Pukul tujuh pagi, suhu masih di kisaran minus lima derajat celcius. Jingga sudah berada di luar apartemen. Acara pembukaan program pertukaran budaya masih dua jam lagi. Dia sengaja keluar lebih awal sebelum berangkat ke kampus demi memotret suasana kota saat pagi, meski harus berjuang menahan dingin.
Jingga sibuk memutar lensa zoom dan menekan tombol shutter. Kemudian membidik sudut-sudut kota yang menurutnya menarik. Tanpa menyadari kalau aktivitasnya itu tengah diperhatikan oleh seseorang dari kejauhan.
Pria di atas motor sport hitam dengan wajah tertutup helm tersebut masih mengawasi Jingga, penasaran dengan gerak-gerik gadis asing itu. Kemudian terkesiap saat si gadis tiba-tiba menoleh dan mengarahkan lensa kamera kepadanya. Sebuah snapshoot yang begitu lancang dan seketika membuat pria itu berang.
Ia buru-buru menyalakan mesin motor dan melaju ke arah gadis berjilbab tersebut. Membuka helmnya dan berkata setengah menghardik, “Kemarikan kameramu!”
Jingga menurunkan kamera, tersenyum tipis dan menatap pria itu dengan ekspresi tak bersalah. “Maaf, ada perlu apa?”
“Masih bertanya? Kau mengambil gambarku tanpa izin. Kau tidak punya hak untuk itu. Dasar tidak sopan!”
“Oohh, yang tadi. Jhwesonghamnida (mohon maaf), saya tidak bermaksud mengganggu Anda,” sahut Jingga sopan seraya menundukkan badan. “Saya pikir tadi Anda minta difoto.”
Pria itu membelalakkan matanya. Geramnya tertahan. “Difoto?! Kau ini seorang pengarang cerita atau sedang mengigau?!”
“Ya, memang benar Anda tidak meminta secara verbal pada saya. Namun dari gerak-gerik Anda yang mengawasi saya tadi, wajar kalau saya menduga Anda ingin sekali difoto.”
“Ingin sekali?!” Suara si pria semakin meninggi. Ia tak habis pikir dengan sikap gadis ini yang seolah-olah tak menunjukkan penyesalan sedikit pun. Andai manusia lancang ini laki-laki, maka ia tidak akan kesulitan menentukan tindakan selanjutnya.
“Kenapa Anda mengawasi saya?” tanya Jingga.
Young-han tersentak. Tak menyangka kalau gadis asing ini ternyata mengetahui kalau dia sedang diawasi.
“Itu karena kau terlihat begitu aneh.” Young-han menghidupkan kembali mesin motornya, bersiap pergi. “Semoga aku tidak akan pernah bertemu denganmu lagi, gadis aneh!”
Sepersekian detik kemudian, deru motor terdengar memekakkan, seolah mewakili perasaan pengendaranya.
Jingga tersenyum tipis sambil memandangi kamera. Sebenarnya sudah sejak lima belas menit pertama ia merasa risih diperhatikan. Kalau langsung menegur pria itu, percuma saja. Pasti dia tidak akan mengaku. Mungkin dengan cara meng-candid, cukup ampuh mempermalukan lelaki tak sopan macam tadi.
***
Young-han tergesa-gesa memasuki ruang kerja.
“Sial! Gara-gara memperhatikan gadis asing yang aneh itu, aku jadi terlambat lima menit!” rutuknya. Tanpa ia sadari, Jun-su sudah berada di dalam.
“Terlambat lima menit, bersiaplah gajimu bulan depan akan dipotong dua puluh lima persen!” tukasnya sambil tersenyum mengejek bersama seringai penuh kemenangan.
Sebenarnya, Jun-su bisa menjadi alasan bagi Young-han untuk menumpahkan segala kekesalannya. Namun, untungnya ia masih cukup waras untuk tidak berbuat konyol di kantor ini. Sebab bagaimanapun, reputasinya teramat berharga daripada mengurusi seorang Kim Jun-su.
“Kenapa tidak lima puluh persen saja sekalian?” desisnya sengit sambil mengiringi langkah Jung-su keluar. “Hitung-hitung untuk membayar ganti rugi gelas yang kaupecahkan semalam.”
“Tidak perlu. Aku mampu membayar ganti ruginya. Dua puluh lima persen itu cukup untuk membayar harga minuman yang tidak kau bayar tadi malam. Sisanya untuk membayar waktuku yang terbuang percuma,” tukas Jung-su, lalu melenggang penuh wibawa, meninggalkan karyawannya.
“Berengsek!!” umpat Young-han dengan wajah merah padam.
Gebyar-gebyar cahaya lampu, keindahan gerak gemulai para penari, serta suara alat musik tradisional yang mengesankan menjadi pemandangan menarik saat upacara pembukaan Cultural Program for Foreigner. Panggung megah dengan permainan teknik hologram. Istana Deoksu sebagai latar belakang, menampilkan hologram Raja Sejong yang tengah duduk dengan gagahnya.
Dari atas panggung, muncul dua penari wanita mengenakan gwanbok2
dengan paduan warna warni yang begitu cerah, diiringi dengan alat-alat musik tradisional Korea Selatan.“Taepyeongmu adalah sebuah tarian dari Dinasti Juseon. Menggambarkan perdamaian bagi seluruh negeri. Sesuai dengan misi kami kali ini, yaitu menyebarkan damai bagi seluruh negeri dengan budaya.” Suara narator terdengar, memperkenalkan tarian yang sedang dipertontonkan.
Tarian Taepyeongmu merupakan tarian raja-raja dari dinasti Juseon. Dibawakan oleh beberapa penari yang mengenakan kostum gwanbok. Pakaian yang kala itu dikenakan oleh para raja dan ratu dari kerajaan Korea.
“Kau dari Indonesia?” tanya seorang wanita Kaukasoid yang duduk di sebelah Jingga. Gadis itu menoleh dan tersenyum ramah.
“Iya, benar,” jawab Jingga ramah.
Wanita Kaukasoid tersebut balik tersenyum ramah. Parasnya cantik, dengan hidung mancung dan kulit eksotis. Rambut lurusnya disemir cokelat, tergerai sampai pundak. Ia mengenakan kain sari berwarna kuning emas.
Jingga menyodorkan tangan padanya.
“Perkenalkan, namaku Jingga Sovianna. Namamu Pretty Shereen Singh, ‘kan?”
Wanita India tersebut menyambut jabat tangan itu dengan ekspresi terkejut. “Wow! Ternyata kau tahu namaku.” Ia menatap Jingga. “Apa kita pernah bertemu sebelumnya?”
“Tentu saja belum. Aku hanya mengintip ID card-mu.”
Pretty semakin antusias. Mata indahnya yang dihiasi maskara membulat. “Great! Amazing! Kau memperhatikan aku rupanya.”
Tak butuh waktu lama, kedua perempuan berbeda bangsa ini langsung akrab. Dalam hati, Jingga bersyukur sudah memiliki teman baru. Semoga ini menjadi awal yang baik. Bukan hanya Pretty yang ia kenal hari ini, tetapi juga Yamazaki Naoki dari Jepang, Nikita dari Rusia, serta Pierre si pria Polandia.
***
Pertama kalinya Jingga pulang malam hari setelah seminggu berada di kota ini. Lepas jam sepuluh, ia baru keluar kampus. Sungai Cheonggyecheon memantulkan gemerlap cahaya kota kaca. Tepat di depan coffee shop, langkahnya mendadak terhenti. Ada suara yang ia kenal. Suara yang sangat akrab di telinganya.
“Sovi?”
Jingga menoleh perlahan. Hanya ada satu orang yang memanggilnya dengan nama itu selama ini.
“Kak Pras?”
Lelaki itu mengangguk, kemudian mendekat. “Assalamualaikum, Sovi.”
Jingga merasa lidahnya seketika kelu. Kerongkongannya mengering. Jantung mulai berdegup kencang tak beraturan.
“Wa’alaikumussalam,” jawab Jingga gugup. Ia berusaha menata hati, tanpa sedikit pun berani menatap wajah Prasetyo.
Pras mengangguk kaku, tersenyum canggung. Ia juga kehilangan kata-kata untuk berbicara pada gadis ini.
“Kak, sudah malam. Aku harus segera pulang,” ucap Jingga. Semakin lama bertemu Pras, semakin tak menentu hatinya.
“Iya, sudah malam,” jawab Pras tak kalah gugup.
Ia hanya sanggup memandangi kepergian Jingga. Bahkan untuk bertanya gadis itu tinggal di mana saja ia tidak bisa.
Pras termangu. Sebenarnya sejak ia melihat Jingga di bandara beberapa hari lalu, ia pun kerap menemukan gadis tersebut di sekitar jalan ini. Akan tetapi, baru tadi ia berhasil mengumpulkan keberanian untuk menyapanya. Dan sepertinya memang ada yang harus mereka selesaikan sesegera mungkin.
****
Prasetyo Wibowo, senior Jingga di kampus. Kedekatan antara Jingga dan pria itu terjadi ketika mereka menjadi partner kerja di sebuah organisasi kemahasiswaan. Mereka sering terlibat dalam urusan program acara di universitas. Tak hanya urusan pekerjaan saja ternyata. Diam-diam, urusan perasaan pun menjadi dekat. Dalam diam, Jingga memendam rasa yang tak biasa untuk Pras. Hingga akhirnya, waktu memisahkan mereka sampai lulus kuliah. Harapan yang terlalu berlebihan menimbulkan rasa sakit yang berlebihan juga. Sampai kemudian, Jingga mendengar kabar bahwa Pras telah melamar Novia, temannya sendiri. Walau hatinya bagai tersayat sembilu, mau tidak mau Jingga harus mengikhlaskan semuanya. Sesuatu yang memang ditakdirkan berakhir, ia tentu tak kuasa mencegahnya. Pras sudah memilih
Dengan hati-hati Jingga mengetuk pintu ruangan Prof. Lee. Dari dalam terdengar suara pembimbingnya telah mempersilakan masuk. Perlahan diputar gagang pintu. Di dalam ruangan terlihat Prof. Lee sedang berbincang-bincang dengan seorang pria. Pria tersebut duduk membelakangi Jingga. “Annyeong haseyo, Gyusonim (Professor),” sapa Jingga sopan, seraya menundukkan badan. Prof. Lee balas mengangguk, “Silakan duduk, Jingga ssi.” Jingga mendekat, sesaat tamu pria Prof. Lee menoleh. Seperti biasa, tatapannya begitu dingin tak bersahabat.
Jam satu dini hari, Young-han baru menyelesaikan lukisannya di workshop galeri. Mencoba memejamkan mata di sofa ruang kerja, tiba-tiba bayangan Jun-su kembali hadir. Kata-katanya beberapa waktu yang lalu terngiang lagi.“Kau akan kehilangan sahammu di perusahaan ini!” Persetan dengan semuanya! Warisan, wasiat, apa pun itu!Terlahir sebagai putra kedua dari seorang *chaebol, sama sekali tidak membuatnya bangga apalagi bahagia. Nyatanya, selama puluhan tahun, ia mendapat perlakuan diskriminatif.S
“Yoboseo, ne Samchon, harus sekarang juga? baiklah aku datang.”Young-han menutup ponsel. Biasanya jika tidak penting pamannya tidak seserius ini sampai menelepon. Segera dia mengemudikan sepeda motornya menuju Universitas Hankuk.Beberapa meter di depannya, ia melihat Jingga berjalan, Young-han segera memberhentikan motornya di samping Jingga.Sejurus kemudian Jingga menoleh karena bunyi klakson dan deru sepeda motor yang berada di sebelahnya.Young-han membuka kaca helmnya.“Naik, aku mau ke HUFS!” ajak Young-han kaku.
TUBUH TEGAPNYA TERPELANTING membentur pohon angsana. Percikan bunga api memancar ketika motor sport yang sedang ia kendarai berbenturan dengan aspal. Beberapa orang di sekitar langsung berlarian ke arah tempat kejadian, segera mengangkat raga yang tak sadarkan diri, korban keganasan dan kebrutalan metromini. Badannya kini terkulai lemah dalam ambulans. Mobil tersebut melesat, meraung-raung. Lajunya membelah kepadatan lalu lintas Jakarta. *** Linangan air mata menganak sungai di wajahhnya. Ia menatap tubuh yang tergolek tak berdaya. Kelopak mata yang terkatup, tampak damai, tanpa kebisingan apa pun. Tanpa bara yang membakar rasa. Detak jantung yang terdeteksi dari monitor kardiograf, menjadi bukti bahwa jiwa masih menyatu dalam