Ibu menghampiriku, pelukan dan kecupan dia hadiahkan untukku. "Jadilah istri yang taat untuk Khanif, Nak. Jangan kecewakan dia," bisik ibu di telinga. Kata-kata ibu menyentil hati. Terbayang penghianatan setahun silam. Walau sebenarnya, wanita berhati mulia itu tidak ada maksud menyinggungku."InsyaAllah, Bu. Nia akan menjadi istri yang terbaik untukku," sahut Khanif. Digenggam erat tanganku. Aku semakin gugup. Satu persatu ucapan selamat didengungkan. Semua wajah terpampang ekspresi ceria. Kecuali, Mas Gilang. Wajahnya kusut. Hanya sekali-kali menebar senyum pada kolega dan saudaranya. Bisik-bisik tamu undangan pun tidak terhindarkan. Tentunya hubunganku dan Mas Gilang sebelumnya dan sekarang dengan Khanif--adiknya. Aku bisa menebak bermacam kata miring tertuju padaku. Hal inilah yang aku takutkan, kehadiran banyak tamu undangan cukup menambah polemik dalam hidup. Tatapan sinis dari beberapa wanita sosialita di hadapanku tidak dapat dibendung. "Selamat ya, Mbak. Udah jadi bagian ke
POV KHANIFMalam pertama akan berkesan bagi sebagian pengantin baru. Bukan hanya persiapan mental dan fisik. Namun suasana ruangan yang romantis dan nyaman. Aku hanya mampu menyungingkan senyum melihat ruangan khusus yang ibu persiapkan untukku dan Nia.Semua tertata sempurna, tanpa bertanya dekorasi kamar sesuai dengan keinginanku. Terlebih lagi dengan Nia. Sedari pertama melangkah, raut wajahnya takjub dengan hal indah di hadapannya.Harum mawar menyerbak menusuk indera penciuman. Di setiap sudut ruangan mawar merah terlihat rapi disusun dalam vas kaca. Di atas tempat tidur disusun dalam bentuk love. Dari pintu hingga menuju ranjang. Mawar merah disusun bak karpet merah yang dilewati para artis saat menghadiri acara penghargaan bergengsi.Bunga mawar adalah lambang cinta. Oleh karena itu sering digunakan di momen-momen spesial. Salah satunya dekorasi kamar pengantin. Membawa suasana menjadi romantis agar semakin intim dan manis.Pernikahanku dan Nia. Bukanlah pernikahan paksaan atau
Aku bangun saat matahari meringsek masuk melalui celah gorden. Ah! Bukan celah ini namanya. Seluruh gorden tersingkap sempurna. Mataku mengerjap pelan.Kenapa Nia tidak membangunkanku? Kemana dia?Pertanyaan-pertanyaan yang bergelayut dalam hati. Beringsut cepat dari ranjang. Mencari keberadaan Nia. Kamar terasa sepi tanpa penghuni. Kulirik jam sudah jam sembilan.Aku sudah mencari Nia ke seluruh sudut kamar ini. Namun, dia tidak ada. Aku bergegas meraih gawaiku. Ada chat dari Nia.[Selamat pagi suamiku, kalau Sayang bangun tidak menemukanku. Jangan panik! Aku turun sebentar mencari udara segar.]Isi chat yang dikirimkan Nia hampir dua jam yang lalu.Kenapa dia tidak mengajakku? Kenapa dia harus keluar seorang diri? Arrgh! Aku terus meracau karena kegelisahan hati yang mendera.Kutekan kontak Nia untuk menghubunginya. Namun, tidak bisa tersambung. Apa yang terjadi? Aku mendadak panik. Begegas ke kamar mandi untuk mencuci muka dan mengosok gigi. Setelah itu buru-buru mengenakan pakaian
POV NIAAku tersadar dengan pusing yang sangat menyiksa. Mendapati diri berada di atas ranjang king size yang penuh taburan kelopak bunga mawar. Perasaan, terakhir kali aku berada di depan hotel. Kenapa sekarang berada di atas ranjang. Mana Khanif? Kenapa dia tidak terlihat."Khanif!""Sayang!"Kepalaku terasa berat. Mata mengerjap pelan. Suasana sunyi dan sepi. Aku melangkah ke arah pintu dengan kepala yang masih sempoyongan. Kesadaranku sepenuhnya kembali saat menyadari pintu dikunci dari luar. Mataku membulat melihat perabotan di kamar beda dengan semalam."Khanif!""Ibu!"Aku terus mencoba membuka pintu. Namun sia, pintu terkunci dari luar."Tolooong!" jeritku sekuat tenaga.Aku melangkah menuju jendela, kusibak tirai yang menghalangi pandangan. Laut, panorama alam yang pertama kali terlihat. Aku dimana ya Allah? Tempat ini begitu tinggi. Kepanikan melanda. Logika buntu tidak mampu menerjemahkan hal yang terjadi padaku.Aku kembali ke dalam kamar yang dihias bak kamar pengantin. D
"Nyonya, habiskan makanannya!" bentak Tomy."Aku tidak lapar! Aku hanya ingin keluar dari sini," ketusku seraya memungunginya. Pandangan kulempar ke arah laut lepas. Semilir angin meniup hijabku."Makan Nyonya! Aku tidak ingin karena sikap keras kepalamu kami semua dalam bahaya." Dia menatapku seakan ingin menelanku hidup-hidup."Ah! Lelucon apa lagi yang kau ungkapkan? Katakan padaku siapa yang menyuruhmu. Maka aku akan membayar kalian 100 kali lipat," tawarku seraya membalikkan badan.Mereka semua tertawa. Ucapanku dianggap angin lalu."Dapat uang dari mana Anda Nyonya! Jangan bercanda. Lebih baik nikmati hidup Anda di sini. Surga dunia," jawab wanita yang tugasnya membawakan makanan untukku."Tidak! Aku ingin berkumpul dengan suami dan keluargaku!" jeritku seraya mengobrak-abrik ranjang. Bantal dan sprei kulempar ke arahnya."Aaargggh! Diam! Aku heran kenapa ada orang yang menyukai wanita keras kepala sepertimu!" teriaknya dengan urat-urat leher menegang. Sorot mata elangnya mena
"Bos di tempat kami bekerja." Jawaban mereka menurunkan semangatku."Bisa saya pinjam gawai kalian?""Maaf, Nyonya. Kami dilarang mengunakan gawai atau alat komunikasi lainnya selama melakukan perawatan untuk Nyonya," ungkap mereka. Aku sudah menduga, mereka tidak membiarkan orang asing masuk tanpa pengawasan.Aku melangkah masuk meninggalkan mereka di ruang tengah. Tidak peduli dengan ocehan keduanya yang merasa kehadiran mereka tidak dihargai."Nyonya, bisa kita mulai perawatannya?" tanya gadis muda itu. Langkahku terhenti di anak tangga ketiga. Menoleh sejenak karena keyakinanku mengatakan mereka tidak tahu menahu perihal masalahku."Perawatan apaan?" tanyaku lesu."Luluran, ratus ....""Apa, ratus? Saya tidak salah dengar?""Tidak Nyonya, menurut pelayan Anda seperti itu. Nyonya akan melakukan Ratus dan rangkaian treament lainnya," papar gadis muda itu."Tidak!""Nyonya 'kan mau menikah. Jadi harus ditreament terlebih dahulu," sambung gadis itu lagi."Saya punya suami, katakan pad
"Nyonya, tolong kenakan bajunya. Akad nikah sebentar lagi akan dilaksanakan," pinta pelayan di hadapanku dengan wajah frustasi. Aku tetap dengan pendirianku. Statusku masih istri sah Khanif. Tidak ada alasan yang bisa membuatku menerima dinikahi pria lain. Apa lagi pria yang sama sekali tidak aku kenali. "Ayo lah, Nyonya. Jangan tambah beban pekerjaan kami. Sekali-kali tolong mudahkan pekerjaan kami. Jangan sampai tuan marah dengan hal ini," ucapnya dengan nada memelas. Aku menyunggingkan senyum sinis."Aku mau melihat wajah tuan kalian saat dia marah. Penasaran sama wajahnya.""Ya Allah, Nyonya. Kenapa Anda keras kepala?" Dia terus mondar-mandir di hadapanku sambil memegang gaun pengantin yang menjuntai ke lantai."Masih bisa sebut Allah kamu. Harusnya, kalau kamu masih mengenal siapa Allah. Kamu tidak membantu siapa pun orang yang ikut menyekapku di sini. "Nyonya, mengerti lah, kami bekerja ....""Bekerja, mendapatkan uang. Uangnya kalian gunakan menafkahi keluarga. Kalian pikir
Bugh!"Diam! Jangan banyak bicara lagi!" sentak Mas Lukman. Bogem mentah melayang ke wajah Mas Gilang.Plaak! Tanganku mendarat di pipi Mas Gilang. Tamparan sebagai bentuk kekecewaan atas sikap "Aku kecewa padamu, Gilang. Sangat kecewa," ucapku dengan air mata yang berlinang. Aku meminta Mas Lukman dan Daffa membawaku dari pergi dari rumah ini. Tidak sabar untuk meninggalkan tempat ini. Mas Gilang melakukan siasat keji. Menculik dan menyekapku di sini. Empat bulan kemudian dia mendaftarkan gugatan cerai ke pengadilan dengan alasan Khanif tidak memberikanku nafkah batin dan segala tetek bengeknya. Aku tidak paham, kenapa pengadilan mengabulkan gugatan palsu Mas Gilang. Namun di Indonesia kita mengetahui bahwa terdapat ta'liq talak yang dibaca oleh mempelai pria dan tertera di buku nikah, yang diantara pointnya ialah'Apabila saya: … (2) Tidak memberi nafkah wajib kepadanya 3 (tiga) bulan lamanya … dan karena perbuatan tersebut istri saya tidak ridho dan mengajukan gugatan kepada P
Suasana hening, Nia fokus pada pikirannya yang sulit diurai, sementara Lukman membiarkan Nia tenang sebelum melanjutkan ucapannya. "Sampai kapan ini akan berakhir, Mas?" lirih Nia pelan."Mas tidak menyangka bahwa Gilang belum berhenti untuk merebutmu dari Khanif. Mas bingung mikirin cara agar kita semua hidup tenang," keluh Lukman. Keduanya seakan terperangkap pada beban tanpa ujung. "Bukankah Gilang akan menikah dengan Maya dalam waktu dekat?" selidik Nia. "Menikahi Maya sahabat SMA Khanif?" Lukman mencoba memastikan karena ia belum menerima kabar apa pun tentang hal ini. "Iya, Mas. Aku mendengar hal tersebut dari Maya kemarin. Namun, aku tidak yakin mereka menikah karena cinta." Nia berspekulasi. "Mas akan bicara kepada Gilang mengenai hal ini, perkara perusahaan Khanif yang disabotase Gilang untuk sementara tolong rahasiakan dari Khanif, jangan sampai pikirannya kembali terbeban. Mas akan cari cara agar Khanif tidak tahu bahwa Gilang merupakan dalang dari ini semua," tukas Lu
"Mbak mau kita tinggal serumah?" tanya Daffa yang terkejut dengan permintaan Nia. Nia mengangguk pelan, bola matanya menatap lurus ke arah jalanan yang disesaki bermacam jenis mobil dan sepeda motor. "Ada apa? Kenapa mendadak?" tanya Daffa. Lelaki muda itu merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh kakak tercintanya. "Nggak ada apa-apa, pengen kamu dekat sama Mbak saja. Lagian kamu selama ini sendiri," jawab Nia. Dia masih mencoba menyembunyikan prahara yang merudungnya. "Iya sih, aku sendiri semenjak abang kerja keluar negeri." Daffa membenarkan ucapan Nia. "Jadi tidak ada penolakan, kamu setuju, 'kan?" Nada bicara Nia terdengar mendesak. "Sudah ada izin dari Mas Khanif?" "Sudah, makanya Mbak berani." Nia berbohong pada Daffa. Padahal, Khanif tidak memberikan izin secara jelas akan permintannya. Daffa tersenyum tipis, kedua tangannya tiba-tiba membingkai wajah Nia. "Mbak bahagia dengan Mas Khanif?"Nia menghela napas sejenak, berat untuk menjelaskan gejolak perasaannya saat
"Beneran Maya mau menikah dengan Mas Gilang?" tanya Nia pada Khanif. Khanif menoleh sejenak, lalu fokus pandangan ke depan. Posisinya sedang mengemudi mobil dalam kecepatan cepat karena memburu waktu agar segera sampai ke rumah yang mereka tempati sekarang. "Nggak tahu, Sayang. Memangnya kenapa, cemburu?" tanya Khanif datar. Intonasi suara seakan orang kesal jelas memekik di telinga Nia. "Cemburu? Atas dasar apa?" tanya Nia seraya merebahkan kepalanya ke bahu sang suami. Tatapannya fokus menatap wajah tampan Khanif yang nyaris tanpa ekspresi. "Ntah, mungkin belum bisa move on," ketus Khanif. Nia hendak tertawa, tapi diurungkan. Wanita cantik itu enggan memantik emosi sang suami yang sedang tidak mood diajak bercanda. Nia memuji Khanif setinggi bintang di langit, membelai pelan dada bidang sang suami seraya menghitung kancing kemeja yang membalut tubuh kekarnya. Ya, walaupun ototnya sudah mulai hilang karena sudah sangat jarang olahraga. "Jangan dipikirkankan, aku hanya bertanya,
Hening menyelimuti ruang privat milik Lukman di lantai paling atas bangunan pencakar langit miliknya. Ruang itu digunakan untuk acara penting dengan tamu yang tentunya khusus dan spesial. Lukman duduk bersila di depan Khanif dan Nia, tidak bicara. Namun, tatapan matanya tertuju pada Khanif yang sibuk menatap indahnya hamparan puncak gunung dari balik kaca gedung. "Apakah kalian datang hanya untuk berdiam diri?" Lukman bertanya dengan nada santai. "Begini, Mas. Khanif ...," Ucapan Nia terjeda karena Khanif berdehem dengan sorot mata tajam ke arahnya. "Mas Khanif setuju bekerja di perusahaan Mas Lukman." Nia menambah embel Mas di belakang nama Khanif. Hampir saja ia melupakan perjanjian mereka sebelumnya. Lukman yang menyadari adanya progres dalam hubungan sang adik hanya mampu mengulum senyum bahagia. "Apakah yang disampaikan Nia itu benar?" "Iya, Mas," jawab Khanif singkat. "Sejak kapan kamu pelit bicara? Apakah Nia sekarang menjadi juru bicara kamu?" goda Lukman dengan tawa r
Trauma, Nia harap rasa itu segera menghilang dalam diri Khanif. Dia sudah tidak sabar mereguk indahnya jalinan cinta yang semestinya. Dia mulai bosan kala aktivitas malam hanya berbaring tanpa cerita mesra. Terkadang, sisi buruk mengajaknya untuk menyerah. Namun, sisi baik selalu menjadi penengah. "Sayang, bangun! Katanya mau jenguk ibu, kok tidur lagi?" Nia menatap wajah Khanif yang kembali terlelap. Wanita cantik itu baru saja keluar kamar mandi, tubuhnya dibalut handuk putih yang menutupi area dada sampai pangkal paha. "Sayang, bangun, Sayang," desah Nia manja. Perlahan tangannya menyentuh pipi Khanif. Ekpresi wajah Nia langsung berubah. Wajah Khanif terasa panas. "Astaghfirullah! Kamu sakit, Mas?!" pekik Nia. Jemari Nia berpindah ke dahi Khanif. "Mas, sakit, ya!" "Engh ..., tidak. Aku hanya sedikit pusing." Khanif membuka matanya perlahan. "Ya sudah, Sayang lanjut tidur. Nanti setelah mendingan kita ke rumah sakit. Aku ambilkan kain kompres dulu." Nia terlihat panik. Khanif m
Nia duduk di depan cermin rias, bukan karena ingin meneliti setiap lekuk wajahnya. Namun, memantau Khanif yang duduk di sisi ranjang, layar gawai menyala dalam genggamannya. Namun, fokusnya terpusat ke arah lainnya. Untuk kesekiankalinya Khanif duduk termenung tanpa menghiraukan kehadiran Nia di sampingnya. Perasaan Nia seakan ditarik ulur dengan sikap Khanif yang bisa berubah dengan sangat cepat. Seperti malam ini, harusnya Khanif mengarahkan perhatiannya pada Nia yang sejak tadi berusaha menggoda. Lingerie tipis berenda membalut tubuhnya, setiap lekuk tubuh menguncang birahi. Namun, Khanif diam seolah Nia tidak terlihat oleh pandangannya. Khanif terlalu larut dalam beban pikiran dan melupakan hal indah yang seharusnya dilakukan bersama Nia. "Sayang ...." Panggil Nia lembut.Khanif menoleh dengan begitu cepat, mengulas senyum menawan, mencoba menyembunyikan gumpalan beban yang menyesaki alam pikirannya. Bukannya ia melupakan Nia, tapi ketakutan dan kegelisahannya telah mengikis kew
Sesampai di Mall, Nia turun seorang diri, Khanif memilih menunggu di mobil. Dia sedikit nyaman karena mengetahui Gilang berada di luar negeri. Lelaki itu merasa tidak nyaman dengan kondisi fisiknya yang acak-acakan. "Sebentar ya, Sayang," ujar Nia seraya mengecup pelan pucuk kepala Khanif. "Jangan lama-lama," tukas Khanif pelan. "Nggak kok sebentar, ada titipan?" tanya Nia bersemangat. Khanif mengeleng pelan, ia meminta Nia untuk berhati-hati. "Hubungi aku jika ada masalah." "Siap, Sayang," balas Nia seraya menjauh. Kakinya melangkah memasuki Mall. Kaki jenjang Nia fokus melangkah ke gerai baju pria, ia berniat mencarikan baju untuk Khanif. Sifat penyayang Nia memang sudah terbukti, hanya saja keadaan yang seakan tidak berpihak padanya. "Selamat datang, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?" sapa pegawai mall dengan ramah. Nia melempar senyum seraya mengungkapkan keinginannya. "Silakan ikut saya," ujar gadis di depan Nia dengan sopan. Khanif tidak enak hati membiarkan Nia belanja s
Ibu, sinar kasih dalam senyum lembut, penuh pengorbanan seperti embun pagi meresapi bunga kehidupan. Dalam tatapannya, dunia terhampar seperti lautan tak terhingga, tiada batas untuk cinta yang mengalir dalam setiap detiknya. Ia adalah pelindung setia, tempat berlindung dari badai hidup, dan sang pemandu dalam lorong gelap. Ibu, nyanyian lembut yang mengalun dalam setiap doa, mengukir jejak keabadian di hati yang mencintai."Ibu kenapa?" tanya Khanif dengan panik. Kalimat yang pertama kali ia lontarkan ketika melihat wanita yang melahirkannya tersebut terbaring lemah di atas ranjang. "Bu, kenapa ibu tidak menjawab. Ibu sakit apa? Dimana yang sakit?" Khanif meraba seluruh tubuh sang ibu dengan gelisah. Namun, tidak ada jawaban, hanya bulir bening yang mengalir di kedua sudut mata sayunya. "Khanif datang, Bu." Lukman menimpali seraya mendekati ranjang sang ibu. "Untuk apa ia ke sini?" Pertanyaan yang membuat Khanif kaget. Spontan melirik ke arah Nia dan Lukman secara bergantian. "Bu
"Kamu sudah gila, hah?" gumam Nia dengan bibir bergetar. "Aku gila dan trauma karena kehilangan kamu, Nia," Balas Khanif pelan. Nia membingkai wajah Khanif dengan kedua tanganya. "Kamu mencintaiku?" Untuk beberapa saat mata mereka beradu, banyak cerita yang sulit diurai menjadi kata hanya bisa dicerna oleh ia yang paham akan rasa. "Aku mohon kesekian kali, kita jalani hidup yang normal. Aku mau kita bulan madu." Permintaan indah, tapi sayang di waktu yang tidak tepat. Mata Khanif membelalak kaget. Untuk beberapa saat ia terdiam. Batin Khanif bergejolak hebat, napsu dengan pikirannya berdebat keras. Perasaan mengambang tidak jelas, bibir bergerak. Akan tetapi, tidak ada suara yang terdengar, hanya leguhan samar tanpa makna. "Kamu butuh ketenangan. Jangan anggap bulan madu kalau kamu keberatan. Anggap saja ini healing atau liburan. Aku takut kesehatan mentalmu semakin terganggu," ucap Nia cemas. "Apakah harus keluar negeri?" tanya Khanif ragu. "Tidak sih, tapi menurutku keluar n