“Hei…” bisik Amelia, sambil menyenggol lengan Rain
“Heh?”
“siapa yang kamu lihat?”
“Eh—tidak ada…”
“masa? Kulihat ada yang menarik di belakang?” Amel menengok, lalu mengulum senyum. “Kamu lagi lihat si tukang tidur ya?”
“Enak aja…”
“Oh…” Amel mengangguk, “Tapi—“ potongnya, “Tarun sedang melihat kemari kayaknya. Tumben…”
“Jangan dipedulikan,” sahut Rain berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Apa terjadi sesuatu?” bisik Amel tidak mau berhenti penasaran.
“Enggak ada.”
“Oh….”
Kembali keduanya diam, tapi tidak dengan pikiran Rain. Dia masih sibuk menganalisis. Yang mula-mula dia analisis, adalah ucapan Tarun tentang “dia tahu”. Dan kemudian seolah di paksa mengakui sesuatu, Rain sadar bahwa dia harus berbicara kembali dengan Tarun. Masalahnya, Rain merasa enggan.
Pelajaran bergerak dengan alur lambat. Guru berganti dan semua jadi terasa membosankan. Ada sebagian dirinya yang ingin terbang segera menuju Tarun dan menjejali cowok rambut keriting tersebut dengan ragam pertanyaan, namun sebagian dirinya yang lain enggan membahas, ataupun berbagi kesulitannya. Bagian mana yang kemudian akan lebih condong, Rain masih harus menunggu sampai pelajaran ke enam usai dan lonceng pulang berdentang, dan itu masih dua jam lagi.
**
Rain bersusah payah menahan kantuk yang teramat sangat di lima belas menit pelajaran terakhir. Rasa lelah mendera dan kantuk terus menghujam matanya. Beberapa kali Rain hampir jatuh tertidur, namun dia berusaha bertahan.
Tepat ketika akhirnya dia menyerah untuk bertahan tetap tersadar, bel usai pelajaran berdering nyaring dan bersemangat. Disertai desah lega anak anak sekelas yang berbunyi serentak seperti koor nyanyian lagu acapela. Rain mendapatkan kembali kesadarannya dan kemudian bersemangat. Dia sudah membereskan barang barangnya dengan cepat cepat.
“Rain, ke Gramedia dulu yuk. Hari ini ada komik baru terbit!” bisik Amelia.
“Hah? Oh, sekarang Rabu ya…”
“Iya.”
“Ah…anu Mel, maaf..anu, itu…kayaknya saya enggak bisa nemenin.”
“kenapa? Biasanya kamu semangat juga mau lihat komik terbaru.”
“Hari ini, kayaknya aku ada perlu. Gimana kalau besok saya temenin ke gramedianya. Hari ini libur dulu.”
“Oh..” Amel sedikit kecewa.
“Ya sudah, yuk deh kita pulang.”
“Ah, itu juga. Kamu duluan saja.”
“Kenapa?”
Rain agak bingung, tapi dia berupaya mencari alasan yang paling masuk akal untuk teman sebangkunya tersebut. “Saya ada perlu dulu. Jadi untuk sementara di sekolah dulu.” Terangnya, pikirannya terus berputar mencari alasan.
Kelas sudah mulai kosong, kini yang tersisa tinggal Rain, Amel, Tarun yang masih tertelungkup tidur, Adrian, yang duduk paling belakang dan masih sibuk mencorat coret bukunya, serta Rais yang masih berkemas-kemas pada barangnya.
Amel sedikit ragu untuk berdiri, dia memandangi sahabatnya. Rain hanya memberi isyarat dengan bahunya. Amel menghela napas, lalu kemudian mengangkat tasnya dan keluar dari bangku. Amel meninggalkan kelas, diikuti dengan Rais yang sudah selesai berkemas, kini tinggal Adrian yang masih sibuk dengan bukunya dan enggan pergi, serta Tarun yang masih menelungkup.
Rain bergerak dari bangkunya, keluar dan segera menghampiri meja Tarun. Tarun masih tertelungkup dengan suara nafas yang teratur. Rain mengetuk meja di dekat tangan Tarun. Suara ketukan yang lembut tersebut tidak membuat Tarun menengadahkan wajahnya. Laki-laki berambut keriting pendek itu masih terlihat tertelungkup.
Rain mengetuk meja lagi dengan perasaan gelisah dan sedikit jengkel. Usahanya berhasil, Tarun menggeser wajahnya dari tangan dan mengangkatnya perlahan. Sebelah matanya terlihat di antara dua lengannya yang masih bertumpuk di meja.
“Saya ingin berbicara…” bisik Rain.
Tarun menegakkan sedikit wajahnya, Menunggu. Rain sedikit gelisah.
“Secara Pribadi…” ucap Rain kembali. Tarun menelengkan kepalanya di samping tangannya. Menunggu kembali, Rain menjadi kesal,lalu membuat isyarat bahwa mereka tidak berdua, tapi ada orang lain di dalam kelas tersebut.
Tarun bangkit, agak malas. Dia mengambil tasnya dan menyeret tas tersebut berikut tubuhnya keluar dari meja, seolah tubuh tersebut berat sekali untuk dibawa. Rain segera berjalan lebih dulu dari Tarun.
Mereka berdua keluar kelas. Setiap ruangan sudah mulai sepi dari murid. Rain tengah memutuskan akan memilih tempat yang bisa bicara berdua, namun rupanya Tarun punya pemikiran sendiri, dia melangkahkan kakinya ke arah yang berbeda dari Rain. Dengan sedikit gusar dan penuh tanda Tanya, giliran Rain yang terpaksa mengikuti Tarun.
“Kita kemana?” Tanya Rain sambil melangkah dibelakang Tarun.
“Kamu ingin tempat yang bisa bicara secara pribadi kan?”
“Iya, tapi kok malah ke luar?” sergah Rain karena arah jalannya tarun malah menuju pintu keluar sekolah.
“Yah, kamu bisa bertanya sambil jalan pulang kan?”
“Tapi bukan begitu maksud saya..”
“Kenapa? Justru pembicaraan sambil pulang malah lebih wajar.”
“Memang…tapi…”
“Kamu pulang ke arah selatan kan? Aku juga ke sana." Sahut Tarun santai.
Rain sedikit mengedikkan bahunya, dia merasa tidak nyaman. Rasanya berjalan dengan Tarun seperti tersedak makanan dan tidak menemukan minuman.
“Jadi? Pembicaraan apa yang ingin kamu bicarakan padaku?” Tanya Tarun ketika posisi jalan mereka sudah sejajar.
“Soal pembicaraan kita tadi waktu di wastafel…” ucap Rain.
“Soal aku memperhatikanmu?”
“Bukan yang itu—yah, yang itu juga—tapi bukan itu maksud saya…”
“Kenapa berbelit belit? Yang benar yang mana?”
Rain menggaruk kepalanya, “Jangan membuat saya bingung dong..” Rain menghentikan langkahnya secara tiba-tiba. Matanya tertumbuk pada sosok nenek tua yang berdiri di sebuah batang pohon di seberang jalan, lima meter di depannya. Nenek itu tubuhnya agak ke abu-abuan, menggunakan kain carik lusuh. Tubuhnya bungkuk sambil memegang tongkat yang beralur tidak beraturan.
Tarun ikut berhenti, lalu berkata dengan tegas, “Jalan saja, jangan dipedulikan apa yang kamu lihat!” serunya berbisik.
“Kamu lihat?” Tanya Rain
“Ya.”
Tarun berjalan, kali ini langkahnya lebih cepat dari Rain. Rain sudah membuang rasa tidak nyamannya dan mengejar langkah Tarun agar posisi jalan mereka sejajar.
“Apa yang kamu lihat?” kejar Rain.
“Nenek tua dengan warna abu-abu.”
Mata Rain berbinar, kali ini pertama kalinya Rain bisa berkata sejajar dengan seseorang tentang sesuatu. “Kamu benar benar bisa melihatnya!” pekik Rain bahagia.
“Sst, “ Tarun menyampingkan ujung telunjuknya pada tengah bibir, “Ya, dan melihat reaksimu nona, sepertinya kamu menahan beban terlalu berat.” Ujarnya, suaranya terdengar sedikit sinis.
“Hei…” Rain sedikit tersinggung. Terlebih, ucapan Tarun mengena.
“Kapan kamu bisa melihat? Sudah lama atau baru baru ini? Mereka itu hantu ya, atau setan?”
“Hei-Hei…satu satu non…” potong Tarun.
“Oke….” Rain menarik napas, “Kamu kapan bisa melihat?”
“Sudah lama.”
“Seberapa lama?”
“Cukup lama.”
Rain menggeram jengkel, “Saya serius!”
“Daripada kamu bertanya kapan aku bisa melihat, sebaiknya kamu bertanya kenapa kamu bisa melihatnya.”
“Kamu tahu kenapa saya bisa melihat yang seperti itu?”
“Tidak tahu.”
Rain menggeram lagi. “Serius dong Tarun!!” pekik Rain jengkel.
“Akh, akhirnya kamu memanggil namaku juga…” Tarun menyeringai, tampak senang.
Rain memukul keningnya, perasaannya campuran antara jengkel, marah dan keki.
“Baiklah,” ucap Rain, “Saya ganti pertanyaannya. Itu sebenarnya apa?”
“Yah, seperti yang sudah kukatakan tadi, orang biasa menyebutnya, hantu, setan, penampakan, roh halus dan lain-lain, tapi aku menyebutnya jin.”
“Oo. Katakan seperti ini, saya memiliki indra ke enam?”
“Yah, kira kira seperti itu.”
“Mereka bisa mengganggu kita?”
“Tergantung. Pada beberapa kasus mereka sangat mengganggu, namun pada hal lain, mereka acuh saja.”
“Waktu pertama kali saya bisa melihat, saya melihat sesuatu yang mengerikan—waktu dirumah sakit—dua wujud suster tanpa wajah dan tanpa pinggang” Cerita Rain. Dia merasa bergidik ketika mengingat moment tersebut. “Lalu, pernah juga melihat orang kate. Hitam, pendek dan gemuk. Ada juga hewan-hewan yang seolah berlaku seperti manusia.” Cerita Rain. Dia mengingat setiap moment dimana perasaan ketakutan selalu ditelannya. “Dan, mereka memiliki bau yang kuat.”“Bau?” Tarun menengok ke arah Rain, kerutan di tengah alis matanya terlihat.“Ya. Seperti bau kain pel, atau bau baju lembab. Kadang bau manis seperti gula, atau seperti bau pahit obat. Macam macam bau. Ada juga yang busuk kayak comberan, atau bau seperti pipis bayi. Macam-macam. Kadang itu sangat mengganggu.”“Ow, aku baru tahu yang seperti itu.”sungut tarun.“Memang kamu tidak mencium bau mereka?”&ldq
Motor yang dikendarai Tarun terus melaju ke arah Dago atas. Mereka melewati jalan layang surapati. Jembatan besar tersebut berdiri memayungi bawah mereka.Keduanya terus jalan lurus, menyusuri jalan ir H Juanda yang panjang. Di sisi kiri kanan jalan tampak deretan toko besar nan megah. Jalanan ramai lancar, beberapa kali motor mereka bertemu gerombolan anak anak sekolah yang menyesak masuk ke dalam angkot. Atau berdiri ditepian jalan bergerombol.Motor terus melaju. Kini kiri dan kanan mereka sudah masuk ke dalam daerah perhotelan ir H juanda. Udara mulai terasa dingin, dan jalanan terlihat seolah menghijau karena deretan pohon tinggi di beberapa ruas jalan.Motor mereka berhenti di persimbangan lampu merah antara jalan Dipati Ukur dan Siliwangi. Tidak sampai satu menit, lampu merah sudah berubah hijau, Tarun melajukan motornya dengan sedikit perlahan dan agak menepi.Motor tersebut masuk ke dalam restoran McD yang berdiri gagah dipersimpangan. Parkiran m
Tarun meletakkan tubuh Rain yang lunglai agak jauh dari goa. Terduduk di tanah. Napas Rain masih tersengal, namun dadanya yang terasa berat sudah mulai terasa enteng.“Aku tidak mengerti….” Ucap Rain lamat lamat, “Padahal tadi semua baik baik saja. Tapi begitu masuk goa, rasanya pengap, bau, bising dan lemas.”Tarun mengeluarkan minuman energy dari plastic yang dibawanya, menyodorkannya pada Rain.“Minum ini.”“Minuman energy?”“Penambah stamina. Kalau kamu merasa lapar aku sudah sediakan roti dan cokelat. Bisa menambah stamina dan gula darah agar normal lagi.”“Kenapa?”“Kok kenapa. Kamu lupa kita kesini untuk latihan.” Seru tarun.“Iya, latihan apa?”“Latihan mengontrol kekuatanmu untuk melihat.”“Memangnya apa yang aku lihat! Aku tidak melihat apapun.”“Kamu yakin?”
Berdiri di depan Goa dengan perasaan siap itu memberikan rasa yang berbeda bagi Rain. Udara lembab mulai menyapa dan membelai bulu disekitar tangan Rain. Bau menyengat perlahan terasa nyerupai kabut yang terus menutupi indra penciuman Rain. Ada beragam bau yang terasa. Bau harum yang menyengat, bau busuk yang samar, bau lembab yang dingin, bau amis yang menyeruak diantara kepungan bau yang beragam.Rain melangkah masuk ke dalam goa, seolah ada selaput tipis yang ditembusnya. Lalu pemandangan berubah secara cepat, hanya hitungan detik. Rain melihat keramaian yang luar biasa di dalam goa.Pandangannya yang semula gelap seperti tertimpa cahaya matahari secara tiba tiba, silau. Lalu kemudian pandangan tersebut mulai perlahan terbiasa. Rain melihat keramaian berkerumun, berjalan menyesak. Berubah menjadi pasar malam. Mereka ada yang berpasangan, ada juga yang sendiri sendiri.Kekuatan Rain serasa disedot oleh pesona keramaian dunia lain. Rain merasa seperti berputar
Kegelapan kembali pekat. Butuh sekitar dua puluh detik untuk membuat mata Rain terbiasa dengan kegelapan. Matanya membutuhkan waktu, namun tidak dengan indra penciuman Rain. Dia mendapati udara pekat bau muntahan. Sangat memuakkan dan membuat Rain merasakan gelombang desakan di sekitar perut seolah merambah ke arah tenggorokan.Rain merasakan tengorokannya panas dan pahit. Lalu di tengah kegelapan, Rain menemukan siluet siluet tubuh makhluk yang memiliki tungkai yang panjang sehingga lengan mereka terjatuh lunglai ke tanah. Setelah matanya terbiasa, Rain melihat ada sekitar tiga makhluk yang siluetnya hampir sama, ketiganya tampak berdiri melingkar disekitar Rain. Mendesah desah dan bergumam gumam dengan suara yang tidak jelas, air liur mahkluk tersebut menetes netes. Mulut ketiga makhluk itu bergerak gerak seolah tengah mengunyah.Tampaknya salah satu makhluk itulah yang menarik tubuh Rain sebelum dia keluar dari dalam goa. Tangan mereka yang panjang memungkinkan mere
Tarun menyorotkan senternya ke samping kiri dan kanannya.“Rain?” panggilnya. Dia menyorotkan kembali senter ke belakang, depan lalu memutarinya. Memastikan keberadaan Rain ada di dekatnya.Goa tersebut terasa lengang. “Rain!” panggil Tarun sekali lagi, kali ini suaranya dinyaringkan. Tarun berputar dan kemudian masuk ke dalam goa lebih dalam lagi. Keberadaan Rain seolah menguap hilang. Ada perasaan dingin yang menjalari ulu hatinya sampai ke kerongkongan. Tarun menelan ludah. “Rain!” panggilnya sekali lagi dengan suara cemas dan panik.Goa terasa sunyi. Suara Tarun yang nyaring memanggil Rain berubah menjadi gema yang kemudian bergaung di telinga Tarun sendiri.Hening.Tarun tahu, dia telah kehilangan Rain. pemuda itu mencoba berbikir cepat. Mencoba menganalisis apa yang kira kira tengah terjadi.Tarun masuk ke dalam goa lebih dalam lagi dan mulai membuka indranya. Lalu, goa sekitarnya
“Aku baru saja mau tidur. Kamu tahu bagaimana kerjaanku kan?”“Please bang, klo enggak urgen aku juga engga mau ganggu, tapi bang, temanku hilang!”“Serius? Oke, kamu ke sini sekarang klo gitu.” Putus suara di seberang telepon.“Terimakasih Bang. Aku akan segera ke sana!”Tarun segera memakai tas ranselnya, membuang semua sampah makanan yang dibawanya ke dalam tong sampah dan bergegas menuju ke tempat parkir.**Butuh sekitar satu jam untuk tiba di daerah sekitar Cijerah. Tarun memutar otak dengan cepat untuk mencari jalan tercepat menuju ujung bandung sebelah barat. Tarun memacu motornya dengan rata rata kecepatan 80 km/jam. Harus bersabar ketika mengantri di lampu merah. Lalu, ngebut ketika jalan dirasa lebih lengang.Cijerah merupakan daerah padat dipinggiran antara Bandung dan Cimahi. Untuk sebuah kota pinggiran, daerah Cijerah termasuk padat karena lokasi yang dekat dengan jal
Tarun menggaruk kepalanya, merasa keberatan. Terbayang dikepalanya, Langit. Nama lengkapnya Langit Rahardi. Sudut pandang Tarun tentang Langit hanya satu. Hampang. Ruang yang luas dan kosong. Satu-satunya laki laki yang membuat Tarun bergidik sendiri ketika berjumpa. Kalau manusia bisa terukur dengan keterbatasan dan kotak kotak di dalam dirinya, langit berbeda. Seolah tubuhnya seperti cangkang, dan di dalamnya hanya ada ruang hampa.“Apa tidak cukup hanya kita berdua saja ?” tawar Tarun.“Tidak mungkin Ru. Kamu tahu kan, yang energinya paling besar untuk bisa masuk ke dalam wilayah mereka hanya Langit. Lagipula, yang paling tahu informasi yang terjadi di sana, ya Langit.”“Aku kok ya tidak nyaman kalau bersamanya Bang.” Ucap tarun.“Terserah kalau kamu tidak mau bersamanya. Tapi, abang menolak membantu kalau tidak mengajak Langit. Apalagi ada gosip dari wilayah sana sedang terjadi perseteruan. Abang meno