Prasetyo Wibowo, senior Jingga di kampus. Kedekatan antara Jingga dan pria itu terjadi ketika mereka menjadi partner kerja di sebuah organisasi kemahasiswaan. Mereka sering terlibat dalam urusan program acara di universitas. Tak hanya urusan pekerjaan saja ternyata. Diam-diam, urusan perasaan pun menjadi dekat. Dalam diam, Jingga memendam rasa yang tak biasa untuk Pras.
Hingga akhirnya, waktu memisahkan mereka sampai lulus kuliah. Harapan yang terlalu berlebihan menimbulkan rasa sakit yang berlebihan juga. Sampai kemudian, Jingga mendengar kabar bahwa Pras telah melamar Novia, temannya sendiri.
Walau hatinya bagai tersayat sembilu, mau tidak mau Jingga harus mengikhlaskan semuanya. Sesuatu yang memang ditakdirkan berakhir, ia tentu tak kuasa mencegahnya. Pras sudah memilih Novia, itu saja yang Jingga yakini. Lantas kisah usang ini ... mengapa kembali menyapanya? Seketika dadanya terasa sesak.
Sampai di lobi apartemen, Jingga tergesa-gesa memasuki lift. Pikirannya masih melayang memikirkan Pras, hingga ia tak mendengar ketika seseorang memintanya menahan pintu.
Seorang pria Korea buru-buru menahan pintu lift. Jingga yang merasa bersalah lekas menundukkan badan.
“Jhwesonghamnida (mohon maaf),” ujarnya.
Awalnya, pria berjaket tebal panjang itu sama sekali tak merespons permohonan maaf gadis yang berdiri di sampingnya. Namun kemudian ia menoleh lagi. Memastikan penglihatannya. Jingga juga memberanikan diri melihat wajah si pria.
Ekspresi dingin dan sorot mata tajam pria itu masih membekas dalam ingatan Jingga. Gadis tersebut bahkan harus mengerjap beberapa kali, tak percaya bahwa mereka kembali dipertemukan dalam keadaan yang sama canggungnya.
“Kau lagi rupanya!” ujar Young-han, menyeringai sinis.
“Saya sangat menyesal untuk kejadian barusan. Mohon maafkan saya.” Jingga kembali membungkukkan badan.
Telanjur kesal, Young-han takmenggubrisnya. Lift sudah sampai di lantai empat. Young-han keluar, diikuti oleh Jingga.
Tiba di koridor apartemen, Young-han menoleh ke belakang dan terkejut saat melihat Jingga membuka pintu apartemen.
Mau apa dia di sana? Apakah gadis aneh itu tamu Paman? Yang pernah Paman ceritakan beberapa hari lalu? Young-han bertanya-tanya dalam hati, sekaligus kesal bukan kepalang.
***
Telah dua bulan Jingga mengikuti semua rangkaian kegiatan program dari Universitas Hankuk. Beberapa hari lalu, para peserta membuat kimchi. Sebelumnya mereka juga diperkenalkan pada upacara darye (upacara minum teh), dan melihat cara pembuatan bangcha (alat makan tradisional Korea). Selanjutnya mereka akan mengunjungi situs-situs budaya di Seoul dan Gyeongsang Utara. Istana-istana menjadi salah satu agenda penting dalam jadwal kunjungan para peserta, yaitu kerajaan-kerajaan peninggalan para pemimpin Korea masa lampau.
Tanpa terasa, musim dingin perlahan pergi. Pucuk-pucuk bunga bermekaran, kuncup yang berwarna-warni mulai menghiasi kota. Musim semi tiba di negeri ginseng.
Minggu pagi pertama di musim semi, Jingga menyusuri taman kota. Sampailah ia di Seoul Forest, dengan ratusan jenis vegetasi dan pepohonan rindang serta dan kawasan yang dialiri sungai Han. Setelah puas mengambil beberapa foto di sana, ia beristirahat di sebuah gazebo dekat kolam. Menikmati bekal nasi gorengnya, seraya melihat-lihat kembali hasil bidikan.
“Namamu Jingga?” tanya seorang pria di sampingnya. Jingga menoleh, lalu menghela napas. Sosok angkuh itu lagi!
“Iya, benar. Maaf, ada apa, ya? Apa saya punya salah lagi?”
“Iya dan akan menyulitkanmu!” tandas Young-han ketus.
Disodorkannya gawai kepada Jingga.
“Ini milikmu?”
Jingga mengernyit, mengamati benda itu beberapa saat. Seketika wajahnya memucat. Jantung gadis itu berdegup lebih kencang. Buru-buru Jingga merogoh daypack-nya. Ternyata gawai tersebut memang tidak ada di sana. Masih tak yakin, ia kembali mengeluarkan seluruh isi tas ke kursi taman. Nihil.
“Sepertinya memang milikku.”
Tanpa permisi, ia segera menyambar benda tersebut dari genggaman Young-han. Gadis itu buru-buru membuka kunci dengan menekan kombinasi nomor dan huruf. Terbuka! Jingga mengembuskan napas lega.
“Kutemukan tergeletak di depan pintu apartemenmu. Dasar ceroboh!” Young-han mendengkus. “
"Terima kasih," ucap Jingga, lalu lekas menundukkan tubuhnya.
"Tidak perlu berterima kasih!” jawab Young-han ketus.
Namun, Jingga tetap melakukannya. Membungkukkan badan dan berkata dengan wajah semringah, “Gamsahamnida.”
Young-han lagi-lagi tak menggubris. Ia hanya berlalu meninggalkan Jingga sambil merutuki diri berkali-kali, betapa konyolnya dia hari ini. Akibat kecerobohan gadis itu, dia sampai harus berbalik arah dan mengikutinya sampai ke Seoul Forest.
Benar-benar gadis yang merepotkan!
****
GEMERLAP SEOUL MASIH MENAWARKAN surga dunia bagi pemujanya. sekelompok kaum hedonis pencari kenikmatan sesaat dan penyembah kemewahan dunia. Dalam ingar bingar aroma alkohol dan kepulan asap rokok. dentingan musik yang bergema, serta wangi nakal para penjaja tubuh.
Begitu pula yang dilakukan oleh salah satu eksekutif muda ini. Ia larut dalam alkohol yang pekat, hanyut bersama irama musik membahana, dan erat dalam pelukan seorang wanita yang bahkan baru malam ini ia mengenalnya. Seketika kemeriahan diskotik ia tinggalkan, bersama wanita yang kini duduk di sebelah mobil mewahnya, tertawa manja meski tak ada cinta.
Wanita itu adalah penjaja hasrat kenikmatan dan pria ini pemujanya. Bersedia membayar mahal untuk kenikmatan yang hanya lewat sesaat. Mobil eksekutif muda tersebut membelah kota, menuju sebuah hotel paling mewah dan mahal senegara ini, menghabiskan malam bersama gadis berparas menawan.
Sementara itu, berjarak puluhan kilometer dari tempat Kim Jun-su, seorang pria lain masih berkutat di depan kanvas dan cat minyak. Tanpa memedulikan seperti apa wajah kota malam ini, juga tak tertarik dengan gemerlapnya. Yang ia inginkan hanyalah membenamkan diri ke dalam sebuah karya.
Meskipun ruangan apartemennya berantakan dengan cat minyak dan kanvas yang tergeletak di mana-mana, tetapi dari cara inilah, terlahir karya-karya yang menjadikan hidupnya penuh arti. Hidup hanya sekali, dan teramat penting untuk memiliki arti dari sebuah karya yang teraktualisasi.
Beberapa menit kemudian, suara bel berbunyi. Seketika goresan kuas itu terhenti. Segala sumpah serapah langsung bermuntahan keluar dari desisan penuh kemarahannya.
Pintu ia buka dengan enggan. Young-han terkesiap menemukan seorang gadis asing yang beberapa hari ini hanya bisa membuatnya kesal itu berdiri di hadapan. Dengan ekspresi polosnya yang entah memang natural atau dibuat-buat.
“Ada urusan apa menemuiku?” tanya Young-han ketus.
“Maaf malam-malam mengganggu. Terima kasih untuk kejadian tadi pagi,” jawab Jingga.
Suaranya begitu jernih dan tenang. Senyum gadis itu juga terlihat tulus. Entah bagaimana, Young-han merasa seperti tersiram salju. Amarahnya yang sempat memuncak seketika mereda, berganti perasaan yang sama sekali tidak ia pahami.
“Tak usah berlebihan kepadaku,” balas Young-han kaku.
“Iya, mohon maaf jika mengganggu. Ehm ... dan ini ada cendera mata dari negaraku. Mohon diterima.” Jingga menyerahkan sebuah totebag berbahas kanvas.
Sesaat, Young-han bergeming. Membeku dalam ribuan perasaan yang tak dapat dijabarkan.
“Oh, maaf. Jangan salah paham. Ini cendera mata sebagai bentuk perkenalan karena kita bertetangga. Na neun Jingga imnida (nama saya Jingga), annyeong haseyo (ucapan salam). Boleh tahu siapa namamu?”
Young-han tetap diam mematung.
“Oh, maaf kalau pertanyaanku kurang sopan. Dan kalau kau tak mau menerima ini, tidak masalah. Aku pamit.”
“Panggil saja Young-han.”
Jingga menoleh lalu tersenyum.
Young-han cepat-cepat memalingkan wajah. Ada yang tak biasa saat melihat senyum itu. Semacam perasaan tak nyaman.
“Gamsahamnida, Young-han.” Jingga membungkuk sopan.
“Cheomanneyo (sama-sama),” balas Young-han canggung.
“Ini untukmu.” Jingga kembali menyodorkan totebag, setengah menunduk, menyerahkan dengan kedua tangan.
“Terima kasih. Nanti aku barter dengan lukisan. Apa kau suka lukisan?” imbuh Young-han.
“Terima kasih. Tentu aku suka sekali dengan lukisan.”
Jingga tersenyum dengan mata berbinar. “Kau pelukis?” tanyanya.
“Hanya sekadar kesenangan.”
“Baiklah kalau begitu. Aku pamit. Selamat malam.”
“Malam.”
Di dalam kamar, Young-han memandangi totebag kanvas tersebut. Pelan-pelan, ia buka bungkusannya. Satu setel kemeja batik.
Cepat-cepat ia berdiri di depan cermin. Ternyata ukurannya pas sekali. Tampak dalam cermin, pantulan wajah Young-han memerah sempurna. Semerah warna kemeja batik pemberian gadis asing dan aneh bernama Jingga tersebut.
Esoknya, Young-han menyerahkan selembar amplop pada Jun-su. Tak ada ekspresi terkejut dari wajah presdir itu setelah membaca surat pengunduran diri karyawan sekaligus adiknya.
“Baiklah, kuterima pengunduran dirimu.” Jun-su menatap lekat Young-han. “Lagi pula menahanmu juga tak mungkin, ‘kan?”
Young-han bungkam. Ia hanya ingin secepatnya pergi. Namun, baru beberapa langkah menjauh, Jun-su berbicara lagi.
“Tapi satu hal yang harus kau tahu, sesuai wasiat Appa (ayah), kau akan kehilangan sahammu di perusahaan ini!”
“Berbuatlah sesukamu!” jawab Young-han dingin, kemudian berlalu pergi dengan langkah yang benar-benar tenang. Jun-su geram bukan kepalang. Tangan pria itu mengepal. Young-han sudah berhasil mengacaukan perasaannya.
****
Dengan hati-hati Jingga mengetuk pintu ruangan Prof. Lee. Dari dalam terdengar suara pembimbingnya telah mempersilakan masuk. Perlahan diputar gagang pintu. Di dalam ruangan terlihat Prof. Lee sedang berbincang-bincang dengan seorang pria. Pria tersebut duduk membelakangi Jingga. “Annyeong haseyo, Gyusonim (Professor),” sapa Jingga sopan, seraya menundukkan badan. Prof. Lee balas mengangguk, “Silakan duduk, Jingga ssi.” Jingga mendekat, sesaat tamu pria Prof. Lee menoleh. Seperti biasa, tatapannya begitu dingin tak bersahabat.
Jam satu dini hari, Young-han baru menyelesaikan lukisannya di workshop galeri. Mencoba memejamkan mata di sofa ruang kerja, tiba-tiba bayangan Jun-su kembali hadir. Kata-katanya beberapa waktu yang lalu terngiang lagi.“Kau akan kehilangan sahammu di perusahaan ini!” Persetan dengan semuanya! Warisan, wasiat, apa pun itu!Terlahir sebagai putra kedua dari seorang *chaebol, sama sekali tidak membuatnya bangga apalagi bahagia. Nyatanya, selama puluhan tahun, ia mendapat perlakuan diskriminatif.S
“Yoboseo, ne Samchon, harus sekarang juga? baiklah aku datang.”Young-han menutup ponsel. Biasanya jika tidak penting pamannya tidak seserius ini sampai menelepon. Segera dia mengemudikan sepeda motornya menuju Universitas Hankuk.Beberapa meter di depannya, ia melihat Jingga berjalan, Young-han segera memberhentikan motornya di samping Jingga.Sejurus kemudian Jingga menoleh karena bunyi klakson dan deru sepeda motor yang berada di sebelahnya.Young-han membuka kaca helmnya.“Naik, aku mau ke HUFS!” ajak Young-han kaku.
TUBUH TEGAPNYA TERPELANTING membentur pohon angsana. Percikan bunga api memancar ketika motor sport yang sedang ia kendarai berbenturan dengan aspal. Beberapa orang di sekitar langsung berlarian ke arah tempat kejadian, segera mengangkat raga yang tak sadarkan diri, korban keganasan dan kebrutalan metromini. Badannya kini terkulai lemah dalam ambulans. Mobil tersebut melesat, meraung-raung. Lajunya membelah kepadatan lalu lintas Jakarta. *** Linangan air mata menganak sungai di wajahhnya. Ia menatap tubuh yang tergolek tak berdaya. Kelopak mata yang terkatup, tampak damai, tanpa kebisingan apa pun. Tanpa bara yang membakar rasa. Detak jantung yang terdeteksi dari monitor kardiograf, menjadi bukti bahwa jiwa masih menyatu dalam
Pukul tujuh pagi, suhu masih di kisaran minus lima derajat celcius. Jingga sudah berada di luar apartemen. Acara pembukaan program pertukaran budaya masih dua jam lagi. Dia sengaja keluar lebih awal sebelum berangkat ke kampus demi memotret suasana kota saat pagi, meski harus berjuang menahan dingin.Jingga sibuk memutar lensa zoom dan menekan tombol shutter. Kemudian membidik sudut-sudut kota yang menurutnya menarik. Tanpa menyadari kalau aktivitasnya itu tengah diperhatikan oleh seseorang dari kejauhan.Pria di atas motor sport hitam dengan wajah tertutup helm tersebut masih mengawasi Jingga, penasaran
“Yoboseo, ne Samchon, harus sekarang juga? baiklah aku datang.”Young-han menutup ponsel. Biasanya jika tidak penting pamannya tidak seserius ini sampai menelepon. Segera dia mengemudikan sepeda motornya menuju Universitas Hankuk.Beberapa meter di depannya, ia melihat Jingga berjalan, Young-han segera memberhentikan motornya di samping Jingga.Sejurus kemudian Jingga menoleh karena bunyi klakson dan deru sepeda motor yang berada di sebelahnya.Young-han membuka kaca helmnya.“Naik, aku mau ke HUFS!” ajak Young-han kaku.
Jam satu dini hari, Young-han baru menyelesaikan lukisannya di workshop galeri. Mencoba memejamkan mata di sofa ruang kerja, tiba-tiba bayangan Jun-su kembali hadir. Kata-katanya beberapa waktu yang lalu terngiang lagi.“Kau akan kehilangan sahammu di perusahaan ini!” Persetan dengan semuanya! Warisan, wasiat, apa pun itu!Terlahir sebagai putra kedua dari seorang *chaebol, sama sekali tidak membuatnya bangga apalagi bahagia. Nyatanya, selama puluhan tahun, ia mendapat perlakuan diskriminatif.S
Dengan hati-hati Jingga mengetuk pintu ruangan Prof. Lee. Dari dalam terdengar suara pembimbingnya telah mempersilakan masuk. Perlahan diputar gagang pintu. Di dalam ruangan terlihat Prof. Lee sedang berbincang-bincang dengan seorang pria. Pria tersebut duduk membelakangi Jingga. “Annyeong haseyo, Gyusonim (Professor),” sapa Jingga sopan, seraya menundukkan badan. Prof. Lee balas mengangguk, “Silakan duduk, Jingga ssi.” Jingga mendekat, sesaat tamu pria Prof. Lee menoleh. Seperti biasa, tatapannya begitu dingin tak bersahabat.
Prasetyo Wibowo, senior Jingga di kampus. Kedekatan antara Jingga dan pria itu terjadi ketika mereka menjadi partner kerja di sebuah organisasi kemahasiswaan. Mereka sering terlibat dalam urusan program acara di universitas. Tak hanya urusan pekerjaan saja ternyata. Diam-diam, urusan perasaan pun menjadi dekat. Dalam diam, Jingga memendam rasa yang tak biasa untuk Pras. Hingga akhirnya, waktu memisahkan mereka sampai lulus kuliah. Harapan yang terlalu berlebihan menimbulkan rasa sakit yang berlebihan juga. Sampai kemudian, Jingga mendengar kabar bahwa Pras telah melamar Novia, temannya sendiri. Walau hatinya bagai tersayat sembilu, mau tidak mau Jingga harus mengikhlaskan semuanya. Sesuatu yang memang ditakdirkan berakhir, ia tentu tak kuasa mencegahnya. Pras sudah memilih
Pukul tujuh pagi, suhu masih di kisaran minus lima derajat celcius. Jingga sudah berada di luar apartemen. Acara pembukaan program pertukaran budaya masih dua jam lagi. Dia sengaja keluar lebih awal sebelum berangkat ke kampus demi memotret suasana kota saat pagi, meski harus berjuang menahan dingin.Jingga sibuk memutar lensa zoom dan menekan tombol shutter. Kemudian membidik sudut-sudut kota yang menurutnya menarik. Tanpa menyadari kalau aktivitasnya itu tengah diperhatikan oleh seseorang dari kejauhan.Pria di atas motor sport hitam dengan wajah tertutup helm tersebut masih mengawasi Jingga, penasaran
TUBUH TEGAPNYA TERPELANTING membentur pohon angsana. Percikan bunga api memancar ketika motor sport yang sedang ia kendarai berbenturan dengan aspal. Beberapa orang di sekitar langsung berlarian ke arah tempat kejadian, segera mengangkat raga yang tak sadarkan diri, korban keganasan dan kebrutalan metromini. Badannya kini terkulai lemah dalam ambulans. Mobil tersebut melesat, meraung-raung. Lajunya membelah kepadatan lalu lintas Jakarta. *** Linangan air mata menganak sungai di wajahhnya. Ia menatap tubuh yang tergolek tak berdaya. Kelopak mata yang terkatup, tampak damai, tanpa kebisingan apa pun. Tanpa bara yang membakar rasa. Detak jantung yang terdeteksi dari monitor kardiograf, menjadi bukti bahwa jiwa masih menyatu dalam