Dengan hati-hati Jingga mengetuk pintu ruangan Prof. Lee. Dari dalam terdengar suara pembimbingnya telah mempersilakan masuk. Perlahan diputar gagang pintu.
Di dalam ruangan terlihat Prof. Lee sedang berbincang-bincang dengan seorang pria. Pria tersebut duduk membelakangi Jingga.
“Annyeong haseyo, Gyusonim (Professor),” sapa Jingga sopan, seraya menundukkan badan.
Prof. Lee balas mengangguk, “Silakan duduk, Jingga ssi.”
Jingga mendekat, sesaat tamu pria Prof. Lee menoleh. Seperti biasa, tatapannya begitu dingin tak bersahabat.
Jingga terkejut dengan apa yang dilihatnya, namun dia menguasai diri untuk tetap tenang. Tentu saja kenal sosok pria dengan penampilan sporty, kaus kasual, dan celana jeans belelnya.
“Young-han ssi, annyeong haseyo," sapa ya sopan.
Sementara Young-han tidak membalas sapa Jingga, dia malah memalingkan wajah.
“Oh, bagus kalian sudah saling mengenal. Dia kemenakanku juga. Adik Jun-Su, kakak kedua So-eun,” jawab Prof. Lee.
Jingga mengangguk-angguk, dan tersenyum kebas. Kini ia tahu mengapa apartemen mereka berseberangan. Ternyata memang masih keponakan Prof Lee. Hanya saja dia tak menyangka bahwa Jun-su dan So-eun memiliki saudara sedingin Young-han. Meski secara paras, mereka memang hampir mirip, tapi tabiat bak langit dan bumi.
“Oh ya Jingga ssi, yang terpenting adalah ini,” Prof. Lee memecah lamunan Jingga, ia menyodorkan sebuah lembaran kertas dalam sebuah map.
“Ini penilaian hasil kegiatanmu selama mengikuti program," lanjutnya lagi.
Jingga menerima laporan tersebut. Setelah melihat kertas tersebut dengan detail, sontak ia mengernyitkan kening. Agak gugup juga dia memperhatikan beberapa deretan angka-angka.
“Selama ini, selain kategori penulisan aksara hangeul dan hanja yang lain tidak ada masalah,” kata Prof. Lee.
Jingga menelan ludah, jantungnya berdebar kencang. Padahal sudah berbuat semaksimal mungkin tapi masih saja terdapat kekurangan, memang diakuinya kemampuan untuk menulis kedua aksara tersebut
masih kurang, meskipun untuk membaca huruf hangeul dia sudah bisa, tapi itu saja belum cukup. Gadis manis ini menyimak penjelasan Prof. Lee selanjutnya.“Kau masih punya waktu untuk terus memperbaiki dan bekerja keras. Karena nanti salah satu dari tugas program ini adalah menulis tangan aksara hangeul dan hanja. Mengerti?"
Sesekali Young-han melirik kepada Jingga yang selalu mengangguk saja, tiap kali merespons kalimat pamannya, sepertinya gadis ini terlihat shock melihat angka yang tidak memuaskan dalam kategori tulisan aksara Korea. Tak lama terdengar suara ketukan pintu dari luar.
“Silakan masuk,” ujar Prof. Lee.
Sedetik muncul seorang pria mengenakan kemeja dengan setelan jas hitam, mencitrakan seorang eksekutif muda. Wajahnya menawan, terlihat ramah, dan senyumnya mengembang.
“Annyeong haseyo,” sapanya sopan seraya menganggukkan kepala pada semua yang ada dalam ruangan.
Jingga tersenyum tipis pada pria yang baru datang dan menundukkan kepalanya. Pria berwajah kharismatik ini balas tersenyum kepada Jingga.
Prof. Lee sedikit terkejut. “Hei, Jun-su, kau ke sini tanpa menghubungiku dulu, ada apa?”
“Aku ada perlu denganmu Samchon, tapi sepertinya kau sedang sibuk dengan tamu yang lain,” Jun-Sumenoleh kepada Young-han. Kim Young-han hanya balas menatap dingin.
“Duduklah Jun-su,” Prof. Lee mempersilakan.
Jun-su tersenyum tipis, duduk di sebelah Young-ha, sedetik Jun-su duduk, Young-han segera bangkit.
“Samchon, aku pergi dulu!” ucap Young-han dengan ketus. Tanpa menunggu persetujuan, dia berlalu begitu saja.
“Kau mau ke mana?” tanya Professor Lee.
“Pulang!” jawab Young-Han ketus, sambil berlalu.
Prof. Lee hanya menghela napasnya berat, ja paham sekali mengapa Young-han keluar begitu saja. Sementara Jingga dibuat terpaku dengan kejadian barusan. Ia mencium ada aroma ketidakharmonisan dari kakak-beradik ini.
"Maaf, kalau kehadiranku jadi mengganggu semuanya," ucap Jun-su kikuk.
"Eeh, tak apa. Sudahlah, sebentar Jun-su, aku selesaikan urusanku dengan Nona muda ini," kelakar Prof Lee untuk memecah kebekuan. Ia lalu tersenyum pada Jingga.
"Jingga, sampai sini kau paham apa yang mesti kau perbaiki?"
"Mengerti, Gyusonim. Khamsahamnida," ucap Jingga sopan. "Gyusonim, apa masih ada lagi, kalau sudah tidak ada lagi yang dibicarakan saya mohon diri,” Jingga membungkukkan badan.
“Ya, tidak ada lagi. Baiklah, teruskan aktivitasmu.”
“Maaf kalau kehadiranku menggangumu Nona,” ujar Jun-su simpatik.
Jingga tersenyum, “Tidak, kebetulan urusanku sudah selesai. Bukan begitu Gyusonim?”
“Ya, baiklah kalau begitu hati-hati di jalan,” ucap Prof. Lee.
Jun-Su tersenyum tipis kepada Jingga. Matanya masih terus mengawasi kepergian Jingga sampai keluar ruangan.
“Wanita yang hebat,” gumam Jun-su setelah Jingga meninggalkan ruangan.
“Juga manis … bukan begitu?” goda Prof. Lee yang mendengar gumaman Jun-Su.
Jun-Su hanya mengulum senyum.
“Jangan coba-coba menggodanya. Jauh-jauh dari negeri seberang untuk serius belajar, jangan kau alihkan perhatiannya," goda Prof Lee.
Jun-Su kembali tersenyum lebar.
“Aah, tidak. Mana berani aku menggoda gadis sepertinya. Aku hanya sekedar kagum kepadanya, baru kulihat sosok seperti itu."
"Dia memang mengagumkan, tapi kurasa, dia masih harus banyak belajar berbagai hal."
"Sudahlah Samchon, jadi membahas dia, padahal
ada sesuatu yang sangat penting yang ingin kukatakan?”Kali ini senyum Jun-su seketika lenyap dari wajahnya, berganti dengan mendung yang bergelayut, beban yang bertumpuk-tumpuk, berat. Mungkin di depan banyak orang dia bisa menutupi dengan senyumnya yang menawan, seolah semua akan baik-baik saja. Akan tetapi tidak pada pria di hadapannya ini
“Oh ya, tentang apa?”
“Tentang perasaanku, tapi tidak hari ini, terserah Samchon saja, kapan dan di mana bisa.”
Prof. Lee menepuk pundak kemenakannya. Jun-Su tertunduk, senyumnya memudar. Ada mendung yang bergelayut di wajahnya. Selama ini ia berusaha tersenyum, tapi terpaksa. Senyum yang berusaha ditampakkan pada orang lain. Agar semua menganggapnya baik-baik saja. Tapi pada lelaki tua ini ia tak bisa lagi terus berpura-pura, semakin berat rasanya.
“Tentang anak itu?”
“Ya.”
Tiba-tiba saja pandangan Jun-Su tertumbuk pada kertas yang tergeletak di meja tamu, ternyata sebuah kertas bergambar elang yang sedang terbang, belum sempurna karena sayap kanannya belum sempat tergambar, Jun-Su berpikir pasti hasil coretan adiknya.
“Dia bekerja dengan baik?” tanya Prof. Lee memecah lamunan Jun-Su.
“Hah..ya, sangat baik dari yang kubayangkan sebelumnya, pekerjaannya sempurna.”
“Baguslah kalau begitu, jadi tentang apalagi?”
“Dia mengundurkan diri dari perusahaan.”
Prof. Lee terkejut, membenarkan letak kacamatanya, “Alasannya?”
Jun-Su menggeleng lemah.
“Baik besok lepas jam delapan, kita bertemu di restoran dekat sini.”
“Aku jemput, Samchon.”
“Tak perlu repot, kita langsung bertemu di sana saja. Kau nanti hubungi aku jika sudah sampai.”
“Baik Samchon, gomapseumnida.”
Jun-Su menundukkan badan dan meninggalkan ruangan Prof. Lee. Prof. Lee menghela napas, dia paham akan perasaan keponakannya. Sebenarnya baik Young-han maupun Jun-su sama-sama baik di matanya. Ini hanyalah masalah ketidaksenjangan yang terjadi selama bertahun-tahun, mengendap, membuat bara dalam sekam, hingga bisa saja menjadi bom waktu yang siap meledak seketika. Dia hanya berharap semoga masih ada kesempatan untuk mendamaikan keduanya.
***
Jam satu dini hari, Young-han baru menyelesaikan lukisannya di workshop galeri. Mencoba memejamkan mata di sofa ruang kerja, tiba-tiba bayangan Jun-su kembali hadir. Kata-katanya beberapa waktu yang lalu terngiang lagi.“Kau akan kehilangan sahammu di perusahaan ini!” Persetan dengan semuanya! Warisan, wasiat, apa pun itu!Terlahir sebagai putra kedua dari seorang *chaebol, sama sekali tidak membuatnya bangga apalagi bahagia. Nyatanya, selama puluhan tahun, ia mendapat perlakuan diskriminatif.S
“Yoboseo, ne Samchon, harus sekarang juga? baiklah aku datang.”Young-han menutup ponsel. Biasanya jika tidak penting pamannya tidak seserius ini sampai menelepon. Segera dia mengemudikan sepeda motornya menuju Universitas Hankuk.Beberapa meter di depannya, ia melihat Jingga berjalan, Young-han segera memberhentikan motornya di samping Jingga.Sejurus kemudian Jingga menoleh karena bunyi klakson dan deru sepeda motor yang berada di sebelahnya.Young-han membuka kaca helmnya.“Naik, aku mau ke HUFS!” ajak Young-han kaku.
TUBUH TEGAPNYA TERPELANTING membentur pohon angsana. Percikan bunga api memancar ketika motor sport yang sedang ia kendarai berbenturan dengan aspal. Beberapa orang di sekitar langsung berlarian ke arah tempat kejadian, segera mengangkat raga yang tak sadarkan diri, korban keganasan dan kebrutalan metromini. Badannya kini terkulai lemah dalam ambulans. Mobil tersebut melesat, meraung-raung. Lajunya membelah kepadatan lalu lintas Jakarta. *** Linangan air mata menganak sungai di wajahhnya. Ia menatap tubuh yang tergolek tak berdaya. Kelopak mata yang terkatup, tampak damai, tanpa kebisingan apa pun. Tanpa bara yang membakar rasa. Detak jantung yang terdeteksi dari monitor kardiograf, menjadi bukti bahwa jiwa masih menyatu dalam
Pukul tujuh pagi, suhu masih di kisaran minus lima derajat celcius. Jingga sudah berada di luar apartemen. Acara pembukaan program pertukaran budaya masih dua jam lagi. Dia sengaja keluar lebih awal sebelum berangkat ke kampus demi memotret suasana kota saat pagi, meski harus berjuang menahan dingin.Jingga sibuk memutar lensa zoom dan menekan tombol shutter. Kemudian membidik sudut-sudut kota yang menurutnya menarik. Tanpa menyadari kalau aktivitasnya itu tengah diperhatikan oleh seseorang dari kejauhan.Pria di atas motor sport hitam dengan wajah tertutup helm tersebut masih mengawasi Jingga, penasaran
Prasetyo Wibowo, senior Jingga di kampus. Kedekatan antara Jingga dan pria itu terjadi ketika mereka menjadi partner kerja di sebuah organisasi kemahasiswaan. Mereka sering terlibat dalam urusan program acara di universitas. Tak hanya urusan pekerjaan saja ternyata. Diam-diam, urusan perasaan pun menjadi dekat. Dalam diam, Jingga memendam rasa yang tak biasa untuk Pras. Hingga akhirnya, waktu memisahkan mereka sampai lulus kuliah. Harapan yang terlalu berlebihan menimbulkan rasa sakit yang berlebihan juga. Sampai kemudian, Jingga mendengar kabar bahwa Pras telah melamar Novia, temannya sendiri. Walau hatinya bagai tersayat sembilu, mau tidak mau Jingga harus mengikhlaskan semuanya. Sesuatu yang memang ditakdirkan berakhir, ia tentu tak kuasa mencegahnya. Pras sudah memilih