"Apa?" tanyaku saat membuka pintu, dan kudapati wajah seseorang yang setiap malam selalu menemaniku berjualan nasi goreng di alun alun kota ini.
Ya ampun! Virus Reyhan dan si Klinik itu ternyata menyebar sampai aku lupa suara. Bahkan, suara temanku saja sampai aku lupakan!
Si alan memang!
Aku mendengkus sebal. Bisa bisanya virus itu buat aku jadi kayak gini!
"Lama banget buka pintunya!" ujarnya tiba tiba. Ia nyelonong masuk ke dalam kontrakanku gitu aja. Melewati aku begitu saja tanpa mau bilang permisi.
"Kebiasaan!" tegurku.
Eh, dia malah ketawa.
"Emang! Emang udah kebiasaan!" balasnya padaku sambil mencomot donat yang baru aja aku bawa dari dapur ke ruang tamu.
"Enak nih donatnya. Beli di mana?"
Pertanyaan yang tak perlu aku jawab. Karena tanpa kujawab pun, dia pasti tahu, kalau donat itu aku be
Aku, Siska,Si janda bohay yang selalu asyik beraksi di depan kompor dengan wajan dan spatula, lagi-lagi merasakan kebahagiaan luar biasa. Ini bukan kali pertama, tapi rasanya seperti kali pertama setiap kali antrian pelanggan mengular panjang. Jujur aja, sih, aku seneng banget ngeliat orang-orang rela ngantri demi nasi goreng kreasi aku. Rasanya kayak chef selebritis, padahal cuma jualan nasi goreng di pinggir jalan.Aku terkiki sendiri sambil mengaduk nasi.Si Dudu, temenku yang keren banget dalam urusan menyediakan bumbu-bumbu racikan rahasia, selalu setia mendampingiku di depan kompor. Dia tuh kayak sidekick setia yang selalu nemenin superhero, cuma bedanya, bukan jas hitech yang dia pakai, tapi apron yang bertebaran rempah-rempah. Kita duanya udah seperti tim penyihir nasi goreng, mengolah beras kering jadi nasi goreng lezat yang bikin lidah bergoyang.Tapi ada satu hal yang bikin aku mikir, nih. Selama beberapa hari ini, pelanggan yang d
Ya Tuhan. Gusti Illahi Robbi.Cobaan apalagi ini?Sudah susah payah aku melupakannya dengan kesibukanku berjualan nasi goreng, dia malah datang ke tempatku berjualan.Oh, my. Rasanya aku pengen memaki takdirku yang selalu tak berpihak sesuai keinginanku.Tapi well, hidup kadang gak bekerja sesuai keinginan, kan? Aku seharusnya tak menyalahkan takdirku send
Sedang asyik mengaduk-aduk nasi goreng spesialku dengan penuh cinta di atas wajah yang sudah kugunakan bertahun tahun lamanya. Bahkan, wajan ini sudah digunakan saat almarhum suamiku masih ada. Aroma rempah-rempah memikat hidungku, seolah memanggil semua orang untuk datang mencicipi. Tiba-tiba, seperti petir di siang bolong, datanglah segerombolan wanita heboh dengan ekspresi marah yang menakutkan. Aku hampir saja berpikir mereka adalah tim sepak bola wanita yang tersesat! Namun bedanya, bukan bola yang mereka pegang. Melainkan berbagai macam alat masak memasak di dapur, yang saat ini sedang mereka pegang. Melihat kejadian yang tak biasa seperti ini, si Dudu langsung menyembunyikan tubuh juga wajahnya di belakang tubuhku yang sedikit berisi, alias bahenol. "Tuh 'kan ibu ibu. Mereka. Suami suami kita ada di tempat jualan nasi gorengnya si Siska. Dasar jendes! Pasti nih, dia ngasih sesuatu ke dalam nasi goreng jualannya. Jadi deh, suami suami kita pada betah lama lama di sini. " Seora
"Eh, kamu siapa? Mau belain si janda gatel meresahkan ini ya?!" tanya si Jumi dengan ketus. "Saya, pacarnya mbak yang sedang kalian tuduh itu." Dag, dig, dug, serrr ... Irama jantungku bagai lagi dangdutan. Pake gendang biar agak goyang. Tarik mang .... Aih, Aku kenapa lagi? Si Jumi dan si Klinik saling liirik. Begitupun dengan ibu ibu lainnya juga. Mereka saling lirik dan pandang seolah tak percaya dengan apa yang di katakan oleh pria misterius pemilik mata sekelam malam itu. Eits, bukan Reyhan ya. Dia mah cuma jadi penonton aja dengan wajah heran. Entah itu heran karena untuk ke sekian kalianya dia lihat aku beradu mulut dengan sesama wanita. Atau heran karena yang lainnya. Entahlah, aku tak tau dan juga tak mau tau. Dia bagiku hanya seorang masa lalu, walau baru ketemu. "Tuh, ibu ibu, Jumi. Dan kamu Klinik. Dengerin tuh kata
Siska oh Siska! Kenapa aku merasa seolah-olah sedang berada dalam episode sinetron komedi yang penuh kejutan. Setelah segerombolan ibu-ibu yang terlihat lebih galak daripada kerbau pergi, aku berpaling pada pria misterius yang baru saja membeli nasi goreng. Tidak hanya itu, dia juga mengaku ngaku sebagai pacarku di hadapan para ibu ibu yang mengamuk karena mengira suami mereka aku guna guna."Ekhem!"Aku berdehem sebelum hendak menanyakan hal yang membuat aku merasa sangat penasaran."Minum dulu, Sis!"Aku melotot! Si Dudu ini. Apa Dia tidak tau apa, kalau aku sedang mengambil ancang ancang untuk bertanya pada pria misterius itu. Kenapa dia malah memberikan aku sebotol minuman yang berada di tangannya. Pengertiannya membuat aku sedikit kesal padanya.Hah! Sudah kepalang di sodorkan. Lebih baik ku minum dan kuhabiskan saja minuman ini. Itung itung untuk menghilangkan grogi. Semoga saja, setelah meminum minuman ini, tenggorokanku jadi lancar mengeluarkan suara.Aamiin ..."Makasih, Du.
Kalau ada yang bilang bahwa hidup itu aneh da rumit. Maka percayalah!Hidup memang seaneh dan serumit yang di katakana oleh orang tersebut. Entah dari mana ia bisa bilang begitu, hingga kata katanya tersebut manjur pada seseorang yang saat ini sedang berada di hadapanku.“Persis seperti yang di katakan orang orang, nasi goreng di sini emang enak,” katanya memuji tanpa memberi ekpresi di wajahnya sama sekali. Sepertinya ia enggan berekspresi sesuai dengan apa yang ia rasakan saat ini.Ya iyalah. Nasi gorengku itu di buat dengan cinta. Jadi, orang yang memakannya pun akan merasakan hal yang sama.Begitu hatiku membalas ucapannya. Aku diam, si Dudu pun melakukan hal yang sama. Kami seolah sama sama sedang menunggu ucapan selanjuutnya yang hendak laki laki misterius bin aneh itu katakana.“Tapi, kalau saya tak mencobanya dulu, mana mungkin saya tahu, kalau nasi goreng ini seenak itu. Emh, tidak! Bahkan, ini jauh lebih enak dari yang di katakana oleh orang orang.”Benar bukan dugaan kami
Di suatu pagi yang cerah, aku hendak membuka membuka pintu kontrakan dengan perasaan penuh semangat. Semoga saja, haruku indah bagai semangat yang membara dalam yubuh. Namun, Baru saja pintu kubuka, tiba tiba saja aku di kagetkan dengan datangnya segerombolan ibu ibu yang hendak mendekat ke arahku.Aku mengerutkan kening, memandang heran kepada segerombolan ibu-ibu tersebut. Mereka tampak Tak asing di pandanganku. karena sepertinya ibu-ibu tersebut adalah segerombolan ibu-ibu yang semalam datang ke tempat jualan ku dengan maksud tertentu."The Ibu-Ibu Squad."Begitu aku membaca tulisan yang tertera pada kaos yang mereka kenakan. warna merah jambu, mendominasi tubuh atas mereka semua. Lalu, mereka berjalan mendekati ke arah pintu kontrakanku dengan pandangan yang cukup membuatku bergidik ngeri.Kulihat juga, ada si Jumi di antara segerombolan ibu ibu itu. Apakah si Jumi juga sudah ikutan random seperti ibu ibu itu?Ah, ngapain aku juga tanya dan mau tahu segala. karena tanpa aku bertan
Angga tersenyum tipis, tapi matanya tidak ikut tersenyum. "Kita harus bicara, Siska. Kita punya masalah yang harus diselesaikan.""Eh, ini Mas emas yang semalam ngaku pacarnya Siska ya?" tanya salah satu dari si ibu yang ikut mendatangiku.Angga mengangguk tanpa ekspresi.The Ibu-Ibu Squad mendekat dengan pandangan penasaran. "Ini dia pacarmu, Siska? Udah punya pacar ganteng, masih aja suka jelalatan dan suka gangguin suami orang. Gak tahu malu!" ujar salah satu dari mereka.Aku terperangah. "Jangan sembarang ya ibu ibu. Aku tau kalau aku ini seorang janda. tapi aku bukan janda biasa. aku ini janda terhormat yang tidak akan menjadikan diri sendiri sebagai seorang simpanan dari suami orang. Apalagi suaminya itu sudah punya istri tiga. Ih, gak banget!" "So suci! Padahal kita tau sendiri, kalau kamu itu jadi selingkuhannya si mas Jaka. Dewi sendiri kok yang bilang. Bahkan, si Naura pun ikut membenarkan.""Apa?"
"Gimana?" Satu kata terucap. Sebuah pertanyaan yang membuatku tak bisa berkata-kata, keluar dari mulut manis Angga.Walau aku belum pernah mencoba mulut itu. Eh, tapi aku yakin, mulutnya memang manis. Semanis kata katanya padaku. Dan sikapnya selama ini, tentu saja."Kenapa malah diam? Saya tanya loh. Gimana?" tanyanya lagi. Masih dengan pertanyaan yang sama."Gimana apanya Mas?" Bukannya menjawab. Eh, mulutku malah balik bertanya. Dasar Siska!Grogi kok bisa sampai kayak gini sih."Kok malah balik nanya sih? Saya kan yang nanya duluan sama kamu," katanya dengan kepala yang menggeleng ke kiri dan ke kanan. Aku menatapnya takjub. Cuman gelengin kepala aja, udah bisa bikin aku terpesona. Ganteng banget sih dia. Ya ampun! Pikiranku jadi ke mana mana. Apalagi kalau dia senyum coba. Pasti bakal langsung bikin aku hilang ingatan."Jangan kebanyakan mikirin yang enggak enggak. Kita belum
"Kamu baik bener sama Marni. Gak rugi Sis, nasi gorengnya kamu kasih gratis sama Marni?" tanya si Dudu saat Marni sudah melenggang pergi dari tempatku berjualan. Tanganku yang sedikit kotor, karena bumbu, segera ku bersihkan dengan lap yang biasa aku gunakan di tempat jualanku. Mengabaikan dulu pertanyaannya si Dudu. Masih tak mau menjawab, aku malah tersenyum sama si Dudu."Enggak lah, Du. Cuma satu bungkus doang kok. Masa sih aku rugi. Gak papa lah, kasian aku sama si Marni. Dia itu tetangga aku yang gak pernah ikut campur. Dia masa bodoh. Tapi, dia juga gak cuek, kalau aku ada masalah. Oh ya, aku yakin tuh, di balik sikapnya yang barusan bisa ketawa itu, dia sebenernya nyimpen luka buka si Marno.""Kamu bener, Sis. Kasian aku sama Marni. Dia kan cantik ya? Mukanya bening, walau dia cuma seorang babu. Gak kayak aku," kata Dudu yang membandingkan wajah Marni dengan wajahnya."Kamu juga cantik Du. Sayang aja, ka
Jajan tak jadi, yang ada keluar uang buat Mak Iroh.Huh! Si emak yang satu ini emang meresahkan! Padahal, tadi siang ia juga kebagian jatah bagi bagi uang dari Angga. Tapi, masih aja minjam sama aku. Aku sampai kehilangan nafsu makan, gara gara kelakuan Mak Iroh yang kembali kumat. Ku pikir, setelah lama Mak Iroh tak meminjam uang padaku, ia sudah tobat dan tak akan minjam minjam uang lagi. Tapi ternyata ... ah, sudahlah!Berbagai tipe tetangga, ada di lingkungan kontrakanku. Dari yang julid, yang mulutnya lemes, yang tukang nyebar berita palsu, sampai yang suka minjam uang, tapi jarang kembali pulang itu uang, semuanya ada di sini. Dan aku menjadi salah satu penghuni yang terbilang normal di sini. Karena aku bukan salah satu dari yang baru aja aku sebutkan."Wey, bengong aja, kayak ayam pengen kawin!"Kulirik wajah si Dudu sekilas. Lalu, kembali pada setelan awal.Aku tak berniat untuk terkejut. Apalagi samp
Barisan bubar setalah mereka mendapatkan apa yang sudah di janjikan oleh Mas Angga. Yaitu, duit. Mereka semua pulang dengann wajah senang, senyum senang dan mata berbinar. Gagal mendapatkan sembako, mereka pulang dengan membawa uang. Beruntung memang para tetanggaku ini. Uang mengalahkan segalanya. Bahkan, si Jumi yang biasanya suka ketus padaku, berubah bak ibu peri yang kapan saja siap untuk di mintai tolong."Kalau butuh apa apa, bilang aja sama aku. Aku siap bantu kamu, asal ada ininya." Itu kata si Jumi sebelum ia beranjak pergi dari teras rumahku. Jempol dan telunjuknya saling beradu. Aku tau apa maksudnya. Pasti ujung ujungnya duit lagi deh."Mas, harusnya gak usah sampai segitunya sama mereka. Nanti keenakan mereka. Harusnya kan yang kasiih mereka itu si Wati, bukannya Mas Angga," omelku saat semua barisan ibu ibu dan bapak bapak sudah menghilang bak di telan bumi. Hilang kare
Gusti! Aku terkejut bukan main. Gak ada angin, apalagi hujan, tiba tiba aja ini rumah di kerubunin para tetangga kontrakan, dari yang paling dekat hingga ke paling ujung, alias paling jauh, semuanya ada. Bukan tanpa alasan mereka mengerubungi rumah kontrakanku. Katanya, aku ada jadwal bagi bagi sembako hari ini. What! Siapa yang bilang dan nyebar fitnah kayak gitu tentangku? Aku kok gak merasa pernah bilang sama seseorang, apalagi orang orang, kalau aku mau bagi bagi sembako. Wong, aku juga masih kekurangan kok. Gimana ceritanya aku mau bagi bagi? Kalau aku ada uang lebih sih, aku juga mau bagi bagi. Tapi, uang lebihku kan sudah aku kasih sama si Dudu, buat biaya sunat adik bontotnya. Nanti malah, aku mau nyari uang lagi, biar ada lebihnya lagi. "Ayo Dong, Sis. Jangan tunda tunda rezeki kami. Kamu kan mau bagi bagi sembako. Kenapa gak langsung di segerakan aja bagi baginya. Dosa loh, kalau kamu nunda nunda apa yang
Ya ampun! Duniaku terasa berbunga saat kulihat wajah Angga memerah karena cemburu. Ada untungnya juga, aku ketemu dengan Andi, teman saat aku sekolah dulu. Ya, aku tau kalau dari dulu itu, Andi suka padaku. Namun, entah kenapa, dari dulu pula hingga sekarang, aku tak pernah memiliki perasaan yang serupa dengan Aldi. Bukan karena Aldi tidak tampan dan menarik. Bukan karena dia juga tak baik. Tapi, karena hati ini yang tak pernah bisa memiliki perasaan yang sama dengan Aldi. Hingga, hanya sebatas teman, yang bisa aku sematkan dalam hubungan kami berdua. Lama tak jumpa, ternyata kami di pertemukan kembali dengan aku yang sudah memiliki calon suami. Dulu, aku memilih menikah dengan temannya. Dan sekarang? Hatiku pun telah terpaut pada yang lain. Mungkin, hatiku dan hatinya yang tak bisa menyatu. Hingga kata 'teman' yang lebih cocok untuk kita sandang dalam hubungan ini. "Bilang cemburu aja kok s
POV Angga.Dia. Ya, dia. Siska orangnya. Sosok cantik yang tak pernah kuduga akan membuatku jatuh cinta dalam waktu sekejap mata itu, kini tengah menahan lengaku. Menghentikan langkah, agar aku tak pergi dari hadapannya."Mas beneran mau nemuin si mbak Wati itu?" tanyanya merengut. Aku tau dia kesal. Tapi, apakah Siska berpikir, jika aku akan benar benar pergi meninggalkan dirinya di sini dan menemui mbak mbak tadi?Tidak! Aku hanya bercanda saja. Lagi pula, aku tak tau dia itu siapa. Mbak Wati atau mbak mbak? Terserah siapa namanya. Karena yang membuatku berada di sini, adalah Siska. Bukan mbak Wati.Masih kuingat dengan betul, bagaimana sikap mbak-mbak bernama Mbak Wati itu. "Mas, Mas?" Tangannya menepuk nepuk bahuku beberapa kali seraya memanggil. Aku yang terkejut, langsung berbalik badan, dan mendapati seorang wanita tengah menatapku dengan pandangan genit."Mas cari siapa toh?" tanyanya.
"Mas Angga." Aku berteriak memanggil namanya dan memukul pundaknya beberapa kali karena terkejut.Angga menoleh. Ia menebarkan senyum yang langsung menular padaku. Seperti virus cintanya yang kini tumbuh di hatiku. Seperti itu pula, senyum hadir di bibirku."Kok, Mas tau aku ada di pasar?" tanyaku antusias. "Sejak kapan, Mas jadi tukang ojek gini?""Emh, saya harus jawab yang mana dulu nih?" tanyanya seraya menoleh. Senyum tipis itu terlihat sedikit menggoda iman dan mata. Ya Allah, ampuni hamba. Mata ini gak bisa berhenti buat natap dia."Yang mana aja, deh. Yang penting semuanya di jawab," jawabku cepat."Hem, oke. Yang pertama, saya tau kamu ada di pasar, karena saya tadi ke rumah kamu. Ternyata kamu gak ada. Saya tanya lah sama tetangga kamu. Kebetulan--""Tunggu, tunggu!" Ku hentikan penjelasannya, karena ada yang menarik di akhir kalimat. Tetangga?"Tetangga, Mas?" tanyaku de
Suasana pasar hari ini begitu panas. Pas sama otak aku yang baru aja panas, karena nyinyirannya si mbak Wati. Padahal, waktu baru aja menunjukkan pukul delapan pagi. Tapi, sudah seperti tengah hari aja. Dan ini semua, tentu aja gara gara si mbak Wati."Eh, Neng Siska. Pasti mau belanja sayuran sama daging ya?" Baru aja aku sampai di jongko pedagang langgananku, aku sudah di tanyain ini itu. Ku coba melengkungkan bibir, membuat senyuman yang sedari tadi hilang, karena mood yang tiba tiba aja anjlok ke dasar sungai. Loh, kenapa sungai? Ya, kalau lautan, terlalu dalam. Aku gak sekesal itu juga kali."Ya ampun, Neng. Pagi pagi di kasih senyuman, langsung seger ini badan. Apalagi mata." Si Abang sayur yang usianya udah lanjut itu masih sempatnya menggoda. Untung aja, godaannya itu cuman sebatas candaan aja. Hingga, aku merasa biasa aja dan menanggapinya terlalu serius."Eh, si Abah bisa aja. Abah, makin lama juga makin tu