. Kayak belum pernah lihat aja sih Mbak. Padahal malam itu kamu sangat tergila-gila dengan milikku.ââDEVAN!ââEhehe. Jangan malu-malu gitu lah Mbak. Sama suami sendiri aja kok.ââKamu udah atau belum nih!â Laura tidak ingin melayan
Laura memutar tubuh menghadap pada laki-laki itu. Dia menatap pergelangan tangannya yang tengah digenggam oleh Bisma. âLepaskan!â nada suaranya terdengar begitu dingin.âLaura, Aku merindukanmu.ââAku bilang lepaskan!âBisma tidak mengindahkan ucapan Laura padanya, bahkan dia semakin berani memegang kedua bahu Laura. Ketika Bisma merengkuh tubuh Laura dan akan memeluknya, sebuah dorongan kasar pada dada bidang itu diikuti oleh tamparan keras pada pipi setelah itu.Plak! Bisma memegang pipinya terasa panas. Menarik nafas perlahan, mencoba untuk menenangkan diri. âLaura Aku tahu kamu marah. Kamu kesal padaku, tapi biarkan aku menjelaskan kenapa aku tidak datang di hari pernikahan kita waktu itu.ââGak usah! Simpan semua penjelasanmu itu. Aku tidak butuh.âBisma bersekeras menahan bahu Laura. âKamu harus mendengarkannya.âLaura meninggikan suara dan untungnya mereka tengah berada jauh dari keramaian sehingga tidak ada orang yang menyadari hal tersebut. âBisma! tolong jaga batasanmu. Jan
âDari keluarga mana dia berasal? Apa nama perusahaannya? Apa prestasi yang dimilikinya?â Bisma menanyakan pertanyaan secara beruntun.Gerakan tangan Devan tampak kembali ingin memberikan tinju sekali lagi pada laki-laki itu tetapi Laura menahannya. âDevan!âDevan menghadap ke arah Laura dan menatap istrinya dengan seksama. âKenapa kamu membiarkannya memelukmu?ââOh, jadi kamu benar-benar suaminya,â cicit Bisma. âSuami pengganti!â Bisma menekankan suaranya pada kalimat tersebut.âBisma, tolong!â ujar Laura. Perkataan Bisma jelas-jelas memprovokasi Devan.âAku mengatakan fakta, Laura. Dia hanya suami pengganti disaat aku tidak bisa hadir di hari pernikahan kita. Andaikan undangan belum tersebar luas mungkin saat ini kita masih bisa menjalin hubungan dengan baik.ââKamu!â rahang Devan mengeras.Laura menarik lengan suaminya itu dan membawanya menjauh dari Bisma.âLaura,â panggil Bisma.Setelah mereka pergi cukup jauh Devan menahan langkahnya hingga membuat Laura berbalik menghadap ke ara
Laura melempar tas Hermes yang ada di dalam genggaman tangannya sembarangan, menghempaskan bokongnya di atas sofa dengan begitu gusar, dadanya turun naik menahan emosi. âHah! Dia pikir dia itu siapa?âSepanjang pesta, Celine sengaja mencari gara-gara dengannya, memanasi diri dengan keberadaan Bisma. Yang membuat jengkelnya laki-laki itu tampak diam saja. Hanya beberapa kali berusaha menenangkan dirinya juga Celine.âNona Laura sabarlah.âLaura melototkan matanya. âKamu suruh aku sabar? Kamu nggak lihat gimana tadi Celine berusaha mencari gara-gara denganku.âAxel menghela nafas. âApakah begitu sulit bagimu untuk melupakan Bisma. Dia jelas-jelas berkhianat.âLaura memalingkan wajahnya. âDia tidak bermaksud begitu, dia terpaksa melakukannya.âAxel ingin menjawab tetapi seseorang menemuinya dan membisikkan sesuatu di pangkal telinganya, Axel menganggukkan kepala, lalu mengibaskan tangannya untuk menyuruh seseorang tersebut pergi. âNona Laura.ââHhmm.ââOrang yang menusuk Devan kemarin su
Setibanya di sekolah, Devan masih memasang wajah masam karena rasa kesal di hatinya masih begitu kental. Bagaimana tidak kesal jika sebagai saudara laki-laki dirinya tidak dianggap bahkan untuk hal yang sangat besar, Tiara tidak memberitahunya tentang perjodohan yang dilakukan oleh sang bibi. Terkadang Devan berpikir apakah dirinya begitu tidak berarti untuk siapapun baik itu sebagai suami maupun sebagai Abang.âMas, kamu masih marah?ââApa Masmu ini berhak untuk marah?â nada suara itu terdengar sangat dingin.Tiara merangkul lengan Devan. âJangan gitu, Mas. Tiara bukannya nggak mau ngasih tahu sama Mas tapi Mas aja baru pulang tadi malam kan.âAkhirnya Devan membalas pelukan tangan sang adik pada lengannya. Dia menggamit tangan sama adik. Tidak peduli berapa banyak pasang mata memperhatikan mereka. âBerjanjilah sama Mas, kedepannya kamu harus ceritain semuanya sama Mas.âTiara tersenyum sembari menganggukkan kepalanya. âJanji.âDevan ikut tersenyum, tangannya terulur mengacak-acak ra
Sepanjang perjalanan menuju kantor, Laura maupun Devan sama-sama diam. Laura sibuk pada laptop di atas pahanya sedangkan Devan sesekali melirik. âApa matanya gak perih sepanjang waktu menatap layar seperti itu?â batin Devan di dalam hati. Namun, dia sadar untuk berada di puncak tertinggi seperti status Laura pasti ada harga yang harus dibayar.Ketika laju mobil telah berhenti di basement perusahaan, Devan turun lebih dulu dan mengucapkan terima kasih atas tumpangan yang telah diberikan Laura padanya, setelah itu Devan langsung bergegas masuk ke dalam gedung yang menjulang tinggi tersebut. Laura menyadari sikap Devan padanya, bocah itu kembali dingin seperti pertama kali mereka bertemu dulu. Laura termangu untuk beberapa saat karena memikirkan hal itu, tetapi bukankah seperti ini justru akan lebih baik dan membuat Laura merasa tenang, Ia pun bergegas turun dari mobil dan mulai melangkah menuju lobby. Di sana dia berselisih jalan dengan Devan yang sudah mulai aktif bekerja, keduanya sal
Sudah hampir 3 menit Laura hanya memandangi suaminya yang tengah berdiri tanpa suara. âKenapa kamu melakukan itu?â akhirnya Laura mengeluarkan suara membuat Devan yang menundukkan kepala mengangkat wajahnya menatap sang istri. âDia berbohong,â ujar Devan. âDia yang memaki-maki dengan kata-kata kasar dan menamparku, dia memutar balikan fakta bahkan meskipun begitu aku tetap meminta maaf padanya.ââYang aku tanyakan tentang USB itu,â nada bicara Laura terdengar dingin.âAku tidak sengaja melakukannya.â Devan berpaling.âKamu pikir Nona Laura orang bodoh!â Axel yang kesal ikut menghardik suami Nona mudanya itu. âSiapapun tahu kamu melakukannya dengan sengaja.âDevan menatap Axel dengan tatapan tajam, sedikitpun tidak ada rasa takut di dalam tatapannya itu. âAku bilang! aku nggak sengaja.âAxel menggeram geram. âKamu!ââAxel!â Laura berusaha menghentikan. âKamu keluarlah.ââTapi Nona Laura.ââKeluar Axel.âAkhirnya Axel hanya bisa menganggukkan kepala. âBaiklah.â Dia melangkah melewati D
âMaaf,â cicit Devan dengan nada datar. Dia kembali ingin menutup pintu ruangan tersebut tetapi Laura menahannya. âMasuklah!â Mau tidak mau Devan menganggukkan kepala sembari melangkahkan kaki dan berdiri di hadapan istrinya itu. Laura menatap Axel dan mengangkat dagunya sebagai isyarat agar laki-laki itu keluar dari ruangannya. Axel yang paham langsung undur diri.âAda apa?â tanya Laura. Devan bergegas mengulurkan berkas, menaruhnya di atas meja. âAku disuruh mengantar ini sama Mbak.âLaura menatap berkas itu sesaat, lalu kembali menatap pada suaminya. âLain kali jangan mau di suruh-suruh seperti ini lagi.â Devan tertawa lirih. âApa aku bisa menolak dengan posisiku di perusahaan ini.âLaura tercenung. Benar yang dikatakan oleh suaminya, laki-laki itu hanya seorang office boy yang pasti akan menjadi pesuruh siapa saja. Suami seorang Presdir jadi pesuruh siapapun di perusahan apakah itu pantas? Laura menghela nafas panjang, dan berpikir ini tidak boleh dibiarkan. Selama Devan menyandan
Usai menelpon orang yang dipercayakan untuk mengurus ayahnya di luar negeri, Laura berdiri di depan cermin dengan tatapan datar. Beberapa orang pembantu masuk ke dalam kamar. Mereka datang untuk mendandani Laura dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ya, setelah pulang dari kediaman Wiguna, Laura langsung mencari Devan, dia mulai mengajak suaminya itu berbicara empat mata. Setelah pembicaraan itu mereka berdua sepakat untuk mengadakan konferensi pers hari ini. Axel masuk ke dalam kamar, dia melangkah mendekati Laura. âNona, kita berangkat sekarang?ââHuum. Dimana Devan?ââDia ada di ruang tamu.âLaura membalik tubuhnya, lalu melangkah dengan anggun. Axel berusaha mensejajarkan langkah mereka. âNona, aku sudah berusaha menekan segala informasi tentang Devan, tapi setelah kejadian ini dia pasti akan jadi bahan perhatian. Sulit untuknya tetap seperti biasa.ââBaiklah.âLaura sudah berdiri di depan Devan yang menatapnya dengan pandangan tidak bersemangat. Baru saja tadi malam dia merasaka
Nada dering ponsel terdengar begitu berisik memenuhi ruangan kamar hotel membuat mimpi indah Laura terganggu. Dia membuka mata sembari meliuk dan meraih ponsel itu. Dia memposisikan tubuhnya terlentang sembari menatap layar ponsel pada genggaman tangannya, tetapi suara gumaman Devan yang tengah meliuk memutar tubuh ke arah dirinya membuat Laura tersentak kaget. Tiba-tiba pipinya merona merah tersipu malu. Dia memperhatikan wajah Devan yang tengah terlelap dalam wajah damai. Tidak sengaja bibirnya tertarik membentuk lengkungan indah saat menikmati wajah tampan itu. Tidak bisa mengendalikan diri, tangan bergerak begitu saja menyentuh bibir yang membuatnya tergila-gila hingga membuat Devan bergerak, Laura bergegas menarik tangannya, lalu mengubah posisi tubuh terlentang seperti semula.âMbak, kamu sudah bangun?ââHmmm.âDevan miring ke arah Laura. âLagi yuk, Mbak.âSontak Laura melirik pada suaminya dengan tatapan melotot. âBicara yang sopan!â cercanya dalam debaran jantung tidak mene
âMas, ayo kita samperin Mbak Laura.ââKita cari tempat makan lain aja.â Devan memutar tubuhnya dan itu membuat Tiara kebingungan serta serba salah. Untuk beberapa menit dia menatap kakak iparnya bangkit dari duduk dengan pandangan mata tertuju pada Devan yang sudah mendorong pintu sembari keluar, di saat itulah Tiara berlari mengejar saudara laki-lakinya itu. âMas!â dadanya turun naik karena berusaha mengatur nafas yang ngos-ngosan. Devan mengulurkan helm. âCepat pakai.âTiara hanya bisa pasrah dan meraih helm tersebut. Dia tidak mengerti mengapa Devan begitu tampak marah ketika melihat kakak iparnya dengan laki-laki lain, menurut pemikiran Tiara bukankah seharusnya hal seperti ini tidak perlu terlalu di perhitungkan karena bisa jadi laki-laki itu adalah klien atau semacamnya jika mengingat status sosial kakak iparnya tidak sederhana seperti mereka berdua. Namun, begitu Tiara tetap duduk di belakang Devan dalam diam dan mereka mulai melaju.Sementara itu, Bisma yang melihat reaksi tid
Tiara berlarian menghambur memeluk Devan, sedangkan Daffa tetap duduk di atas motor sport sembari memandangi gadis pujaannya tengah melepaskan rindu dengan sahabat baiknya. Arya yang duduk di sebelah menantunya itu sampai mengernyitkan dahi, bingung kenapa ada gadis lain memeluk suami putrinya.Devan berusaha melerai pelukan adiknya itu. âTiara, jangan kenceng-kenceng dong meluknya, ini Mas sampai nggak bisa nafas.âTiara bergegas melepaskan pelukan dari tubuh masnya itu sembari cengengesan. âHehehe,â lalu ekspresi itu cepat berubah berganti marah-marah. âMas kenapa nggak ada kasih kabar! Mas tahu nggak kalau Tiara khawatir banget! Gak mikir gimana takutnya Tiara kalau sampai terjadi apa-apa sama Mas seperti waktu itu.âMelihat kecemasan yang dipunyai adiknya membuat Devan merasa bersalah, bukan maksud hatinya untuk membuat sang adik merasa khawatir teramat sangat seperti ini, semua karena pekerjaannya yang tidak berkesudahan sedangkan ponselnya jatuh di dalam timba sabun saat memberi
Jam istirahat, Tiara melangkah menuju kelas XII IPS, dia ingin mencari keberadaan Devan yang sedari pagi tidak tampak batang hidungnya sama sekali. Bukan hanya pagi ini, bahkan dari kemarin mas nya itu tidak ada kabar ataupun pulang ke rumah orang tua mereka sekedar untuk bertanya kabar tentang dirinya. Namun, sentuhan tangan seseorang membuat Tiara memutar kepala, ketika dia tahu orang yang menyentuh bahunya tersebut adalah laki-laki yang paling tidak ingin ia lihat membuat wajahnya cemberut.âMau cari Devan,â tanya Daffa sembari memamerkan senyumnya, tetapi Tiara malah merespon dengan wajah jutek. âJangan ganggu aku!âDaffa melangkah dan berdiri di hadapan adik perempuan sahabatnya itu. âGalak amat sih adik manis.â Tangan Daffa terulur ingin menyentuh dagu Tiara tetapi gadis itu bergegas menepisnya kasar. âLama kelamaan kamu gak sopan ya.â Mata Tiara melotot dengan aura tidak senang. Bukannya tersinggung, Daffa malah tertawa seperti orang yang sedang menikmati permainan menyenangkan
âSusah banget sih ngomong sama bocah abg! dikit-dikit marah, dikit-dikit tersinggung. Lama kelamaan dia udah kayak cewek gak sih!â Laura amat sangat kesal dengan sikap datar Devan padanya. Bahkan suami brondongnya itu berani mengacuhkan dirinya begitu saja hanya karena bocah itu menganggap ucapannya di kantor tadi menyakiti. Sebagai seorang yang tidak pernah berpikir keras bagaimana cara mengerti perasaan seorang laki-laki, kini Laura melakukan hal itu. Dia pusing memikirkan apa yang menyebabkan suami brondongnya tersinggung sedangkan ucapan yang dia katakan semua merupakan fakta, lalu di bagian mana yang telah membuat tersinggung?âGini amat nikah sama bocah!â Laura berbaring sembari menarik selimut dan menutupi sebagian tubuhnya. Perlahan ingin menutup mata, tetapi urung setelah melihat sosok Devan keluar dari kamar mandi. Dada Laura kembang kempis menahan sesak ketika melihat dada telanjang suaminya itu. Matanya bergerak sendiri menikmati keindahan yang tengah tersungguh. Air dari
âMaaf,â cicit Devan dengan nada datar. Dia kembali ingin menutup pintu ruangan tersebut tetapi Laura menahannya. âMasuklah!â Mau tidak mau Devan menganggukkan kepala sembari melangkahkan kaki dan berdiri di hadapan istrinya itu. Laura menatap Axel dan mengangkat dagunya sebagai isyarat agar laki-laki itu keluar dari ruangannya. Axel yang paham langsung undur diri.âAda apa?â tanya Laura. Devan bergegas mengulurkan berkas, menaruhnya di atas meja. âAku disuruh mengantar ini sama Mbak.âLaura menatap berkas itu sesaat, lalu kembali menatap pada suaminya. âLain kali jangan mau di suruh-suruh seperti ini lagi.â Devan tertawa lirih. âApa aku bisa menolak dengan posisiku di perusahaan ini.âLaura tercenung. Benar yang dikatakan oleh suaminya, laki-laki itu hanya seorang office boy yang pasti akan menjadi pesuruh siapa saja. Suami seorang Presdir jadi pesuruh siapapun di perusahan apakah itu pantas? Laura menghela nafas panjang, dan berpikir ini tidak boleh dibiarkan. Selama Devan menyandan
Sudah hampir 3 menit Laura hanya memandangi suaminya yang tengah berdiri tanpa suara. âKenapa kamu melakukan itu?â akhirnya Laura mengeluarkan suara membuat Devan yang menundukkan kepala mengangkat wajahnya menatap sang istri. âDia berbohong,â ujar Devan. âDia yang memaki-maki dengan kata-kata kasar dan menamparku, dia memutar balikan fakta bahkan meskipun begitu aku tetap meminta maaf padanya.ââYang aku tanyakan tentang USB itu,â nada bicara Laura terdengar dingin.âAku tidak sengaja melakukannya.â Devan berpaling.âKamu pikir Nona Laura orang bodoh!â Axel yang kesal ikut menghardik suami Nona mudanya itu. âSiapapun tahu kamu melakukannya dengan sengaja.âDevan menatap Axel dengan tatapan tajam, sedikitpun tidak ada rasa takut di dalam tatapannya itu. âAku bilang! aku nggak sengaja.âAxel menggeram geram. âKamu!ââAxel!â Laura berusaha menghentikan. âKamu keluarlah.ââTapi Nona Laura.ââKeluar Axel.âAkhirnya Axel hanya bisa menganggukkan kepala. âBaiklah.â Dia melangkah melewati D
Sepanjang perjalanan menuju kantor, Laura maupun Devan sama-sama diam. Laura sibuk pada laptop di atas pahanya sedangkan Devan sesekali melirik. âApa matanya gak perih sepanjang waktu menatap layar seperti itu?â batin Devan di dalam hati. Namun, dia sadar untuk berada di puncak tertinggi seperti status Laura pasti ada harga yang harus dibayar.Ketika laju mobil telah berhenti di basement perusahaan, Devan turun lebih dulu dan mengucapkan terima kasih atas tumpangan yang telah diberikan Laura padanya, setelah itu Devan langsung bergegas masuk ke dalam gedung yang menjulang tinggi tersebut. Laura menyadari sikap Devan padanya, bocah itu kembali dingin seperti pertama kali mereka bertemu dulu. Laura termangu untuk beberapa saat karena memikirkan hal itu, tetapi bukankah seperti ini justru akan lebih baik dan membuat Laura merasa tenang, Ia pun bergegas turun dari mobil dan mulai melangkah menuju lobby. Di sana dia berselisih jalan dengan Devan yang sudah mulai aktif bekerja, keduanya sal