Share

Bab 2 Tukang Tidur yang Misterius

Rain berharap, satu hari yang akan dilewatinya berlalu cepat. Masalahnya, waktu tidak pernah konsisten bagi yang menunggu. Untuk dirinya yang berharap waktu berlari seperti kuda, maka waktu akan terasa lama layaknya kura kura, dan itu kerap membuat Rain prustasi dan gemas sendiri. Sejak hari dimana kecelakaan itu terjadi, Rain harus dengan kuat hati menerima anomali dalam hidupnya.

Mula mula, dia melihat dua suster yang tidak dapat dilihat Amelia di ruang UGD saat itu. Dan ketika Amelia kemudian berjalan keluar dengan tenangnya, Rain bertindak lain. Jantungnya waktu itu sungguh sungguh berloncat loncatan kencang. Rain berusaha bersikap biasa saja, walau dia menyadari sesuatu sudah berbeda.

Ketika dia melewati meja dimana Amelia berbicara dengan seorang suster yang menulis sesuatu, Rain mencoba mengintip dari ujung matanya dan bersikap seolah-olah dia sedang memandang pajangan di dekat tembok.

Dua suster dipandangan matanya tengah bercerita, tanpa suara. Mereka tertawa kemudian kembali serius,wajah mereka tidak terlihat karena terkondisikan keduanya sedang menyamping. Rain mencoba melihat lewat ujung matanya ke dalam ruangan yang dipisahkan dengan meja panjang.

Kedua suster itu hanya memiliki separuh tubuh yang seolah-olah mengambang. Melihat pemandangan dari ujung matanya itu Rain buru-buru mengalihkan penglihatannya kearah yang lain sambil menahan napas. Dia mencoba menghitung dalam hati untuk mengusir rasa takut.

1..2…3..4….5….6

“Rain!” suara Amelia terdengar menghentak, menghentikan hitungan yang sedang digumamkan dalam hatinya.

“Ah….ya?” Rain langsung gelagapan

“Dipanggil dari tadi enggak nyahut. Ini biaya obat dan UGD nya.” Amelia langsung menyodorkan tagihan.

Rain melihat kertas yang diberikan Amelia, dan mendadak dia mendonggakkan wajahnya segera. Sosok dua suster yang dari tadi sibuk berbicara sudah tidak ada di belakang meja. Rain sedikit lega.

“Kenapa?” Tanya Amelia melihat gelagat kawannya yang dari tadi bersikap ajaib.

Rain menggeleng sambil tersenyum. “Enggak…enggak apa apa kok. Yuk bayar ke kasir.”  Tukas Rain lega.

“Ayuk” sahut Amelia yang langsung memutar badan menuju pintu.

Rain memutar badannya hendak menyusul Amel, namun langkahnya langsung ciut dan beku. Dihadapannya kedua sosok suster berdiri menghadapnya. Begitu dekat. Wajah keduanya tidak ada, hanya lekukan di antara alis dan hidung saja. Menyerupai lekukan wajah. Kedua suster tersebut tidak memiliki kaki, tubuhnya hanya sampai paha dan sisanya hilang, keduanya mengambang.

Rain ingin menjerit, namun dia buru buru menutup mulutnya rapat rapat dengan kedua tangan. Kedua suster itu tidak mengetahui dirinya, dan tidak mengetahui ekspresi wajahnya. Rain meyakinkan dirinya bahwa kedua suster tersebut tidak menyadari bahwa Rain “tahu”.

Mendadak Amelia masuk menyeruak diantara kedua suster tersebut. Tubuhnya menembus keduanya. Tangan Amelia segera meraih tangan Rain.

“Hei, ayo cepat. Sudah keburu sore.”

Rain mengikuti tubuhnya ditarik oleh Amelia. Lalu dia merasakan sensasi aneh ketika melewati tubuh kedua suster tersebut.  Sensasi seperti ngilu ketika mendengar suara derit kaca dan gigi mengeretak ngilu.

**

Amelia menyenggol lengan Rain yang sedang menopang tubuhnya yang tertelungkup di atas meja. Rain bergerak malas, dan kemudian mengganti posisi kepalanya membelakangi sudut Amel duduk. Amelia sedikit kesal, lalu menyenggolnya lagi, cukup membuat Rain terusik dan mengangkat wajahnya sedikit.

“Apaan sih…”

“Bangun….”

“Kan guru belum datang..” ucap Rain agak malas.

“Kenapa sih dari pagi enggak semangat begitu?”

Pertanyaan Amelia ditanggapi dengan dengusan Rain. Gadis tersebut kembali menelungkupkan wajahnya diantara dua tangannya yang saling bertumpuk di atas meja. Lima hari sudah sejak kecelakaan tersebut. Sejak dia secara nyata melihat dengan kedua matanya wujud suster tanpa wajah di rumah sakit. Dan itu bukan menjadi kali terakhir dia melihat bentuk keganjilan. Di rumah sakit itu hanya permulaan saja, dan kemudian pada hari berikutnya, beberapa kali Rain dihadapkan pada sosok sosok tidak jelas.

Bayangan hitam yang sebesar rumah, atau kakek tua yang kecilnya hanya selutut Rain. Yang pernah terjadi dan hampir menipu matanya adalah sosok bocah yang berlari di jalan raya, dan Rain harus menarik nafas ketakutan ketika sosok anak kecil tersebut menembus laju laju kendaraan. Satu yang terasa oleh Rain belakangan ini, selain dia mampu melihat keganjilan, hidungnya jauh lebih peka dari biasanya. Rain bisa mencium aneka aroma yang ganjil.

Aroma yang belakangan ini Rain cium seringkali tidak bisa dikenali oleh daya penciumannya. Ada bau campuran antara mint dan wangi bunga melati. Bau manis yang menyengat, atau terkadang bau aneh yang baru dirasakan indera penciumannya. Anehnya—dan seringkali terjadi—bau tersebut berbarengan dengan Rain melihat sosok ganjil dengan banyak bentuk.

Melihat keganjilan di depan matanya membuat Rain cepat lelah, jadi tanpa disadari kadang Rain terlelap di berbagai tempat. Di angkutan umum, di kelas, di sofa televise, bahkan pernah juga Rain tertidur di ruang tunggu. Rasa takut, jangan ditanya lagi, sudah setengah mati Rain mengikis rasa takut yang selalu datang berbarengan dengan aroma aroma aneh yang seringkali diciumnya lebih dulu sebelum tiba-tiba sosok makhluk melintas dihadapannya dengan rupa keganjilan yang tidak biasa. Lima hari bukan waktu yang lama untuk membiasakan diri dengan ketakutan setiap harinya.

Jadi, sejak itu, lima hari sudah Rain gampang terlelap di kelas, dan mudah sekali dia menguap. Itu membuat Amelia gemas dan tidak habis mengerti.

“Bingung deh aku, kamu jadi tukang tidur. Persis seperti Tarun,” gerutu Amelia sambil menunjuk seorang cowok teman sekelasnya dengan isyarat mulut.

Rain mendengus, “ Hhhh, jangan samakan Saya sama tukang tidur itu dong!” dalam benak Rain terbayang sosok Tarun, cowok yang punya rambut keriting dipotong pendek, namun karena sepertinya dia memiliki bakat rambut keriting, bentuk bulat bulat pada rambutnya masih terlihat. Tubuhnya kurus tinggi dan memakai kacamata, sekilas seperti orang pintar, namun satu kelas juga tahu Tarun sering tertidur di tengah pelajaran. Hebatnya, laki laki dengan kulit yang coklat gelap itu seolah tidak peduli ketika beberapa kali sempat kena teguran, sampai dipanggil oleh BP. Dia tetap tertidur ditengah pelajaran.

Selama setengah tahun sekelas dengan pemuda unik itu, Rain jarang berinteraksi dengannya kecuali ketika sedang menjadi bendahara kelas dan harus memungut iuran. aru itulah interaksi yang dilakukan Rain. Dan biasanya Tarun yang selalu menelungkupkan wajahnya akan mendonggakkan sedikit wajahnya, lalu merapikan kacamanya dan meraba-raba saku di dada, mencari uang yang bergulung lalu menyerahkannya pada Rain.

Rain berani bertaruh, Tarun pasti tidak akan naik kelas, karena kebiasaan tidur tanpa sebabnya itu sering membuat guru guru gusar. Namun, ajaibnya, ketika raport tengah semester dibagikan, dia menduduki posisi lima besar dikelas. Sontak hal tersebut mengangetkan seluruh kelas, dan itu juga yang membuat guru pun akhirnya menyerah dengan kebiasaan Tarun tidur, karena walau begitu nilai ulangannya tidak pernah menjadi yang terburuk ataupun nilai yang baling buncit.

Rain menguap dan berusaha mencoba mencari pembenaran diri. Dia berbeda dengan situkang tidur Tarun. Dia tidur baru baru ini saja, dan itu karena lelah. Nanti ketika kondisi tubuhnya kembali prima maka dia akan menjadi murid teladan lainnya. Tidak pernah tidur dikelas, nilai baik, absen sempurna dan memiliki jabatan khusus di kelas.

“…In…”

Rain merasa kepalanya melayang, seperti ada putaran putaran awan di sekelilingnya. Tubuhnya terasa ringan. Rain membuka matanya lantas melihat sekelilingnya. Kelas menjadi hening. Rain berdiri, rasa lelahnya seperti musnah.

Tapi, kemana teman-teman sekelasnya? Rain melihat kiri dan kanan, kelas kosong. 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Agus Mulyadi
ini cerita anak yg kebuka mata bathin
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status