TUBUH TEGAPNYA TERPELANTING membentur pohon angsana. Percikan bunga api memancar ketika motor sport yang sedang ia kendarai berbenturan dengan aspal.
Beberapa orang di sekitar langsung berlarian ke arah tempat kejadian, segera mengangkat raga yang tak sadarkan diri, korban keganasan dan kebrutalan metromini. Badannya kini terkulai lemah dalam ambulans. Mobil tersebut melesat, meraung-raung. Lajunya membelah kepadatan lalu lintas Jakarta.
***
Linangan air mata menganak sungai di wajahhnya. Ia menatap tubuh yang tergolek tak berdaya. Kelopak mata yang terkatup, tampak damai, tanpa kebisingan apa pun. Tanpa bara yang membakar rasa. Detak jantung yang terdeteksi dari monitor kardiograf, menjadi bukti bahwa jiwa masih menyatu dalam raga, meski entah kapan mata tubuh akan kembali berkuasa.
****
IMPIAN HARUS DIPERJUANGKAN, sehingga akan tertoreh sejarah untuk mereka yang berani dan mau menebusnya. Beberapa dari mereka, salah satunya adalah Jingga. Seorang gadis di penghujung usia dua puluhan. Namun ia tak pernah letih mengejar mimpinya. Kini, mimpi itu nyata di depan mata, mengantarkannya ke tempat ini. Terpilih sebagai peserta program pertukaran kebudayaan yang diselenggarakan oleh HUFS (Hankuk University Foreign Studies), atau dikenal dengan Universitas Hankuk.
Jingga namanya. Jilbab magentanya kontras dengan kulit yang putih bersih. Dagu lancip, hidung bangir, dan sorot mata yang begitu teduh. Parasnya yang ayu dan lembut, terlebih saat tersenyum, tampak kedua lesung pipitnya.
Ia melangkah pasti di sebuah bandara dengan desain futuristik. Bandara yang tak pernah tidur di negara yang juga selalu terjaga. Bandara Incheon. Terus berjalan menapaki ruangan yang dibatasi dengan kaca dan baja putih yang kokoh. Menuju terminal kereta bawah tanah dengan destinasi Seoul.
Namun, seketika langkahnya terhenti. Ia terkesiap saat melihat dua orang yang telah ia kenal waktu di tanah air, dan kini telah berdiri di depan terminal kedatangan, menyambutnya.
Perempuan berparas oriental, cantik dan glamor. Di samping gadis Korea tersebut, berdiri seorang pria. Usianya pertengahan tiga puluhan dengan penampilan elegan dan penuh wibawa, melempar senyum kepadanya.
Mereka adalah Kim So-eun dan Kim Jun-su. Jingga tak menyangka keduanya sengaja menjemputnya di bandara ini. Menurut penuturan mereka, ternyata keduanya adalah keponakan Profesor Lee. Profesor yang menjadi sponsornya untuk mengikuti program pertukaran kebudayaan di negara ini.
Dunia itu luas, tapi terkadang seperti memiliki jaring-jaring yang terkoneksi antara satu kehidupan dengan kehidupan yang lainnya, serta tak kasat mata. Dan ini adalah suatu anugerah, bertemu kawan yang baik seperti mereka di tengah keterasingannya untuk setengah tahun ke depan.
***
Perlahan mobil mewah itu melaju meninggalkan Bandara Incheon menuju kediaman Prof. Lee di Distrik Gangnam. Keluar dari tol, mobil menuju jantung Korea Selatan, Seoul. Sepanjang jalan masih terdapat sisa salju semalam.
Mereka melintasi terowongan yang menembus bukit-bukit, melewati aneka jembatan yang berdesain unik. Terlihat bangunan dengan arsitektur kuno, seperti beberapa istana yang masih terawat baik dan kuil-kuil konfusionisme. Bersanding harmonis dengan gedung-gedung pencakar langit berdesain modern.
Kawasan hijau di sepanjang aliran Sungai CheonggyeCheon menjadi salah satu primadona di kota ini. Sungai yang membelah kota dengan jalur hijau di sepanjang bantarannya dan kawasan pedestrian yang nyaman.
Meski musim dingin, aktivitas penduduk yang sibuk tak pernah mengenal musim. Lalu lalang pejalan kaki di trotoar yang lebar dengan mengenakan beraneka model jaket tebal musim dingin. Ia bak menyaksikan pertunjukan fashion jalanan.
Mereka sampai di kediaman Profesor Lee. Halamannya luas dengan rumput tertata apik seperti permadani. Terlihat bangunan utama dengan atap yang melengkung tinggi, kokoh, dan berpondasi batu. Tak banyak perabotan di dalamnya dan suhu ruangan terasa sangat hangat.
Sejurus kemudian, muncul lelaki berperawakan tambun dan tinggi. Pria ini adalah Prof. Lee. Seorang profesor yang fasih berbicara bahasa Indonesia, mengampu mata kuliah bahasa Melayu-Indonesia di Universitas Hankuk.
Prof. Lee juga menerangkan pada Jingga bahwa mulai besok, ia sudah bisa datang ke universitas untuk memulai regristrasi dan segala macam urusan administrasi. Selang satu jam, Jingga mohon diri untuk menuju apartemen.
Pukul delapan malam, ia sudah tiba di apartemen yang lokasinya tak jauh dari Universitas Hankuk. Jingga memandangi ruangan yang serba minimalis. Meski kamarnya kecil, tapi sangat nyaman dan hangat. Dinding kamar bercat cokelat muda. Selain kamar tidur, ada juga ruang tamu kecil yang hanya terdapat sofa, karpet, meja pendek, dan rak buku.
Ia menyibak tirai jendela yang berembun karena salju kemarin. Dari lantai empat, terlihat samar-samar gemerlap kota dan sinaran warna-warni lampu jalanan.
Jingga bertasbih dalam hati, memuji Sang pemilik semesta. Tasbihnya bersahut-sahutan dengan tasbih udara dingin malam ini. Malam pertama di negeri Daehan minguk*.
***
Kim Young-han, pria atletis berwajah oval dengan pembawaan tegas dan dingin. Ia tampak serius di depan monitor komputer, membuat rancangan untuk model gawai terbaru yang siap diproduksi oleh perusahaannya. Tak lama, telepon di ruang kerjanya berbunyi.
“Yoboseo (halo).”
“Kutunggu di ruanganku sekarang juga,” perintah seorang pria yang tak lain adalah presiden direktur perusahaan tersebut.
Young-han menuju ruangan sang presdir tanpa mengetuk terlebih dahulu. Di dalamnya, seorang pria tengah berdiri memunggungi Young-han, menghadap ke luar jendela dengan tangan dimasukkan ke saku celana. Sejurus kemudian, pria tersebut menoleh. Seketika Young-han membeku.
“Semalam aku menghubungimu, tapi tak bisa.”
“Aku mematikannya,” jawab Young-han cepat.
“No neun i bappeun geoya (apa kau sibuk)?”
“Ya.”
“Hmm ... jangan terlalu tegang. Eh, kudengar kau pindah apartemen lagi. Di mana?”
“Pertanyaan pribadi. Masih jam kerja, Tuan Kim. Aku mohon diri,” sahut Young-han kaku.
Ia membungkukkan badan pada Kim Jun-su, bersiap hendak meninggalkan ruangan. Namun, langkah Young-han seketika tertahan oleh pertanyaan sang presdir.
“Apa nanti kita bisa bertemu di Bar Halla?”
Young-han memerlukan waktu sepersekian detik untuk menjawab. “Tapi tidak lama.
Tanpa menunggu tanggapan atasannya, ia bergegas keluar.
Jin-su menatap kepergian lelaki itu sambil menggeleng-geleng prihatin.
“Mau sampai kapan kau seperti itu?” gumamnya.
***
Kedua pria itu sudah duduk selama lima belas menit di bar, tetapi tak satu pun yang memulai percakapan. Mereka senyap dalam keramaian alunan musik. Beku dalam ingar bingar kemeriahan lampu. Sampai akhirnya, Kim Jun-su memulai pembicaraan, memecah kebekuan.
“Bagaimana kabarmu?”
Young-han menyeringai. “Pertanyaanmu macam orang tak pernah bertemu saja!”
Ia memandangi gelas yang berisi bir. Seperti ada sesuatu di dalamnya. Ada bara yang masih menyala di hati setiap kali berbicara dengan pria di sampingnya. Jun-su menghela napas, tersenyum kecut, sekuat hati menahan emosi.
“Oh iya, tadi pagi aku bertanya di mana apartemenmu sekarang. Dan kau belum menjawabnya.”
“Begitu pentingkah untukmu?” tanya Young-han tajam.
“Tentu saja penting, selama namamu masih tercantum dalam akte sebagai putra kedua Kim Min-dong,” ujar Jun-su tenang seraya meletakkan tangannya pada pundak Young-han, yang segera ditepis pria tersebut dengan kasar.
“Mungkin jika namaku sudah terhapus dari akte, kau sudah tidak lagi menganggapku penting. Begitu, ‘kan?”
“Maksudku bukan begitu. Jangan salah paham lagi. Bagaimanapun kau adikku, mana bisa seperti ini terus.”
Mendengar ucapan Jun-su, Young-han tersenyum pahit.
“Adik? Masih mengakui aku sebagai adikmu?”
Kali ini, Jun-su mulai terbawa emosi. Cengkeramannya pada gelas menguat. Andai bisa, ingin rasanya ia melemparkan gelas itu tepat ke wajah arogan Kim Young-han.
“Pulanglah ke rumah kita, jalani hidup dengan normal. Sudah lama sekali seperti ini. Apa kau tak merasa lelah dengan amarah yang menguasai hatimu itu?” ujar Jun-su parau. Kesabarannya sudah hampir mendekati titik nadir.
“Lelah?” seringai Young-han. “Jika kau lelah, maka mulai sekarang, berhentilah mencampuri urusanku!” bentaknya, kemudian bangkit meninggalkan Jun-su.
Jun-su terdiam sejenak. Darahnya menggelegak. Ia membanting gelas. Emosinya yang selama ini terkontrol baik kini porak poranda. Tak ada lagi kesabaran. Semua sudah hancur berkeping-keping ... seperti pecahan gelas itu.
Ia pun larut dalam minuman beralkohol, hingga berbotol-botol. Tak lama, tertunduk di meja bar seperti pecundang. Tubuhnya seakan melayang ke dalam suatu fantasi yang hanya ia sendiri yang tahu. Kepala Jin-su terlalu berat untuk diangkat.
Tak lama, asistennya datang untuk memapah pria itu keluar, memasukkannya ke mobil. Kendaraan mewah tersebut lantas melesat di tengah kemilau malam kota.
***
Ket * : Daehan minguk, sebutan untuk negara Korea Selatan.
Pukul tujuh pagi, suhu masih di kisaran minus lima derajat celcius. Jingga sudah berada di luar apartemen. Acara pembukaan program pertukaran budaya masih dua jam lagi. Dia sengaja keluar lebih awal sebelum berangkat ke kampus demi memotret suasana kota saat pagi, meski harus berjuang menahan dingin.Jingga sibuk memutar lensa zoom dan menekan tombol shutter. Kemudian membidik sudut-sudut kota yang menurutnya menarik. Tanpa menyadari kalau aktivitasnya itu tengah diperhatikan oleh seseorang dari kejauhan.Pria di atas motor sport hitam dengan wajah tertutup helm tersebut masih mengawasi Jingga, penasaran
Prasetyo Wibowo, senior Jingga di kampus. Kedekatan antara Jingga dan pria itu terjadi ketika mereka menjadi partner kerja di sebuah organisasi kemahasiswaan. Mereka sering terlibat dalam urusan program acara di universitas. Tak hanya urusan pekerjaan saja ternyata. Diam-diam, urusan perasaan pun menjadi dekat. Dalam diam, Jingga memendam rasa yang tak biasa untuk Pras. Hingga akhirnya, waktu memisahkan mereka sampai lulus kuliah. Harapan yang terlalu berlebihan menimbulkan rasa sakit yang berlebihan juga. Sampai kemudian, Jingga mendengar kabar bahwa Pras telah melamar Novia, temannya sendiri. Walau hatinya bagai tersayat sembilu, mau tidak mau Jingga harus mengikhlaskan semuanya. Sesuatu yang memang ditakdirkan berakhir, ia tentu tak kuasa mencegahnya. Pras sudah memilih
Dengan hati-hati Jingga mengetuk pintu ruangan Prof. Lee. Dari dalam terdengar suara pembimbingnya telah mempersilakan masuk. Perlahan diputar gagang pintu. Di dalam ruangan terlihat Prof. Lee sedang berbincang-bincang dengan seorang pria. Pria tersebut duduk membelakangi Jingga. “Annyeong haseyo, Gyusonim (Professor),” sapa Jingga sopan, seraya menundukkan badan. Prof. Lee balas mengangguk, “Silakan duduk, Jingga ssi.” Jingga mendekat, sesaat tamu pria Prof. Lee menoleh. Seperti biasa, tatapannya begitu dingin tak bersahabat.
Jam satu dini hari, Young-han baru menyelesaikan lukisannya di workshop galeri. Mencoba memejamkan mata di sofa ruang kerja, tiba-tiba bayangan Jun-su kembali hadir. Kata-katanya beberapa waktu yang lalu terngiang lagi.“Kau akan kehilangan sahammu di perusahaan ini!” Persetan dengan semuanya! Warisan, wasiat, apa pun itu!Terlahir sebagai putra kedua dari seorang *chaebol, sama sekali tidak membuatnya bangga apalagi bahagia. Nyatanya, selama puluhan tahun, ia mendapat perlakuan diskriminatif.S
“Yoboseo, ne Samchon, harus sekarang juga? baiklah aku datang.”Young-han menutup ponsel. Biasanya jika tidak penting pamannya tidak seserius ini sampai menelepon. Segera dia mengemudikan sepeda motornya menuju Universitas Hankuk.Beberapa meter di depannya, ia melihat Jingga berjalan, Young-han segera memberhentikan motornya di samping Jingga.Sejurus kemudian Jingga menoleh karena bunyi klakson dan deru sepeda motor yang berada di sebelahnya.Young-han membuka kaca helmnya.“Naik, aku mau ke HUFS!” ajak Young-han kaku.