~Abang pilih yang mana? Perawan atau janda? Perawan memang menawan. janda lebih menggoda.~
Lantunan lagu dangdut yang pernah nge-hits pada masanya sedang berdendang di sebuah kotak musik yang sudah lama sekali aku gunakan bersama mendiang suamiku dulu. Tak ayal lagu itu membuat aku pun langsung mengikuti alunannya. Bahkan untuk sesaat, aku juga rindu pada mendiang suamiku itu.Hemm... lagunya emang cocok banget sama status aku saat ini.Hihihi.Aku terkikik dengan ucapanku sendiri. Karena faktanya memang seperti itu. Janda seperti aku ini memang jauh lebih menggoda daripada seorang perawan. Hingga pantas saja jika si Mas Jaka buncit itu sampai tergila-gila kepadaku dan ingin menjadikanku sebagai istri keempatnya. Bahkan, bukan hanya si mas Jaka buncit itu saja yang tergila gila padaku, tapi masih banyak pria yang lainnya juga. Termasuk, seorang tukang sayur yang sudah menjadi langganan ku sejak masih bersuamikan mendiang suamiku dulu."Yuuuurrrrr, sayuuuuur!"Nah, pucuk dicinta ulam pun tiba. Sedang teringat oleh tukang sayur langganan yang tergila-gila kepadaku, tiba tiba saja tukang sayur itu mengeluarkan suaranya untuk memanggil para pelanggan yang telah menjadi langganannya.Suaranya yang khas dan keras, membuatku langsung tancap gas untuk mendekat ke arahnya.Kebetulan sekali, bahan masakan sudah mau habis semua. Kalau ke pasar, malas kali rasanya aku ini. Mending cari yang dekat aja. Dan kebetulan sekali, kang sayur sudah ada di depan rumah tetangga."Kang, kang sayur," panggilku seraya melambaikan sebelah tangan agar si Akang sayur itu mendekat ke arah rumahku. Namun sayang, kang sayur sudah banyak yang mengelilingi. Hingga, akulah yang harus mengalah untuk mendekat ke arahnya."Eh, Neng Siska. Maaf ya, kang sayur gak bisa nyamperin. Maklum, kalau orang ganteng kayak kang sayur ini, cewek cewek dari yang gadis, emak emak sampai janda, suka banyak yang ngerubunin," katanya sambil cengengesan.Tak ayal, hal itu mengundang para emak emak untuk menyorakinya."Huuuu!""Kita ngerubunin Kang Sayur itu, bukan karena demen. Apalagi kesemsem. Plusnya lagi, bukan karena situ ganteng. Idih, amit amit deh. Tapi karena mau beli sayurnya," kata Mak Sukma yang berucap sambil memilah milih sayuran di hadapannya. Ia tetangga yang tak pernah julid pada statusku yang seorang janda."Iya nih. Kang Sayur satu ini, pedenya minta ampun!" tanggap yang lainnya dengan tangan yang terus memilah dan memilih bahan masakan di depan mereka."Ya ampun! Pada sensi sensi amat ya, ini emak emak. Masih pagi juga. Lagian, kalau di iyain juga gak papa kali -- Eh, sampe lupa! Neng Siska mau belanja apa? Kebetulan semua belanjaan, sayuran, daging, ikan, kacang-kacangan, lalap-lalapan, tahu sama tempe juga lengkap semuanya. Jengkol sama Pete pun juga ada. Kiranya, neng Siska ini mau belanja apakah untuk dimasak hari ini?"Kang Sayur itu menghentikan ucapannya kepada emak-emak yang tengah memilah-milih bahan masakan untuk pagi ini, atau mungkin juga untuk siang nanti. Lalu menatapku sambil menawariku ini dan itu. Sangat ramah sekali, sama seperti biasanya."Apa ya? Bingung nih mau masak apa buat sarapan," kataku menanggapi."Ya elah. Pake bingung segala. Kamu kan cuma sendiri. Gak ada suami apalagi anak. Masa masak buat sendiri aja pakai acara ngomong bingung segala. Basi!"Aku melirik tajam ke arah sumber suara yang begitu sumbang Aku dengar di telinga. Ucapannya sih kalem. Tapi, begitu menusuk isi perkataannya tersebut.Ialah si Jumi, alias Juminten. Mantan janda juga, yang kebetulan sudah dapat pengganti. Alias juga udah kawin lagi. Salah satu orang yang menganggap aku adalah saingannya. Sama sama janda, tapi sekarang ia sudah kembali berumah tangga. Sedang aku?Huh! Ada masalah apa sih, dia sama ku? Namun, untungnya aku-- aku masih bisa menahan diri untuk tak terbawa emosi.Masa sih, masih pagi begini mau perang adu mulut? Rasanya gak cocok banget!"Iya nih. Masa sih, janda yang sendiri karena di tinggal pergi untuk selama lamanya itu bingung mau masak apa."Haduh, haduh, haduh! Mulut emak emak yang lainnya malah ikut menanggapi."Emangnya ada larangannya ya, kalau janda yang sendiri gak boleh bingung mau masak apa? Terserah aku dong! Yang masak aku! Yang makan aku. Yang cari uangnya pun aku. Lalu, apa hak kalian komen komen hidup aku," kataku acuh sambil melihat daging dan ikan.Kulihat wajahnya masam. Bahkan, bibirnya ikut mencebik. Mungkin, tak suka dengan caraku membalas perkataannya.Lagian, siapa suruh julid duluan? Kelen pikir, aku ini bakalan diam aja kayak di sineron ikan cupang?Enggak lah yau!Aku ini Siska. Janda menggoda yang tak kenal kata lemah!Wush!Angin pagi menerpa wajah dan rambutku yang sembriwing, hingga tertiup dan mengenai wajah Kang sayur.Haduh!Pasti aroma sampo dari rambutku langsung tercium olehnya.Rugi, rugi!Dan benar saja, kulihat mata kang sayur yang tak pernah ku ketahui namanya itu merem melek seperti merasakan sesuatu yang menyenangkan.Idih!"Ngapain merem melek?!" tanyaku ketus."Eh, eng, enggak," jawab kang Sayur dengan sedikit terbata. Lagi lagi, dia cengengesan."Eh iya, Sis. Mumpung kamu masih jadi janda, gimana kalau kamu nikah sama Dia aja."Seseorang berujar. Dia Mbak Wati. Tetangga sebelah rumahku. Eh, maksudku rumah kontrakanku yang super duper julid. Lebih julid daripada si Jumi, alias Juminten. Hobinya ngejulidin para tetangga, terutama aku. Sifatnya ini sebelas dua belas dengan si Jumi. Nyebelin, suka bikin emosi. Plus darah tinggi.Mata ini melirik ke sebelah. Tampak dia biasa aja dengan sikapnya. Tak merasa bersalah apalagi berdosa karena telah berkata yang membuatku naik darah."Loh, Mbak Wati kan juga janda. Kenapa gak Mbak Wati aja yang nikahin kang Sayur nya? Sama sama sendiri 'kan? Jadi cocoklah. Kenapa malah mau jodohin aku segala. Maaf ya, gini gini, Siska udah ada yang punya," kataku membalas tak mau kalah.Dan lihat wajahnya Mbak Wati sekarang! Wajahnya memerah. Mungkin dia marah.Ah, bodo amat dah!
"Kok malah aku sih? Aku kan yang nawarin kamu, bukannya terima kasih, malah nyuruh aku sama dia," katanya bersungut sambil menunjuk wajah si kang Sayur yang sedang cengengesan lagi.Bingung deh aku sama dia. Tiap kali lihat, pasti lagi cengengesan. Kayak gak ada kerjaan atau ekspresi lain yang bisa di tunjukkan aja."Aku mana mau sama dia," lanjut Mbak Wati yang ternyata belum usai."Nah, itu gak mau! Jadi, gak osah nyuruh nyuruh atau jodohin aku segala. Situ aja aku jodohin gak mau, apalagi aku," sungutku merasa sedikit puas."Udah udah. Kalian kenapa sih? Kok malah ngeributin Akang. Kalau kalian mau jadi saudara, akang siap kok buat bikin kalian berdua jadi saudara. Nanti, Akang nikahin kalian satu satu. Jadi, dua duanya bisa dapetin akang. Gimana? Adil bukan? Jadi Kelen gak usah ributin soal akang lagi, ya? Malu sama yang lain."Aku dan Mbak Wati saling lirik dengan wajah melongo. Apa kata kang Sayur barusan, katanya?Mau jadiin kami saudara? Jadi istri pertama sama kedua maksudnya?Oh, no!"Enak aja. Kita itu berebut gak mau jadi istri kamu, tau! Bukannya pengen jadi istri kamu! Ngawur aja!" sungut Mbak Wati. Kangkung di tangannya ia lempar pada wajah si kang Sayur. Namun, karena si kang Sayur itu cekatan, maka kangkung yang di lempar mbak Wati pun sampai tak kena ke arah wajahnya. Tapi ke tangannya."Hati hati dong, Mbak Wati sang pemuja hati ini. Nanti, kalau kangkungnya kena ke muka akang, Gimana? Mau tanggung jawab buat bersihin muka akang yang kena kangkung itu?"Aku bergidik ngeri. Bisa bisanya dari dulu aku langganan sama si kang Sayur yang satu ini. Sudah pedenya minta ampun, tak pernah sadar kalau ucapannya itu seringkali bikin orang jadi geli."Dih, siapa yang pemuja hati kamu? Enggak ya! Aku tuh pemuja orang ganteng. Bukan orang kaya kamu. Enak aja!" tolak mbak Wati kesal.Rasain! Siapa suruh ngerjain aku duluan. Jadi, di kerjain balik sama si kang Sayur kan?"Tuh kan? Neng Siska jadi bengong. Pasti nih, pasti. Neng Siska pasti cemburu kan sama akang yang lebih banyak bicara sama mbak Wati?"Lagi lagi aku di buat melotot oleh perkataan dari si kang Sayur. Bisa bisanya aku diam malah di bilang cemburu.Haduh Gusti, ini mah! Pedenya level tertinggi."Udah ah, Siska gak jadi beli di Kang Sayur. Siska Nunggu kang sayur lain yang lewat aja," kataku sambil menyimpan kembali sayuran apa yang sudah aku ambil tadi."Eh, eh, eh ... kok gitu sih, Neng Siska? Jangan cemburuan gitu dong, Neng. Akang kan barusan cuma bercanda aja. Kok diambil hati segala sih. Cinta akang sayur kan cuma buat Neng Siska seorang. Mbak Wati mah lewat," ujarnya semakin membuatku geli.Mungkin, niatnya ingin menghentikan aku yang hendak pergi. Namun, justru ucapannya semakin membuatku ingin segera pergi dari hadapannya."Au ah, gelap!" balasku sembari berbalik badan, ingin segera pergi dari hadapannya dan tetanggaku yang kebanyakan sesama janda.Biarlah aku di gosipin mereka karena tak jadi beli sayuran, hari ini. Namun, namun--"Aw .... " teriakku.Aku menabrak tubuh seseorang saat berbalik badan. Tubuhku nyaris jatuh, jika saja orang yang tak sengaja aku tubrak tubuhnya itu tak memegangi pinggangku.Ada yang aneh. Mataku yang sudah kubuat melotot untuk menakuti orang yang tak sengaja aku tubrak itu, tiba tiba saja tak bisa berkedip. Mulutku yang juga masih menganga pun tak bisa tertutup dengan sempurna.Oh, ada apa dengan beberapa anggota tubuhku ini?Aku seakan tengah terhipnotis dengan ciptaan Tuhan yang tiada tandingannya ini."Mbak, Mbak? Mbaknya gak papa?" tanya seseorang membuat mataku mengerjap."Eh." Aku terkejut. Refleks, segera aku sudahi adegan ini. Kalau tadi ada adegan drama ikan cupang, sekarang giliran drama koreyah. Adegan di mana sang wanita yang akan jatuh itu dengan tak sengaja tertangkap oleh sang pria. Walau sebenarnya, aku masih ngarep berlama-lama dengan adegan ini."Mbaknya gak papa kak?" tanyanya. Pertanyaan yang sama, yang bahkan belum sempat aku jawab. Karena aku terlalu terpesona dengan ciptaan Tuhan yang satu ini.Emak! Tolong Siska! Kayaknya, Siska jatuh cinta deh sama pandangan pertama.
Omay aw!
"Aduh, maaf ya! Sibuk banget sampai nggak lihat jalan." Aku berkata entah apa. Kenapa ya, kok jadi gak nyambung gini sih. Haduh!Aku menggeleng pelan, beberapa kali."Tidak apa-apa. Mbaknya baik-baik saja?" Oh, my!Mbak? Dia panggil aku, Mbak? Emang muka aku setua itu kah?"Eh, aku gak papa kok! Oh iya. Panggil aku Siska. Jangan mbak. Aku belum tua loh!" kataku sedikit tak suka. Lihat-lihat. Pemuda yang belum aku ketahui namanya itu malah tersenyum. Dan ah, senyumnya bukan bikin sehat, malah bikin aku diabetes. Ya Tuhan ... sehatkan aku, supaya aku bisa deket-deket terus sama pemuda yang tak hamba ketahui namanya itu."Mbak?" panggilnya padaku. aku terkesiap. Namun, belum mampu aku jawab."Kok malah diem aja. Mbak gak papa 'kan mbak? Saya jadi gak enak, karena udah nabrak mbaknya. Eh, maksud saya ... Siska.""Wah, kamu ganteng sekali! Ehm, iya, aku baik-baik aja. Aduh, ngomong apaan ya, aku?Tapi, terima kasih sudah bertanya."Huh! bodoh, bodoh, bodoh! Pake acara keceplosan segala l
Aku tuh awalnya kaya di film romantis gitu deh, pas liat mata cokelat seksi milik Reyhan. Jantungku berdegup kenceng abis, kaya kucing lagi liat ikan gitu. Terus si Reyhan malah senyum, lihat aku yang lagi masam mesem gak jelas.Tangannya yang oh may may itu menjinjing belanjaanku, karena si kang sayur gak mau kalau aku pergi tanpa berbelanja terlebih dulu sama dia. Katanya sih, "pedekate sama orang lain, boleh. Lupain cinta Akang buat Neng Siska, juga boleh. Tapi, kalau mau cari yang baru, belanju dulu atuh. Jangan bikin kang sayur yang lagi patah hati karena neng Siska dah punya pengganti itu, gak jadi belanja di sini. Makin patah hati lah akang ini dibuat Neng Siska."Jadilah, mau tak mau, aku harus berbelanja di sana. Ayam sama daging, menjadi pilihanku. Tak lupa dengan bumbunya sekalian. Tambah buah jeruk deh sekilo. Jadi belanjaanku cukup banyak. Tapi, kayaknya kurang kalau makan tanpa sambal dan lalapan. Cuaca kuperkirakan bakalan panas. Kayaknya, makan yang pedes pedes enak t
Perjalanan menuju Gang Soang, untuk mencari seorang tunangan yang hilang, tetap aku lanjutkan. Walau dengan hati yang galau dan merana, aku tetap bertekad untuk membantu Reyhan. Tak akan aku biarkan Reyhan tahu kalau aku sedang galau karena sudah dengan cepat mengharap cintanya. Oh, Tuhan ... kenapa Engkau hukum Siska dengan jatuh cinta secepat kilat kepada Reyhan ini?"Masih jauh ya?" tanya Reyhan secara tiba tiba. Mungkin dia bosan karena sedari tadi aku hanya diam dan membiarkan mulutku ini bungkam dari ocehan."Bentar lagi." Aku menjawab sekenanya. Karena memang, Gang Soang sebentar lagi akan dijumpai."Neng Siska?" Seseorang memanggil. Aku menoleh sinis. Dari suaranya saja, aku sudah tahu bin hapal, kalau itu adalah suaranya di mas Jaka buncit. Manusia badut yang hobinya kawin terus. Ialah si mas Jaka, pemeran antagonis yang semalam ada dalam mimpi burukku.Hii ... Mengingat kembali soal mimpi buruk semalam, rasanya aku pengen nendang dia saat ini juga.Huh! Dalam mimpi aja dia
Panas matahari yang terik, terasa membakar wajah ini. Tapi, tak sedikit pun menyurutkan niat dan tekadku untuk terus membantu si ganteng Reyhan buat cari tunangannya.Jadi, aku yang memang punya naluri detektif ala-ala Sherlock Holmes versi rempong ini, dengan semangat penuh aku siap membantu Reyhan mencari tunangannya yang ilang itu. Walau dengan taruhan hati aku yang terluka.Ce ileh!Langsung aja aku lirik si ganteng Reyhan, "Emh, Reyhan! Tenang aja, aku siap membantu kamu nyari tunangan kamu yang entah kemana itu. Kita bakal selidikin Gang Soang bareng-bareng!"Reyhan pun cuma bisa jawab, "Aduh, terima kasih ya, Sis! Aku bener-bener gak tahu harus ngapain lagi.""Ya bantu cari lah! Emang mau ngapain lagi?!" sahutku membalas ucapannya.Laki laki tampan itu tergelak karena mendengar ucapanku.Oh,tidak! Jaangan tergoda lagi dengan senyumnya yang menawan itu lagi, Siska! Move on!Banyak kok laki laki yang ngejar aku dari para pemuda alias berondong, hingga bapak bapak tua bangka. Sem
Greget greget gimana aku jadinya. Baru juga bertanya, seseorang sudah memanggil nama Reyhan dengan sangat kencangDan ... dugaanku benar!Si Naura Husada itu sedang berlari manja ke arah si Reyhan. Lalu tanpa aba aba, dia memeluk Reyhan tepat di hadapanku. Melupakan aku yang berada di samping tunangannya.Parahnya lagi, tunangannya itu adalah seorang laki laki yang langsung membuat aku jatuh hati saat pandangan pertama.Oh Tuhan ... kenapa dunia begitu kejam padaku?Sainganku yang sejak dulu selalu mendapatkan apa yang aku inginkan, kembali Engkau hadirkan lagi dalam hidupku.Ah, aku frustasi!"Aku kangen kamu," kata SI Klinik itu dengan nada suaranya yang manjalita.Uwek! Aku kok malah kepengen muntah jadinya.Denger si Klinik itu bilang kangen sama Reyhan, hati aku panas plus sebel juga,"Kamu gak papa 'kan Ra?" tanya Reyhan. Lelaki yang kusuka dalam pandangan pertama itu nampak sangat khawatir pada tungannya itu. Terlihat dari ekspresi wajah dan juga suaranya. Aku tahu dia begitu
Aku baru aja nyampe di depan rumah, setelah nyusuri jalan kampung sambil ngikutin jejak-jejak Naura. Tadi siang, aku udah keluarin semua kemampuan detektif dalam diri aku buat nemuin tunangan Reyhan yang katanya lari dari rumah karena sesuatu alasan yang belum aku ketahui. Aku berharap, aksiku bakal keren banget, dan ending-nya bakal jadi headliner di surat kabar.Tapi tau-tau, waktu aku liat wajah Naura yang secara tiba-tiba datang menghampiri Reyhan, reaksiku kayak dipukul badai. Ya ampun, ternyata dia yang dicari-cari sama aku dan Reyhan ini adalah mantan saingan aku sejak SMA. Dulu kami duet rivalitas banget, balapan jadi juara kelas. Dan sekarang, aku harus berhadapan dengan dia sebagai tunangan seseorang. What a twist!Aku cuman bisa bengong kayak patung, nggak bisa ngomong apa-apa. Naura cengar-cengir sambil nyamperin aku, "Hai, Siska! Lama nggak ketemu ya? Makin subur aja!"Aku akhirnya ngembaliin senyuman setengah hati, "Hai, Naura. Iya, lama banget. Kamu...kamu baik-baik aja?
"Apa?" tanyaku saat membuka pintu, dan kudapati wajah seseorang yang setiap malam selalu menemaniku berjualan nasi goreng di alun alun kota ini.Ya ampun! Virus Reyhan dan si Klinik itu ternyata menyebar sampai aku lupa suara. Bahkan, suara temanku saja sampai aku lupakan!Si alan memang!Aku mendengkus sebal. Bisa bisanya virus itu buat aku jadi kayak gini!"Lama banget buka pintunya!" ujarnya tiba tiba. Ia nyelonong masuk ke dalam kontrakanku gitu aja. Melewati aku begitu saja tanpa mau bilang permisi."Kebiasaan!" tegurku.Eh, dia malah ketawa."Emang! Emang udah kebiasaan!" balasnya padaku sambil mencomot donat yang baru aja aku bawa dari dapur ke ruang tamu."Enak nih donatnya. Beli di mana?"Pertanyaan yang tak perlu aku jawab. Karena tanpa kujawab pun, dia pasti tahu, kalau donat itu aku be
Aku, Siska,Si janda bohay yang selalu asyik beraksi di depan kompor dengan wajan dan spatula, lagi-lagi merasakan kebahagiaan luar biasa. Ini bukan kali pertama, tapi rasanya seperti kali pertama setiap kali antrian pelanggan mengular panjang. Jujur aja, sih, aku seneng banget ngeliat orang-orang rela ngantri demi nasi goreng kreasi aku. Rasanya kayak chef selebritis, padahal cuma jualan nasi goreng di pinggir jalan.Aku terkiki sendiri sambil mengaduk nasi.Si Dudu, temenku yang keren banget dalam urusan menyediakan bumbu-bumbu racikan rahasia, selalu setia mendampingiku di depan kompor. Dia tuh kayak sidekick setia yang selalu nemenin superhero, cuma bedanya, bukan jas hitech yang dia pakai, tapi apron yang bertebaran rempah-rempah. Kita duanya udah seperti tim penyihir nasi goreng, mengolah beras kering jadi nasi goreng lezat yang bikin lidah bergoyang.Tapi ada satu hal yang bikin aku mikir, nih. Selama beberapa hari ini, pelanggan yang d
"Gimana?" Satu kata terucap. Sebuah pertanyaan yang membuatku tak bisa berkata-kata, keluar dari mulut manis Angga.Walau aku belum pernah mencoba mulut itu. Eh, tapi aku yakin, mulutnya memang manis. Semanis kata katanya padaku. Dan sikapnya selama ini, tentu saja."Kenapa malah diam? Saya tanya loh. Gimana?" tanyanya lagi. Masih dengan pertanyaan yang sama."Gimana apanya Mas?" Bukannya menjawab. Eh, mulutku malah balik bertanya. Dasar Siska!Grogi kok bisa sampai kayak gini sih."Kok malah balik nanya sih? Saya kan yang nanya duluan sama kamu," katanya dengan kepala yang menggeleng ke kiri dan ke kanan. Aku menatapnya takjub. Cuman gelengin kepala aja, udah bisa bikin aku terpesona. Ganteng banget sih dia. Ya ampun! Pikiranku jadi ke mana mana. Apalagi kalau dia senyum coba. Pasti bakal langsung bikin aku hilang ingatan."Jangan kebanyakan mikirin yang enggak enggak. Kita belum
"Kamu baik bener sama Marni. Gak rugi Sis, nasi gorengnya kamu kasih gratis sama Marni?" tanya si Dudu saat Marni sudah melenggang pergi dari tempatku berjualan. Tanganku yang sedikit kotor, karena bumbu, segera ku bersihkan dengan lap yang biasa aku gunakan di tempat jualanku. Mengabaikan dulu pertanyaannya si Dudu. Masih tak mau menjawab, aku malah tersenyum sama si Dudu."Enggak lah, Du. Cuma satu bungkus doang kok. Masa sih aku rugi. Gak papa lah, kasian aku sama si Marni. Dia itu tetangga aku yang gak pernah ikut campur. Dia masa bodoh. Tapi, dia juga gak cuek, kalau aku ada masalah. Oh ya, aku yakin tuh, di balik sikapnya yang barusan bisa ketawa itu, dia sebenernya nyimpen luka buka si Marno.""Kamu bener, Sis. Kasian aku sama Marni. Dia kan cantik ya? Mukanya bening, walau dia cuma seorang babu. Gak kayak aku," kata Dudu yang membandingkan wajah Marni dengan wajahnya."Kamu juga cantik Du. Sayang aja, ka
Jajan tak jadi, yang ada keluar uang buat Mak Iroh.Huh! Si emak yang satu ini emang meresahkan! Padahal, tadi siang ia juga kebagian jatah bagi bagi uang dari Angga. Tapi, masih aja minjam sama aku. Aku sampai kehilangan nafsu makan, gara gara kelakuan Mak Iroh yang kembali kumat. Ku pikir, setelah lama Mak Iroh tak meminjam uang padaku, ia sudah tobat dan tak akan minjam minjam uang lagi. Tapi ternyata ... ah, sudahlah!Berbagai tipe tetangga, ada di lingkungan kontrakanku. Dari yang julid, yang mulutnya lemes, yang tukang nyebar berita palsu, sampai yang suka minjam uang, tapi jarang kembali pulang itu uang, semuanya ada di sini. Dan aku menjadi salah satu penghuni yang terbilang normal di sini. Karena aku bukan salah satu dari yang baru aja aku sebutkan."Wey, bengong aja, kayak ayam pengen kawin!"Kulirik wajah si Dudu sekilas. Lalu, kembali pada setelan awal.Aku tak berniat untuk terkejut. Apalagi samp
Barisan bubar setalah mereka mendapatkan apa yang sudah di janjikan oleh Mas Angga. Yaitu, duit. Mereka semua pulang dengann wajah senang, senyum senang dan mata berbinar. Gagal mendapatkan sembako, mereka pulang dengan membawa uang. Beruntung memang para tetanggaku ini. Uang mengalahkan segalanya. Bahkan, si Jumi yang biasanya suka ketus padaku, berubah bak ibu peri yang kapan saja siap untuk di mintai tolong."Kalau butuh apa apa, bilang aja sama aku. Aku siap bantu kamu, asal ada ininya." Itu kata si Jumi sebelum ia beranjak pergi dari teras rumahku. Jempol dan telunjuknya saling beradu. Aku tau apa maksudnya. Pasti ujung ujungnya duit lagi deh."Mas, harusnya gak usah sampai segitunya sama mereka. Nanti keenakan mereka. Harusnya kan yang kasiih mereka itu si Wati, bukannya Mas Angga," omelku saat semua barisan ibu ibu dan bapak bapak sudah menghilang bak di telan bumi. Hilang kare
Gusti! Aku terkejut bukan main. Gak ada angin, apalagi hujan, tiba tiba aja ini rumah di kerubunin para tetangga kontrakan, dari yang paling dekat hingga ke paling ujung, alias paling jauh, semuanya ada. Bukan tanpa alasan mereka mengerubungi rumah kontrakanku. Katanya, aku ada jadwal bagi bagi sembako hari ini. What! Siapa yang bilang dan nyebar fitnah kayak gitu tentangku? Aku kok gak merasa pernah bilang sama seseorang, apalagi orang orang, kalau aku mau bagi bagi sembako. Wong, aku juga masih kekurangan kok. Gimana ceritanya aku mau bagi bagi? Kalau aku ada uang lebih sih, aku juga mau bagi bagi. Tapi, uang lebihku kan sudah aku kasih sama si Dudu, buat biaya sunat adik bontotnya. Nanti malah, aku mau nyari uang lagi, biar ada lebihnya lagi. "Ayo Dong, Sis. Jangan tunda tunda rezeki kami. Kamu kan mau bagi bagi sembako. Kenapa gak langsung di segerakan aja bagi baginya. Dosa loh, kalau kamu nunda nunda apa yang
Ya ampun! Duniaku terasa berbunga saat kulihat wajah Angga memerah karena cemburu. Ada untungnya juga, aku ketemu dengan Andi, teman saat aku sekolah dulu. Ya, aku tau kalau dari dulu itu, Andi suka padaku. Namun, entah kenapa, dari dulu pula hingga sekarang, aku tak pernah memiliki perasaan yang serupa dengan Aldi. Bukan karena Aldi tidak tampan dan menarik. Bukan karena dia juga tak baik. Tapi, karena hati ini yang tak pernah bisa memiliki perasaan yang sama dengan Aldi. Hingga, hanya sebatas teman, yang bisa aku sematkan dalam hubungan kami berdua. Lama tak jumpa, ternyata kami di pertemukan kembali dengan aku yang sudah memiliki calon suami. Dulu, aku memilih menikah dengan temannya. Dan sekarang? Hatiku pun telah terpaut pada yang lain. Mungkin, hatiku dan hatinya yang tak bisa menyatu. Hingga kata 'teman' yang lebih cocok untuk kita sandang dalam hubungan ini. "Bilang cemburu aja kok s
POV Angga.Dia. Ya, dia. Siska orangnya. Sosok cantik yang tak pernah kuduga akan membuatku jatuh cinta dalam waktu sekejap mata itu, kini tengah menahan lengaku. Menghentikan langkah, agar aku tak pergi dari hadapannya."Mas beneran mau nemuin si mbak Wati itu?" tanyanya merengut. Aku tau dia kesal. Tapi, apakah Siska berpikir, jika aku akan benar benar pergi meninggalkan dirinya di sini dan menemui mbak mbak tadi?Tidak! Aku hanya bercanda saja. Lagi pula, aku tak tau dia itu siapa. Mbak Wati atau mbak mbak? Terserah siapa namanya. Karena yang membuatku berada di sini, adalah Siska. Bukan mbak Wati.Masih kuingat dengan betul, bagaimana sikap mbak-mbak bernama Mbak Wati itu. "Mas, Mas?" Tangannya menepuk nepuk bahuku beberapa kali seraya memanggil. Aku yang terkejut, langsung berbalik badan, dan mendapati seorang wanita tengah menatapku dengan pandangan genit."Mas cari siapa toh?" tanyanya.
"Mas Angga." Aku berteriak memanggil namanya dan memukul pundaknya beberapa kali karena terkejut.Angga menoleh. Ia menebarkan senyum yang langsung menular padaku. Seperti virus cintanya yang kini tumbuh di hatiku. Seperti itu pula, senyum hadir di bibirku."Kok, Mas tau aku ada di pasar?" tanyaku antusias. "Sejak kapan, Mas jadi tukang ojek gini?""Emh, saya harus jawab yang mana dulu nih?" tanyanya seraya menoleh. Senyum tipis itu terlihat sedikit menggoda iman dan mata. Ya Allah, ampuni hamba. Mata ini gak bisa berhenti buat natap dia."Yang mana aja, deh. Yang penting semuanya di jawab," jawabku cepat."Hem, oke. Yang pertama, saya tau kamu ada di pasar, karena saya tadi ke rumah kamu. Ternyata kamu gak ada. Saya tanya lah sama tetangga kamu. Kebetulan--""Tunggu, tunggu!" Ku hentikan penjelasannya, karena ada yang menarik di akhir kalimat. Tetangga?"Tetangga, Mas?" tanyaku de
Suasana pasar hari ini begitu panas. Pas sama otak aku yang baru aja panas, karena nyinyirannya si mbak Wati. Padahal, waktu baru aja menunjukkan pukul delapan pagi. Tapi, sudah seperti tengah hari aja. Dan ini semua, tentu aja gara gara si mbak Wati."Eh, Neng Siska. Pasti mau belanja sayuran sama daging ya?" Baru aja aku sampai di jongko pedagang langgananku, aku sudah di tanyain ini itu. Ku coba melengkungkan bibir, membuat senyuman yang sedari tadi hilang, karena mood yang tiba tiba aja anjlok ke dasar sungai. Loh, kenapa sungai? Ya, kalau lautan, terlalu dalam. Aku gak sekesal itu juga kali."Ya ampun, Neng. Pagi pagi di kasih senyuman, langsung seger ini badan. Apalagi mata." Si Abang sayur yang usianya udah lanjut itu masih sempatnya menggoda. Untung aja, godaannya itu cuman sebatas candaan aja. Hingga, aku merasa biasa aja dan menanggapinya terlalu serius."Eh, si Abah bisa aja. Abah, makin lama juga makin tu