Jam satu dini hari, Young-han baru menyelesaikan lukisannya di workshop galeri. Mencoba memejamkan mata di sofa ruang kerja, tiba-tiba bayangan Jun-su kembali hadir. Kata-katanya beberapa waktu yang lalu terngiang lagi.
“Kau akan kehilangan sahammu di perusahaan ini!” Persetan dengan semuanya! Warisan, wasiat, apa pun itu!
Terlahir sebagai putra kedua dari seorang *chaebol, sama sekali tidak membuatnya bangga apalagi bahagia. Nyatanya, selama puluhan tahun, ia mendapat perlakuan diskriminatif.
Sejak dulu, Jun-su yang selalu mendapat perhatian istimewa dari ayah mereka. Ada perasaan iri mengiris hati Young-han setiap kali sang ayah memberi sanjungan pada Jun-su lalu mulai membanding-bandingkan mereka. Jun-su yang hidup tertib dan teratur, sementara Young-han hidup acak semaunya. Jun-su yang bisa mengikuti kemauan ayah mereka, sedangkan Young-han sejak dulu sudah dicap sebagai pembangkang dalam keluarga.
Diam-diam, Young-han mencari beasiswa di luar negeri. Perancis adalah negara impiannya untuk menimba ilmu seni. Hingga akhirnya, ia berhasil mendapatkan beasiswa dari Universitas Paris I Pantheon-Sorbonne.
Kontan saja, kenekatan Young-han menuai murka ayahnya. Sang chaebol tidak ingin anak-anaknya menjadi seniman. Tanpa restu, bahkan berujung pengusiran. Tak ada anggota keluarga yang bisa meredam kemarahan Appa, bahkan ibunya sekalipun. Namun, hati Young-han telah mengeras dalam tekad. Tak ada yang bisa mengubah keputusannya untuk kuliah di Paris. Meski taruhannya adalah dia tak lagi dianggap anak oleh ayahnya.
***
Di Taman Universitas Paris 1 Pantheon-Sorbonne, delapan tahun silam.
“Mahasiswa baru?”
Young-han terkejut. Ia mendongak, mengamati sekilas si penyapa. Seorang pemuda pirang ikal seleher, bermata biru dengan postur tubuh tinggi dan tegap. Ras Slavia. Young-han hanya merespons dengan anggukan saja.
“Where do you come from? Japan, China, or---?”
“South Korea,” potong Young-han, lalu lanjut menggambar.
“Mahasiswa seni?” tebak si pria Slavia sambil melirik sketsa Young-han.
Young-han menarik napas berat. Tidak menjawab, melainkan menatap si orang asing dingin.
“Ups, maaf. Seharusnya aku tidak terlalu cerewet. Silakan lanjutkan aktivitasmu. Kalau butuh bantuan, kau bisa menghubungiku. Eldinev Ibrahimovic, mahasiswa Departemen Geografi.” Pria Slavia menyodorkan tangan sambil tersenyum.
Mau tidak mau, Young-han menyambut jabat tangan itu. “Young-han,” jawabnya dingin.
“Baiklah, Young-han. Nikmati harimu. Lima menit lagi aku ada kuliah. Senang bertemu denganmu.”
Jam dua siang, masih pada hari dan tempat yang sama, secara tak sengaja mereka kembali dipertemukan. Eldinev lagi-lagi memancing obrolan. Pengabaian dan tanggapan sesekali yang tak bersahabat dari Young-han tampaknya tak pernah melukai perasaan Eldinev. Ia tetap bersikap ramah dan hangat. Sebagaimana aksi positif akan menghasilkan reaksi yang positif pula, lama kelamaan sikap dingin Young-han mencair juga.
Eldinev merupakan mahasiswa asal Sarajevo-Bosnia yang sudah dua tahun tinggal di Perancis. Setengah harian ia menunjukkan Young-han lokasi-lokasi kampus, mengajak pemuda Asia itu makan bersama, dan yang terakhir ... menawarkan tinggal di apartemen miliknya. Alasannya, apartemen yang ditempati Eldinev memiliki dua kamar, yang mana salah satu kamar sudah tak berpenghuni sejak sebulan silam setelah si penyewa lulus dan kembali ke negaranya. Sementara untuk membayar dua kamar cukup berat untuk ditanggung sendirian oleh Eldinev.
Young-han menerima tawaran itu. Selama tinggal bersama Eldinev, ia jadi tahu bahwa pemuda Sarajevo ini adalah sosok yang bersahaja. Young-han tidak pernah melihat kawan barunya ini pergi ke kelab bersama banyak wanita, mabuk-mabukan ataupun berfoya-foya. Keseharian Eldinev hanya dilewatkan di universitas dan bekerja sebagai fotografer freelance di sebuah majalah yang sering mengangkat isu lingkungan. Sering juga ia menemani Young-han jalan-jalan menikmati keindahan Paris, yang katanya menjadi tempat tumpah ruah para pelancong dunia.
Young-han juga sempat heran saat pertama kali tahu kalau Eldinev seorang muslim. Sebelumnya ia pernah mendengar bahwa muslim itu identik dengan pelaku kerusuhan, terorisme dan semacamnya. Namun, Eldinev tidak terlihat seperti pelaku teror, bukan ekstrimis, pandai bergaul dengan siapa saja, jauh dari kesan radikal dan label-label negatif lainnya.
“Ternyata agamamu tidak seperti yang kubayangkan,” ungkap Young-han pada suatu sore saat mereka tengah berjalan di sepanjang Avenue des Champs-Elysées.
Eldinev tertawa kecil. “Memangnya kau membayangkan apa tentang Islam?” tanyanya, tanpa nada tersinggung sedikit pun.
“Teroris, radikal, suka perang, intoleran. Semacam itulah.
“Lantas, sekarang?”
“Tidak seperti itu. Berteman denganmu ... aku merasa aman.”
“Kalau ada informasi mengenai hal tadi, itu tidak salah.
Memang beberapa pelakunya adalah orang yang menyandang agama Islam. Entah Islam yang seperti apa. Sebab aku tegaskan, kekerasan dan yang kausebutkan tadi tidak dibenarkan dalam ajaran kami. Islam adalah agama penuh kasih sayang.”
“Dan semua tertulis dalam kitab kalian?”
“Ya. Semua perintah dan larangan ada dalam Alquran, sebagai pedoman hidup kami.”
“Apa karena itu kau setiap malam membacanya?”
“Karena itu membuatku tenang,” jawab Eldinev lirih. Seulas senyum penuh kedamaian menghiasi wajah teduhnya.
Entah bagaimana, Young-han merasakan desiran aneh. Sensasi menyejukkan sekaligus menggetarkan yang begitu asing setiap kali mendengar Eldinev membaca Alquran, meski ia tak paham artinya sama sekali. Ketenangan yang sudah lama sekali tidak ia rasakan seolah-olah mengalir melalui setiap lantunan ayat-ayat suci tersebut. Ia ingin sekali mengatakan hal itu pada Eldinev, tetapi hanya bisa menggantung di langit-langit lidahnya.
“Kalau boleh tahu, agamamu apa?” tanya Eldinev hati-hati.
Young-han mengangkat pundak. “Entahlah. Secara hukum, aku Katolik. Namun terakhir pergi ke gereja saat usiaku masih sepuluh tahun untuk misa malam Natal. Setelahnya, aku tak pernah lagi ke sana.”
“Oh, begitu.” Eldinev tidak bertanya lebih jauh.
Young-han menatap arus manusia yang berlalu-lalang, taman dan gedung-gedung dengan arsitektur renaissance.
Bagaimana bisa ia mengenal agama? Karena selepas itu, tak ada lagi anggota keluarga yang mengajak Young-han ke gereja, kuil, klenteng, sinagog atau tempat-tempat suci lainnya. Mereka terlalu sibuk dengan urusan masing-masing, hingga Young-han pun merasa bahwa agama dan Tuhan bukan hal penting dalam hidupnya. Tuhan baginya adalah simbol kekuasaan. Siapa pun dapat menjadi Tuhan. Seperti ayahnya yang senang berkehendak sesuka hati. Ayahnya adalah Tuhan dalam keluarga mereka, dalam percaturan bisnis di Korea. Namun, Young-han tidak takut pada ayahnya. Ia justru membangkang. Jadi, Tuhan hanyalah sebuah manifestasi dari segala kekuasaan orang-orang seperti ayahnya.
Tuhan seperti itulah yang ia tahu. Namun selama mengenal Eldinev, entah mengapa Young-han merasa bahwa Tuhan menjelma menjadi baik pada kehidupan Eldinev. Tuhan yang membuat Eldinev terlihat damai dan tenang. Memunculkan pertanyaan; jadi, Tuhan Eldinev itu seperti apa?
Eldinev tidak mengusik kehidupannya. Pria Sarajevo itu juga ringan tangan, kerap kali menolong Young-han yang kesusahan di Paris. Meski Eldinev juga bukan mahasiswa kaya, tapi ia selalu berbagi dengan Young-han. Perbedaan kepercayaan di antara mereka juga tidak mengurangi sedikit pun kebaikan Eldinev. Ia tetap memperlakukan Young-han layaknya seorang saudara.
Young-han begitu menikmati hari-harinya di Paris, terlebih ketika ia mendapat seorang sahabat seperti Eldinev Ibrahimovic. Selama di Paris, banyak sekali tempat favoritnya untuk menuangkan ekspresi ke dalam kanvas, seperti di Taman Tuileries ataupun tepian Sungai Seine. Beberapa lukisan Young-han pernah dipamerkan secara massal bersama beberapa mahasiswa seni lainnya. Ada yang terjual juga. Young-han pernah mengikuti pameran jalanan saat musim panas tiba. Lukisan yang terjual cukup untuk menyambung hidup di kota mahal ini.
Sementara keluarganya? Young-han pun tidak peduli lagi. Toh keputusannya untuk mengejar cita-cita yang bertentangan dengan keinginan Appa membuat Young-han terbuang. Pengusiran dan kemarahan Appa ... sudah jelas, bukan, di mana posisi seorang Young-han di mata keluarga besarnya sekarang?
Ia menjajaki hobinya berpetualang ke negara-negara asing. Menjelajah bersama Eldinev yang juga seorang petualang. Namun, pada suatu hari yang tak terduga, datang kabar dari pamannya, mengatakan bahwa Young-han harus kembali ke Seoul secepatnya. Kedua orang tuanya mengalami kecelakaan pesawat. Sepulang dari Pulau Jeju.
Young-han segera terbang ke Seoul. Ia kembali hanya untuk berduka atas kepergian sang ibu, juga atas desakan pamannya.
Selama di Seoul, praktis ia tidak pernah berhasil menghubungi Eldinev. Kabar burung mengatakan kalau sahabatnya itu menghilang saat pendakian di Gunung Kilimanjaro. Young-han terpukul. Lagi-lagi ia harus kehilangan orang yang sangat berarti. Namun, ia masih menyimpan harapan Eldinev masih hidup, dan suatu saat mereka dipertemukan kembali.
***
“Yoboseo, ne Samchon, harus sekarang juga? baiklah aku datang.”Young-han menutup ponsel. Biasanya jika tidak penting pamannya tidak seserius ini sampai menelepon. Segera dia mengemudikan sepeda motornya menuju Universitas Hankuk.Beberapa meter di depannya, ia melihat Jingga berjalan, Young-han segera memberhentikan motornya di samping Jingga.Sejurus kemudian Jingga menoleh karena bunyi klakson dan deru sepeda motor yang berada di sebelahnya.Young-han membuka kaca helmnya.“Naik, aku mau ke HUFS!” ajak Young-han kaku.
TUBUH TEGAPNYA TERPELANTING membentur pohon angsana. Percikan bunga api memancar ketika motor sport yang sedang ia kendarai berbenturan dengan aspal. Beberapa orang di sekitar langsung berlarian ke arah tempat kejadian, segera mengangkat raga yang tak sadarkan diri, korban keganasan dan kebrutalan metromini. Badannya kini terkulai lemah dalam ambulans. Mobil tersebut melesat, meraung-raung. Lajunya membelah kepadatan lalu lintas Jakarta. *** Linangan air mata menganak sungai di wajahhnya. Ia menatap tubuh yang tergolek tak berdaya. Kelopak mata yang terkatup, tampak damai, tanpa kebisingan apa pun. Tanpa bara yang membakar rasa. Detak jantung yang terdeteksi dari monitor kardiograf, menjadi bukti bahwa jiwa masih menyatu dalam
Pukul tujuh pagi, suhu masih di kisaran minus lima derajat celcius. Jingga sudah berada di luar apartemen. Acara pembukaan program pertukaran budaya masih dua jam lagi. Dia sengaja keluar lebih awal sebelum berangkat ke kampus demi memotret suasana kota saat pagi, meski harus berjuang menahan dingin.Jingga sibuk memutar lensa zoom dan menekan tombol shutter. Kemudian membidik sudut-sudut kota yang menurutnya menarik. Tanpa menyadari kalau aktivitasnya itu tengah diperhatikan oleh seseorang dari kejauhan.Pria di atas motor sport hitam dengan wajah tertutup helm tersebut masih mengawasi Jingga, penasaran
Prasetyo Wibowo, senior Jingga di kampus. Kedekatan antara Jingga dan pria itu terjadi ketika mereka menjadi partner kerja di sebuah organisasi kemahasiswaan. Mereka sering terlibat dalam urusan program acara di universitas. Tak hanya urusan pekerjaan saja ternyata. Diam-diam, urusan perasaan pun menjadi dekat. Dalam diam, Jingga memendam rasa yang tak biasa untuk Pras. Hingga akhirnya, waktu memisahkan mereka sampai lulus kuliah. Harapan yang terlalu berlebihan menimbulkan rasa sakit yang berlebihan juga. Sampai kemudian, Jingga mendengar kabar bahwa Pras telah melamar Novia, temannya sendiri. Walau hatinya bagai tersayat sembilu, mau tidak mau Jingga harus mengikhlaskan semuanya. Sesuatu yang memang ditakdirkan berakhir, ia tentu tak kuasa mencegahnya. Pras sudah memilih
Dengan hati-hati Jingga mengetuk pintu ruangan Prof. Lee. Dari dalam terdengar suara pembimbingnya telah mempersilakan masuk. Perlahan diputar gagang pintu. Di dalam ruangan terlihat Prof. Lee sedang berbincang-bincang dengan seorang pria. Pria tersebut duduk membelakangi Jingga. “Annyeong haseyo, Gyusonim (Professor),” sapa Jingga sopan, seraya menundukkan badan. Prof. Lee balas mengangguk, “Silakan duduk, Jingga ssi.” Jingga mendekat, sesaat tamu pria Prof. Lee menoleh. Seperti biasa, tatapannya begitu dingin tak bersahabat.