Lelah rasanya. Adu mulut terjadi antara aku dan juga kedua istri dari Mas Jaka. Mereka berdua mengatai aku yang tidak tidak. Mulai dari janda gatel, sampai janda kurang belaian. Kurang kerjaan. Padahal, mereka pasti malu tuh, mengakui aku sebagai seorang janda idaman. Buktinya, suami mereka terpikat dengan pesonaku.
Bukan salahku bukan, jika aku menjadi seorang yang di idamkan sebagai seorang wanita?Beruntung, istri pertama si Mas Jaka itu datang saat adu mulut antara kami bertiga sedang sengit sengitnya."Kalian itu ngapain di sini malam malam? Mbak kan udah bilang, yang genit itu suami kita, bukan Neng Siska. Masih aja ngeyel mau labrak Neng Siska. Bener bener kalian berdua ini." Istri pertama mas Jaka geleng-geleng kepala saat mengetahui tingkah dari kedua adik madunya.Nah, ini nih yang bener. Bukan aku yang menggoda suami mereka. Justru, suami merekalah yang secara terang-terangan menggodaku dengan sikapnya yang genit."Kami kan cuma mau memberi peringatan aja buat si janda gatel ini, Mbak. Biar dia gak godain laki kita."Mendengar tuduhannya, bibirku terangkat sebelah ke atas sambil menampilkan ekspresi tak senang. Si Dewi ini. Apa apaan sih? Menuduh orang seenak jidatnya sendiri."Jangan sembarangan ya, Kamu!" Aku gak terima. Kutunjuk wajahnya sambil bersuara garang."Memang itu kenyataannya kan?!" Dia masih menuduhku dengan tak mau kalah.Hah! Bisa bisa aku naik darah kalau terus menerus berhadapan dengannya. Frustasi kan aku jadinya!"Diam kamu, Dik. Kamu kayak nggak tahu aja bagaimana kelakuan suami kita. Memang dasarnya aja suami kita yang genit. Kok kamu malah nyalahin Neng Siska sih."Merasa di bela aku. Istri pertama dari si Mas Jaka buncit itu memang jauh berbeda sekali dengan kedua istri yang lainnya. sifat dan tingkahnya 180 derajat berbanding terbalik dengan mereka berdua yang songong itu.Jadi Herman deh aku. Eh, maksudnya heran deh aku. Kok bisa ya, istri yang baik dan Solehah kayak istri pertamanya si Mas Jaka buncit itu malah di selingkuhi.Dasar laki laki emang gak tau bersyukur. Di kasih yang bening, masih aja cari yang kinclong. Dapetnya malah yang keruh kan?Ya, kayak si Mbak Dewi dan istri keduanya itu."Tuh, dengerin tuh Apa kata dari kakak madu kalian. Bukan aku yang menggoda suami kalian bertiga. Tapi, suami kalian yang menggodaku. Enak aja, datang langsung marah-marah. Kalian pikir aku ini apa, hah?!"Aku bersungut-sungut marah."Kamu!""Sudah Dewi, ayo pulang!"Baru juga Dewi itu menunjuk wajahku dengan jari telunjuknya. Kakak madunya itu sudah menghentikan ucapannya dengan nada tak senang. Sontak saja langsung membuat Dewi gelagapan dan menghentikan ucapannya dengan terpaksa."Tapi kan Mbak...." Si Dewi malah merengek. Dikira kakak madunya itu akan luluh apa?Kita lihat."Mbak..."Dewi merengek terus. Namun, segera di tahan oleh kakak madunya, agar rengekan itu usai sudah sampai di sana."Pulang! Atau kalian berdua rasakan akibatnya. Jangan sepelekan status Mbak yang menjadi istri pertama dari suami kalian ya!"Waw. Tercengang aku! Istri pertama dari si Mas Jaka ini benar-benar mempunyai kekuatan yang luar biasa. ucapannya mampu membuat kedua adik madunya langsung terdiam membisu walau dengan wajah kesal yang begitu terlihat jelas di tampakkan oleh mereka."Maaf ya, Neng Siska. Maaf atas kesalahpahaman ini. Mbak gak sengaja bilang di depan mereka. Eh, mereka malah main labrak aja ke sini, tanpa tahu kejadian yang sebenarnya."Demi apa? wanita cantik yang menjadi istri pertama dari Si Mas Jaka ini meminta maaf kepadaku atas kesalahan yang tidak pernah ia perbuat sama sekali. apakah aku sedang bermimpi?Oh, tentu saja tidak. Karena beberapa kali kutepuk pipiku dan rasanya cukup sakit. Berarti Aku sedang dalam keadaan dan kondisi yang sadar. tidak sedang bermimpi apalagi berhalusinasi."Neng, kok malah bengong?" tanyanya yang mungkin heran karena aku malah terdiam."Oh, iya. Gak papa Mbak. Aku mah udah biasa di gituin." Akhirnya, aku membalas juga perkataannya. walau dengan sedikit kaku karena aku terpana dengan semua tingkah lakunya yang manis dan dewasa secara bersama.Dia tersenyum ke arahku. "Kalau begitu, Mbak pamit ya? Sekali lagi Maafkan kehadiran mereka yang tidak disangka itu. Mereka marah suaminya di goda oleh wanita lain. Tak sadar diri, mereka bahkan sudah melakukannya pada saya."Hihihi!Aku tertawa puas. Bukan karena puas menertawakan hal yang terjadi pada istri pertamanya Mas Jaka buncit. Tapi, puas karena melihat kedua istri mas Jaka buncit lainnya yang kini telah berwajah pias.***Keadaan rumah sudah tenang. Bebas dari para pengganggu yang selalu mengganggu. Namun, rasa lelah dan juga kantuk yang tadi menyerbu, kini telah hilang Mbak ditelan oleh keheningan malam yang berganti menyerbu.Ke mana perginya ngantuk itu? Aku mencari-carinya. Tapi, sampai aku lelah tidak ketemu juga apa yang aku cari."Gara gara mereka, aku jadi hilang kantuk."Aku beringsut keatas sofa. Membaringkan diri di sana sambil menatap layar ponsel. Sepertinya, aku tak akan cepat tidur malam ini, karena tidurku sudah terganggu.Menyebalkan bukan?!'Ting!'Tiba tiba saja gawaiku mengeluarkan suara seperti Abang bakso yang memukul pelan mangkuk dengan sendok di tangannya.Sebuah pesan masuk. Lantas dengan segera aku membukanya.[Neng, mau gak jadi istri keempat Mas Jaka?"]'Uhuk! Uhuk!'Aku tersedak karena pesan masuk dari nomor tak di kenal yang ternyata adalah nomornya si Mas Jaka buncit.Dasar buncit! Sudah punya tiga istri, masih aja godain janda kayak aku.Susah memang kalau menjadi seorang janda dengan paras yang menarik, mempesona dan masih muda.Kuabaikan pesan masuk darinya yang bertanya dengan tidak sopannya. Namun tiba tiba--[Kok cuma di baca aja si Neng? Jawab dong? Mas Jaka Nanya nih. Mau kan jadi istri keempatnya mas Jaka?]Dih, ini laki, nanya apa maksa?Ingin sekali kubilang, kamu nanyeaa? Biar dia kesel sekalian.Tapi, aku males ngetik ah.[Kalau mau, Mas Jaka kasih mahar uang lima ratus juta. Mau ya?]Mulutku menganga membaca pesannya.[Mas Jaka tambahin deh, sama satu rumah mewah, biar Neng Siska gak usah ngontrak lagi.]Pesan masuk itu datang secara beruntun. Aku baca satu persatu. Mual juga ternyata. Tapi, tawarannya itu begitu menggiurkan.Wah, gimana dong? Si Mas Jaka buncit ini sudah merencanakan semuanya ternyata. Niat sekali dia berusaha. Dasar orang kaya raya!Mahar lima ratus juta, di tambah dengan satu rumah mewah. Ah, membayangkannya aja aku ngiler. Apalagi kalau dapat beneran. Pasti aku kebelinger.[Cuma di baca doang. Mau gak? Kalau kurang, Mas Jaka tambahin sama satu buah mobil. Biar kalau Neng Siska mau ke mana-mana, Neng Siska bisa adem perginya.]Waw, tawarannya nambah lagi. Sangat menggiurkan sekali bestie.[Mas Jaka janji deh, kalau Neng Siska mau jadi istri keempat Mas Jaka-- Mas Jaka bakalan paling sayang sama Neng Siska.]Setelah semua pesan masuk kubuka. Gegas, aku segera membalasnya. Tak mau aku menyia-nyiakan kesempatan."Maaf ya, Mas Jaka buncit. Siska balasnya lama," kataku sambil menulis apa yang ingin aku sampaikan pada pria buncit itu. Sebelum kukirim pesan itu, kutambah pesan dengan emoticon wajah tersenyum manis dengan rona di pipi.[Gak papa Neng Siska, Mas Jaka selalu sabar menunggu kok. Jadi gimana?.Neng Siska mau kan jadi istri keempatnya Mas Jaka? Pasti mau 'kan? Secara, Kang Mas Jaka ini kan ganteng dan kaya raya. Jadi, wanita manapun akan senantiasa mengharapkan pinangan dari Mas Jaka yang ganteng ini.]Uwek!Ingin aku muntah membaca deretan pesan itu. Sudahlah genit, percaya dirinya itu loh... bikin kesel seantero janda.[Balas dong. Jadi gimana, mau kan neng Siska jadi istri keempatnya Mas Jaka? Ini kesempatan terakhir loh... Cuma satu kali lagi mas Jaka bisa nikah. Dan neng Siska lah orang beruntung yang akan menjadi istri keempatnya Mas Jaka.]Onde manday... Kesempatan terakhir katanya?[Ayo dong, Neng Siska. Balas pesan dari mas Jaka. Apa mahar dari mas Jaka masih kurang? Kalau iya, biar mas Jaka tambahin maharnya, biar Neng Siska senang.]Asyem!Pesan masuk itu terus bermunculan. Membuat aku jadi bingung ingin membalasnya seperti apa. Kalau aku tolak tawaran itu, aku bisa kehilangan kesempatan emas mendapatkan mahar dengan jumlah dan nominal yang fantastis. Tapi, tapi... Kalau aku harus menikah dengannya...Ah, rasanya aku tidak sanggup. Sudahlah dia jelek, genit. Banyak istrinya pula.Apa aku bisa tahan?Huh, rasanya tidak!Apalagi kalau aku mengingat Bagaimana perangai dari istri kedua dan juga ketiga dari si Mas Jaka buncit itu, sudah pasti setiap hari aku akan adu jotos dengan mereka berdua.Tidak mau!Lagipula, aku juga tidak tega dengan istri pertamanya Mas Jaka buncit yang begitu baik.Masa sih, sudah bersikap baik kepadaku. Tapi malah aku balas dengan sebuah penghianatan yaitu dengan menikahi suaminya dan menjadi istri keempat, sekaligus madu muda untuknya.Tidak! Tidak! Tidak!Aku tak mau!"Aaakh!" Aku berteriak. Stres sendiri memikirkannya.Aku tidak akan Setega itu BESTie.[Maaf ya, Mas Jaka. Kayaknya, Siska gak tertarik deh, buat jadi istri keempatnya Mas Jaka. Siska nyerah sebelum mulai.]Kubalas pesan dari mas Jaka buncit dengan penolakan langsung, tanpa basa basi. Aku harap, setelah ini ia tak akan menerorku terus menerus dengan mengajakku untuk kaweeen dan menjadikan aku istri keempatnya.Ting! Ting! Ting!Cepat sekali membalasnya. Baru juga aku kirim pesannya. Si Mas Jaka buncit itu sudah kembali mengirimi aku pesan.[Loh, kok gitu?][Emangnya udah di pikirin baik-baik, tawarannya Mas Jaka?][Mas Jaka kasih kesempatan deh. Yakin mau nolak?][Nanti nyesel loh ... Nolak lamaran dari orang ganteng plus kaya raya kayak mas Jaka ini.]Huwek!Sekali lagi aku ingin muntah membaca pesan darinya. Pedenya itu loh, tingkat Dewa kematian BESTie.Herman deh, udah dikelilingi sama satu permaisuri dan dua selir, masih aja kurang. Dan malah mau menjadikan aku selir ketiganya.Tidak!!!Lagian, dari mana juga sih dia ini bisa tahu nomorku?Asyem tenan yang ngasih tau!Hah! Lelah juga ternyata meladeni laki laki yang gak pernah puas dengan satu wanita itu. Aku abaikan aja semua pesan yang terus menerus masuk ke ponselku.Bunyi tang Ting, terus terngiang. Tapi aku tetap pada pendirian. Aku abaikan itu semua dan mulai masuk ke dalam dunia mimpi yang semoga saja aku bisa bermimpi bersanding dengan seorang pangeran, bukannya badut, kayak si mas Jaka buncit."Hah, hih, huh! Hah, hih, huh!" Suara deru napasku yang ngos ngosan. Persis kayak orang bengek dapat kabar yang kurang menyenangkan, alias kurang membahagiakan. Seperti itulah aku sekarang. Dengan kebaya putih yang membungkus tubuh bohai ku, aku berlari secepat dan sekuat yang aku bisa. Menengok ke kiri dan ke kanan. Tak lupa juga ke belakang, semoga aja, para pengejar itu tak bisa mengejarku, yang sudah berlari secepat kilat. Mengalahkan cepatnya kereta api yang belum lewat. Namun, namun--"Nah! Ketemu kamu!"Hah, aku terkejut! Baru juga mau berenti ini ngos ngosan, udah Dateng aja yang ngejar. Mana kedua tanganku kini di cekal mereka lagi.Asyem se asyem-asyemnya! Aku ketangkap! Mana tanganku sakit lagi!"Ampun Bang Abang. Siska jangan di bawa ke tempat itu lagi, ya?" pintaku memohon dengan segenap jiwa dan raga. Bahkan aku sampai memasang wajah memelas, sememelas mungkin agar mereka mau menuruti keinginanku. Yaitu, melepaskan aku."Enak aja! Gak bisa ya? Emang, Neng Siska mampu
~Abang pilih yang mana? Perawan atau janda? Perawan memang menawan. janda lebih menggoda.~Lantunan lagu dangdut yang pernah nge-hits pada masanya sedang berdendang di sebuah kotak musik yang sudah lama sekali aku gunakan bersama mendiang suamiku dulu. Tak ayal lagu itu membuat aku pun langsung mengikuti alunannya. Bahkan untuk sesaat, aku juga rindu pada mendiang suamiku itu.Hemm... lagunya emang cocok banget sama status aku saat ini. Hihihi. Aku terkikik dengan ucapanku sendiri. Karena faktanya memang seperti itu. Janda seperti aku ini memang jauh lebih menggoda daripada seorang perawan. Hingga pantas saja jika si Mas Jaka buncit itu sampai tergila-gila kepadaku dan ingin menjadikanku sebagai istri keempatnya. Bahkan, bukan hanya si mas Jaka buncit itu saja yang tergila gila padaku, tapi masih banyak pria yang lainnya juga. Termasuk, seorang tukang sayur yang sudah menjadi langganan ku sejak masih bersuamikan mendiang suamiku dulu."Yuuuurrrrr, sayuuuuur!"Nah, pucuk dicinta ulam
"Aduh, maaf ya! Sibuk banget sampai nggak lihat jalan." Aku berkata entah apa. Kenapa ya, kok jadi gak nyambung gini sih. Haduh!Aku menggeleng pelan, beberapa kali."Tidak apa-apa. Mbaknya baik-baik saja?" Oh, my!Mbak? Dia panggil aku, Mbak? Emang muka aku setua itu kah?"Eh, aku gak papa kok! Oh iya. Panggil aku Siska. Jangan mbak. Aku belum tua loh!" kataku sedikit tak suka. Lihat-lihat. Pemuda yang belum aku ketahui namanya itu malah tersenyum. Dan ah, senyumnya bukan bikin sehat, malah bikin aku diabetes. Ya Tuhan ... sehatkan aku, supaya aku bisa deket-deket terus sama pemuda yang tak hamba ketahui namanya itu."Mbak?" panggilnya padaku. aku terkesiap. Namun, belum mampu aku jawab."Kok malah diem aja. Mbak gak papa 'kan mbak? Saya jadi gak enak, karena udah nabrak mbaknya. Eh, maksud saya ... Siska.""Wah, kamu ganteng sekali! Ehm, iya, aku baik-baik aja. Aduh, ngomong apaan ya, aku?Tapi, terima kasih sudah bertanya."Huh! bodoh, bodoh, bodoh! Pake acara keceplosan segala l
Aku tuh awalnya kaya di film romantis gitu deh, pas liat mata cokelat seksi milik Reyhan. Jantungku berdegup kenceng abis, kaya kucing lagi liat ikan gitu. Terus si Reyhan malah senyum, lihat aku yang lagi masam mesem gak jelas.Tangannya yang oh may may itu menjinjing belanjaanku, karena si kang sayur gak mau kalau aku pergi tanpa berbelanja terlebih dulu sama dia. Katanya sih, "pedekate sama orang lain, boleh. Lupain cinta Akang buat Neng Siska, juga boleh. Tapi, kalau mau cari yang baru, belanju dulu atuh. Jangan bikin kang sayur yang lagi patah hati karena neng Siska dah punya pengganti itu, gak jadi belanja di sini. Makin patah hati lah akang ini dibuat Neng Siska."Jadilah, mau tak mau, aku harus berbelanja di sana. Ayam sama daging, menjadi pilihanku. Tak lupa dengan bumbunya sekalian. Tambah buah jeruk deh sekilo. Jadi belanjaanku cukup banyak. Tapi, kayaknya kurang kalau makan tanpa sambal dan lalapan. Cuaca kuperkirakan bakalan panas. Kayaknya, makan yang pedes pedes enak t
Perjalanan menuju Gang Soang, untuk mencari seorang tunangan yang hilang, tetap aku lanjutkan. Walau dengan hati yang galau dan merana, aku tetap bertekad untuk membantu Reyhan. Tak akan aku biarkan Reyhan tahu kalau aku sedang galau karena sudah dengan cepat mengharap cintanya. Oh, Tuhan ... kenapa Engkau hukum Siska dengan jatuh cinta secepat kilat kepada Reyhan ini?"Masih jauh ya?" tanya Reyhan secara tiba tiba. Mungkin dia bosan karena sedari tadi aku hanya diam dan membiarkan mulutku ini bungkam dari ocehan."Bentar lagi." Aku menjawab sekenanya. Karena memang, Gang Soang sebentar lagi akan dijumpai."Neng Siska?" Seseorang memanggil. Aku menoleh sinis. Dari suaranya saja, aku sudah tahu bin hapal, kalau itu adalah suaranya di mas Jaka buncit. Manusia badut yang hobinya kawin terus. Ialah si mas Jaka, pemeran antagonis yang semalam ada dalam mimpi burukku.Hii ... Mengingat kembali soal mimpi buruk semalam, rasanya aku pengen nendang dia saat ini juga.Huh! Dalam mimpi aja dia
Panas matahari yang terik, terasa membakar wajah ini. Tapi, tak sedikit pun menyurutkan niat dan tekadku untuk terus membantu si ganteng Reyhan buat cari tunangannya.Jadi, aku yang memang punya naluri detektif ala-ala Sherlock Holmes versi rempong ini, dengan semangat penuh aku siap membantu Reyhan mencari tunangannya yang ilang itu. Walau dengan taruhan hati aku yang terluka.Ce ileh!Langsung aja aku lirik si ganteng Reyhan, "Emh, Reyhan! Tenang aja, aku siap membantu kamu nyari tunangan kamu yang entah kemana itu. Kita bakal selidikin Gang Soang bareng-bareng!"Reyhan pun cuma bisa jawab, "Aduh, terima kasih ya, Sis! Aku bener-bener gak tahu harus ngapain lagi.""Ya bantu cari lah! Emang mau ngapain lagi?!" sahutku membalas ucapannya.Laki laki tampan itu tergelak karena mendengar ucapanku.Oh,tidak! Jaangan tergoda lagi dengan senyumnya yang menawan itu lagi, Siska! Move on!Banyak kok laki laki yang ngejar aku dari para pemuda alias berondong, hingga bapak bapak tua bangka. Sem
Greget greget gimana aku jadinya. Baru juga bertanya, seseorang sudah memanggil nama Reyhan dengan sangat kencangDan ... dugaanku benar!Si Naura Husada itu sedang berlari manja ke arah si Reyhan. Lalu tanpa aba aba, dia memeluk Reyhan tepat di hadapanku. Melupakan aku yang berada di samping tunangannya.Parahnya lagi, tunangannya itu adalah seorang laki laki yang langsung membuat aku jatuh hati saat pandangan pertama.Oh Tuhan ... kenapa dunia begitu kejam padaku?Sainganku yang sejak dulu selalu mendapatkan apa yang aku inginkan, kembali Engkau hadirkan lagi dalam hidupku.Ah, aku frustasi!"Aku kangen kamu," kata SI Klinik itu dengan nada suaranya yang manjalita.Uwek! Aku kok malah kepengen muntah jadinya.Denger si Klinik itu bilang kangen sama Reyhan, hati aku panas plus sebel juga,"Kamu gak papa 'kan Ra?" tanya Reyhan. Lelaki yang kusuka dalam pandangan pertama itu nampak sangat khawatir pada tungannya itu. Terlihat dari ekspresi wajah dan juga suaranya. Aku tahu dia begitu
Aku baru aja nyampe di depan rumah, setelah nyusuri jalan kampung sambil ngikutin jejak-jejak Naura. Tadi siang, aku udah keluarin semua kemampuan detektif dalam diri aku buat nemuin tunangan Reyhan yang katanya lari dari rumah karena sesuatu alasan yang belum aku ketahui. Aku berharap, aksiku bakal keren banget, dan ending-nya bakal jadi headliner di surat kabar.Tapi tau-tau, waktu aku liat wajah Naura yang secara tiba-tiba datang menghampiri Reyhan, reaksiku kayak dipukul badai. Ya ampun, ternyata dia yang dicari-cari sama aku dan Reyhan ini adalah mantan saingan aku sejak SMA. Dulu kami duet rivalitas banget, balapan jadi juara kelas. Dan sekarang, aku harus berhadapan dengan dia sebagai tunangan seseorang. What a twist!Aku cuman bisa bengong kayak patung, nggak bisa ngomong apa-apa. Naura cengar-cengir sambil nyamperin aku, "Hai, Siska! Lama nggak ketemu ya? Makin subur aja!"Aku akhirnya ngembaliin senyuman setengah hati, "Hai, Naura. Iya, lama banget. Kamu...kamu baik-baik aja?
"Gimana?" Satu kata terucap. Sebuah pertanyaan yang membuatku tak bisa berkata-kata, keluar dari mulut manis Angga.Walau aku belum pernah mencoba mulut itu. Eh, tapi aku yakin, mulutnya memang manis. Semanis kata katanya padaku. Dan sikapnya selama ini, tentu saja."Kenapa malah diam? Saya tanya loh. Gimana?" tanyanya lagi. Masih dengan pertanyaan yang sama."Gimana apanya Mas?" Bukannya menjawab. Eh, mulutku malah balik bertanya. Dasar Siska!Grogi kok bisa sampai kayak gini sih."Kok malah balik nanya sih? Saya kan yang nanya duluan sama kamu," katanya dengan kepala yang menggeleng ke kiri dan ke kanan. Aku menatapnya takjub. Cuman gelengin kepala aja, udah bisa bikin aku terpesona. Ganteng banget sih dia. Ya ampun! Pikiranku jadi ke mana mana. Apalagi kalau dia senyum coba. Pasti bakal langsung bikin aku hilang ingatan."Jangan kebanyakan mikirin yang enggak enggak. Kita belum
"Kamu baik bener sama Marni. Gak rugi Sis, nasi gorengnya kamu kasih gratis sama Marni?" tanya si Dudu saat Marni sudah melenggang pergi dari tempatku berjualan. Tanganku yang sedikit kotor, karena bumbu, segera ku bersihkan dengan lap yang biasa aku gunakan di tempat jualanku. Mengabaikan dulu pertanyaannya si Dudu. Masih tak mau menjawab, aku malah tersenyum sama si Dudu."Enggak lah, Du. Cuma satu bungkus doang kok. Masa sih aku rugi. Gak papa lah, kasian aku sama si Marni. Dia itu tetangga aku yang gak pernah ikut campur. Dia masa bodoh. Tapi, dia juga gak cuek, kalau aku ada masalah. Oh ya, aku yakin tuh, di balik sikapnya yang barusan bisa ketawa itu, dia sebenernya nyimpen luka buka si Marno.""Kamu bener, Sis. Kasian aku sama Marni. Dia kan cantik ya? Mukanya bening, walau dia cuma seorang babu. Gak kayak aku," kata Dudu yang membandingkan wajah Marni dengan wajahnya."Kamu juga cantik Du. Sayang aja, ka
Jajan tak jadi, yang ada keluar uang buat Mak Iroh.Huh! Si emak yang satu ini emang meresahkan! Padahal, tadi siang ia juga kebagian jatah bagi bagi uang dari Angga. Tapi, masih aja minjam sama aku. Aku sampai kehilangan nafsu makan, gara gara kelakuan Mak Iroh yang kembali kumat. Ku pikir, setelah lama Mak Iroh tak meminjam uang padaku, ia sudah tobat dan tak akan minjam minjam uang lagi. Tapi ternyata ... ah, sudahlah!Berbagai tipe tetangga, ada di lingkungan kontrakanku. Dari yang julid, yang mulutnya lemes, yang tukang nyebar berita palsu, sampai yang suka minjam uang, tapi jarang kembali pulang itu uang, semuanya ada di sini. Dan aku menjadi salah satu penghuni yang terbilang normal di sini. Karena aku bukan salah satu dari yang baru aja aku sebutkan."Wey, bengong aja, kayak ayam pengen kawin!"Kulirik wajah si Dudu sekilas. Lalu, kembali pada setelan awal.Aku tak berniat untuk terkejut. Apalagi samp
Barisan bubar setalah mereka mendapatkan apa yang sudah di janjikan oleh Mas Angga. Yaitu, duit. Mereka semua pulang dengann wajah senang, senyum senang dan mata berbinar. Gagal mendapatkan sembako, mereka pulang dengan membawa uang. Beruntung memang para tetanggaku ini. Uang mengalahkan segalanya. Bahkan, si Jumi yang biasanya suka ketus padaku, berubah bak ibu peri yang kapan saja siap untuk di mintai tolong."Kalau butuh apa apa, bilang aja sama aku. Aku siap bantu kamu, asal ada ininya." Itu kata si Jumi sebelum ia beranjak pergi dari teras rumahku. Jempol dan telunjuknya saling beradu. Aku tau apa maksudnya. Pasti ujung ujungnya duit lagi deh."Mas, harusnya gak usah sampai segitunya sama mereka. Nanti keenakan mereka. Harusnya kan yang kasiih mereka itu si Wati, bukannya Mas Angga," omelku saat semua barisan ibu ibu dan bapak bapak sudah menghilang bak di telan bumi. Hilang kare
Gusti! Aku terkejut bukan main. Gak ada angin, apalagi hujan, tiba tiba aja ini rumah di kerubunin para tetangga kontrakan, dari yang paling dekat hingga ke paling ujung, alias paling jauh, semuanya ada. Bukan tanpa alasan mereka mengerubungi rumah kontrakanku. Katanya, aku ada jadwal bagi bagi sembako hari ini. What! Siapa yang bilang dan nyebar fitnah kayak gitu tentangku? Aku kok gak merasa pernah bilang sama seseorang, apalagi orang orang, kalau aku mau bagi bagi sembako. Wong, aku juga masih kekurangan kok. Gimana ceritanya aku mau bagi bagi? Kalau aku ada uang lebih sih, aku juga mau bagi bagi. Tapi, uang lebihku kan sudah aku kasih sama si Dudu, buat biaya sunat adik bontotnya. Nanti malah, aku mau nyari uang lagi, biar ada lebihnya lagi. "Ayo Dong, Sis. Jangan tunda tunda rezeki kami. Kamu kan mau bagi bagi sembako. Kenapa gak langsung di segerakan aja bagi baginya. Dosa loh, kalau kamu nunda nunda apa yang
Ya ampun! Duniaku terasa berbunga saat kulihat wajah Angga memerah karena cemburu. Ada untungnya juga, aku ketemu dengan Andi, teman saat aku sekolah dulu. Ya, aku tau kalau dari dulu itu, Andi suka padaku. Namun, entah kenapa, dari dulu pula hingga sekarang, aku tak pernah memiliki perasaan yang serupa dengan Aldi. Bukan karena Aldi tidak tampan dan menarik. Bukan karena dia juga tak baik. Tapi, karena hati ini yang tak pernah bisa memiliki perasaan yang sama dengan Aldi. Hingga, hanya sebatas teman, yang bisa aku sematkan dalam hubungan kami berdua. Lama tak jumpa, ternyata kami di pertemukan kembali dengan aku yang sudah memiliki calon suami. Dulu, aku memilih menikah dengan temannya. Dan sekarang? Hatiku pun telah terpaut pada yang lain. Mungkin, hatiku dan hatinya yang tak bisa menyatu. Hingga kata 'teman' yang lebih cocok untuk kita sandang dalam hubungan ini. "Bilang cemburu aja kok s
POV Angga.Dia. Ya, dia. Siska orangnya. Sosok cantik yang tak pernah kuduga akan membuatku jatuh cinta dalam waktu sekejap mata itu, kini tengah menahan lengaku. Menghentikan langkah, agar aku tak pergi dari hadapannya."Mas beneran mau nemuin si mbak Wati itu?" tanyanya merengut. Aku tau dia kesal. Tapi, apakah Siska berpikir, jika aku akan benar benar pergi meninggalkan dirinya di sini dan menemui mbak mbak tadi?Tidak! Aku hanya bercanda saja. Lagi pula, aku tak tau dia itu siapa. Mbak Wati atau mbak mbak? Terserah siapa namanya. Karena yang membuatku berada di sini, adalah Siska. Bukan mbak Wati.Masih kuingat dengan betul, bagaimana sikap mbak-mbak bernama Mbak Wati itu. "Mas, Mas?" Tangannya menepuk nepuk bahuku beberapa kali seraya memanggil. Aku yang terkejut, langsung berbalik badan, dan mendapati seorang wanita tengah menatapku dengan pandangan genit."Mas cari siapa toh?" tanyanya.
"Mas Angga." Aku berteriak memanggil namanya dan memukul pundaknya beberapa kali karena terkejut.Angga menoleh. Ia menebarkan senyum yang langsung menular padaku. Seperti virus cintanya yang kini tumbuh di hatiku. Seperti itu pula, senyum hadir di bibirku."Kok, Mas tau aku ada di pasar?" tanyaku antusias. "Sejak kapan, Mas jadi tukang ojek gini?""Emh, saya harus jawab yang mana dulu nih?" tanyanya seraya menoleh. Senyum tipis itu terlihat sedikit menggoda iman dan mata. Ya Allah, ampuni hamba. Mata ini gak bisa berhenti buat natap dia."Yang mana aja, deh. Yang penting semuanya di jawab," jawabku cepat."Hem, oke. Yang pertama, saya tau kamu ada di pasar, karena saya tadi ke rumah kamu. Ternyata kamu gak ada. Saya tanya lah sama tetangga kamu. Kebetulan--""Tunggu, tunggu!" Ku hentikan penjelasannya, karena ada yang menarik di akhir kalimat. Tetangga?"Tetangga, Mas?" tanyaku de
Suasana pasar hari ini begitu panas. Pas sama otak aku yang baru aja panas, karena nyinyirannya si mbak Wati. Padahal, waktu baru aja menunjukkan pukul delapan pagi. Tapi, sudah seperti tengah hari aja. Dan ini semua, tentu aja gara gara si mbak Wati."Eh, Neng Siska. Pasti mau belanja sayuran sama daging ya?" Baru aja aku sampai di jongko pedagang langgananku, aku sudah di tanyain ini itu. Ku coba melengkungkan bibir, membuat senyuman yang sedari tadi hilang, karena mood yang tiba tiba aja anjlok ke dasar sungai. Loh, kenapa sungai? Ya, kalau lautan, terlalu dalam. Aku gak sekesal itu juga kali."Ya ampun, Neng. Pagi pagi di kasih senyuman, langsung seger ini badan. Apalagi mata." Si Abang sayur yang usianya udah lanjut itu masih sempatnya menggoda. Untung aja, godaannya itu cuman sebatas candaan aja. Hingga, aku merasa biasa aja dan menanggapinya terlalu serius."Eh, si Abah bisa aja. Abah, makin lama juga makin tu