Rumah sederhana dengan kolam ikan dan taman hijau di luar cukup membuat ku terpesona begitu pintu gerbang terbuka otomatis. Belum lagi gazebo yang teduh dengan rerumputan hijau menambah kesan cinta alam.
"Kak Rafsya suami tersayangmu kangen nih. Lagian kenapa juga ngga saling tuker nomer W******p sih,"ucap Amayra menyodorkan HP nya. "Rafsya saya kemarin sudah nyusun semua baju dari rumah kamu di lemari.
Nanti kalo ada kurang nya atur aja sendiri. Amayra ngajak kamu kemana tadi,"tanya Fatih. "Kemana? Cuma ke apotek beli salep karena yang kemarin habis,"ucapku. "Yee suudzon mulu sih,"celetuk Amayra.
"Ya sudah. Nanti jam setengah 5 saya pulang. Langsung bersihkan diri saja sesuaikan senyaman mu saja. Assalamualaikum,"ucap Fatih menutup panggilan. Dia meminta ku bersih-bersih atau akan membuat tugas yang akan datang. "Waalaikumussalam,"ucapku masuk ke dalam rumah yang membawa suasana sejuk dan penuh nuansa hijau.
Untuk seorang pria yang tinggal sendiri, rumah ini tergolong rapi dan sangat menggambarkan pemilik rumah. Namun mata ku justru terpatri dengan salah satu foto yang dipajang di ruang tamu. "Tuh kan kak. Kalo di foto kelihatan lebih dewasa,"ucap Amayra mengomentari foto bersama. Cepat juga pria itu menyesuaikan semua hal didalam rumahnya.
"Apa karena make up nya? Sudahlah Ay. Namanya juga dadakan. Siapa juga yang akan berpikir pulang praktikum langsung dinikahi dosen pembimbing nya,"ucapku. "Loh memangnya Kak Fatih ngga ada lamaran atau apa gitu?,"tanya Amayra. "Pak Fatih cuma pesan. Nanti jangan pulang dulu. Dan ternyata di bawa ke rumah dengan kondisi sudah banyak orang dan dekorasi penuh.
Dengan berbagai pertanyaan yang ngga bisa disangkal sampai akhirnya sudah buntu ngga bisa mikir argumen lagi. Ya sudah setuju menikah langsung akad,"ucapku. "Sebercanda itu? Mau nikah kayak mau makan di restoran aja. Pilih pilih dulu, ngga ada ya sudah makan aja yang ada. Sudahlah yang penting kalian sekarang sudah menikah dan aku punya temen.
Ayo kak ku kasih liat kamar nya Kak Fatih,"ucap Amayra menarik ku ke dalam kamar yang sangat luas bergaya arsitektur modern. "Kayaknya ini sudah di sesuaikan dengan maunya Kakak sih. Makanya di atur pake dua meja begini. Tumben juga dia mau beberes,"ucap Amayra. "Lah emang selama ini ngga pernah?,"tanyaku. "Pernah, cuma kakak tau kan. Serapi apapun laki-laki itu selalu sama saja. Kayaknya mau jaga image di depan istri mahasiswa nya nih,"ucap Amayra menyenggol lengan ku.
"Ada-ada aja kamu Ay. Ngomong-ngomong dimana dalaman baju ku,"ucapku melihat semua baju ku tersusun rapi di lemari sesuai jenisnya. "Ngga ada di dalam koper nya kah?,"tanya Amayra. "Kosong Ay. Dimana lagi di simpan nya,"ucapku membuka koper yang telah kosong. "Nanti tanya Kak Fatih aja. Daripada cari ngga ketemu-ketemu,"ucap Amayra ada benarnya.
Terlihat dari corak wallpaper dinding nya bergaya arsitektur lebih feminim sudah jelas ini kamar Amayra. Kulkas dengan berbagai jenis sayuran, buah hingga minuman dingin tersusun rapi. Belum lagi berbagai alat masak yang tampak bersih mengkilap. Sungguh pria yang idaman bukan. Sembari melihat jam tinggal 20 menit lagi Fatih pulang, sepertinya memasak tumis dengan ikan goreng saja cukup untuk makan malam.
"Harum apa ini?,"tanya Amayra memasuki dapur. "Tumis Ay. Mau makan apa biar ku masakin,"ucapku melumuri ikan dengan bumbu. "Kakak pintar masak?,"tanya Amayra mulai penasaran. "Ngga juga. Cuma ada tau beberapa jenis masakan aja,"ucapku. "Oalah. Kapan-kapan kalo free masak yuk. Kak Fatih tuh suka sekali nastar tau,"ucap Amayra membuatku terhenti sejenak.
"Nastar? Nanti lah kita buat,"ucapku melanjutkan menggoreng ikan. "Kakak ngga pernah buka jilbab?,"tanya Amayra tampak semakin penasaran. "Buka sebenernya. Aku ngga sekalem namaku kok Ay. Hanya saja ngga ada jalan lain. Lukanya terlalu menjijikkan kalo terlihat di mata,"ucapku tersenyum kecil.
"Kak ngga maksud gitu. Maksudnya itu,"
"Iya aku ngerti Ay. Cuma ku pikir lebih baik ditutup rapat saja,"ucapku. "Tapi kakak kok masih bisa tetap santai dan ngga terbebani sama sekali sih. Kalo aku pasti sudah ngga mau hidup lagi dengan luka begitu dan pasti sangat membenci Kak Fatih yang notebenenya penyebab lukanya,"ucap Amayra. "Trust me. Hidup jauh lebih berharga dibanding hanya luka yang berteman baik dengan kulit ku. Dulu aku mikir masih bisa buka jilbab. Tapi setelah menikah, ku rasa ngga perlu.
Semua perempuan selalu ingin cantik dan semua istri pasti selalu ingin menjadi permata yang bisa dilihat kapan saja dengan menarik oleh suaminya.Daripada menampilkan tubuh dengan bercak merah di bagian kiri, mending berjilbab Ay. Dengan begitu aku merasa jauh lebih nyaman dan lebih baik,"ucapku. "Omo. Kak Rafsya memang sudah cantik dari sananya.
Kak Fatih juga sudah bertanggung jawab kok. Pasti dia mau menerima apa adanya kakak. Ngga usah sedih gitu lah,"ucap Amayra menepuk pundakku meyakinkan. "Itu kan menurutmu Ay. Aku ngga bilang sedih ya. Lagian aku cuma berharap aja akan ada kehidupan lebih baik di masa yang akan datang. Ay tolong bawa ikan sama tumis nya ke depan. Aku mau mandi dulu,"ucapku mengalihkan perbincangan.
"Oke,"ucap Amayra mengangkat lauk dan sayur ke depan, menyisakan ku dengan setetes air mata yang akhirnya jatuh.
'Jika suatu saat nanti, kakak mu sendiri yang memilih menjauhi ku karena fisik ku. Dengan senang hati aku yang akan pergi. Dia pantas mendapat gadis yang jauh lebih cantik daripada aku dan jelas yang lebih hebat,'ucapku dalam hati.
-&-
"Kok bau harum masakan. Siapa yang masak?,"
Sayup-sayup ku dengar suara Fatih memasuki rumah. "Istri kakak lah. Mana bisa aku masak Kak,"ucap Amayra. "Maaf saya hanya sempat masak itu aja,"ucapku. "SIAPA YANG SURUH KAMU MASAK? Saya pernah minta kamu masak?,"tanya Fatih membuat ku seperti terkena sengat listrik. "Maaf Pak. Saya cuma merasa tadi pagi bapak belum makan nasi, makanya saya pikir perlu masak,"ucapku agak bergetar.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Fatih meninggalkan ku terpaku di meja makan dan jangan lupakan pintu yang dibanting keras. Dalam pikiran ku, bukan tengah dimarahi suami tapi dimarahi dosen saat salah didalam praktikum. "Loh kenapa ini?,"tanya Aini yang baru saja tiba bersama Himawan. "Ngga papa Bun. Kak Fatih terlalu banyak pikiran aja. Mari masuk Yah Bun. Rafsya sudah masak cuma ngga begitu banyak macem nya.
Bentar Rafsya mau ke belakang dulu,"ucapku berlalu masuk sembari menguatkan diri. "Its Okey Sya. Mungkin Pak Fatih banyak pikiran dan butuh istirahat,"ucapku mengusap butir air mata yang terus turun. "Mungkin aja kan ya. Ini ngapain pakai turun sih. Alay nya aku. Tahan Sya tahan. Anggap aja ini dosen yang kasih tau kamu. Tetap tenang dan pikirkan hal yang indah Sya. Ehm momen menyenangkan di kost. Iya di kost,"ucapku tersenyum lebar sambil berusaha menghapus sisa air mata yang turun.
Masih hari pertama ngga boleh lemah. Duh lagian aku hanya mau berbuat baik. Hanya saja dimarahi dosen memang selalu mengerikan. Sembari tersenyum lebar, ku langkahkan kaki menuju meja makan. "Rafsya darimana Nak,"tanya Himawan membuatku mendongak. "Dari dapur Yah. Tadi lupa matikan air,"ucapku. "Oalah. Mari makan. Mana Fatih?,"tanya Aini. "Bun kak Fatih itu nah
"Kak Fatih kayaknya masih mandi. Tadi di kampus mungkin banyak sekali agendanya, jadi biar Rafsya saja yang bawakan nasi nya. Selamat makan Yah Bun Amayra,"ucapku mengambil nasi beserta lauk dan sayur nya. Meninggalkan wajah yang penuh tanya di meja makan. Dengan keberanian di ujung kuku, ku ketuk pelan pintu. "Pak makan dulu,"ucapku. "Masuk,"ucap Fatih dingin dari kamar membuat semua keberanian ku luntur. Tapi kalo aku ngga masuk lebih bahaya.
Ku lihat punggung nya yang masih basah dari rambutnya jatuh mengenai kaos yang dikenakan nya. Akh kalau saja dia tidak marah pasti aku akan terbius dengan pesonanya. "Kunci pintu nya,"titah Fatih makin membuat ku bergetar ketakutan. "Sudah saya bilang sebelumnya jangan banyak gerak selagi belum sembuh,"ucap Fatih mengambil sepiring nasi yang ku bawakan dan menaruhnya di atas meja belajar. "Maaf Pak,"ucapku menunduk dalam sembari berjalan mundur.
"Memang semua mahasiswa saat ini suka beralasan. Sekarang alasan mu, saya belum makan nasi. Kamu sendiri tau di luar sana juga banyak tempat yang bisa menyediakan nasi tanpa harus repot-repot. Dengan memasak berati Anda sudah tidak peduli dengan yang saya katakan,"ucap Fatih menghampiri ku tepat di depan ranjang. "Maaf Pak,"ucapku benar-benar takut maksimum. "Dan saya sudah bilang langsung bersihkan diri juga tidak kamu indahkan,"ucap Fatih.
"Karena saya tidak tau dimana bapak menyimpan dalaman baju saya,"ucapku berani menjawab. Karena alasan satu ini makanya aku belum juga mandi sampai dia pulang dari kampus. Fatih mengerutkan sebelah alisnya sejenak sebelum akhirnya berlalu. Membuatku menghela nafas lega. "Saya menyimpan nya di sini. Jadi sekarang bukan alasan untuk mandi. Pergilah,"ucap Fatih segera ku laksanakan.
Untung nya aku bukan tipikal yang mandi lama. Baru mau pakai baju baru ku ingat salep nya ketinggalan. Mana aku hanya membawa baju kaos sama celana selutut. Kebiasaan di kost juga begini karena kalau malam ngga kemana-mana lagi. "Pak. Bapak masih diluar?,"tanyaku tapi tidak ada sahutan hanya hening. 'Kayaknya diluar ini. Karena ngga mungkin dia pura-pura ngga nyahut,'ucapku dalam hati memberanikan diri keluar kamar.
"Untung ngga ada orang,"ucapku berjalan santai mencari salep yang sudah ku beli. "Dimana gerang ku taruh? Rasa-rasanya aku makin besar makin cepat pikun,"ucapku sembari mencoba mencari ke lemari. "Kamu cari ini?,"tanya Fatih mengangkat salep di depan mataku. "Iya eh astagfirullah,"ucapku mau kabur tapi tangan ku lebih dulu dicekal. Dengan tenaga pria dewasa dengan ku tentu tau siapa yang akan kalah. "Pak saya bisa obati sendiri,"ucapku menolak di obati mengangsurkan tangan kiri ku.
"Baik saya akan setuju. Tapi apa tujuanmu pakai celana yang kurang bahan itu?,"tanya Fatih membuat ku melihat turun ke arah kaki ku. Benar saja dibilang kurang bahan. Ini kan biasanya ku pakai tidur, dengan posisi berdiri saja sudah cukup mengekspos setengah paha putih ku. "Saya ngga tau kalo bapak di dalam kamar. Bapak juga kenapa ngga bilang kalo di dalam kamar,"ucapku tak mau kalah. Ayolah cari mati saja dengan mengelak dari pertanyaan Fatih.
"Pertama saya tadi sholat. Sudah jelas dengan baju yang saya pakai dan yang kedua waktu sholat sudah mau habis. Cepat sholat baru saya oleskan,"ucap Fatih melepas cekalan pada tangan kanan ku. Tanpa menunggu dua kali ngomong, segera ku pakai mukena. "Tau ngga bedanya laki-laki dan perempuan. Kalo kamu menyentuh laki-laki apa itu membuat wudhu mu sah?,"tanya Fatih membuat kedua pipi ku bersemu.
'Untung suami ya Rabb,'ucapku menahan kesal dalam hati.
-&-
Selepas sholat, ku lihat Fatih bersandar di atas ranjang sembari menatapku lekat. Haruskah pria itu menatapku begitu lekat?
Perlahan ku lepas mukena yang membalut sembari menyodorkan tangan kanan ku. Dengan tinggi minimalis ku, Fatih tak perlu bersusah payah berdiri untuk menggapai kening ku. Ehh kenapa pula dia berdiri dan membalik tubuh ku 180 derajat.'MY FIRST KISS!!!???,"ucapku dalam hati melotot menatapnya yang hanya memejamkan mata. Ku pukul berulang dada bidang nya untuk menghentikan namun tak dihiraukan nya. "Aihh bapak berdosa sekali. Itu my first kiss saya khusus buat suami bukan bapak,"protesku mengomel sendiri saat Fatih menatapku intens. "Jadi saya siapa kamu Rafsya?,"tanya Fatih. "Dosen ehh dodolnya Rafsya,"ucapku mengetuk jidatku keras.
Ditengah kondisi lengah ku, Fatih menarik tangan kiri yang masih belum terbalut perban. "Pak ngga usah. Nanti bapak ngga nafsu makan. Mending bapak makan aja ehh bapak belum makan kan. Nah biar saya ngobati luka saya sendiri,"ucapku berusaha meraih salep yang sengaja di tinggikan. "Saya yang obati atau saya cium kamu,"tanya Fatih deep voice membuatku meneguk liur dalam-dalam sembari membungkam bibir ku dengan tangan kanan ku.
"Mau lagi?,"tanya Fatih mendekatkan wajahnya. "Rafsya manut,"ucapku segera duduk tanpa komentar lagi membuatnya terkekeh. Dasar pria tua. Akh biar tua dia juga suamimu Rafsya. "Buka bajumu,"ucap Fatih. "Jangan Pak. Bagian tubuh saya yang tertutup baju sudah mau kering karena jarang aktifitas di bagian itu. Lebih baik lengan aja,"ucapku. "Auh shh pelan-pelan Pak,"ucapku mendesis perih begitu salep dioleskan. "Sebentar saya ambil perban nya dulu,"ucap Fatih beranjak mengambil perban.
"Pak biar saya aja. Lagian ngga enak dilihat,"ucapku berusaha meraih perban namun tak di indahkan. "Kamu sudah makan?,"tanya Fatih sembari memasang perban di lengan ku gelengkan. "Maafkan saya terlalu keras tadi. Saya sudah bilang jangan banyak gerak nanti lukanya ngga sembuh-sembuh,"ucap Fatih terdengar seperti sebuah perhatian. Apa aku boleh tersenyum untuk ini?
"Belum lebaran Pak,"ucapku nyeleneh membuatnya mencubit hidungku. "Kebiasaan Dek,"ucap Fatih terkekeh geli. "Sudah, sekarang ayo makan. Besok praktikum dengan saya kan. Jangan sampai lupa belajar. Karena saya tidak akan memasukkan mahasiswa yang tidak bisa menjawab pretest,"ucap Fatih memakaikan outer lengkap dengan jilbab nya. Sepertinya kalimat kepedulian nya barusan menggugurkan semua rasa takut ku.
Di meja makan tampak Himawan, Aini dan Amayra menatapku yang baru saja keluar dari kamar bersama Fatih setelah waktu yang agak lama. "Banyak pikiran Fat?,"tanya Himawan. "Ngga begitu Yah,"ucap Fatih. "Besok lagi sebanyak apapun pikiran jangan melampiaskan semua itu di rumah. Ini bukan maksudnya membela loh ya. Rafsya juga Nak. Selama luka nya belum sembuh ngga usah bekerja terlalu keras dulu ya,"ucap Aini ku angguki. "Belum pada makan?,"tanyaku melihat lauk dan sayur masih utuh.
"Kak Rafsya kami kebiasaan tunggu semua orang baru makan. Lagian Ayah sama Bunda juga pengen mampir dan ngga dalam kondisi terburu-buru juga,"ucap Amayra ku angguki. "Baru pertama kali selama dari lulus SMP sampai sekarang makan bareng.
Dulu di rumah bapak sama ibu sama-sama orang sibuk. Belum lagi kalo aku sudah balik ke asrama jadi makin nampak kayak pajangan aja meja makan nya,"ucapku tersenyum."Nah berarti sekarang harus makan bareng terus,"ucap Amayra disambut gelak tawa seisi meja makan. "Kenapa lagi ini?,"tanya Fatih menunjuk beberapa bagian yang melepuh terkena percikan minyak goreng di tangan kanan ku. "Biasa nanti hilang sendiri,"ucapku santai melanjutkan makan. Dengan cepat, Fatih mengambil piring ku dan menuangkan nya di piring nya. "Kamu makan dengan saya,"ucap Fatih. "Mana bisa begitu,"ucapku mengelak.
"Siapa yang suruh masak? Mau kanan kiri luka, begitukah? Makan,"ucap Fatih menyuapkan nasi. "Rafsya. Fatih memang ngga terbiasa membuat orang lain susah karena nya sendiri,"ucap Aini memberiku pengertian. "Tapi kan saya ngga susah,"ucapku. "Makan yang bener terus belajar. Praktikum besok agak susah,"ucap Fatih membuat ku tertegun sembari melanjutkan makan.
"Jomblo kok gini amat yak. Aku jadi mengkhayal seandainya dokter Alfa menikah dengan ku. My Docter My Husband,"ucap Amayra. "Ay selesaikan koas dengan benar dulu baru nikah,"ucap Fatih. "Iya ya kak. Bun, Kak Rafsya sama Kak Fatih ngga berencana punya anak kah?,"ucap Amayra sontak membuat ku tersedak nasi yang belum ku kunyah bersama dengan Fatih. "Ay bisa fokus makan dulu kah?,"tanya Fatih.
"Lah aku kan tanya Bunda. Lagian kalian kan sudah sah di mata hukum maupun agama. Apa yang salah kalo punya anak? Ngga sabar nya aku main sama keponakan kecil,"ucap Amayra makin ngelantur kemana-mana. "Ayra kakak mu sama kakak ipar mu memang sudah nikah. Tapi berdasarkan aturan dari kampus harus disembunyikan dari semua mahasiswa. Nah berati tunggu Kakak ipar mu lulus dulu. Sabar ya sayang,"ucap Aini sabar.
"Kak maaf ya,"ucap Amayra ku balas dengan anggukan. "Tuh Kak. Ngga perlu ngamuk juga kali. Aku tau kok kakak ipar ku sangat baik. Ngga kayak kamu,"ucap Amayra kesal."Ngomong terus Ay. Habiskan makanmu,"ucap Fatih. "Dah lah Kak. Kakak ini umurnya 35 masih aja kekanakan debat sama aku. Liat kak Rafsya lebih muda masih tetap berpikir dewasa. Cie yang besok ngampus bareng,"ucap Amayra menaik turunkan alisnya."Sudah Ay sudah. Jangan godain kakak mu terus,"ucap Himawan menutup obrolan ringan makan malam.
“Larutan NaCl 0.02M terlebih dahulu dilakukan standarisasi,”ucapku bolak-balik sepanjang kamar, sementara Fatih sibuk dengan laptop nya. “Bukan 0,02 Sya. 0,002 M. Tidurlah saya ngga menerima telat bangun,”ucap Fatih mengemasi bukunya. “Tapi kalo saya ngga bisa dikeluarkan. Gimana sih Pak,”ucapku berdecak mendapat tatapan aneh nya. “Sudah cukup. Cepat tidur,”ucap Fatih membuat ku ikut bergegas ke atas ranjang setelah tak lama kemudian lampu dimatikan.“Erlenmeyer, buret, corong pisah, labu ukur,”ucapku bergumam sembari menatap ke langit-langit kamar yang dihiasi temaram lampu. “Rafsya Anitya. Mau tidur sendiri atau saya tidurkan,”gumam Fatih menatapku lekat. “Rafsya tidur,”ucapku memundurkan diri malah ditarik mendekat. “Mau jatuh dari ranjang? Ayolah Rafsya kamu bukan anak kecil yang susah disuruh tidur kan. Sekali lagi kamu bergumam atau bertingkah lagi, saya pastika
"Sya dari bapak kah itu?,"senggol Airin begitu usai praktikum melihat gelang di tanganku. "Hmm iyalah masa iya aku beli ginian,"ucapku. "Selera bapak bagus ya,"ucap Airin. "Banget, apalagi dia suamiku,"ucapku terkekeh geli. "Cie sudah mengakui,"ledek Airin membuatku tersenyum kecil. "Setelah praktikum kali ini silahkan laporan sementara dikumpulkan paling lambat besok jam 23.59 Wita,"ucap Fatih."Baik Pak,""Kerja kelompoknya gimana ini?,"tanyaku bersama teman satu kelompok. "Iya nah. Kamu ngga ngekost lagi kan. Atau kita bagi tugas aja,"ucap Kieran. "Iya gin. Aku dasar teori,"ucapku. "Nah sisanya tinggal kami yang kerjain. List aja di grup baru kumpul di wa semuanya paling lambat besok pagi jam 8,"ucap Rafael. "Oke oke. Ya udah duluan ya,"ucap Kieran pergi lebih dulu.Sementara diri ku tentu saja belok memutar balik sebelum masuk ruang dosen. "Weh mau kemana,"tanya Rafael melihat ku malah berbalik arah. "Biasalah,
"Rafsya,"panggil Fatih membuatku berbalik usai konsultasi dengan Lewis. Padahal sedari tadi sudah enggan mendekatinya malah dengan sengaja pria itu meminta ku berbincang. "Saya pak,"ucapku berdiri di depan nya. "Tunggu temanmu keluar dulu,"ucap Fatih membuat ku duduk dengan wajah bosan."Pak sudah keluar semua. Ngapain lagi saya disini,"ucapku. "Setelah ini ada pemeriksaan bulanan dari instansi. Kemarin sebelum nikah ngga sempet ngurus makanya kartunya baru jadi. Nanti ke sana jam setengah 2 an saja,"ucap Fatih menyerahkan sebuah kartu yang menampilkan wajahku sama seperti di kartu tanda mahasiswa. Nasib nikah masih mahasiswa."Pemeriksaan apa Pak? Saya tidak sedang sakit,"ucapku merasa sehat. "Seharusnya sebelum menikah kemarin perlu vaksin tetanus. Tapi lihat kebijakan dokternya seperti apa ya,"ucap Fatih membuat menatapnya tak percaya. Jarum suntik memang bagi semua orang rasanya tidak seberapa. Tapi bagi ku lebih baik terke
“Ada tamu kah?,”ucapku begitu melihat pintu rumah terbuka lebar. “Ya masuk kalo mau tau,”ucap Fatih memasuki rumah. Baru aja mengikuti langkah Fatih masuk, aku sudah dikagetkan dengan seorang wanita yang memeluk erat dirinya.“Ehh,”ucap Amayra terlonjak sedangkan aku hanya terpaku. Perasaan itu foto bukan pajangan loh ya. Bukan posesif hanya saja baru menyadari dia gadis yang semalam. “Syarifah saya baru pulang,”ucap Fatih membuatnya melepas pelukan nya.Tau kah kalian yang namanya Syarifah itu behh. Sungguh mempesona dan tampak cerdas seperti yang terlihat. “Ini sepupu?,”tanya Syarifah menunjukku. “Dia Rafsya istri ku. Rafsya ini Syarifah teman kuliah ku,”ucap Fatih datar duduk di sofa ruang tamu.“Istri? By kamu ngga salah kan. 7 tahun terus kamu tiba-tiba nikah gitu aja. Ouh pantes semalam kamu ngga mau aku datang ke rumah mu karena ini,&rdquo
“Totalnya Rp 250.000,”ucap mbak mbak jaga kasir. “Aku aja. meskipun bukan apa-apa buat anaknya bos KPC tapi lumayan buat jajan,”ucap Arian membuat ku tertegun. Mahardika memang melihat kemandirian setiap orang tapi juga penghasilan.Ngga salah dia mau anaknya bahagia. Sekalipun begitu, Mahardika ngga pernah menetapkan target. Ya singkat cerita itu juga yang membuat Arian segan dengan ku. “Ngga boleh begitu. Btw ngapain ke sini?Temenin cewek atau istri nih,”tanyaku keluar dari swalayan. “Aku kan masih tunggu engineer nya emas hitam,”ucap Arian membuatku terbungkam. Gimana kalo dia tau kabar pernikahan ku?“Kayaknya lepas aja deh Mas,”ucapku tersenyum kecut. “Maksudnya,”ucap Arian mengerutkan kening nya. Aku mengangkat tangan ku sebelah kanan menunjukkan cincin emas melingkar dengan mata berkaca-kaca.“Hey. Jangan sedih aku
"Nah ini nih yang cewek-cewek kalo sudah jadi istri. Boleh tersenyum boleh berdandan secantik mungkin. Dekati suami nya, jangan suka membuat murka seorang suami. Karena itu hanya membawa pada dosa saja,”ucap Pak Naufal.Ini daritadi sengaja dipojokkan ke bagian istri mulu. “Nah itu didengari Rafsya,”ucap Fatih yang melihat dari balik layar laptop nya. “Kerjaan bapak ini sungguh unik sekali,”ucapku tersenyum kecut membuatku menghela nafas sebal.“Ya Rafsya Anitya coba berikan pendapat,”Mati kenapa pula nama ku disebut di zoom. “Menurut saya Pak kedudukan suami dan istri sama atau sejajar,”ucapku berpikir keras. “Bohong bohong,”ucap Fatih dengan reseknya malah mengganggu ku. “Rafsya dengan siapa di rumah,”tanya Naufal menggoda ku. “Dengan kakak Pak,”ucapku. “Kakak ya? Sejak kapan saya dilahirkan ibu kamu,”ucap Fatih tak mau
Musik dari Spotify terus mengalir dengan pikiran ku yang juga kesana kemari. "Rafsya daripada kamu ngelamun mending tidur,"ucap Fatih membuatku menghela nafas panjang. "Pak. Ananta lucu kan,"ucapku menyebut anak Bima. "Kenapa memangnya?,"tanya Fatih membuatku menoleh sejenak. "Pak boleh tidak kita punya debay lucu gitu juga,"ucapku sontak membuat Fatih mengerem mobil nya mendadak."Kayaknya kita perlu bicara sebentar, "ucap Fatih mengajakku pergi ke sebuah Cafe yang buka sepanjang malam. Entahlah apa aku mulai aneh atau bagaimana. "Dek. Gini gini sebelum kamu minta debay kamu sudah tau belum bagaimana proses persalinan?,"tanya Fatih ku gelengkan pelan. "Liat ini salah satu contoh persalinan secara normal,"ucap Fatih menunjukkan video proses persalinan yang bertaruh nyawa belum lagi dengan robek di bagian intim membuat ku merinding sendiri."Atau caessar,"ucap Fatih menunjukkan video lain berisi operasi caessar proses kelahiran dengan p
Fatih POVSajak lagu Andmesh mengalun sepanjang jalan meskipun gadis disebelah ku matanya setengah terpejam. Entahlah, sepertinya diriku perlahan mulai peduli dengan gadis itu. Seperti ada sesuatu yang mulai membuatku ingin terus berlama-lama menghabiskan waktu bersama. Kalau saja dia tidak sakit kemarin, pasti aku juga tidak tau bagaimana manis wajahnya saat manja.Pepohonan pinus dengan rerumputan hijau yang menghiasi sepanjang jalan tampak memukau mata. Deretan motor beberapa mahasiswa ku juga sudah saling menyesuaikan untuk diparkirkan. Sesuai dengan kesepakatan, memilih menginap untuk semalam. "Permisi Pak. Mau ke resort dulu?,"tawar Rafael bersama beberapa mahasiswa menghampiri ku."Boleh. Dek saya titip Rafsya dulu ya,"ucapku menitipkan pada mahasiswi yang tengah asyik bersantai. "Siap Pak. Rafsya ngga hilang kok Pak,"ucap Kieran ku angguki sejenak. "Ada yang bisa
Rafsya POV Nafasku masih naik turun setelah beberapa menit lalu bertaruh nyawa. Lihatlah lelaki di sampingku tak hentinya mencium kening ku penuh sayang. 2 jam sebelumnya dia tak henti memberi semangat dan terus setia menggenggam erat tangan ku. Lantunan rasa syukur dua buah hati terlahir normal ke dunia. Nyaris seperti operasi tumor otak beberapa bukan yang lalu. Diriku nyaris melahirkan seorang diri karena perutku tiba-tiba mulas sementara Fatih tengah pergi karena sebuah kegiatan. Bukan Fatih yang salah, memang seharusnya lahirnya itu 10 hari lagi. Tapi beginilah warna warni takdir. "Mas kamu bahagia?,"tanyaku di angguki nya membuat setetes air mata jatuh di ujung mata. "Dek pasti sakit sekali kan?,"tanya Fatih ku gelengkan. "Saya dari semalam mikir. Usia kita beda jauh otomatis kamu akan lebih dulu merasakan tua. Membayangkan melewati masa tua sendiri. Hanya ditemani dengan anak-anak. Rasa sakitnya itu terbayar sud
Fatih POV Mataku memandang manis gadis yang bersandar tenang. Kalau saja Asmita tidak memintanya diam mungkin sekarang entah kemana dia akan beranjak. Hijab pasmina yang melingkari kepalanya tidak lagi meluncur seperti saat memakai jilbab segitiga. Namun tetap saja, seharian duduk manis di kediaman Mahardika yang memang tengah ada acara kumpul keluarga.Seharian ini jiwa indie nya kadang membuat ku terhanyut. Entah berapa lagu yang terlantun sementara melihat semua orang berlalu lalang kesana kemari. H2SO4 dan kenangan itu bagaimana bisa lupa. Awal jumpa dengan gadis ini. Karena selama ini aku hanya tau dari dosen lain tentang nya. Entah bagaimana bisa diriku yang masuk mimpi gadis belia itu.Hingga membuat dirinya jatuh hati lebih dulu padaku. Padahal dia saja tidak tau wajahku yang mana. Menurutku mimpi itu datang dari Allah sebagai jawaban. Karena saat ini memang diriku yang berdiri di sebelah
"Rafsya sudah sembuh yee,"ucapku bersorak bangga sembari berlalu mendekati jendela karena keringat mulai mengucur deras. Aku akan mengejutkan Fatih saat dia pulang dari menemani Amayra nanti. Menunggu dirinya tiba, kembali berpaku di depan meja rias sembari melepas penutup kepala. Bekas operasi yang tercetak jelas membuatku terlihat mirip Voldemort.Sisir yang biasanya ku gunakan untuk membuat berbagai jenis bentuk rambutku kini tidak lagi berguna. Tidak lagi merasa sedih, ku sampingkan rasa pilu yang menggerogoti benak sembari mengusapkan potongan lidah buaya ke seluruh bagian kepala ku. "Rafsya Dek saya pulang,"ucap Fatih terdengar memasuki rumah membuatku segera menutup kembali kepala.Dengan langkah pasti, bisa ku lihat wajah Fatih menarik senyum lebar tak ingin mendekat lebih jauh. Sengaja ingin melihat ku berjalan dengan lancar ke arahnya. "Kak ngap ya ya kembali ngontrak di bumi,"ucap Amayra menepi membiarkan ku melangkah lebih cepat hingga terhent
Rafsya POVSuasana saat pemeriksaan pagi hari yang biasanya diisi dengan ketenangan menjadi penuh tawa. "Wah lagi pemeriksaan ya. Mbak Aini, ini kah orangnya?,"tanya Asmita membuatku ingin tenggelam ke Palung Mariana saja. Sementara sosok yang dimaksud hanya tersenyum lebar. "Dokter dulu temannya Amayra?,"tanya Aini memulai interogasi."Saya dulu hanya kenal Amayra adek tingkat saya,"ucap Kenan. "Adek tingkat atau apa tuh? Masa kakak tingkat sama adek tingkat bahas organisasi atau kuliah di bioskop,"ucap Fatih kian membuat wajah Kenan memerah. "Hanya teman saja Pak,"ucap Kenan mengganti status membuatku terkekeh pelan."Teman tapi mesra kah Dok?,"tanya Asmita sungguh membuat pria di depan ku kehabisan kata-kata. "Saya dulu rekannya Amayra saja Pak Bu. Tapi setelah itu kami lost contact karena saya harus menyelesaikan studi di luar negeri dan baru bertemu lagi karena tidak sengaja menangani kakak iparnya,"ucap Kenan akhirnya mengaku.
"Rafsya saya pulang,"Kalimat itu sontak membuatku menarik senyum lebar. Bagaimana pergi ke rumah sakit disebut pulang? Sepertinya dia terlalu banyak tertular diriku. "Baru dari kampus Mas?,"tanya Arkan yang sedari tadi menemani ku bersama Amayra. "Nggak juga. Pulang mandi dulu Kan. Masa mau ketemu sama cewek cantik bau asem,"ucap Fatih membuatku terkekeh pelan."Cewek cantik yang mana Le?,"tanya Mahardika membuat Fatih menoleh melihat Mahardika sudah berdiri dengan penuh pertanyaan. "Yang itu Pak. Saya hanya punya cewek cantik. Eh empat Pak. Ibu, Bunda, Amayra dan yang paling cantik Rafsya,"ucap Fatih. "Ehm manisnya kelewatan gombalnya Mas,"ucap Arkan membuatku terkekeh pelan."Kamu sudah makan belum Le?,"tanya Mahardika. "Saya makan bareng sama Dek Rafsya aja,"ucap Fatih membuatku menggeleng heran. "Kan, Nduk Ay ayo pindah kamar. Orang kasmaran susah kalau dipisahkan,"ucap Mahardika berlalu pergi menyisakan ku dengan Fatih. "Sudah check up belum sama dok
Terjawab sudah semua alasan hal yang mengganjal dalam benakku selama ini. Alasan dirinya mengambil uang dengan nominal sebesar itu, rambutnya rontok, juga bercak darah yang ku temukan di bekas tisu di meja rias juga pasti miliknya. Ditemani dengan Kiran, Lewis, dan Liona diriku duduk terdiam sembari mendonorkan darah."Pak Fatih sebelumnya ngga tau Rafsya punya penyakit ini?,"tanya Lewis ku gelengkan pelan sembari tersenyum. "Saya memang tau Rafsya belakangan ini agak pucat, rambutnya rontok, belum lagi mertua saya bilang dia ada transaksi dengan nominal besar. Hanya saja saya ngga tau dia sengaja menyembunyikan penyakitnya dari saya,"ucapku gamang."Mungkin Rafsya punya alasan Pak. Lagipun ngga mungkin Rafsya akan bertindak sendiri kalau memang alasannya ngga kuat,"ucap Liona menenangkan. "Kakak,"ucap Amayra memelukku erat membuatku terbangun dari diam ku. "Maaf Kak,"ucap Amayra tersedu dalam tangis. "Kenapa kamu juga ikut ngga mau kasih
Air mata ku hanya bisa terus luruh saat mendengar Fatih merapalkan doa meminta pada Allah untuk setiap detail kebahagiaan ku. Sementara diriku hanya duduk di atas ranjang menahan pedih karena tak bisa menunaikan sholat dan saling mendoakan di atas sajadah yang sama. Apalagi setelah itu dilanjutkan dengan merdunya ketika melantunkan ayat suci Al Quran.Aku tidak bisa membayangkan jika hari ini aku akan telat pulang karena masih dalam proses penyembuhan. Sudah 2 jam diri ku hanya dalam posisi yang sama melihat sosok pria yang selalu berharap semua yang terbaik untukku. Membayangkan wajahnya pucat pasi ketika tau aku akan memasuki ruang operasi pasti hanya membuatku makin hancur."Dek saya pergi ke masjid dulu ya,"ucap Fatih membuatku mengangguk paham sembari mengambil beberapa perlengkapan lain menyelipkan ke kamar Amayra. "Ay sudah bangun kah?,"tanyaku mengetik pintu sembari membawa tas berisi seluruh keperluan ku. "Sudah Kak. Sini biar ngga
"Rafsya kamu masih di dalam,"Panggilan berulang itu membuatku terbangun dengan bekas mimisan mengalir melintasi wajahku. "Iya Mas sebentar lagi beneran keluar ini,"ucapku segera mencuci wajah. Bisa-bisanya malah tertidur di kamar mandi. Yang ada malah semakin memperburuk keadaan saja Rafsya. Sembari melihat wajahku tampak baik-baik saja segera ku putar knop pintu melihatnya cemas."Kamu baik-baik saja Rafsya?,"tanya Fatih ku angguki. "Selalu baik saya Mas,"ucapku membuatnya menghela nafas lega. "Ayo tidur,"ucap Fatih menarik tanganku menuju ranjang. "Loh kok Mas sudah ganti baju,"tanyaku. "Barusan pulang Pak Adimas sama Bu Andin nya,"ucap Fatih membuatku melirik ke arah jam dinding. Pantas saja. Sudah jam setengah dua belas malam.Selama itu aku tertidur di dalam kamar mandi dan sekarang di tempat yang seharusnya malah sulit ku jumpai kata nyaman untuk tidur? Astaga kebodohan apa ini Rafsya. Sembari melirik Fatih tampak d
Sungguh menyebalkan.Hanya satu kalimat itu saja yang ingin ku ungkapkan saat membuka mata. "Masih marah,"ucap Fatih menyenggol lengan ku. "Entah. Katanya iya Rafsya sayang nanti dibangunin,"ucapku sebal. "Iya kan tapi saya bangunin,"ucap Fatih masih terus terkekeh mencebik. "Kenapa toh ini? Masih sebel Nak,"tanya Aini bergabung dengan kami di ruang tengah."Itu Bun. Coba kalau begini kayak berat sekali,"ucapku mengomentari make up di wajahku yang terpasang begitu saja. Ya Anda tidak salah. Memang setelah kami pulang, di rumah sudah menyiapkan dengan sebaik mungkin. Hanya saja Amayra sengaja tidak diberi tahu dulu. "Cantik kok. Bunda yang suruh Mas Fatih biarkan aja. Karena Bunda kayaknya capek sekali,"ucap Aini membuatku mengedipkan kedua mata tak percaya."Iya kan Fat. Cantik mantu Bunda,"ucap Aini. "Cantik sekali dong Bun. Apalagi kalau lagi ngambek,"ucap Fatih tak tahan menaikkan sudut bibirku membuatnya tergelak. "Bun Amayra kata