POV KHANIFMalam pertama akan berkesan bagi sebagian pengantin baru. Bukan hanya persiapan mental dan fisik. Namun suasana ruangan yang romantis dan nyaman. Aku hanya mampu menyungingkan senyum melihat ruangan khusus yang ibu persiapkan untukku dan Nia.Semua tertata sempurna, tanpa bertanya dekorasi kamar sesuai dengan keinginanku. Terlebih lagi dengan Nia. Sedari pertama melangkah, raut wajahnya takjub dengan hal indah di hadapannya.Harum mawar menyerbak menusuk indera penciuman. Di setiap sudut ruangan mawar merah terlihat rapi disusun dalam vas kaca. Di atas tempat tidur disusun dalam bentuk love. Dari pintu hingga menuju ranjang. Mawar merah disusun bak karpet merah yang dilewati para artis saat menghadiri acara penghargaan bergengsi.Bunga mawar adalah lambang cinta. Oleh karena itu sering digunakan di momen-momen spesial. Salah satunya dekorasi kamar pengantin. Membawa suasana menjadi romantis agar semakin intim dan manis.Pernikahanku dan Nia. Bukanlah pernikahan paksaan atau
Aku bangun saat matahari meringsek masuk melalui celah gorden. Ah! Bukan celah ini namanya. Seluruh gorden tersingkap sempurna. Mataku mengerjap pelan.Kenapa Nia tidak membangunkanku? Kemana dia?Pertanyaan-pertanyaan yang bergelayut dalam hati. Beringsut cepat dari ranjang. Mencari keberadaan Nia. Kamar terasa sepi tanpa penghuni. Kulirik jam sudah jam sembilan.Aku sudah mencari Nia ke seluruh sudut kamar ini. Namun, dia tidak ada. Aku bergegas meraih gawaiku. Ada chat dari Nia.[Selamat pagi suamiku, kalau Sayang bangun tidak menemukanku. Jangan panik! Aku turun sebentar mencari udara segar.]Isi chat yang dikirimkan Nia hampir dua jam yang lalu.Kenapa dia tidak mengajakku? Kenapa dia harus keluar seorang diri? Arrgh! Aku terus meracau karena kegelisahan hati yang mendera.Kutekan kontak Nia untuk menghubunginya. Namun, tidak bisa tersambung. Apa yang terjadi? Aku mendadak panik. Begegas ke kamar mandi untuk mencuci muka dan mengosok gigi. Setelah itu buru-buru mengenakan pakaian
POV NIAAku tersadar dengan pusing yang sangat menyiksa. Mendapati diri berada di atas ranjang king size yang penuh taburan kelopak bunga mawar. Perasaan, terakhir kali aku berada di depan hotel. Kenapa sekarang berada di atas ranjang. Mana Khanif? Kenapa dia tidak terlihat."Khanif!""Sayang!"Kepalaku terasa berat. Mata mengerjap pelan. Suasana sunyi dan sepi. Aku melangkah ke arah pintu dengan kepala yang masih sempoyongan. Kesadaranku sepenuhnya kembali saat menyadari pintu dikunci dari luar. Mataku membulat melihat perabotan di kamar beda dengan semalam."Khanif!""Ibu!"Aku terus mencoba membuka pintu. Namun sia, pintu terkunci dari luar."Tolooong!" jeritku sekuat tenaga.Aku melangkah menuju jendela, kusibak tirai yang menghalangi pandangan. Laut, panorama alam yang pertama kali terlihat. Aku dimana ya Allah? Tempat ini begitu tinggi. Kepanikan melanda. Logika buntu tidak mampu menerjemahkan hal yang terjadi padaku.Aku kembali ke dalam kamar yang dihias bak kamar pengantin. D
"Nyonya, habiskan makanannya!" bentak Tomy."Aku tidak lapar! Aku hanya ingin keluar dari sini," ketusku seraya memungunginya. Pandangan kulempar ke arah laut lepas. Semilir angin meniup hijabku."Makan Nyonya! Aku tidak ingin karena sikap keras kepalamu kami semua dalam bahaya." Dia menatapku seakan ingin menelanku hidup-hidup."Ah! Lelucon apa lagi yang kau ungkapkan? Katakan padaku siapa yang menyuruhmu. Maka aku akan membayar kalian 100 kali lipat," tawarku seraya membalikkan badan.Mereka semua tertawa. Ucapanku dianggap angin lalu."Dapat uang dari mana Anda Nyonya! Jangan bercanda. Lebih baik nikmati hidup Anda di sini. Surga dunia," jawab wanita yang tugasnya membawakan makanan untukku."Tidak! Aku ingin berkumpul dengan suami dan keluargaku!" jeritku seraya mengobrak-abrik ranjang. Bantal dan sprei kulempar ke arahnya."Aaargggh! Diam! Aku heran kenapa ada orang yang menyukai wanita keras kepala sepertimu!" teriaknya dengan urat-urat leher menegang. Sorot mata elangnya mena
"Bos di tempat kami bekerja." Jawaban mereka menurunkan semangatku."Bisa saya pinjam gawai kalian?""Maaf, Nyonya. Kami dilarang mengunakan gawai atau alat komunikasi lainnya selama melakukan perawatan untuk Nyonya," ungkap mereka. Aku sudah menduga, mereka tidak membiarkan orang asing masuk tanpa pengawasan.Aku melangkah masuk meninggalkan mereka di ruang tengah. Tidak peduli dengan ocehan keduanya yang merasa kehadiran mereka tidak dihargai."Nyonya, bisa kita mulai perawatannya?" tanya gadis muda itu. Langkahku terhenti di anak tangga ketiga. Menoleh sejenak karena keyakinanku mengatakan mereka tidak tahu menahu perihal masalahku."Perawatan apaan?" tanyaku lesu."Luluran, ratus ....""Apa, ratus? Saya tidak salah dengar?""Tidak Nyonya, menurut pelayan Anda seperti itu. Nyonya akan melakukan Ratus dan rangkaian treament lainnya," papar gadis muda itu."Tidak!""Nyonya 'kan mau menikah. Jadi harus ditreament terlebih dahulu," sambung gadis itu lagi."Saya punya suami, katakan pad
"Nyonya, tolong kenakan bajunya. Akad nikah sebentar lagi akan dilaksanakan," pinta pelayan di hadapanku dengan wajah frustasi. Aku tetap dengan pendirianku. Statusku masih istri sah Khanif. Tidak ada alasan yang bisa membuatku menerima dinikahi pria lain. Apa lagi pria yang sama sekali tidak aku kenali. "Ayo lah, Nyonya. Jangan tambah beban pekerjaan kami. Sekali-kali tolong mudahkan pekerjaan kami. Jangan sampai tuan marah dengan hal ini," ucapnya dengan nada memelas. Aku menyunggingkan senyum sinis."Aku mau melihat wajah tuan kalian saat dia marah. Penasaran sama wajahnya.""Ya Allah, Nyonya. Kenapa Anda keras kepala?" Dia terus mondar-mandir di hadapanku sambil memegang gaun pengantin yang menjuntai ke lantai."Masih bisa sebut Allah kamu. Harusnya, kalau kamu masih mengenal siapa Allah. Kamu tidak membantu siapa pun orang yang ikut menyekapku di sini. "Nyonya, mengerti lah, kami bekerja ....""Bekerja, mendapatkan uang. Uangnya kalian gunakan menafkahi keluarga. Kalian pikir
Bugh!"Diam! Jangan banyak bicara lagi!" sentak Mas Lukman. Bogem mentah melayang ke wajah Mas Gilang.Plaak! Tanganku mendarat di pipi Mas Gilang. Tamparan sebagai bentuk kekecewaan atas sikap "Aku kecewa padamu, Gilang. Sangat kecewa," ucapku dengan air mata yang berlinang. Aku meminta Mas Lukman dan Daffa membawaku dari pergi dari rumah ini. Tidak sabar untuk meninggalkan tempat ini. Mas Gilang melakukan siasat keji. Menculik dan menyekapku di sini. Empat bulan kemudian dia mendaftarkan gugatan cerai ke pengadilan dengan alasan Khanif tidak memberikanku nafkah batin dan segala tetek bengeknya. Aku tidak paham, kenapa pengadilan mengabulkan gugatan palsu Mas Gilang. Namun di Indonesia kita mengetahui bahwa terdapat ta'liq talak yang dibaca oleh mempelai pria dan tertera di buku nikah, yang diantara pointnya ialah'Apabila saya: … (2) Tidak memberi nafkah wajib kepadanya 3 (tiga) bulan lamanya … dan karena perbuatan tersebut istri saya tidak ridho dan mengajukan gugatan kepada P
Bau obat bercampur dengan bau cairan pembersih lantai menguar menusuk indera penciuman. Cahaya matahari berusaha menyusup di balik tirai yang belum tersingkap. Mata mengerjap pelan dengan denyar kepala yang menyiksa.Bunyi alat pedeteksi jantung adalah alunan nada yang pertama kali terdengar. Jarum inpus menancap di punggung tangan kiriku. Kusapu pandangan ke seluruh ruangan yang sepi dan senyap. Tubuhku terbaring atas ranjang rumah sakit. Ya, aku kembali mengingat peluru dari pistol yang Mas Gilang pegang menembus dinding perutku.Decit pintu memecah kesunyian, disusul derap antukan sepatu dengan lantai. Pandangan beralih ke arah sumber suara.Mas Lukman dan Daffa diikuti oleh Mas Gilang. Mereka melihat ke arahku tanpa bicara. Daffa melangkah lebih dekat ke arahku. Sedangkan, Mas Gilang memilih menghempaskan tubuh ke sofa. Wajahnya dipenuhi lebam yang mulai membiru."Mbak butuh apa?" tanya Daffa lembut. Telapak tangannya membelai pucuk kepalaku lembut. Binar kasih sayang terpancar je