Share

4. Mulut tetangga. Eh, siapa dia?

~Abang pilih yang mana? Perawan atau janda? Perawan memang menawan. janda lebih menggoda.~

Lantunan lagu dangdut yang pernah nge-hits pada masanya sedang berdendang di sebuah kotak musik yang sudah lama sekali aku gunakan bersama mendiang suamiku dulu. Tak ayal lagu itu membuat aku pun langsung mengikuti alunannya. Bahkan untuk sesaat, aku juga rindu pada mendiang suamiku itu.

Hemm... lagunya emang cocok banget sama status aku saat ini.

Hihihi.

Aku terkikik dengan ucapanku sendiri. Karena faktanya memang seperti itu. Janda seperti aku ini memang jauh lebih menggoda daripada seorang perawan. Hingga pantas saja jika si Mas Jaka buncit itu sampai tergila-gila kepadaku dan ingin menjadikanku sebagai istri keempatnya. Bahkan, bukan hanya si mas Jaka buncit itu saja yang tergila gila padaku, tapi masih banyak pria yang lainnya juga. Termasuk, seorang tukang sayur yang sudah menjadi langganan ku sejak masih bersuamikan mendiang suamiku dulu.

"Yuuuurrrrr, sayuuuuur!"

Nah, pucuk dicinta ulam pun tiba. Sedang teringat oleh tukang sayur langganan yang tergila-gila kepadaku, tiba tiba saja tukang sayur itu mengeluarkan suaranya untuk memanggil para pelanggan yang telah menjadi langganannya.

Suaranya yang khas dan keras, membuatku langsung tancap gas untuk mendekat ke arahnya.

Kebetulan sekali, bahan masakan sudah mau habis semua. Kalau ke pasar, malas kali rasanya aku ini. Mending cari yang dekat aja. Dan kebetulan sekali, kang sayur sudah ada di depan rumah tetangga.

"Kang, kang sayur," panggilku seraya melambaikan sebelah tangan agar si Akang sayur itu mendekat ke arah rumahku. Namun sayang, kang sayur sudah banyak yang mengelilingi. Hingga, akulah yang harus mengalah untuk mendekat ke arahnya.

"Eh, Neng Siska. Maaf ya, kang sayur gak bisa nyamperin. Maklum, kalau orang ganteng kayak kang sayur ini, cewek cewek dari yang gadis, emak emak sampai janda, suka banyak yang ngerubunin," katanya sambil cengengesan.

Tak ayal, hal itu mengundang para emak emak untuk menyorakinya.

"Huuuu!"

"Kita ngerubunin Kang Sayur itu, bukan karena demen. Apalagi kesemsem. Plusnya lagi, bukan karena situ ganteng. Idih, amit amit deh. Tapi karena mau beli sayurnya," kata Mak Sukma yang berucap sambil memilah milih sayuran di hadapannya. Ia tetangga yang tak pernah julid pada statusku yang seorang janda.

"Iya nih. Kang Sayur satu ini, pedenya minta ampun!" tanggap yang lainnya dengan tangan yang terus memilah dan memilih bahan masakan di depan mereka.

"Ya ampun! Pada sensi sensi amat ya, ini emak emak. Masih pagi juga. Lagian, kalau di iyain juga gak papa kali -- Eh, sampe lupa! Neng Siska mau belanja apa? Kebetulan semua belanjaan, sayuran, daging, ikan, kacang-kacangan, lalap-lalapan, tahu sama tempe juga lengkap semuanya. Jengkol sama Pete pun juga ada. Kiranya, neng Siska ini mau belanja apakah untuk dimasak hari ini?"

Kang Sayur itu menghentikan ucapannya kepada emak-emak yang tengah memilah-milih bahan masakan untuk pagi ini, atau mungkin juga untuk siang nanti. Lalu menatapku sambil menawariku ini dan itu. Sangat ramah sekali, sama seperti biasanya.

"Apa ya? Bingung nih mau masak apa buat sarapan," kataku menanggapi.

"Ya elah. Pake bingung segala. Kamu kan cuma sendiri. Gak ada suami apalagi anak. Masa masak buat sendiri aja pakai acara ngomong bingung segala. Basi!"

Aku melirik tajam ke arah sumber suara yang begitu sumbang Aku dengar di telinga. Ucapannya sih kalem. Tapi, begitu menusuk isi perkataannya tersebut.

Ialah si Jumi, alias Juminten. Mantan janda juga, yang kebetulan sudah dapat pengganti. Alias juga udah kawin lagi. Salah satu orang yang menganggap aku adalah saingannya. Sama sama janda, tapi sekarang ia sudah kembali berumah tangga. Sedang aku?

Huh! Ada masalah apa sih, dia sama ku? Namun, untungnya aku-- aku masih bisa menahan diri untuk tak terbawa emosi.

Masa sih, masih pagi begini mau perang adu mulut? Rasanya gak cocok banget!

"Iya nih. Masa sih, janda yang sendiri karena di tinggal pergi untuk selama lamanya itu bingung mau masak apa."

Haduh, haduh, haduh! Mulut emak emak yang lainnya malah ikut menanggapi.

"Emangnya ada larangannya ya, kalau janda yang sendiri gak boleh bingung mau masak apa? Terserah aku dong! Yang masak aku! Yang makan aku. Yang cari uangnya pun aku. Lalu, apa hak kalian komen komen hidup aku," kataku acuh sambil melihat daging dan ikan.

Kulihat wajahnya masam. Bahkan, bibirnya ikut mencebik. Mungkin, tak suka dengan caraku membalas perkataannya.

Lagian, siapa suruh julid duluan? Kelen pikir, aku ini bakalan diam aja kayak di sineron ikan cupang?

Enggak lah yau!

Aku ini Siska. Janda menggoda yang tak kenal kata lemah!

Wush!

Angin pagi menerpa wajah dan rambutku yang sembriwing, hingga tertiup dan mengenai wajah Kang sayur.

Haduh!

Pasti aroma sampo dari rambutku langsung tercium olehnya.

Rugi, rugi!

Dan benar saja, kulihat mata kang sayur yang tak pernah ku ketahui namanya itu merem melek seperti merasakan sesuatu yang menyenangkan.

Idih!

"Ngapain merem melek?!" tanyaku ketus.

"Eh, eng, enggak," jawab kang Sayur dengan sedikit terbata. Lagi lagi, dia cengengesan.

"Eh iya, Sis. Mumpung kamu masih jadi janda, gimana kalau kamu nikah sama Dia aja."

Seseorang berujar. Dia Mbak Wati. Tetangga sebelah rumahku. Eh, maksudku rumah kontrakanku yang super duper julid. Lebih julid daripada si Jumi, alias Juminten. Hobinya ngejulidin para tetangga, terutama aku. Sifatnya ini sebelas dua belas dengan si Jumi. 

Nyebelin, suka bikin emosi. Plus darah tinggi.

Mata ini melirik ke sebelah. Tampak dia biasa aja dengan sikapnya. Tak merasa bersalah apalagi berdosa karena telah berkata yang membuatku naik darah.

"Loh, Mbak Wati kan juga janda. Kenapa gak Mbak Wati aja yang nikahin kang Sayur nya? Sama sama sendiri 'kan? Jadi cocoklah. Kenapa malah mau jodohin aku segala. Maaf ya, gini gini, Siska udah ada yang punya," kataku membalas tak mau kalah.

Dan lihat wajahnya Mbak Wati sekarang! Wajahnya memerah. Mungkin dia marah.

Ah, bodo amat dah!

"Kok malah aku sih? Aku kan yang nawarin kamu, bukannya terima kasih, malah nyuruh aku sama dia," katanya bersungut sambil menunjuk wajah si kang Sayur yang sedang cengengesan lagi.

Bingung deh aku sama dia. Tiap kali lihat, pasti lagi cengengesan. Kayak gak ada kerjaan atau ekspresi lain yang bisa di tunjukkan aja.

"Aku mana mau sama dia," lanjut Mbak Wati yang ternyata belum usai.

"Nah, itu gak mau! Jadi, gak osah nyuruh nyuruh atau jodohin aku segala. Situ aja aku jodohin gak mau, apalagi aku," sungutku merasa sedikit puas.

"Udah udah. Kalian kenapa sih? Kok malah ngeributin Akang. Kalau kalian mau jadi saudara, akang siap kok buat bikin kalian berdua jadi saudara. Nanti, Akang nikahin kalian satu satu. Jadi, dua duanya bisa dapetin akang. Gimana? Adil bukan? Jadi Kelen gak usah ributin soal akang lagi, ya? Malu sama yang lain."

Aku dan Mbak Wati saling lirik dengan wajah melongo. Apa kata kang Sayur barusan, katanya?

Mau jadiin kami saudara? Jadi istri pertama sama kedua maksudnya?

Oh, no!

"Enak aja. Kita itu berebut gak mau jadi istri kamu, tau! Bukannya pengen jadi istri kamu! Ngawur aja!" sungut Mbak Wati. Kangkung di tangannya ia lempar pada wajah si kang Sayur. Namun, karena si kang Sayur itu cekatan, maka kangkung yang di lempar mbak Wati pun sampai tak kena ke arah wajahnya. Tapi ke tangannya.

"Hati hati dong, Mbak Wati sang pemuja hati ini. Nanti, kalau kangkungnya kena ke muka akang, Gimana? Mau tanggung jawab buat bersihin muka akang yang kena kangkung itu?"

Aku bergidik ngeri. Bisa bisanya dari dulu aku langganan sama si kang Sayur yang satu ini. Sudah pedenya minta ampun, tak pernah sadar kalau ucapannya itu seringkali bikin orang jadi geli.

"Dih, siapa yang pemuja hati kamu? Enggak ya! Aku tuh pemuja orang ganteng. Bukan orang kaya kamu. Enak aja!" tolak mbak Wati kesal.

Rasain! Siapa suruh ngerjain aku duluan. Jadi, di kerjain balik sama si kang Sayur kan?

"Tuh kan? Neng Siska jadi bengong. Pasti nih, pasti. Neng Siska pasti cemburu kan sama akang yang lebih banyak bicara sama mbak Wati?"

Lagi lagi aku di buat melotot oleh perkataan dari si kang Sayur. Bisa bisanya aku diam malah di bilang cemburu.

Haduh Gusti, ini mah! Pedenya level tertinggi.

"Udah ah, Siska gak jadi beli di Kang Sayur. Siska Nunggu kang sayur lain yang lewat aja," kataku sambil menyimpan kembali sayuran apa yang sudah aku ambil tadi.

"Eh, eh, eh ... kok gitu sih, Neng Siska? Jangan cemburuan gitu dong, Neng. Akang kan barusan cuma bercanda aja. Kok diambil hati segala sih. Cinta akang sayur kan cuma buat Neng Siska seorang. Mbak Wati mah lewat," ujarnya semakin membuatku geli.

Mungkin, niatnya ingin menghentikan aku yang hendak pergi. Namun, justru ucapannya semakin membuatku ingin segera pergi dari hadapannya.

"Au ah, gelap!" balasku sembari berbalik badan, ingin segera pergi dari hadapannya dan tetanggaku yang kebanyakan sesama janda.

Biarlah aku di gosipin mereka karena tak jadi beli sayuran, hari ini. Namun, namun--

"Aw .... " teriakku.

Aku menabrak tubuh seseorang saat berbalik badan. Tubuhku nyaris jatuh, jika saja orang yang tak sengaja aku tubrak tubuhnya itu tak memegangi pinggangku.

Ada yang aneh. Mataku yang sudah kubuat melotot untuk menakuti orang yang tak sengaja aku tubrak itu, tiba tiba saja tak bisa berkedip. Mulutku yang juga masih menganga pun tak bisa tertutup dengan sempurna.

Oh, ada apa dengan beberapa anggota tubuhku ini?

Aku seakan tengah terhipnotis dengan ciptaan Tuhan yang tiada tandingannya ini.

"Mbak, Mbak? Mbaknya gak papa?" tanya seseorang membuat mataku mengerjap.

"Eh." Aku terkejut. Refleks, segera aku sudahi adegan ini. Kalau tadi ada adegan drama ikan cupang, sekarang giliran drama koreyah. Adegan di mana sang wanita yang akan jatuh itu dengan tak sengaja tertangkap oleh sang pria. Walau sebenarnya, aku masih ngarep berlama-lama dengan adegan ini.

"Mbaknya gak papa kak?" tanyanya. Pertanyaan yang sama, yang bahkan belum sempat aku jawab. Karena aku terlalu terpesona dengan ciptaan Tuhan yang satu ini.

Emak! Tolong Siska! Kayaknya, Siska jatuh cinta deh sama pandangan pertama. 

Omay aw!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status