"Kau nih kayaknya di suruh buang cairan kimia sisa Sya. Siapa suruh besok aja mikir nya,"ucap Airin mencibir ku. "Hust diam aja bisa ngga. Aku malah mikirnya di suruh bersihkan lab.
Karena kalian berdua kan baik hati dan tidak sombong, jadi ngga pikir dua kali,"ucapku tersenyum lebar. "Ckckck. Dah lah ayo pulang Rin,"ucap Hilda. "Asem mau kemana lagi kalian ini he,"ucapku kesal.
"Canda wak. Kita mau cari makan dulu, lapar kali habis praktikum. Nanti ku bungkuskan buat mu,"ucap Airin melambaikan tangan nya di udara. Menyisakan ku yang kayak orang gembel di depan lab.
"Remember love you. I love you,"ucapku mengetuk kotak lab sembari memikirkan betapa gabutnya diri ku. "Rafsya Anitya,"panggil Fatih membuat ku segera bangkit. "Iya Pak,"ucapku berdiri tegap.
"Ayo ikut saya,"ucap Fatih ku angguki. "Sudah shareloc Pak?,"tanya Lewis yang bertemu di pintu masuk. "Sudah saya kirim ke grup Pak,"ucap Fatih. "Oalah ya sudah nanti saya sama temen-temen barengan aja,"ucap Lewis. "Ayo Rafsya mau ngelamun disana?,"tanya Fatih.
"Hah? Iya pak,"ucapku manut begitu beliau meminta ku naik ke mobilnya. "Didepan saja,"ucap Fatih membuat ku mengurungkan niat membuka pintu tengah. "Baik Pak,"ucapku manut saja.
Lagian aku malah kayak kena sawan gini. Apalagi dengan detak jantung yang membuat ku ingin segera kabur saja. "Kamu berapa bersaudara Sya,"tanya Fatih mencairkan suasana.
"3 Pak,"ucapku singkat, padat dan jelas. Takutnya ngomong kebanyakan malah ketahuan gugupnya. Suasana kembali tenang apalagi Fatih menyalakan sholawat nabi yang membuat ku lebih kurang rasa gugup.
Hilda
Ehh kamu kemana Sya
Aku sudah tungguin tapi ngga ada
Maaf ges aku pulang ke rumah Momy sayang
Setidaknya kalo ada musik kan ngga begitu krik krik. Tapi ketenangan ku berubah begitu mobil membawa ku ke kawasan perumahan yang sangat ku kenal. "Loh Pak kalo boleh tau kenapa ke sini ya?,"tanyaku bingung.
"Kan saya sudah bilang ada urusan dengan mu,"ucap Fatih ku angguki meskipun bertanya-tanya kenapa malah di jalan Antrasit ramenya masya Allah. Ngga banget Cuma kok pas di depan rumah ku.
"Ayo turun,"ucap Fatih ku angguki. Rumah ku mau ada yang nikah kah ini? Kenapa juga ada kayak bunga-bunga segala di gerbang mana rame nya ehh kok banyak dosen. Mau ngapain ini weh???
"Rafsya sini nduk masuk,"panggil Asmita dari dalam rumah. "Iya Bu,"ucapku masuk ke dalam ruang tamu. Ku lihat lagi wanita paruh baya dan suami nya tengah duduk juga bersama dengan Mahardika.
"Bu ada syukuran kah?,"tanyaku bingung kenapa banyak dosen di luar. "Syukuran? Kamu itu dulu ibu tanya. Kenapa ini?,"tanya Asmita memegang perban yang mencuat di pergelangan tangan kiri ku.
"Itu biasa Bu di lab. Namanya juga anak kimia tapi kan di dalam juga Bu. Rafsya kan berjilbab ya ngga kelihatan juga,"ucapku. "Memangnya kamu mau berjilbab terus sampai kapan Nak.
Kalo kamu sudah nikah, apa kamu juga masih tetap berjilbab di depan suami mu?,"tanya Asmita. "Ya itu itu. Nanti ada jalan nya sendiri Bu,"ucapku. "Nduk. Ngga semua itu bisa kamu gampang kan.
Sekarang kamu bilang begini, nanti gimana dengan mu Nduk. Bekas luka mu itu,"ucap Mahardika membuat ku ikut berkaca-kaca. "Namanya musibah Pak, Bu. Rafsya juga kalo bisa menghindari ya dihindari.
Sudah dituliskan di sananya Rafsya begini Bu. Ibu habis potong bawang ini makanya perih mata ku,"ucapku mengipasi mata dengan tangan ku. "Bu,"panggil Mahardika. "Sya ini ada Pak Himawan dengan Bu Aina mau ngomong sama kamu,"ucap Asmita.
"Aku? Kenapa gerang dengan ku?,"ucapku menyeka air mata yang turun. "Nak saya yang kemarin. Ingat kan,"ucap Aina ku angguki. "Karena penyebab luka yang bagi saya, ibu mu bahkan saya rasa semua wanita tau bagaimana sedihnya memiliki itu.
Saya dengan Ayah nya Fatih mau melamar kamu untuk putra kami Fatih,"ucap Aina membuat ku cengo. "Sek toh. Ini kek mana sih kok malah ngga paham aku,"ucapku malas berpikir cerdas karena aku tau dengan jelas maksud dan setiap detail ucapan Aina.
Ngga mungkin kek gini kan. Ya Allah please aku ngga perlu kata lain aku cuma mau kuliah baik-baik. Ngga akan deh aku tanya aneh-aneh yang malah membuatku menyesal. Gila apa weh sedangkan usia terpaut 15 tahun. Iss no no no.
"Rafsya,"ucap Mahardika. "Iya Pak. Tapi ya saya baik-baik saja dan ngga ada masalah apapun itu. Saya rasa tidak perlu apalagi saya sadar diri. Begitu banyak kekurangan dalam diri dan masih kekanak-kanakan.
Saya anak pertama dan masih mau membahagiakan kedua orang tua. Juga kedua saudara saya,"ucapku menjabarkan. "Rafsya. Saya paham kamu memang mandiri dan mau bekerja keras anaknya.
Hanya saja saya rasa dengan cara ini, kami mungkin bisa memperbaiki suatu hal mungkin saja terjadi di masa mendatang. Kedua orang tua mu sudah setuju tinggal kamu mau nya gimana.
Nak mungkin sekarang kamu berpikir mudah. Hanya saja nak realita nya akan jauh lebih berat. Kamu masih muda tapi nanti Nduk,"ucap Himawan. Ku tatap wajah Asmita dan Mahardika yang saling mengangguk meyakinkan.
Weh ini kayak kalimat palung Mariana B aja tau. Padahal ya aku dan semua orang ngga tau di depan kayak mana. Masa iya masa muda ku Cuma terhitung sampai angka 20 tahun aja. Ehh ngga juga 20 orang aku masih 19 tahun ini.
"Bu tapi masa iya bapak ibu sudah sekolahkan susah-susah jadi istri aja?,"ucapku memelas. "Ngga gitu Nduk. Ini ceritanya beda lagi. Manut ya,"ucap Asmita. "Bener kata ibu mu. Kamu manut ya,"ucap Aina.
"Ehh tapi kan instansi ku ngga bolehkan aku nikah selama pendidikan,"ucapku baru ingat. "Tapi kali ini rektorat juga setuju. Semalam akhirnya semua pihak setuju dengan catatan selama masa kuliah hanya akan diketahui para dosen.
Artinya kamu bisa bebas berteman seperti biasanya saat di kampus,"ucap Aina. "Ngga ada bedanya ya. Ya sudah,"ucapku pasrah akhirnya. Toh hanya para dosen yang tau. Its Okey Sya Its Okey. Bilang Its Okey padahal jujur aku juga deg-degan ngga karuan.
"Alhamdulilah,"ucap seisi meja ruang tamu menyambut rasa bahagia kecuali aku yang bingung dengan hidup ini. Gemuruh suara syukur juga terdengar dari luar sebelum akhirnya masuk lagi suara yang ingin membuatku salto ke Palung Mariana.
"Assalamualaikum,"ucap Fatih dengan baju koko lengkap dengan peci hitam tersemat di kepalanya.
"Waalaikumussalam,"
Fatih didudukkan dekat tapi ngga satu tempat dengan ku. "Fat Rafsya sudah terima lamaran nya tapi tetep aja kamu harus ngomong secara langsung ke Rafsya,"ucap Himawan. Ehh kenapa kok jadi kayak deg-degan juga salah tingkah sih. Apalagi dosen yang ada di luar masuk semua turut mengabadikan momen.
"Ngga usah pakai pegang tangan putri saya ya,"titah Mahardika tegas tanpa tedeng aling-aling. "Baik pak,"ucap Fatih mengangguk patuh. "Ananda Rafsya Anitya Sagara
"Itu mau lamaran atau panggil wisudawan,"cibir Mahardika. "Pak udah lah becanda mu ngga lucu,"ucap Asmita. "Tanpa mengurangi hormat, saya Fatih Abqary Hafla ingin meminta
"Itu mau pidato atau mau lamaran,"kini beralih ke Himawan. "Rafsya Anitya Sagara, mau kah kamu menggandeng tangan ku di hadapan hukum, masyarakat dan agama,"ucap Fatih serius menghadapku membuatku seperti kena sengat.
Perlahan ku angguki tapi dalam hati masih deg-degan karena memahami maksud dari perkataan nya. Ku kira dia bakal ngomong will you marry me atau sejenisnya. Tanpa ku duga ternyata justru kata 'menggandeng tangan ku' sebagai pengganti kalimat melamar.
"Alhamdulilah,"
"Bu Rafsya nya langsung di rias aja ya,"ucap Asmita di angguki Aini. Serta merta membawa ku masuk sedangkan tangan ku kanan kiri masih menenteng kotak lab dan jas lab. Kimia banget juga aku ini wehh.
-&-
Seisi ruang tamu di isi dengan semua dosen yang datang juga beberapa tetangga dan rekan kerja Mahardika. Namanya juga dadakan gara-gara asam sulfat kurang asem itu. "Rafsya ayo ganti baju dulu,"ajak Aina.
"Loh jilbab nya ketinggalan. Sebentar ya Bu,"ucap Aina meninggalkan ku dengan Asmita. "Bu. Rafsya ngga papa tanpa harus kayak gini. Karena Rafsya yakin jodoh ngga akan memandang fisik,"ucapku.
"Ngga papa Nduk. Sudah, ayo siap-siap,"ucap Asmita menahan air matanya. "Nanti kalo jadi istri nya Nak Fatih, jadi kayak yang biasanya ibu ajari. Manut aja apa yang dibilang. Ibu yakin Nak Fatih orang yang baik dengan mau bertanggung jawab,"ucap Asmita sembari memasang aksen kebaya.
Kayak mana ngga nangis weh, aku aja nangis karena bisanya pulang dari lab langsung ditawari nikah kayak gini. "Ini jilbab nya. Nduk Fatih itu ya memang tipikal nya agak dingin. Cuma kalo sudah kenal ngga sedingin itu.
Kalo butuh apa-apa bilang aja langsung. Saya ibu mu juga kan,"ucap Aina ku angguki. Bener-bener mupeng otak ku dibuat nya. Kebaya bewarna putih berpadu indah dengan warna kulit ku. Terakhir sebuah selendang panjang menutup total seluruh wajahku.
Aina dan Asmita menggandeng ku untuk duduk bersama para wanita di meja sebelah kanan sedangkan yang lain di sebelah kiri. Dari balik selendang, aku bisa melihat wajah Mahardika yang sangat berat melepas ku.
Putrinya yang selalu saja nakal, akhirnya harus diserahkan karena hal tak terduga. "Silahkan bisa dimulai,"ucap penghulu yang kamvret nya kapan datang. Mana yang dekor kelewat pro tau-tau udah jadi aja kan ngga lucu.
"Saudara Fatih Abqary Hafla bin Himawan Naufal Hafla, saya nikah dan kawin kan engkau dengan putri pertama saya yang bernama Rafsya Anitya Sagara binti Mahardika Abiyasa Sagara dengan mahar seperangkat alat sholat dibayar tunai,"
"Saya terima nikah dan kawin nya Rafsya Anitya Sagara binti Mahardika Abiyasa Sagara dengan mahar seperangkat alat sholat dibayar tunai,"ucap Fatih menggema di udara. "Bagaimana para saksi?,"tanya Penghulu.
"Sah,"
"Alhamdulilah,"aku hanya termangu begitu tangisan bahagia dari kanan kiri menyerbu ku. Aku bingung mau kek mana coy. Kayak aneh nikah tanpa lamaran tau-tau sah aja gitu. Asmita dan Aina mendudukkan ku bersebelahan dengan Fatih, hanya saja selendang nya belum dilepas.
"Fatih, memang Rafsya sekarang sudah sah jadi istri mu. Tapi kamu perlu ingat, Rafsya itu masih muda. Tentang cara berpikirnya masih kekanakan, tegur tapi jangan sampai sakiti fisik nya.
Saya percaya kamu bisa menjaga putri saya. Tentang lebam di wajahmu itu bentuk kasih sayang setiap bapak pada putrinya. Untuk itu saya harap kamu tidak sekalipun berpikir mempermainkan kepercayaan yang sudah saya berikan,"ucap Mahardika cukup membuat ku tersentak. Ternyata penyebab bonyok di muka Fatih dari tangan Mahardika. Tapi ngga kaget sih karena tau tipikal keras Bapak ku.
"Fatih. Ayah Cuma berharap yang terbaik dan bisa menjaga Rafsya. Dia jauh lebih muda 15 tahun dari mu. Beri dia pengertian kalo salah dan ajari dengan pelan. Cukup itu dari kami,"ucap Himawan. Selepas itu barulah Fatih diperkenankan membuka selendang penutup kepala ku.
Bahkan saat Fatih mengangsurkan, beda kali tangan ku dengan tangan nya. Tangan ku yang masih comel, apalagi baby face dengan tinggi Cuma 150 cm. Ideal Cuma ngga sesuai dengan umur ku dan dengannya yang memang fisik seorang laki-laki dewasa apalagi Fatih kabarnya rajin olahraga.
Sensasi nya kayak salaman sama dosen bukan sama suami cuy. Ngga ada kayak ish deg-degan atau apa gitu. Malah kayak aneh asli. "Ayo Pak Fatih jangan malu-malu lah. Masa malu-malu sama mahasiswa sendiri,"celetuk Lewis mengundang celetuk yang lain.
"Mumpung udah ada gandengan nya. Jangan sungkan-sungkan lah,"ucap Samuel, rektorat instansi ku. Maklum coy yang datang Cuma rektorat baru sama dosen jurusan aja. Ku rasakan tangan nya menangkup kepala ku hingga ku rasakan sesuatu yang hangat di kening ku.
Momen sekali seumur hidupku berkesan sangat sederhana tapi uniknya fell nya dapat dari mimpi yang sempat datang. Jadi rasa deg-degan nya juga kena. Fatih mengambil tangan kanan ku untuk dipasangkan cincin.
Begitu dengan ku yang lebih ke tremor sampai aku malu sendiri. Pasti Fatih bisa merasakan hawa dingin dari tangan ku. "Yuk buat foto bareng dulu. Mumpung satu jurusan lagi pada ngumpul semua,"ucap Nadia.
Begitu tau para dosen ku akan berfoto, aku melipir ke samping. Bukan insecure, lapar juga aku dari tadi pulang dari lab kan kelaparan. "Rafsya ayo dek. Ngga usah malu-malu. Kalo di luar kan suami nya Pak Fatih,"ajak Liona, dosen killer aja bisa selembut ini kalo diluar.
"Err iya Bu. Saya mau ke belakang dulu,"ucapku namun tangan ku ditarik pelan Fatih. "Nah gitu dong Pak Fatih. Harus yakin di depan istri apalagi mahasiswa nya sendiri,"ucap Lewis membuat ku makin canggung.
Menunjukkan wajah bahagia apalagi fotografer nya juga he kurang akhlaq memang. "Mas pengantin sambil peluk pinggang mbak pengantin dari belakang,"ucap fotografer membuatku melotot. "Pak kayak nya mending duduk aja secara saya kan lebih minimalis,"ucapku ke fotografer.
"Itu untuk foto pasca wedding nya. Santai aja Sya,"ucap Asmita membuat ku menegak ludah kasar. Fatih mengambil alih dan duduk sedangkan aku berdiri di belakangnya. "Iya Mbak pengantin nya pegang pundak Mas pengantin nya terus ditatap sambil senyum.
Mas pengantin nya juga ya ditatap mbak pengantin nya,"ucap fotografer ingin ku jungkir balik rasanya. Aku hanya berani menutup mata ku karena rasanya itu jauh lebih baik daripada harus membuka mata dan bersitatap.
"Nduk jangan merem toh,"ucap Aini mau ngga mau membuatku bersitatap dengan wajah rupawan Fatih apalagi matanya yang tajam memandang ku lembut dengan senyuman. "Yuk ganti gaya,"ucap fotografer membuatku ingin beranjak.
Tapi konyolnya kaki ku malah belibet membuatku tak sengaja mencium pipi Fatih. Sontak membuat wajahnya memerah maksimum sama seperti wajahku. "Nah alami banget bagus lah pokoknya,"ucap fotografer usai mengambil gambar.
"Maaf Pak saya tadi kebelit sama karpet,"ucapku mengalihkan pandangan di angguki nya. Kita aja yang canggung selebihnya malah ada yang tertawa lepas, cengengesan, dan segala macem. Aku hanya bisa mengucap istighfar aja sudah.
Fatih POVKecelakaan kecil di lab membawa ku di dudukkan bersama gadis kecil mahasiswi ku. Liatlah dia tampak memang masih muda dari tingkahnya. Meskipun terlihat tertata mataku tak bisa beralih dari wajahnya yang imut."Ehem dimakan Le jangan liatin Rafsya terus,"tegur Asmita, mertuaku. Astaga dia juga bisa tersipu makin membuatku enggan mengalihkan pandangan. Ehh apaan sih Fat. Itu mahasiswi mu catat kalo lupa. "Mbak Rafsya liat nah Molly,"ucap sepupu nya menunjukkan kucing jenis Persia yang bergerak lucu membuat matanya berbinar."Molly. Eum tambah gemuk kamu,"ucap Rafsya menggendong Molly sembari mengusap lembut kepalanya. Kalo kucing aja digendong penuh sayang bagaimana dengan putra mu Fat. Ehh kenapa malah jadi ngelantur.Baru sejam yang lalu akad, otakku mulai ngga sehat. Efek nikah di usia yang seharusnya sudah berkeluarga. "Rafsya makan dulu Nak. Nanti aja Molly nya,"ucap Asmita. "Bent
Suara rintik hujan membuat ku membuka mata perlahan. Ini sepertinya kediaman Hafla apalagi dengan berbagai dokumen di sana sini. Dan ya Fatih yang tidur di sofa. Ehh pelanggaran lu Sya. Bisanya suami tidur di sofa.Ku tarik selimut yang membalut tubuhku dan menyampirkan ke tubuhnya sebelum beranjak keluar. Masih jam 4, berarti harusnya aku sudah mulai masak. Masalahnya ngga ada kah yang bisa ganti baju ini heh.11 12 dengan rumahku hanya saja keluarga Hafla jauh lebih agamis berbeda dengan ku yang lebih javanes. Tapi di sini ngga ada ruang terbuka penghubung kayak di rumahku. Its okey kolam ikan cukup membuatku terpukau."Rafsya sudah bangun Nak?,"tanya Aina dengan senyum lembut nya menyapa ku. Bunda mertua ku memang sangat lemah lembut ges. Di pagi yang cerah senyumnya sudah mencerahkan dunia. "Sudah Bun. Oiya bun kalo sarapan biasanya masak apa,"tanyaku."Waduh kok kamu sibuk masak. Udah ngga usah
Rumah sederhana dengan kolam ikan dan taman hijau di luar cukup membuat ku terpesona begitu pintu gerbang terbuka otomatis. Belum lagi gazebo yang teduh dengan rerumputan hijau menambah kesan cinta alam."Kak Rafsya suami tersayangmu kangen nih. Lagian kenapa juga ngga saling tuker nomer Whatsapp sih,"ucap Amayra menyodorkan HP nya. "Rafsya saya kemarin sudah nyusun semua baju dari rumah kamu di lemari.Nanti kalo ada kurang nya atur aja sendiri. Amayra ngajak kamu kemana tadi,"tanya Fatih. "Kemana? Cuma ke apotek beli salep karena yang kemarin habis,"ucapku. "Yee suudzon mulu sih,"celetuk Amayra."Ya sudah. Nanti jam setengah 5 saya pulang. Langsung bersihkan diri saja sesuaikan senyaman mu saja. Assalamualaikum,"ucap Fatih menutup panggilan. Dia meminta ku bersih-bersih atau akan membuat tugas yang akan datang. "Waalaikumussalam,"ucapku masuk ke dalam rumah yang membawa suasana sejuk dan penuh nuansa hijau.
“Larutan NaCl 0.02M terlebih dahulu dilakukan standarisasi,”ucapku bolak-balik sepanjang kamar, sementara Fatih sibuk dengan laptop nya. “Bukan 0,02 Sya. 0,002 M. Tidurlah saya ngga menerima telat bangun,”ucap Fatih mengemasi bukunya. “Tapi kalo saya ngga bisa dikeluarkan. Gimana sih Pak,”ucapku berdecak mendapat tatapan aneh nya. “Sudah cukup. Cepat tidur,”ucap Fatih membuat ku ikut bergegas ke atas ranjang setelah tak lama kemudian lampu dimatikan.“Erlenmeyer, buret, corong pisah, labu ukur,”ucapku bergumam sembari menatap ke langit-langit kamar yang dihiasi temaram lampu. “Rafsya Anitya. Mau tidur sendiri atau saya tidurkan,”gumam Fatih menatapku lekat. “Rafsya tidur,”ucapku memundurkan diri malah ditarik mendekat. “Mau jatuh dari ranjang? Ayolah Rafsya kamu bukan anak kecil yang susah disuruh tidur kan. Sekali lagi kamu bergumam atau bertingkah lagi, saya pastika
"Sya dari bapak kah itu?,"senggol Airin begitu usai praktikum melihat gelang di tanganku. "Hmm iyalah masa iya aku beli ginian,"ucapku. "Selera bapak bagus ya,"ucap Airin. "Banget, apalagi dia suamiku,"ucapku terkekeh geli. "Cie sudah mengakui,"ledek Airin membuatku tersenyum kecil. "Setelah praktikum kali ini silahkan laporan sementara dikumpulkan paling lambat besok jam 23.59 Wita,"ucap Fatih."Baik Pak,""Kerja kelompoknya gimana ini?,"tanyaku bersama teman satu kelompok. "Iya nah. Kamu ngga ngekost lagi kan. Atau kita bagi tugas aja,"ucap Kieran. "Iya gin. Aku dasar teori,"ucapku. "Nah sisanya tinggal kami yang kerjain. List aja di grup baru kumpul di wa semuanya paling lambat besok pagi jam 8,"ucap Rafael. "Oke oke. Ya udah duluan ya,"ucap Kieran pergi lebih dulu.Sementara diri ku tentu saja belok memutar balik sebelum masuk ruang dosen. "Weh mau kemana,"tanya Rafael melihat ku malah berbalik arah. "Biasalah,
"Rafsya,"panggil Fatih membuatku berbalik usai konsultasi dengan Lewis. Padahal sedari tadi sudah enggan mendekatinya malah dengan sengaja pria itu meminta ku berbincang. "Saya pak,"ucapku berdiri di depan nya. "Tunggu temanmu keluar dulu,"ucap Fatih membuat ku duduk dengan wajah bosan."Pak sudah keluar semua. Ngapain lagi saya disini,"ucapku. "Setelah ini ada pemeriksaan bulanan dari instansi. Kemarin sebelum nikah ngga sempet ngurus makanya kartunya baru jadi. Nanti ke sana jam setengah 2 an saja,"ucap Fatih menyerahkan sebuah kartu yang menampilkan wajahku sama seperti di kartu tanda mahasiswa. Nasib nikah masih mahasiswa."Pemeriksaan apa Pak? Saya tidak sedang sakit,"ucapku merasa sehat. "Seharusnya sebelum menikah kemarin perlu vaksin tetanus. Tapi lihat kebijakan dokternya seperti apa ya,"ucap Fatih membuat menatapnya tak percaya. Jarum suntik memang bagi semua orang rasanya tidak seberapa. Tapi bagi ku lebih baik terke
“Ada tamu kah?,”ucapku begitu melihat pintu rumah terbuka lebar. “Ya masuk kalo mau tau,”ucap Fatih memasuki rumah. Baru aja mengikuti langkah Fatih masuk, aku sudah dikagetkan dengan seorang wanita yang memeluk erat dirinya.“Ehh,”ucap Amayra terlonjak sedangkan aku hanya terpaku. Perasaan itu foto bukan pajangan loh ya. Bukan posesif hanya saja baru menyadari dia gadis yang semalam. “Syarifah saya baru pulang,”ucap Fatih membuatnya melepas pelukan nya.Tau kah kalian yang namanya Syarifah itu behh. Sungguh mempesona dan tampak cerdas seperti yang terlihat. “Ini sepupu?,”tanya Syarifah menunjukku. “Dia Rafsya istri ku. Rafsya ini Syarifah teman kuliah ku,”ucap Fatih datar duduk di sofa ruang tamu.“Istri? By kamu ngga salah kan. 7 tahun terus kamu tiba-tiba nikah gitu aja. Ouh pantes semalam kamu ngga mau aku datang ke rumah mu karena ini,&rdquo
“Totalnya Rp 250.000,”ucap mbak mbak jaga kasir. “Aku aja. meskipun bukan apa-apa buat anaknya bos KPC tapi lumayan buat jajan,”ucap Arian membuat ku tertegun. Mahardika memang melihat kemandirian setiap orang tapi juga penghasilan.Ngga salah dia mau anaknya bahagia. Sekalipun begitu, Mahardika ngga pernah menetapkan target. Ya singkat cerita itu juga yang membuat Arian segan dengan ku. “Ngga boleh begitu. Btw ngapain ke sini?Temenin cewek atau istri nih,”tanyaku keluar dari swalayan. “Aku kan masih tunggu engineer nya emas hitam,”ucap Arian membuatku terbungkam. Gimana kalo dia tau kabar pernikahan ku?“Kayaknya lepas aja deh Mas,”ucapku tersenyum kecut. “Maksudnya,”ucap Arian mengerutkan kening nya. Aku mengangkat tangan ku sebelah kanan menunjukkan cincin emas melingkar dengan mata berkaca-kaca.“Hey. Jangan sedih aku
Rafsya POV Nafasku masih naik turun setelah beberapa menit lalu bertaruh nyawa. Lihatlah lelaki di sampingku tak hentinya mencium kening ku penuh sayang. 2 jam sebelumnya dia tak henti memberi semangat dan terus setia menggenggam erat tangan ku. Lantunan rasa syukur dua buah hati terlahir normal ke dunia. Nyaris seperti operasi tumor otak beberapa bukan yang lalu. Diriku nyaris melahirkan seorang diri karena perutku tiba-tiba mulas sementara Fatih tengah pergi karena sebuah kegiatan. Bukan Fatih yang salah, memang seharusnya lahirnya itu 10 hari lagi. Tapi beginilah warna warni takdir. "Mas kamu bahagia?,"tanyaku di angguki nya membuat setetes air mata jatuh di ujung mata. "Dek pasti sakit sekali kan?,"tanya Fatih ku gelengkan. "Saya dari semalam mikir. Usia kita beda jauh otomatis kamu akan lebih dulu merasakan tua. Membayangkan melewati masa tua sendiri. Hanya ditemani dengan anak-anak. Rasa sakitnya itu terbayar sud
Fatih POV Mataku memandang manis gadis yang bersandar tenang. Kalau saja Asmita tidak memintanya diam mungkin sekarang entah kemana dia akan beranjak. Hijab pasmina yang melingkari kepalanya tidak lagi meluncur seperti saat memakai jilbab segitiga. Namun tetap saja, seharian duduk manis di kediaman Mahardika yang memang tengah ada acara kumpul keluarga.Seharian ini jiwa indie nya kadang membuat ku terhanyut. Entah berapa lagu yang terlantun sementara melihat semua orang berlalu lalang kesana kemari. H2SO4 dan kenangan itu bagaimana bisa lupa. Awal jumpa dengan gadis ini. Karena selama ini aku hanya tau dari dosen lain tentang nya. Entah bagaimana bisa diriku yang masuk mimpi gadis belia itu.Hingga membuat dirinya jatuh hati lebih dulu padaku. Padahal dia saja tidak tau wajahku yang mana. Menurutku mimpi itu datang dari Allah sebagai jawaban. Karena saat ini memang diriku yang berdiri di sebelah
"Rafsya sudah sembuh yee,"ucapku bersorak bangga sembari berlalu mendekati jendela karena keringat mulai mengucur deras. Aku akan mengejutkan Fatih saat dia pulang dari menemani Amayra nanti. Menunggu dirinya tiba, kembali berpaku di depan meja rias sembari melepas penutup kepala. Bekas operasi yang tercetak jelas membuatku terlihat mirip Voldemort.Sisir yang biasanya ku gunakan untuk membuat berbagai jenis bentuk rambutku kini tidak lagi berguna. Tidak lagi merasa sedih, ku sampingkan rasa pilu yang menggerogoti benak sembari mengusapkan potongan lidah buaya ke seluruh bagian kepala ku. "Rafsya Dek saya pulang,"ucap Fatih terdengar memasuki rumah membuatku segera menutup kembali kepala.Dengan langkah pasti, bisa ku lihat wajah Fatih menarik senyum lebar tak ingin mendekat lebih jauh. Sengaja ingin melihat ku berjalan dengan lancar ke arahnya. "Kak ngap ya ya kembali ngontrak di bumi,"ucap Amayra menepi membiarkan ku melangkah lebih cepat hingga terhent
Rafsya POVSuasana saat pemeriksaan pagi hari yang biasanya diisi dengan ketenangan menjadi penuh tawa. "Wah lagi pemeriksaan ya. Mbak Aini, ini kah orangnya?,"tanya Asmita membuatku ingin tenggelam ke Palung Mariana saja. Sementara sosok yang dimaksud hanya tersenyum lebar. "Dokter dulu temannya Amayra?,"tanya Aini memulai interogasi."Saya dulu hanya kenal Amayra adek tingkat saya,"ucap Kenan. "Adek tingkat atau apa tuh? Masa kakak tingkat sama adek tingkat bahas organisasi atau kuliah di bioskop,"ucap Fatih kian membuat wajah Kenan memerah. "Hanya teman saja Pak,"ucap Kenan mengganti status membuatku terkekeh pelan."Teman tapi mesra kah Dok?,"tanya Asmita sungguh membuat pria di depan ku kehabisan kata-kata. "Saya dulu rekannya Amayra saja Pak Bu. Tapi setelah itu kami lost contact karena saya harus menyelesaikan studi di luar negeri dan baru bertemu lagi karena tidak sengaja menangani kakak iparnya,"ucap Kenan akhirnya mengaku.
"Rafsya saya pulang,"Kalimat itu sontak membuatku menarik senyum lebar. Bagaimana pergi ke rumah sakit disebut pulang? Sepertinya dia terlalu banyak tertular diriku. "Baru dari kampus Mas?,"tanya Arkan yang sedari tadi menemani ku bersama Amayra. "Nggak juga. Pulang mandi dulu Kan. Masa mau ketemu sama cewek cantik bau asem,"ucap Fatih membuatku terkekeh pelan."Cewek cantik yang mana Le?,"tanya Mahardika membuat Fatih menoleh melihat Mahardika sudah berdiri dengan penuh pertanyaan. "Yang itu Pak. Saya hanya punya cewek cantik. Eh empat Pak. Ibu, Bunda, Amayra dan yang paling cantik Rafsya,"ucap Fatih. "Ehm manisnya kelewatan gombalnya Mas,"ucap Arkan membuatku terkekeh pelan."Kamu sudah makan belum Le?,"tanya Mahardika. "Saya makan bareng sama Dek Rafsya aja,"ucap Fatih membuatku menggeleng heran. "Kan, Nduk Ay ayo pindah kamar. Orang kasmaran susah kalau dipisahkan,"ucap Mahardika berlalu pergi menyisakan ku dengan Fatih. "Sudah check up belum sama dok
Terjawab sudah semua alasan hal yang mengganjal dalam benakku selama ini. Alasan dirinya mengambil uang dengan nominal sebesar itu, rambutnya rontok, juga bercak darah yang ku temukan di bekas tisu di meja rias juga pasti miliknya. Ditemani dengan Kiran, Lewis, dan Liona diriku duduk terdiam sembari mendonorkan darah."Pak Fatih sebelumnya ngga tau Rafsya punya penyakit ini?,"tanya Lewis ku gelengkan pelan sembari tersenyum. "Saya memang tau Rafsya belakangan ini agak pucat, rambutnya rontok, belum lagi mertua saya bilang dia ada transaksi dengan nominal besar. Hanya saja saya ngga tau dia sengaja menyembunyikan penyakitnya dari saya,"ucapku gamang."Mungkin Rafsya punya alasan Pak. Lagipun ngga mungkin Rafsya akan bertindak sendiri kalau memang alasannya ngga kuat,"ucap Liona menenangkan. "Kakak,"ucap Amayra memelukku erat membuatku terbangun dari diam ku. "Maaf Kak,"ucap Amayra tersedu dalam tangis. "Kenapa kamu juga ikut ngga mau kasih
Air mata ku hanya bisa terus luruh saat mendengar Fatih merapalkan doa meminta pada Allah untuk setiap detail kebahagiaan ku. Sementara diriku hanya duduk di atas ranjang menahan pedih karena tak bisa menunaikan sholat dan saling mendoakan di atas sajadah yang sama. Apalagi setelah itu dilanjutkan dengan merdunya ketika melantunkan ayat suci Al Quran.Aku tidak bisa membayangkan jika hari ini aku akan telat pulang karena masih dalam proses penyembuhan. Sudah 2 jam diri ku hanya dalam posisi yang sama melihat sosok pria yang selalu berharap semua yang terbaik untukku. Membayangkan wajahnya pucat pasi ketika tau aku akan memasuki ruang operasi pasti hanya membuatku makin hancur."Dek saya pergi ke masjid dulu ya,"ucap Fatih membuatku mengangguk paham sembari mengambil beberapa perlengkapan lain menyelipkan ke kamar Amayra. "Ay sudah bangun kah?,"tanyaku mengetik pintu sembari membawa tas berisi seluruh keperluan ku. "Sudah Kak. Sini biar ngga
"Rafsya kamu masih di dalam,"Panggilan berulang itu membuatku terbangun dengan bekas mimisan mengalir melintasi wajahku. "Iya Mas sebentar lagi beneran keluar ini,"ucapku segera mencuci wajah. Bisa-bisanya malah tertidur di kamar mandi. Yang ada malah semakin memperburuk keadaan saja Rafsya. Sembari melihat wajahku tampak baik-baik saja segera ku putar knop pintu melihatnya cemas."Kamu baik-baik saja Rafsya?,"tanya Fatih ku angguki. "Selalu baik saya Mas,"ucapku membuatnya menghela nafas lega. "Ayo tidur,"ucap Fatih menarik tanganku menuju ranjang. "Loh kok Mas sudah ganti baju,"tanyaku. "Barusan pulang Pak Adimas sama Bu Andin nya,"ucap Fatih membuatku melirik ke arah jam dinding. Pantas saja. Sudah jam setengah dua belas malam.Selama itu aku tertidur di dalam kamar mandi dan sekarang di tempat yang seharusnya malah sulit ku jumpai kata nyaman untuk tidur? Astaga kebodohan apa ini Rafsya. Sembari melirik Fatih tampak d
Sungguh menyebalkan.Hanya satu kalimat itu saja yang ingin ku ungkapkan saat membuka mata. "Masih marah,"ucap Fatih menyenggol lengan ku. "Entah. Katanya iya Rafsya sayang nanti dibangunin,"ucapku sebal. "Iya kan tapi saya bangunin,"ucap Fatih masih terus terkekeh mencebik. "Kenapa toh ini? Masih sebel Nak,"tanya Aini bergabung dengan kami di ruang tengah."Itu Bun. Coba kalau begini kayak berat sekali,"ucapku mengomentari make up di wajahku yang terpasang begitu saja. Ya Anda tidak salah. Memang setelah kami pulang, di rumah sudah menyiapkan dengan sebaik mungkin. Hanya saja Amayra sengaja tidak diberi tahu dulu. "Cantik kok. Bunda yang suruh Mas Fatih biarkan aja. Karena Bunda kayaknya capek sekali,"ucap Aini membuatku mengedipkan kedua mata tak percaya."Iya kan Fat. Cantik mantu Bunda,"ucap Aini. "Cantik sekali dong Bun. Apalagi kalau lagi ngambek,"ucap Fatih tak tahan menaikkan sudut bibirku membuatnya tergelak. "Bun Amayra kata