Fatih POV
Kecelakaan kecil di lab membawa ku di dudukkan bersama gadis kecil mahasiswi ku. Liatlah dia tampak memang masih muda dari tingkahnya. Meskipun terlihat tertata mataku tak bisa beralih dari wajahnya yang imut.
"Ehem dimakan Le jangan liatin Rafsya terus,"tegur Asmita, mertuaku. Astaga dia juga bisa tersipu makin membuatku enggan mengalihkan pandangan. Ehh apaan sih Fat. Itu mahasiswi mu catat kalo lupa. "Mbak Rafsya liat nah Molly,"ucap sepupu nya menunjukkan kucing jenis Persia yang bergerak lucu membuat matanya berbinar.
"Molly. Eum tambah gemuk kamu,"ucap Rafsya menggendong Molly sembari mengusap lembut kepalanya. Kalo kucing aja digendong penuh sayang bagaimana dengan putra mu Fat. Ehh kenapa malah jadi ngelantur.
Baru sejam yang lalu akad, otakku mulai ngga sehat. Efek nikah di usia yang seharusnya sudah berkeluarga. "Rafsya makan dulu Nak. Nanti aja Molly nya,"ucap Asmita. "Bentar aja Bu,"ucap Rafsya masih asyik bermain dengan kucing dan sepupu nya.
Dug
Himawan memberi kode melalui tatapan matanya membuatku menahan senyum. Ayolah Fat jadi laki-laki yang gentle di hadapan mahasiswi mu jika bukan sebagai suaminya. Ku bawa piring ku yang berisi 2 porsi mendekati nya.
"Biar ku suapi,"ucapku duduk di depan mereka. "Hah saya? Ngga perlu kali Pak. Saya nanti aja makannya,"ucap Rafsya menolak tapi tetap bersikeras membuatnya mau ngga mau membuka mulut untuk ku suapi. "Budhe. Gita disuapi suaminya Mbak Rafsya ngga papa kah,"tanya Gita membuat ku agak aneh dengan itu.
"Boleh. Dek Gita kok ngga ikut maem sayang,"tanya Asmita. "Mau makan sambil main sama Molly kayak Mbak Rafsya,"ucap Gita membuatku mau ngga mau turut menyuapi nya. "Pakdhe berati kalo Gita panggil suami nya Mbak Rafsya pakdhe juga?,"ucap Gita membuat seisi meja makan tergelak.
Apa aku setua itu yang harus disetarakan dengan Ayah mertua ku? "Yo ngga toh. Kan Gita panggil Mbak Rafsya Mbak. Masa suaminya dipanggil pakdhe? Ya dipanggil Mas toh,"ucap Mahardika memberi pengertian. "Oalah. Mbak Rafsya, Gita panggil Mas ganteng boleh ndak,"tanya Gita.
"Loh loh kalo kamu panggil Mas ganteng Mbak Rafsya mau panggil apa yo?,"tanya Aini. Astaga kenapa bocah ini banyak sekali komentarnya tentang ku. "Mas sayang lah. Kayak Mbak Nindy panggil Mas Damar, Mas sayang,"ucap Gita menyebut anggota keluarga yang lain.
"Sudah ya makan nya dihabiskan dulu. Ngga boleh makan sambil bicara nanti kesedak,"ucapku menghentikan ocehan yang semakin aneh. "Molly kamu sudah makan kah,"tanya Rafsya. "Udah itu Mbak. Liat nah dia makin manja sama Mbak,"ucap Gita.
Bukannya melihat Rafsya bermain dengan kucing justru pikiran ku mengawang dia tengah bermain dengan anak-anak kita nanti. Dah lah Fat kenapa pikiran mu makin gila semakin ke sini. Apa karena memang faktor U yang sudah seharusnya bawa anak malah masih sibuk kerja.
Ku rasa asam sulfat jauh lebih bisa mencarikan jodoh untukku daripada aku. Entah setan apa yang mengganggu ku sampai tanpa sengaja erlenmeyer 500 ml berisi larutan H2SO4 tumpah mengenai gadis yang berdiri di ujung dekat pintu tengah memakai jas lab.
Tanpa menunggu, aku menggendongnya turun mengabaikan tangan ku yang penuh darah terkena pecahan yang mencuat. Tapi semua itu ngga sebanding dengan rasa sakit yang timbul hingga menyayat saat ku dengar tangis nya.
Meskipun guyuran air sudah membasahi tubuhnya, tapi dengan kadar sebanyak itu membuatnya jatuh pingsan. Bersama dengan Lewis, aku mengantarnya ke RS terdekat. "Pak Fat bajunya dibuka aja. Karena bajunya juga kena,"ucap Lewis membuatku tercekat.
Ya kali ini anak gadis orang ku buka bajunya saat pingsan. "Ngga papa Pak Fat daripada nanti makin parah,"ucap Lewis meyakinkan. Salah juga kenapa tadi ngga ku bawa dosen cewek menemani kami ke rumah sakit. Aku masih menahan tindakan ku tapi melihat air mata kering di pelupuk matanya akhirnya membuat ku menghel nafas dan melepas baju nya sedangkan mata ku beralih ke arah lain.
Tapi dengan catatan, aku pasti tanggung jawab bukan secara materi tapi secara fisik. Caranya aku baru mikir nanti. Ku tutup tubuhnya dengan jas lab ku sementara setidaknya ngga memperburuk. Begitu sudah sampai di RS, kami segera membawa masuk. Setelah dia dibawa masuk, aku dan Lewis saling berpandangan.
"Tangan Anda luka Pak Fatih,"ucap Lewis membuatku melirik ke arah darah yang sudah mengering. "Biasa aja ini Pak,"ucapku turut berdegup kencang menunggu hasil. "Siapa disini keluarganya?,"tanya dokter yang keluar membuat kami saling pandang.
"Kami sebenarnya
"Aku suami nya,"ucapku yakin mengabaikan tatapan lekat Lewis. "Kondisi pasien mulai membaik tapi bekas luka mungkin akan membuat istri Anda kehilangan jati diri nya. Anda ingin menemuinya?,"tanya dokter ku angguki.
Sepeninggal para awak medis, aku dan Lewis masuk untuk melihat kondisi terkini gadis yang tak ku kenal itu. Mataku menatap luka yang dibungkus perban dengan perasaan terpukul. Jangan kan luka, sebuah jerawat sudah cukup membuat gadis yang pernah ku temui frustasi.
Apalagi sebesar dan separah ini. "Pak Fatih Anda yakin mengatakan suami nya?,"tanya Lewis. "Bagaimana pun saya harus bertanggung jawab Pak. Sekalipun karier saya terancam tapi masa depan gadis ini jauh lebih terancam,"ucapku.
"Rektorat ngga mungkin membiarkan dosen cerdas di instansi sepertimu bertaruh karier. Tapi apa Pak Fatih tau siapa gadis ini?,"tanya Lewis ku gelengkan. "Oiya mungkin karena ngga pernah ngajar. Namanya Rafsya Anitya Sagara.
Putri dari Mahardika Abiyasa Sagara,"ucap Lewis membuatku menoleh. Seriusan gadis didepan mata ku putri semata wayang jajaran pimpinan besar KPC. Aku ngga bisa bayangkan putri kesayangan mereka begini karena ku.
"Coba Anda konsultasikan dulu dengan orang tua Anda,"ucap Lewis ku sanggupi dan berlalu menelfon Himawan. Tau kan gimana nih reaksi kalian tiba-tiba anaknya bilang mau nikah sekarang untu tanggung jawab gara-gara kecelakaan di lab.
Himawan dan Aini datang ke RS dengan wajah ditekuk maksimum. Juga jangan lupakan perdebatan antara dosen jurusan dengan rektorat. "Baik-baik. Saya akan mengambil keputusan. Pak Fatih boleh menikahi Rafsya dengan catatan menyembunyikan dari publik.
Apa Pak Fatih sanggup?,"tanya rektorat ku angguki. "Makanya toh le apa-apa jangan ceroboh. Anak gadis yang kamu nikahi juga kelewat muda. Umurnya beda 15 tahun dengan mu belum lagi dia putri tunggal Mahardika Abiyasa Sagara.
Kamu harus memang menikahinya Fat,"ucap Himawan ku angguki. Malam itu aku datang ke kediaman Sagara. Ngga usah ditanya jadinya kek mana, Rafsya kemarin sempet liat. 3 kali pukulan cukup membuatku babak belur.
"Saya mau ngga mau harus menikahkan Rafsya tanpa bertanya seperti yang ku janjikan karena kecerobohan mu. Saya minta besok kamu nikahi Rafsya,"ucap Mahardika cukup membuatku mencep. Kenapa harus anak sultan yang ku nikahi?
Pasti dia sering di manjakan, haeh tamatlah keuangan mu Fat. "Rafsya memang putri tunggal kami tapi dia menolak semua fasilitas yang kami berikan selain pembelajaran. Apalagi semenjak kami memasukkan sekolah berasrama semi militer hidupnya jadi sederhana,"ucap Asmita membuatku menarik nafas halus.
"Mohon maaf sekali lagi atas kecerobohan putra kami,"ucap Himawan. "Tidak perlu minta maaf Pak. Sudah terjadi anggap aja musibah. Tapi saya dulu selalu berharap Rafsya bisa menjadi engineer hebat dan bisa memilih laki-laki yang dia cintai. Dengan begitu aku bisa lega.
Nyatanya dia justru harus diserahkan lebih cepat bahkan saudara kembarnya yang menempuh pendidikan di Jawa juga belum dengar kabar,"ucap Mahardika sendu membuatku kian merutuki kebodohan ku. Belum lagi aku harus tercekat melihat wajahnya yang terlampau muda untuk usia nya yang menginjak 20 tahun.
"Aku ngga tau cuma Bunda rasa Rafsya itu gadis baik dari yang kemarin ketemu di RS,"ucap Aini. "Ngga tau juga aku Bun. Aku bahkan ngga pernah ketemu,"ucapku karena tau pasti bahasan ini akan bermuara pada Syarifah. Gadis yang selalu menemani dan juga aku juga punya kesalahan fatal dengan nya.
Yang membuatku harus bertanggung jawab juga. Bodoh sekali memang kamu Fat. "Baju kebaya pengantin nya kayak nya muat deh sama Rafsya. Bunda ngga nyangka aja baju yang sudah lama ku desain sedemikian rupa akhirnya dipakai,"ucap Aini.
"Muat itu Bun sesuai dengan badan nya Rafsya,"ucapku berkomentar. "Fat kamu tau darimana muat dengan Rafsya?,"tanya Himawan. "Itu Yah kemarin waktu di rumah sakit kan aku yang bawa baju sama jas lab nya pulang,"ucapku membuat seisi mobil menghela nafas lega.
"Amayra ngga percaya loh Bunda kasih tau. Tunggu aja nanti nyesal dia,"ucap Aini. "Ya kalo Ayah jadi Amayra juga ngga percaya,"ucap Himawan di angguki Aini. "Kamu teks ijab kabul sudah hafal Fat?,"tanya Aini. "Sudah Insya Allah,"ucapku setengah yakin.
"Fat Ayah sama Bunda ingatkan lagi. Yang kamu nikahi kelewat muda malah seumuran dengan Amayra. Jadi kamu yang sabar kalo menghadapi. Awas aja kalo kamu sampai buat dia menderita. Ada Ayah, Pak besan, saudara kembar nya Rafsya yang abdi negara.
Tinggal kamu pilih RS mana kamu berobat,"ucap Himawan membuatku menegak ludah kasar. "Rafsya itu dari pertama Bunda liat memang ngga keliatan mewah tapi begitu liat lensa deteksi lokasi dimatanya baru Bunda tau. Pasti ini anak orang penting dan nyatanya siapa sangka malah anak salah satu pimpinan besar di KPC,"ucap Aini.
"Lensa deteksi lokasi. Ada juga ternyata kayak gitu,"ucapku tak bisa membayangkan bagaimana jika ada ayng berusaha menyakiti gadis itu. Pasti babak belur sampai sekarat, belum lagi mata-mata yang juga akan tersebar. Nasib mu sungguh ngenes Fat.
-&-
RAFSYA POV
"Ingat pesen ibu ya sayang,"ucap Asmita dengan berat hati harus melepas ku malam itu juga setelah akad nikah. "Kapan pun kamu mau, rumah ini selalu terbuka lebar buat mu,"ucap Mahardika mengusap kepala ku pelan.
"Ayo sayang. Sama Bunda,"ucap Aina mengajak ku berlalu masuk ke mobil. "Fatih kamu pindah ke belakang. Ayah mau nyetir,"ucap Himawan begitu masuk ke dalam mobil. "Sudah malam Yah,"ucap Fatih.
Entah obrolan seperti apa keluarga ini aku juga bingung. Mata ku menatap sedih kedua orang tua ku yang berdiri di depan pintu. Apalagi begitu mobil mulai melaju, ingin rasanya aku memberontak keluar dari mobil.
Dipisahkan dengan orang tua kali ini berbeda rasanya dengan momen ketika mereka melepasku masuk asrama. Di tengah malam yang sepi, juga dengan suasana mobil yang gelap. Aku diam-diam menumpahkan semua tangisku.
Ku rasakan rangkulan pelan membuat refleks mendongak. Korden pembatas dengan bagian depan sudah tertutup, ku lihat wajah Fatih dalam temaram lampu yang mengenai mobil tampak tenang.
Usapan lembut dipunggung ku semakin membuat ku ingin menumpahkan semua tangis. Kepala ku disandarkan ke dada bidang nya. Dengan begitu aku bisa semakin leluasa menumpahkan semua duka ku.
Apalagi hawa dingin semakin menusuk semakin membuatku terasa jauh dari orangtua. Ku rasakan Fatih menggenggam tangan ku erat seolah menyalurkan dukungan.
احبك مثلما انت احبك كيفما كنت
Seolah tercekat mendengar lantunan terdengar di telinga ku membuatku mendongak. Ngga salah denger kan aku. Ini maksudnya buat menghibur atau apaan.
تضيق بى الحياة اذا بها يوما تبرمت
فأسعى جاهدا حتى احقق ما تمنيت
Mataku yang berair di usapnya pelan sembari diletakkan satu tangan nya di kening ku. Meskipun begitu lirih bisa ku dengar dirinya mengucapkan doa yang biasa ku lihat di Youtube ngga sengaja lewat pada pasangan muslim pada umumnya.
Kayak beda pandangan, secara aku jauh lebih javanes dan ngga begitu perhatikan betapa religius nya Aini dan Himawan. Apakah ini petunjuk yang pernah ku minta saat itu Ya Allah?
"Saya memang belum jatuh hati dengan Anda tapi saya ikhlas menikahi mu dengan baik dan izinkan saya menjadi pemimpin bagi Anda. Mungkin Anda belum mengenal saya tapi sebelum itu saya sudah mengenal Anda adapun kekurangan informasi akan saya cari.
Maafkan saya untuk kesalahan yang terlampau banyak yang sudah mengubah total kehidupan mu,"bisik Fatih membuat ku speechless. Apaan cuy aku sekarang bukannya mau nangis tapi mau fly over ini. Apalagi Fatih mengatakan dengan memelukku hangat.
Dengan ragu-ragu ku angkat tangan ku membalas pelukan hangatnya. "Belum lebaran Pak,"ucapku ngga bisa fokus. Mau nya yang ku ucapkan kata-kata manis bukan ngelawak kan ya. Haeh ngga fokus kan sudah diri ku ini.
Sekarang udah kepalang malu apalagi liat mukanya Fatih tersenyum menahan tawa. Mati aja dah lu Sya ngapain juga malah keluarkan joke receh mu itu. "Sudahlah Pak ngga usah pedulikan joke receh saya,"ucapku pelan.
"Masih belum ada setengah perjalanan. Mau tidur?,"tanya Fatih ku angguki menyandarkan kepala ku di jendela mobil. Baru mau pejam kan mata, kepala ku malah dibawa ke pangkuan nya.
Apalagi manusia insomnia seperti ku paling cepat tidur kalo sudah di usap lembut. Ditengah kesadaran yang mulai menghilang, telingaku kembali mendengar suaranya melantunkan lagi lagu Zaujati dengan merdunya.
Suara rintik hujan membuat ku membuka mata perlahan. Ini sepertinya kediaman Hafla apalagi dengan berbagai dokumen di sana sini. Dan ya Fatih yang tidur di sofa. Ehh pelanggaran lu Sya. Bisanya suami tidur di sofa.Ku tarik selimut yang membalut tubuhku dan menyampirkan ke tubuhnya sebelum beranjak keluar. Masih jam 4, berarti harusnya aku sudah mulai masak. Masalahnya ngga ada kah yang bisa ganti baju ini heh.11 12 dengan rumahku hanya saja keluarga Hafla jauh lebih agamis berbeda dengan ku yang lebih javanes. Tapi di sini ngga ada ruang terbuka penghubung kayak di rumahku. Its okey kolam ikan cukup membuatku terpukau."Rafsya sudah bangun Nak?,"tanya Aina dengan senyum lembut nya menyapa ku. Bunda mertua ku memang sangat lemah lembut ges. Di pagi yang cerah senyumnya sudah mencerahkan dunia. "Sudah Bun. Oiya bun kalo sarapan biasanya masak apa,"tanyaku."Waduh kok kamu sibuk masak. Udah ngga usah
Rumah sederhana dengan kolam ikan dan taman hijau di luar cukup membuat ku terpesona begitu pintu gerbang terbuka otomatis. Belum lagi gazebo yang teduh dengan rerumputan hijau menambah kesan cinta alam."Kak Rafsya suami tersayangmu kangen nih. Lagian kenapa juga ngga saling tuker nomer Whatsapp sih,"ucap Amayra menyodorkan HP nya. "Rafsya saya kemarin sudah nyusun semua baju dari rumah kamu di lemari.Nanti kalo ada kurang nya atur aja sendiri. Amayra ngajak kamu kemana tadi,"tanya Fatih. "Kemana? Cuma ke apotek beli salep karena yang kemarin habis,"ucapku. "Yee suudzon mulu sih,"celetuk Amayra."Ya sudah. Nanti jam setengah 5 saya pulang. Langsung bersihkan diri saja sesuaikan senyaman mu saja. Assalamualaikum,"ucap Fatih menutup panggilan. Dia meminta ku bersih-bersih atau akan membuat tugas yang akan datang. "Waalaikumussalam,"ucapku masuk ke dalam rumah yang membawa suasana sejuk dan penuh nuansa hijau.
“Larutan NaCl 0.02M terlebih dahulu dilakukan standarisasi,”ucapku bolak-balik sepanjang kamar, sementara Fatih sibuk dengan laptop nya. “Bukan 0,02 Sya. 0,002 M. Tidurlah saya ngga menerima telat bangun,”ucap Fatih mengemasi bukunya. “Tapi kalo saya ngga bisa dikeluarkan. Gimana sih Pak,”ucapku berdecak mendapat tatapan aneh nya. “Sudah cukup. Cepat tidur,”ucap Fatih membuat ku ikut bergegas ke atas ranjang setelah tak lama kemudian lampu dimatikan.“Erlenmeyer, buret, corong pisah, labu ukur,”ucapku bergumam sembari menatap ke langit-langit kamar yang dihiasi temaram lampu. “Rafsya Anitya. Mau tidur sendiri atau saya tidurkan,”gumam Fatih menatapku lekat. “Rafsya tidur,”ucapku memundurkan diri malah ditarik mendekat. “Mau jatuh dari ranjang? Ayolah Rafsya kamu bukan anak kecil yang susah disuruh tidur kan. Sekali lagi kamu bergumam atau bertingkah lagi, saya pastika
"Sya dari bapak kah itu?,"senggol Airin begitu usai praktikum melihat gelang di tanganku. "Hmm iyalah masa iya aku beli ginian,"ucapku. "Selera bapak bagus ya,"ucap Airin. "Banget, apalagi dia suamiku,"ucapku terkekeh geli. "Cie sudah mengakui,"ledek Airin membuatku tersenyum kecil. "Setelah praktikum kali ini silahkan laporan sementara dikumpulkan paling lambat besok jam 23.59 Wita,"ucap Fatih."Baik Pak,""Kerja kelompoknya gimana ini?,"tanyaku bersama teman satu kelompok. "Iya nah. Kamu ngga ngekost lagi kan. Atau kita bagi tugas aja,"ucap Kieran. "Iya gin. Aku dasar teori,"ucapku. "Nah sisanya tinggal kami yang kerjain. List aja di grup baru kumpul di wa semuanya paling lambat besok pagi jam 8,"ucap Rafael. "Oke oke. Ya udah duluan ya,"ucap Kieran pergi lebih dulu.Sementara diri ku tentu saja belok memutar balik sebelum masuk ruang dosen. "Weh mau kemana,"tanya Rafael melihat ku malah berbalik arah. "Biasalah,
"Rafsya,"panggil Fatih membuatku berbalik usai konsultasi dengan Lewis. Padahal sedari tadi sudah enggan mendekatinya malah dengan sengaja pria itu meminta ku berbincang. "Saya pak,"ucapku berdiri di depan nya. "Tunggu temanmu keluar dulu,"ucap Fatih membuat ku duduk dengan wajah bosan."Pak sudah keluar semua. Ngapain lagi saya disini,"ucapku. "Setelah ini ada pemeriksaan bulanan dari instansi. Kemarin sebelum nikah ngga sempet ngurus makanya kartunya baru jadi. Nanti ke sana jam setengah 2 an saja,"ucap Fatih menyerahkan sebuah kartu yang menampilkan wajahku sama seperti di kartu tanda mahasiswa. Nasib nikah masih mahasiswa."Pemeriksaan apa Pak? Saya tidak sedang sakit,"ucapku merasa sehat. "Seharusnya sebelum menikah kemarin perlu vaksin tetanus. Tapi lihat kebijakan dokternya seperti apa ya,"ucap Fatih membuat menatapnya tak percaya. Jarum suntik memang bagi semua orang rasanya tidak seberapa. Tapi bagi ku lebih baik terke
“Ada tamu kah?,”ucapku begitu melihat pintu rumah terbuka lebar. “Ya masuk kalo mau tau,”ucap Fatih memasuki rumah. Baru aja mengikuti langkah Fatih masuk, aku sudah dikagetkan dengan seorang wanita yang memeluk erat dirinya.“Ehh,”ucap Amayra terlonjak sedangkan aku hanya terpaku. Perasaan itu foto bukan pajangan loh ya. Bukan posesif hanya saja baru menyadari dia gadis yang semalam. “Syarifah saya baru pulang,”ucap Fatih membuatnya melepas pelukan nya.Tau kah kalian yang namanya Syarifah itu behh. Sungguh mempesona dan tampak cerdas seperti yang terlihat. “Ini sepupu?,”tanya Syarifah menunjukku. “Dia Rafsya istri ku. Rafsya ini Syarifah teman kuliah ku,”ucap Fatih datar duduk di sofa ruang tamu.“Istri? By kamu ngga salah kan. 7 tahun terus kamu tiba-tiba nikah gitu aja. Ouh pantes semalam kamu ngga mau aku datang ke rumah mu karena ini,&rdquo
“Totalnya Rp 250.000,”ucap mbak mbak jaga kasir. “Aku aja. meskipun bukan apa-apa buat anaknya bos KPC tapi lumayan buat jajan,”ucap Arian membuat ku tertegun. Mahardika memang melihat kemandirian setiap orang tapi juga penghasilan.Ngga salah dia mau anaknya bahagia. Sekalipun begitu, Mahardika ngga pernah menetapkan target. Ya singkat cerita itu juga yang membuat Arian segan dengan ku. “Ngga boleh begitu. Btw ngapain ke sini?Temenin cewek atau istri nih,”tanyaku keluar dari swalayan. “Aku kan masih tunggu engineer nya emas hitam,”ucap Arian membuatku terbungkam. Gimana kalo dia tau kabar pernikahan ku?“Kayaknya lepas aja deh Mas,”ucapku tersenyum kecut. “Maksudnya,”ucap Arian mengerutkan kening nya. Aku mengangkat tangan ku sebelah kanan menunjukkan cincin emas melingkar dengan mata berkaca-kaca.“Hey. Jangan sedih aku
"Nah ini nih yang cewek-cewek kalo sudah jadi istri. Boleh tersenyum boleh berdandan secantik mungkin. Dekati suami nya, jangan suka membuat murka seorang suami. Karena itu hanya membawa pada dosa saja,”ucap Pak Naufal.Ini daritadi sengaja dipojokkan ke bagian istri mulu. “Nah itu didengari Rafsya,”ucap Fatih yang melihat dari balik layar laptop nya. “Kerjaan bapak ini sungguh unik sekali,”ucapku tersenyum kecut membuatku menghela nafas sebal.“Ya Rafsya Anitya coba berikan pendapat,”Mati kenapa pula nama ku disebut di zoom. “Menurut saya Pak kedudukan suami dan istri sama atau sejajar,”ucapku berpikir keras. “Bohong bohong,”ucap Fatih dengan reseknya malah mengganggu ku. “Rafsya dengan siapa di rumah,”tanya Naufal menggoda ku. “Dengan kakak Pak,”ucapku. “Kakak ya? Sejak kapan saya dilahirkan ibu kamu,”ucap Fatih tak mau
Rafsya POV Nafasku masih naik turun setelah beberapa menit lalu bertaruh nyawa. Lihatlah lelaki di sampingku tak hentinya mencium kening ku penuh sayang. 2 jam sebelumnya dia tak henti memberi semangat dan terus setia menggenggam erat tangan ku. Lantunan rasa syukur dua buah hati terlahir normal ke dunia. Nyaris seperti operasi tumor otak beberapa bukan yang lalu. Diriku nyaris melahirkan seorang diri karena perutku tiba-tiba mulas sementara Fatih tengah pergi karena sebuah kegiatan. Bukan Fatih yang salah, memang seharusnya lahirnya itu 10 hari lagi. Tapi beginilah warna warni takdir. "Mas kamu bahagia?,"tanyaku di angguki nya membuat setetes air mata jatuh di ujung mata. "Dek pasti sakit sekali kan?,"tanya Fatih ku gelengkan. "Saya dari semalam mikir. Usia kita beda jauh otomatis kamu akan lebih dulu merasakan tua. Membayangkan melewati masa tua sendiri. Hanya ditemani dengan anak-anak. Rasa sakitnya itu terbayar sud
Fatih POV Mataku memandang manis gadis yang bersandar tenang. Kalau saja Asmita tidak memintanya diam mungkin sekarang entah kemana dia akan beranjak. Hijab pasmina yang melingkari kepalanya tidak lagi meluncur seperti saat memakai jilbab segitiga. Namun tetap saja, seharian duduk manis di kediaman Mahardika yang memang tengah ada acara kumpul keluarga.Seharian ini jiwa indie nya kadang membuat ku terhanyut. Entah berapa lagu yang terlantun sementara melihat semua orang berlalu lalang kesana kemari. H2SO4 dan kenangan itu bagaimana bisa lupa. Awal jumpa dengan gadis ini. Karena selama ini aku hanya tau dari dosen lain tentang nya. Entah bagaimana bisa diriku yang masuk mimpi gadis belia itu.Hingga membuat dirinya jatuh hati lebih dulu padaku. Padahal dia saja tidak tau wajahku yang mana. Menurutku mimpi itu datang dari Allah sebagai jawaban. Karena saat ini memang diriku yang berdiri di sebelah
"Rafsya sudah sembuh yee,"ucapku bersorak bangga sembari berlalu mendekati jendela karena keringat mulai mengucur deras. Aku akan mengejutkan Fatih saat dia pulang dari menemani Amayra nanti. Menunggu dirinya tiba, kembali berpaku di depan meja rias sembari melepas penutup kepala. Bekas operasi yang tercetak jelas membuatku terlihat mirip Voldemort.Sisir yang biasanya ku gunakan untuk membuat berbagai jenis bentuk rambutku kini tidak lagi berguna. Tidak lagi merasa sedih, ku sampingkan rasa pilu yang menggerogoti benak sembari mengusapkan potongan lidah buaya ke seluruh bagian kepala ku. "Rafsya Dek saya pulang,"ucap Fatih terdengar memasuki rumah membuatku segera menutup kembali kepala.Dengan langkah pasti, bisa ku lihat wajah Fatih menarik senyum lebar tak ingin mendekat lebih jauh. Sengaja ingin melihat ku berjalan dengan lancar ke arahnya. "Kak ngap ya ya kembali ngontrak di bumi,"ucap Amayra menepi membiarkan ku melangkah lebih cepat hingga terhent
Rafsya POVSuasana saat pemeriksaan pagi hari yang biasanya diisi dengan ketenangan menjadi penuh tawa. "Wah lagi pemeriksaan ya. Mbak Aini, ini kah orangnya?,"tanya Asmita membuatku ingin tenggelam ke Palung Mariana saja. Sementara sosok yang dimaksud hanya tersenyum lebar. "Dokter dulu temannya Amayra?,"tanya Aini memulai interogasi."Saya dulu hanya kenal Amayra adek tingkat saya,"ucap Kenan. "Adek tingkat atau apa tuh? Masa kakak tingkat sama adek tingkat bahas organisasi atau kuliah di bioskop,"ucap Fatih kian membuat wajah Kenan memerah. "Hanya teman saja Pak,"ucap Kenan mengganti status membuatku terkekeh pelan."Teman tapi mesra kah Dok?,"tanya Asmita sungguh membuat pria di depan ku kehabisan kata-kata. "Saya dulu rekannya Amayra saja Pak Bu. Tapi setelah itu kami lost contact karena saya harus menyelesaikan studi di luar negeri dan baru bertemu lagi karena tidak sengaja menangani kakak iparnya,"ucap Kenan akhirnya mengaku.
"Rafsya saya pulang,"Kalimat itu sontak membuatku menarik senyum lebar. Bagaimana pergi ke rumah sakit disebut pulang? Sepertinya dia terlalu banyak tertular diriku. "Baru dari kampus Mas?,"tanya Arkan yang sedari tadi menemani ku bersama Amayra. "Nggak juga. Pulang mandi dulu Kan. Masa mau ketemu sama cewek cantik bau asem,"ucap Fatih membuatku terkekeh pelan."Cewek cantik yang mana Le?,"tanya Mahardika membuat Fatih menoleh melihat Mahardika sudah berdiri dengan penuh pertanyaan. "Yang itu Pak. Saya hanya punya cewek cantik. Eh empat Pak. Ibu, Bunda, Amayra dan yang paling cantik Rafsya,"ucap Fatih. "Ehm manisnya kelewatan gombalnya Mas,"ucap Arkan membuatku terkekeh pelan."Kamu sudah makan belum Le?,"tanya Mahardika. "Saya makan bareng sama Dek Rafsya aja,"ucap Fatih membuatku menggeleng heran. "Kan, Nduk Ay ayo pindah kamar. Orang kasmaran susah kalau dipisahkan,"ucap Mahardika berlalu pergi menyisakan ku dengan Fatih. "Sudah check up belum sama dok
Terjawab sudah semua alasan hal yang mengganjal dalam benakku selama ini. Alasan dirinya mengambil uang dengan nominal sebesar itu, rambutnya rontok, juga bercak darah yang ku temukan di bekas tisu di meja rias juga pasti miliknya. Ditemani dengan Kiran, Lewis, dan Liona diriku duduk terdiam sembari mendonorkan darah."Pak Fatih sebelumnya ngga tau Rafsya punya penyakit ini?,"tanya Lewis ku gelengkan pelan sembari tersenyum. "Saya memang tau Rafsya belakangan ini agak pucat, rambutnya rontok, belum lagi mertua saya bilang dia ada transaksi dengan nominal besar. Hanya saja saya ngga tau dia sengaja menyembunyikan penyakitnya dari saya,"ucapku gamang."Mungkin Rafsya punya alasan Pak. Lagipun ngga mungkin Rafsya akan bertindak sendiri kalau memang alasannya ngga kuat,"ucap Liona menenangkan. "Kakak,"ucap Amayra memelukku erat membuatku terbangun dari diam ku. "Maaf Kak,"ucap Amayra tersedu dalam tangis. "Kenapa kamu juga ikut ngga mau kasih
Air mata ku hanya bisa terus luruh saat mendengar Fatih merapalkan doa meminta pada Allah untuk setiap detail kebahagiaan ku. Sementara diriku hanya duduk di atas ranjang menahan pedih karena tak bisa menunaikan sholat dan saling mendoakan di atas sajadah yang sama. Apalagi setelah itu dilanjutkan dengan merdunya ketika melantunkan ayat suci Al Quran.Aku tidak bisa membayangkan jika hari ini aku akan telat pulang karena masih dalam proses penyembuhan. Sudah 2 jam diri ku hanya dalam posisi yang sama melihat sosok pria yang selalu berharap semua yang terbaik untukku. Membayangkan wajahnya pucat pasi ketika tau aku akan memasuki ruang operasi pasti hanya membuatku makin hancur."Dek saya pergi ke masjid dulu ya,"ucap Fatih membuatku mengangguk paham sembari mengambil beberapa perlengkapan lain menyelipkan ke kamar Amayra. "Ay sudah bangun kah?,"tanyaku mengetik pintu sembari membawa tas berisi seluruh keperluan ku. "Sudah Kak. Sini biar ngga
"Rafsya kamu masih di dalam,"Panggilan berulang itu membuatku terbangun dengan bekas mimisan mengalir melintasi wajahku. "Iya Mas sebentar lagi beneran keluar ini,"ucapku segera mencuci wajah. Bisa-bisanya malah tertidur di kamar mandi. Yang ada malah semakin memperburuk keadaan saja Rafsya. Sembari melihat wajahku tampak baik-baik saja segera ku putar knop pintu melihatnya cemas."Kamu baik-baik saja Rafsya?,"tanya Fatih ku angguki. "Selalu baik saya Mas,"ucapku membuatnya menghela nafas lega. "Ayo tidur,"ucap Fatih menarik tanganku menuju ranjang. "Loh kok Mas sudah ganti baju,"tanyaku. "Barusan pulang Pak Adimas sama Bu Andin nya,"ucap Fatih membuatku melirik ke arah jam dinding. Pantas saja. Sudah jam setengah dua belas malam.Selama itu aku tertidur di dalam kamar mandi dan sekarang di tempat yang seharusnya malah sulit ku jumpai kata nyaman untuk tidur? Astaga kebodohan apa ini Rafsya. Sembari melirik Fatih tampak d
Sungguh menyebalkan.Hanya satu kalimat itu saja yang ingin ku ungkapkan saat membuka mata. "Masih marah,"ucap Fatih menyenggol lengan ku. "Entah. Katanya iya Rafsya sayang nanti dibangunin,"ucapku sebal. "Iya kan tapi saya bangunin,"ucap Fatih masih terus terkekeh mencebik. "Kenapa toh ini? Masih sebel Nak,"tanya Aini bergabung dengan kami di ruang tengah."Itu Bun. Coba kalau begini kayak berat sekali,"ucapku mengomentari make up di wajahku yang terpasang begitu saja. Ya Anda tidak salah. Memang setelah kami pulang, di rumah sudah menyiapkan dengan sebaik mungkin. Hanya saja Amayra sengaja tidak diberi tahu dulu. "Cantik kok. Bunda yang suruh Mas Fatih biarkan aja. Karena Bunda kayaknya capek sekali,"ucap Aini membuatku mengedipkan kedua mata tak percaya."Iya kan Fat. Cantik mantu Bunda,"ucap Aini. "Cantik sekali dong Bun. Apalagi kalau lagi ngambek,"ucap Fatih tak tahan menaikkan sudut bibirku membuatnya tergelak. "Bun Amayra kata