"Jadi, kapan kalian akan melangsungkan pernikahan? Ibu udah gak sabar pengen lihat kalian di pelaminan. Temen temen ibu pasti akhirnya iri dan gak bakal ngatain ibu lagi."
Aku tersedak. Ini terlalu cepat. Berulang kali aku terbatuk-batuk. Hingga sebuah tangan kokoh menyodorkan segelas air putih di depanku."Kamu gak papa? Pelan pelan aja makannya. Atau, kamu terkejut sama pertanyaan ibu?"Kepalaku menggeleng, walau sebenarnya ingin sekali mengangguk. Tapi, aku tak bisa. Takut gerak tubuhku yang merespon seperti itu, dapat mengecewakan hati dari calon ibu mertuaku."Syukurlah. Ibu kira, kamu terkejut dengan pertanyaan ibu. Padahal, ibu pengen cepet cepet lihat dan menyaksikan kalian menikah. Angga sudah terlalu tua buat pacaran," bisiknya di ujung kalimat. Kini, aku yang mengulum senyum mendengar bisikan calon ibu mertuaku."Kamu bekerja?" tanya sosok lelaki yang sedari tadi diam mengamati dan tak banyak bicara.<Lagu India dengan tema bahagia ku lantunkan. Tak lupa aku juga berputar putar mengiringi lagu yang sedang berdendang tersebut sebagai pertanda kelengkapan kebahagiaanku. Melupakan rasa malu, karena ini di kediamanku sendiri.Tapi eh, ada si Dudu yang baru aja bangun tidur, kayaknya. Saat ini, dia sedang menatapku dengan bingung di ambang pintu yang menuju ke dapur, di mana aku berada saat ini. Tatapannya terlihat heran dan juga terlihat ngeri. Padahal, aku yang harusnya ngeri, liat dia bangun tidur dengan rambut acak acakan. Untung aja aku bukan penakut. Kalau aku penakut, udah kabur aku lihat si Dudu."Kamu stres ya, Sis?" tanya si Dudu sambil menyilangkan jari di keningnya. Enak aja. Malas meladeninya, aku kembali berjoget ria dengan berbagai macam gaya. Uluh uluh, senengnya aku.Jadi manten ... i'm coming ..."Di tolak jadi mantu, bukan akhir dari segalanya Siska. Cari aja yang baru. Mungkin, Ma
Sudah sekitar satu jam aku berada di dalam kamar. Mengabaikan ketukan di pintu dan teriakan si Dudu. Bodo amat! Aku gak mau buka pintu. Aku gak mau keluar juga. Tanggung malu sama calon imamku. Bisa bisanya Angga nangkap basah aku lagi joget joget ala India di atas lantai tadi.Haduh Mak ... anakmu malunya pake banget! Rasanya, aku beneran pengen menghilang dari muka bumi ini. Tapi, jangan deh, nanti Mas Anggaku tersayang itu nyari nyari aku lagi. Bisa brabe nanti."Sis, kamu beneran gak mau buka pintu? Saya dari tadi nungguin kamu di depan pintu loh. Suer deh, saya gak liat apa yang tadi kamu lakuin, beneran," katanya dari balik pintu kamarku yang sengaja aku tutup rapat. Bahkan, aku kunci dari dalam. Takut kalau Angga tiba tiba nyelonong masuk gitu aja. Sekarang 'kan aku lagi dalam kondisi yang memalukkan."Kamu gak percaya? Beneran kok, saya gak lihat."Aku semakin malu mendengarnya. Katanya gak l
Malam ini, aku sukses mewujudkan impianku yang sebatas impian itu. Yaitu, dengan memakan sebungkus kripik si lidah mertua. tak hanya itu, kripik si lidah mantan dan juga si lidah wanita juga disebelahnya kripik si lidah mertua, di temani dengan secangkir kopi, sambil memandangi bulan dan bintang yang menerangi malam gelap gulita. Dan yang paling spesial dari pada itu semua adalah, kehadiran sesosok manusia tampan yang ada di sebelahku. Aku tak tahu, ternyata, produsen kripik dengan nama berbagai jenis lidah wanita itu, adalah salah satu kerabatnya Angga. Hingga, setelah Maghri tiba, Angga tiba tiba datang kembali ke kontrakanku dengan dua kantong plastik besar, yang isinya tak pernah ku sangka. "Ya ampun! Kok bisa sih?" tanyaku dengan binar kaget yang tak bisa ku sembunyikan dari wajah ini. "Bisa aja. Karena produsennya kakak sepupu saya," jawab Angga dengan wajahnya yang biasa saja. Tapi, aku melihtanya begitu berbeda.
"Jadi, mau apa Anda kemari?"Angga bertanya tanpa basa basi lagi. Ku dengar nada tak suka dari ucapannya pada Reyhan. Lagian, mau ngapain sih dia ke mari? Nanti, kalau si Klinik datang ke sini, gimana? Bisa nuduh yang macam macam dia sama aku.Ih, ogah aku berurusan terus dengannya. Aku juga sudah tak berniat alias tak berminat lagi untuk selalu bersaing dengannya. Takbermanfaat, dan tak ada gunanya sama sekali."Aku, cuma mau ngasih bunga ini buat Siska.""Gak bisa! Siska gak nerima bunga dari laki laki lain selain saya," tolak Angga secara langsung. Bahkan, bunga yang baru saja Reyhan sodorkan padaku, langsung di tahan oleh tangan Angga. Hingga, bunga itu tetap berada di pemilik yang sebelumnya. Yaitu, Reyhan."Tapi, Siska belum jawab, kalau dia nolak bunga pemberian dari aku ini."Dih, pake ngotot segala lagi. Udah di bilangin juga sama mas Anggaku tercint
"Wah, parah kamu, Sis. Anak orang kamu timpuk pakai sandal." Si Dudu yang ternyata tadi melihat kejadian saat aku melempar sandal ke arah wajahnya Naura, menggeleng gelengkan kepala.Ekspresinya ini entah tak percaya atau apa. Aku tak bisa menebaknya."Salah dia sendiri. Punya mulut kok gak bisa di jaga. Walau pun aku ini seorang janda. Tapi, aku juga harga diri yang harus aku pertahankan. Siapa juga yang mau goda tunangannya? Gak ada tuh! Reyhan malah datang sendiri ke kontrakan aku. Aku gak ada nyuruh nyuruh dia buat dateng segala. Pakai acara bawa bunga segala lagi." Aku menggerutu kesal.Kesal bener bener kesal! Lebih kesal dari pada mimpi nikah sama Mas Jaka buncit."Hooh! Harusnya ya, tadi, Kamu itu lempar dia pakai sepatunya Mas Angga yang ganteng itu. Kan sepatunya kulit tuh! Pasti bakalan lebih sakit tuh dari sandal."Ha!Apa kata si Dudu?
Katanya besok malam. Katanya mau bantuin jualan. Nyatanya, sampai seminggu kemudian, batang hidungnya tak kunjung keliatan.Ke manakah Mas Angga pujaanku itu?Kok dia tiba tiba aja menghilang tanpa kabar. Ingi ku berkunjung ke rumahnya. Namun, aku tak tau alasan apa yang akan aku ucapkan pada calon mertuaku nantinya, jika aku di tanyai, 'mau apa ke mari?'Masa aku jawabnya, 'mau cari anaknya yang udah jadi pujaan hati ini'. 'Kan gak mungkin ya? Malu lah aku."Sis, gak mau belanja?" tanya Si Dudu membuyarkan lamunanku yang sedang memikirkan Angga.Laki laki yang aku tunggui kehadirannya, pagi, siang dan malam. Namun, tak kunjung juga datang. Aku kesepian. Aku tiba tiba aj rindu dia.Oh, ternyata bener apa kata Dilan. 'Jangan rindu. Rindu itu berat. Aku taku kamu gak bisa menahannya.'Dan bener aja ternyata. Saat ini aku tak kuasa menahan g
Mataku membelalak sempurna tatkala tatapanku tertuju pada sebuah layar yang saat ini tengah memutar sebuah video. Video itu menunjukkan adegan mesra, sosok yang selama satu minggu ini aku rindui.Angga.Sosok itu terlihat sedang berbincang mesra dengan seorang wanita yang tak ku ketahui siapa dia. Tapi yang jelas, pemandangan itu begitu membuat mataku panas. Dadaku sesak. Dan jantungku juga rasanya ingin meledak.Aku terbakar api cemburu. Mereka, mereka berkhianat di belakangku. Ah, bukan mereka. Tapi Angga seorang. Karena sosok wanita itu, aku tak mengerahui siapa dia. Angga telah mempermainkan hati dan perasaanku. Jahat!"Eh, Sis. Maaf ya, aku gak bermaksud buat kamu marah dan cemburu. Aku-- aku cuma gak mau, temen aku satu satunya, di mainin sama cowok," kata si Dudu dengan tak enak hati setelah melihat ekspresi wajahku yang berubah setelah melihat cuplikan video barusan.Aku
Aku mematung di tempat setelah membukakan pintu dan mengetahui siapa yang tiba-tiba bertamu ke rumahku.Sosok itu yang masih membuatku merasakan gejolak tak biasa dalam dadaku, kini tengah menatapku di depan pintu. Tak hanya di depan pintu. Tapi juga di depanku. Tepat di depan mata.Oh, dia. Aku sedang tak ingin menyebut namanya. Bisa bisanya dia datang bagai kurir ekspress dalam sanubari. Lalu, dengan cepat pula dia mengacaukan hatiku.Sungguh terlalu dia ini. Ya, Dia!"Kamu, gak mau nyuruh saya masuk?" tanyanya. Aku masih berdiam diri di tempatku semula. Memandangnya dengan wajah sengit."Ekhem! Oke, kalau kamu gak mau nyuruh saya masuk, biar saya di luar aja."Aku masih diam. Tatapanku semakin tajam menghujam ke arahnya. Namun, Dia seakan tak menyadari kesalahannya padaku. Wajahnya tetap datar. Dan si-al! Dia masih aja keliatan ganteng di mataku.Dasar mata lucknut! Bisa bisanya meng
"Gimana?" Satu kata terucap. Sebuah pertanyaan yang membuatku tak bisa berkata-kata, keluar dari mulut manis Angga.Walau aku belum pernah mencoba mulut itu. Eh, tapi aku yakin, mulutnya memang manis. Semanis kata katanya padaku. Dan sikapnya selama ini, tentu saja."Kenapa malah diam? Saya tanya loh. Gimana?" tanyanya lagi. Masih dengan pertanyaan yang sama."Gimana apanya Mas?" Bukannya menjawab. Eh, mulutku malah balik bertanya. Dasar Siska!Grogi kok bisa sampai kayak gini sih."Kok malah balik nanya sih? Saya kan yang nanya duluan sama kamu," katanya dengan kepala yang menggeleng ke kiri dan ke kanan. Aku menatapnya takjub. Cuman gelengin kepala aja, udah bisa bikin aku terpesona. Ganteng banget sih dia. Ya ampun! Pikiranku jadi ke mana mana. Apalagi kalau dia senyum coba. Pasti bakal langsung bikin aku hilang ingatan."Jangan kebanyakan mikirin yang enggak enggak. Kita belum
"Kamu baik bener sama Marni. Gak rugi Sis, nasi gorengnya kamu kasih gratis sama Marni?" tanya si Dudu saat Marni sudah melenggang pergi dari tempatku berjualan. Tanganku yang sedikit kotor, karena bumbu, segera ku bersihkan dengan lap yang biasa aku gunakan di tempat jualanku. Mengabaikan dulu pertanyaannya si Dudu. Masih tak mau menjawab, aku malah tersenyum sama si Dudu."Enggak lah, Du. Cuma satu bungkus doang kok. Masa sih aku rugi. Gak papa lah, kasian aku sama si Marni. Dia itu tetangga aku yang gak pernah ikut campur. Dia masa bodoh. Tapi, dia juga gak cuek, kalau aku ada masalah. Oh ya, aku yakin tuh, di balik sikapnya yang barusan bisa ketawa itu, dia sebenernya nyimpen luka buka si Marno.""Kamu bener, Sis. Kasian aku sama Marni. Dia kan cantik ya? Mukanya bening, walau dia cuma seorang babu. Gak kayak aku," kata Dudu yang membandingkan wajah Marni dengan wajahnya."Kamu juga cantik Du. Sayang aja, ka
Jajan tak jadi, yang ada keluar uang buat Mak Iroh.Huh! Si emak yang satu ini emang meresahkan! Padahal, tadi siang ia juga kebagian jatah bagi bagi uang dari Angga. Tapi, masih aja minjam sama aku. Aku sampai kehilangan nafsu makan, gara gara kelakuan Mak Iroh yang kembali kumat. Ku pikir, setelah lama Mak Iroh tak meminjam uang padaku, ia sudah tobat dan tak akan minjam minjam uang lagi. Tapi ternyata ... ah, sudahlah!Berbagai tipe tetangga, ada di lingkungan kontrakanku. Dari yang julid, yang mulutnya lemes, yang tukang nyebar berita palsu, sampai yang suka minjam uang, tapi jarang kembali pulang itu uang, semuanya ada di sini. Dan aku menjadi salah satu penghuni yang terbilang normal di sini. Karena aku bukan salah satu dari yang baru aja aku sebutkan."Wey, bengong aja, kayak ayam pengen kawin!"Kulirik wajah si Dudu sekilas. Lalu, kembali pada setelan awal.Aku tak berniat untuk terkejut. Apalagi samp
Barisan bubar setalah mereka mendapatkan apa yang sudah di janjikan oleh Mas Angga. Yaitu, duit. Mereka semua pulang dengann wajah senang, senyum senang dan mata berbinar. Gagal mendapatkan sembako, mereka pulang dengan membawa uang. Beruntung memang para tetanggaku ini. Uang mengalahkan segalanya. Bahkan, si Jumi yang biasanya suka ketus padaku, berubah bak ibu peri yang kapan saja siap untuk di mintai tolong."Kalau butuh apa apa, bilang aja sama aku. Aku siap bantu kamu, asal ada ininya." Itu kata si Jumi sebelum ia beranjak pergi dari teras rumahku. Jempol dan telunjuknya saling beradu. Aku tau apa maksudnya. Pasti ujung ujungnya duit lagi deh."Mas, harusnya gak usah sampai segitunya sama mereka. Nanti keenakan mereka. Harusnya kan yang kasiih mereka itu si Wati, bukannya Mas Angga," omelku saat semua barisan ibu ibu dan bapak bapak sudah menghilang bak di telan bumi. Hilang kare
Gusti! Aku terkejut bukan main. Gak ada angin, apalagi hujan, tiba tiba aja ini rumah di kerubunin para tetangga kontrakan, dari yang paling dekat hingga ke paling ujung, alias paling jauh, semuanya ada. Bukan tanpa alasan mereka mengerubungi rumah kontrakanku. Katanya, aku ada jadwal bagi bagi sembako hari ini. What! Siapa yang bilang dan nyebar fitnah kayak gitu tentangku? Aku kok gak merasa pernah bilang sama seseorang, apalagi orang orang, kalau aku mau bagi bagi sembako. Wong, aku juga masih kekurangan kok. Gimana ceritanya aku mau bagi bagi? Kalau aku ada uang lebih sih, aku juga mau bagi bagi. Tapi, uang lebihku kan sudah aku kasih sama si Dudu, buat biaya sunat adik bontotnya. Nanti malah, aku mau nyari uang lagi, biar ada lebihnya lagi. "Ayo Dong, Sis. Jangan tunda tunda rezeki kami. Kamu kan mau bagi bagi sembako. Kenapa gak langsung di segerakan aja bagi baginya. Dosa loh, kalau kamu nunda nunda apa yang
Ya ampun! Duniaku terasa berbunga saat kulihat wajah Angga memerah karena cemburu. Ada untungnya juga, aku ketemu dengan Andi, teman saat aku sekolah dulu. Ya, aku tau kalau dari dulu itu, Andi suka padaku. Namun, entah kenapa, dari dulu pula hingga sekarang, aku tak pernah memiliki perasaan yang serupa dengan Aldi. Bukan karena Aldi tidak tampan dan menarik. Bukan karena dia juga tak baik. Tapi, karena hati ini yang tak pernah bisa memiliki perasaan yang sama dengan Aldi. Hingga, hanya sebatas teman, yang bisa aku sematkan dalam hubungan kami berdua. Lama tak jumpa, ternyata kami di pertemukan kembali dengan aku yang sudah memiliki calon suami. Dulu, aku memilih menikah dengan temannya. Dan sekarang? Hatiku pun telah terpaut pada yang lain. Mungkin, hatiku dan hatinya yang tak bisa menyatu. Hingga kata 'teman' yang lebih cocok untuk kita sandang dalam hubungan ini. "Bilang cemburu aja kok s
POV Angga.Dia. Ya, dia. Siska orangnya. Sosok cantik yang tak pernah kuduga akan membuatku jatuh cinta dalam waktu sekejap mata itu, kini tengah menahan lengaku. Menghentikan langkah, agar aku tak pergi dari hadapannya."Mas beneran mau nemuin si mbak Wati itu?" tanyanya merengut. Aku tau dia kesal. Tapi, apakah Siska berpikir, jika aku akan benar benar pergi meninggalkan dirinya di sini dan menemui mbak mbak tadi?Tidak! Aku hanya bercanda saja. Lagi pula, aku tak tau dia itu siapa. Mbak Wati atau mbak mbak? Terserah siapa namanya. Karena yang membuatku berada di sini, adalah Siska. Bukan mbak Wati.Masih kuingat dengan betul, bagaimana sikap mbak-mbak bernama Mbak Wati itu. "Mas, Mas?" Tangannya menepuk nepuk bahuku beberapa kali seraya memanggil. Aku yang terkejut, langsung berbalik badan, dan mendapati seorang wanita tengah menatapku dengan pandangan genit."Mas cari siapa toh?" tanyanya.
"Mas Angga." Aku berteriak memanggil namanya dan memukul pundaknya beberapa kali karena terkejut.Angga menoleh. Ia menebarkan senyum yang langsung menular padaku. Seperti virus cintanya yang kini tumbuh di hatiku. Seperti itu pula, senyum hadir di bibirku."Kok, Mas tau aku ada di pasar?" tanyaku antusias. "Sejak kapan, Mas jadi tukang ojek gini?""Emh, saya harus jawab yang mana dulu nih?" tanyanya seraya menoleh. Senyum tipis itu terlihat sedikit menggoda iman dan mata. Ya Allah, ampuni hamba. Mata ini gak bisa berhenti buat natap dia."Yang mana aja, deh. Yang penting semuanya di jawab," jawabku cepat."Hem, oke. Yang pertama, saya tau kamu ada di pasar, karena saya tadi ke rumah kamu. Ternyata kamu gak ada. Saya tanya lah sama tetangga kamu. Kebetulan--""Tunggu, tunggu!" Ku hentikan penjelasannya, karena ada yang menarik di akhir kalimat. Tetangga?"Tetangga, Mas?" tanyaku de
Suasana pasar hari ini begitu panas. Pas sama otak aku yang baru aja panas, karena nyinyirannya si mbak Wati. Padahal, waktu baru aja menunjukkan pukul delapan pagi. Tapi, sudah seperti tengah hari aja. Dan ini semua, tentu aja gara gara si mbak Wati."Eh, Neng Siska. Pasti mau belanja sayuran sama daging ya?" Baru aja aku sampai di jongko pedagang langgananku, aku sudah di tanyain ini itu. Ku coba melengkungkan bibir, membuat senyuman yang sedari tadi hilang, karena mood yang tiba tiba aja anjlok ke dasar sungai. Loh, kenapa sungai? Ya, kalau lautan, terlalu dalam. Aku gak sekesal itu juga kali."Ya ampun, Neng. Pagi pagi di kasih senyuman, langsung seger ini badan. Apalagi mata." Si Abang sayur yang usianya udah lanjut itu masih sempatnya menggoda. Untung aja, godaannya itu cuman sebatas candaan aja. Hingga, aku merasa biasa aja dan menanggapinya terlalu serius."Eh, si Abah bisa aja. Abah, makin lama juga makin tu