Motor yang dikendarai Tarun terus melaju ke arah Dago atas. Mereka melewati jalan layang surapati. Jembatan besar tersebut berdiri memayungi bawah mereka.
Keduanya terus jalan lurus, menyusuri jalan ir H Juanda yang panjang. Di sisi kiri kanan jalan tampak deretan toko besar nan megah. Jalanan ramai lancar, beberapa kali motor mereka bertemu gerombolan anak anak sekolah yang menyesak masuk ke dalam angkot. Atau berdiri ditepian jalan bergerombol.
Motor terus melaju. Kini kiri dan kanan mereka sudah masuk ke dalam daerah perhotelan ir H juanda. Udara mulai terasa dingin, dan jalanan terlihat seolah menghijau karena deretan pohon tinggi di beberapa ruas jalan.
Motor mereka berhenti di persimbangan lampu merah antara jalan Dipati Ukur dan Siliwangi. Tidak sampai satu menit, lampu merah sudah berubah hijau, Tarun melajukan motornya dengan sedikit perlahan dan agak menepi.
Motor tersebut masuk ke dalam restoran McD yang berdiri gagah dipersimpangan. Parkiran motor padat dan beberapa anak anak berseragam yang sama dengan mereka memenuhi dalam restoran.
“Kamu mau mengajakku makan?”
“Makan siang. Kamu enggak suka McD?”
Rain mengangkat bahu, rasanya terlalu mewah kalau latihan mereka adalah makan di McD bukan?
“Jangan khawatir, “ ucap Tarun sambil menutup jok motor dan menguncinya. “Aku yang traktir.”
“Wah, terimakasih…” ucap Rain dengan seringai antara bingung, senang dan merasa tidak enak.
“Kita butuh tenaga. Amunisi. “ ucap Tarun sambil mendorong pintu kaca, mendahulukan dirinya dan memberi jalan untuk Rain lewat lebih dulu.
“Padahal kan enggak perlu di McD.” Jawab Rain.
“Memang tidak perlu sih, Cuma ini kepikiran aja ketika lewat. Lapar juga.”
Keduanya masuk ke dalam antrian. Harus menunggu sekitar sepuluh menit sampai keduanya bisa berada di depan pelayan McD yang memberi senyum ramah dan menawarkan beberapa paket untuk keduanya.
Lima menit kemudian keduanya sudah berjalan membawa nampan berisi makan siang. Tarun memesan lebih banyak dari Rain, bahkan dengan sengaja membungkus tiga buah burger.
“Kau akan makan semuanya?” Tanya Rain sambil melirik ke arah plastic siap bawa.
“Ini juga masih kurang.” Jawab Tarun.
“Serius?”
“Nanti kita mampir ke mart terdekat. Harus beli roti, cokelat, permen dan minuman.”
Rain mengernyitkan keningnya, heran namun berusaha menahan diri untuk tidak bertanya. Selesai mereka makan, sesuai ucapan Tarun. Keduanya mampir di minimart terdekat. Tarun membeli empat botol minuman air mineral, empat botol minuman energy, lima roti cokelat, sebungkus besar permen, makanan ringan dan dua batang cokelat silverqueen.
“Banyak amat?” timpal Rain
Tarun tersenyum sambil memasang helmnya kembali. Meletakkan seplastik besar belanjaannya di bagian depan motor, bergelantungan bersama tas miliknya. Rain mengharapkan jawaban lucu dari Tarun, tapi lagi lagi cowok keriting tersebut hanya melempar senyum rahasia. Motor mereka kembali melaju, berjalan lebih ke atas lagi.
Motor tarun memasuki kawasan Hutan Lindung Taman hutan raya djuanda. Suasananya lengang dan sunyi. Terdengar desau angin dan gemerisik daun yang bergoyang. Pohon pohon dihutan tersebut tinggi dan besar.
Rain turun dan melepas helm sambil mengamati sekitar. Keningnya berkerut, dan ada perasaan konyol ketika mereka tiba ditempat tersebut.
“Ngapain kita disini?” Tanya Rain yang akhirnya tidak bisa menahan perasaan penasaran sejak dari mulai perjalanan.
“Yah, rekreasi.” Jawab tarun santai.
“Yang bener saja dong!” sergah Rain kesal.
Tarun mengambil ransel tasnya,memasang ke punggung dan membawa sekantong besar makanan yang dibelinya di mini market tadi.
“Hei, Ayo. Dinikmati saja. Sambil latihan kita menikmati alam.” Ucap Tarun dengan seringai misterius.
Rain sebenarnya ingin melayangkan protes, namun urung dan memilih mempercayai Tarun.
Keduanya masuk kedalam taman tersebut. Disambut langsung dengan jalan setapak dan pohon yang berjajar. Ada beberapa orang yang berdiri di beberapa tempat. Mereka sepertinya juga penjelajah, atau mungkin mahasiswa. Namun suasana tetap terasa sepi. Udara begitu bersih. Aroma hutan lekat sekali dipenciuman Rain.
“Kamu pernah ke sini kan?”
Rain menggeleng.
“Serius?” Tanya Tarun terperangah.
Rain mengangkat bahu, lalu kemudian memperhatikan sekitar. Ada suara burung bercuit indah, ditemani dengan sinar matahari yang bersinar malu malu terhalang dedaunan pepohonan nan tinggi. Jalanan berundak dan menurun, tampak lumut berwarna hijau tua di sela sela batu. Rain mengikuti Tarun yang terus turun ke bawah.
Keduanya sampai di sebuah lekuk goa yang menganga dengan liang mata raksasa tanpa bola mata. Tarun mengeluarkan sesuatu dari dalam ranselnya. Dua buah senter kecil. Dia menyerahkan satu senter pada Rain.
“Kita masuk ke dalam yuk.”
“Itu goa?”
“Iya. Goa jepang.” Jawab tarun, “Di dalam gelap banget. Tidak ada jendela, atau celah untuk masuk sinar matahari. Kita perlu senter. Goa ini terkenal sebagai tempat tinggal para romusha dulu di masa penjajahan Jepang. Juga dijadikan penjara.”
“Seram…” ucap Rain. “Pasti dulu banyak yang mati di dalam ya?”
“Ya, begitulah.”
“beneran?!”
“Iya, beneran.”
Rain mengusap sisi lengannya, merasakan bulu bulu halus ditangannya berdiri.
“Jangan dipikirkan.” sahut Tarun sambil mengibaskan tangannya. Dia menatap kea rah Rain yang alisnya tampak berkerut. Tersenyum lucu karena wajah Rain saat takut terlihat manis dimatanya.
Keduanya berdiri di depan liang goa. Terdengar suara sedikit ramai. Rain menghidupkan senter. Bau tanah liat, bercampur dengan bau lembab langsung menguar. Senter menyala, namun hanya bisa menerangi jalan mereka saja, tidak bisa menerangi sekitar.
Tarun berjalan di samping Rain. Tanpa dinanya, goa yang disangka lengang justru padat orang. Di beberapa bagian terlihat beberapa orang bergerombol, terutama di pintu pintu liang goa lain yang bentuknya mirip lekukan pendek.
Goa jepang ini terdiri dari beberapa lekukan liang lain yang seolah menyatu. Seolah goa terbagi dari beberapa cabang, walau cabangnya tampak memendek bahkan buntu.
Setiap lekukan yang mirip kamar kamar bekas romusha tersebut tampak berdiri beberapa orang. Ada dua atau tiga orang. Mereka tidak mengenakan senter. Tapi terlihat santai bercengkrama dalam gelap.
Bau lembab bertambah dengan bau seperti nasi basi, dan ada aroma melati yang kuat. Baru sekitar lima belas langkah Rain merasa pusing dan lemas, Rain menghentikan langkahnya dan mencoba menarik napas panjang panjang. Udara terasa pengap dan Rain merasa dadanya sesak dan kesulitan bernapas. Keringat dingin ikut mengucur.
“Tarun…..” Rain terengah. Tarun menghentikan langkahnya. Rain memegang dadanya, rasa sesak lebih mencengkram perasaannya, seolah oksigen disekitar mereka terhisap habis oleh kehampaan.
“Rain, kontrol” bisik Tarun pada Rain.
Kontrol? kontrol apa? Ingin Rain berteriak pada Tarun. Namun suaranya tercekat. Rain Cuma merasa seolah-olah dia akan berhenti bernapas dan merupaya mengingatkan dirinya untuk terus bernapas. Rain terjatuh. Tarun memegangnya.
“Hei!” seru Tarun.
“Pengap…” bisik Rain karena dia semakin merasa kesulitan bernapas.
Tarun mengambil tangan Rain, mengalungkan dilehernya dan menyeret tubuh Rain ke luar goa. Sinar matahari seolah membutakan mata yang agak lama dalam gelap. Udara pengap yang dirasakan Rain perlahan menghilang. Berganti dengan bau hutan dan daun yang lembut dan segar. Semakin jauh langkahnya meninggalkan liang pintu goa, semakin himpitan rasa sesak itu memudar. Berganti dengan efek lemas.
Tarun meletakkan tubuh Rain yang lunglai agak jauh dari goa. Terduduk di tanah. Napas Rain masih tersengal, namun dadanya yang terasa berat sudah mulai terasa enteng.“Aku tidak mengerti….” Ucap Rain lamat lamat, “Padahal tadi semua baik baik saja. Tapi begitu masuk goa, rasanya pengap, bau, bising dan lemas.”Tarun mengeluarkan minuman energy dari plastic yang dibawanya, menyodorkannya pada Rain.“Minum ini.”“Minuman energy?”“Penambah stamina. Kalau kamu merasa lapar aku sudah sediakan roti dan cokelat. Bisa menambah stamina dan gula darah agar normal lagi.”“Kenapa?”“Kok kenapa. Kamu lupa kita kesini untuk latihan.” Seru tarun.“Iya, latihan apa?”“Latihan mengontrol kekuatanmu untuk melihat.”“Memangnya apa yang aku lihat! Aku tidak melihat apapun.”“Kamu yakin?”
Berdiri di depan Goa dengan perasaan siap itu memberikan rasa yang berbeda bagi Rain. Udara lembab mulai menyapa dan membelai bulu disekitar tangan Rain. Bau menyengat perlahan terasa nyerupai kabut yang terus menutupi indra penciuman Rain. Ada beragam bau yang terasa. Bau harum yang menyengat, bau busuk yang samar, bau lembab yang dingin, bau amis yang menyeruak diantara kepungan bau yang beragam.Rain melangkah masuk ke dalam goa, seolah ada selaput tipis yang ditembusnya. Lalu pemandangan berubah secara cepat, hanya hitungan detik. Rain melihat keramaian yang luar biasa di dalam goa.Pandangannya yang semula gelap seperti tertimpa cahaya matahari secara tiba tiba, silau. Lalu kemudian pandangan tersebut mulai perlahan terbiasa. Rain melihat keramaian berkerumun, berjalan menyesak. Berubah menjadi pasar malam. Mereka ada yang berpasangan, ada juga yang sendiri sendiri.Kekuatan Rain serasa disedot oleh pesona keramaian dunia lain. Rain merasa seperti berputar
Kegelapan kembali pekat. Butuh sekitar dua puluh detik untuk membuat mata Rain terbiasa dengan kegelapan. Matanya membutuhkan waktu, namun tidak dengan indra penciuman Rain. Dia mendapati udara pekat bau muntahan. Sangat memuakkan dan membuat Rain merasakan gelombang desakan di sekitar perut seolah merambah ke arah tenggorokan.Rain merasakan tengorokannya panas dan pahit. Lalu di tengah kegelapan, Rain menemukan siluet siluet tubuh makhluk yang memiliki tungkai yang panjang sehingga lengan mereka terjatuh lunglai ke tanah. Setelah matanya terbiasa, Rain melihat ada sekitar tiga makhluk yang siluetnya hampir sama, ketiganya tampak berdiri melingkar disekitar Rain. Mendesah desah dan bergumam gumam dengan suara yang tidak jelas, air liur mahkluk tersebut menetes netes. Mulut ketiga makhluk itu bergerak gerak seolah tengah mengunyah.Tampaknya salah satu makhluk itulah yang menarik tubuh Rain sebelum dia keluar dari dalam goa. Tangan mereka yang panjang memungkinkan mere
Tarun menyorotkan senternya ke samping kiri dan kanannya.“Rain?” panggilnya. Dia menyorotkan kembali senter ke belakang, depan lalu memutarinya. Memastikan keberadaan Rain ada di dekatnya.Goa tersebut terasa lengang. “Rain!” panggil Tarun sekali lagi, kali ini suaranya dinyaringkan. Tarun berputar dan kemudian masuk ke dalam goa lebih dalam lagi. Keberadaan Rain seolah menguap hilang. Ada perasaan dingin yang menjalari ulu hatinya sampai ke kerongkongan. Tarun menelan ludah. “Rain!” panggilnya sekali lagi dengan suara cemas dan panik.Goa terasa sunyi. Suara Tarun yang nyaring memanggil Rain berubah menjadi gema yang kemudian bergaung di telinga Tarun sendiri.Hening.Tarun tahu, dia telah kehilangan Rain. pemuda itu mencoba berbikir cepat. Mencoba menganalisis apa yang kira kira tengah terjadi.Tarun masuk ke dalam goa lebih dalam lagi dan mulai membuka indranya. Lalu, goa sekitarnya
“Aku baru saja mau tidur. Kamu tahu bagaimana kerjaanku kan?”“Please bang, klo enggak urgen aku juga engga mau ganggu, tapi bang, temanku hilang!”“Serius? Oke, kamu ke sini sekarang klo gitu.” Putus suara di seberang telepon.“Terimakasih Bang. Aku akan segera ke sana!”Tarun segera memakai tas ranselnya, membuang semua sampah makanan yang dibawanya ke dalam tong sampah dan bergegas menuju ke tempat parkir.**Butuh sekitar satu jam untuk tiba di daerah sekitar Cijerah. Tarun memutar otak dengan cepat untuk mencari jalan tercepat menuju ujung bandung sebelah barat. Tarun memacu motornya dengan rata rata kecepatan 80 km/jam. Harus bersabar ketika mengantri di lampu merah. Lalu, ngebut ketika jalan dirasa lebih lengang.Cijerah merupakan daerah padat dipinggiran antara Bandung dan Cimahi. Untuk sebuah kota pinggiran, daerah Cijerah termasuk padat karena lokasi yang dekat dengan jal
Tarun menggaruk kepalanya, merasa keberatan. Terbayang dikepalanya, Langit. Nama lengkapnya Langit Rahardi. Sudut pandang Tarun tentang Langit hanya satu. Hampang. Ruang yang luas dan kosong. Satu-satunya laki laki yang membuat Tarun bergidik sendiri ketika berjumpa. Kalau manusia bisa terukur dengan keterbatasan dan kotak kotak di dalam dirinya, langit berbeda. Seolah tubuhnya seperti cangkang, dan di dalamnya hanya ada ruang hampa.“Apa tidak cukup hanya kita berdua saja ?” tawar Tarun.“Tidak mungkin Ru. Kamu tahu kan, yang energinya paling besar untuk bisa masuk ke dalam wilayah mereka hanya Langit. Lagipula, yang paling tahu informasi yang terjadi di sana, ya Langit.”“Aku kok ya tidak nyaman kalau bersamanya Bang.” Ucap tarun.“Terserah kalau kamu tidak mau bersamanya. Tapi, abang menolak membantu kalau tidak mengajak Langit. Apalagi ada gosip dari wilayah sana sedang terjadi perseteruan. Abang meno
Langit Rahardi adalah manusia paling misterius yang pernah ditemui Tarun. Tinggi langit 180 cm. tubuhnya kurus, jangkung. Bagian lengannya sedikit menonjol oleh lekuk otot. Bila Langit secara sengaja menggunakan baju kaos ketat, tonjolan otot menyembul secara samar. Wajah Langit lonjong dengan dagu yang runcing disampiri sedikit janggut. Bentuk kedua matanya seolah menonjol diantara dahinya yang lebar. Yang paling menarik dari Langit adalah bentuk mata dan alisnya yang begitu sempurna dan mempesona. Alisnya menyatu dan tepat menghiasi matanya dengan bola mata jernih yang hitam, tajam dan penuh misteri. Yang selalu membuat Tarun penasaran adalah usia Langit. Tarun memperkirakan usia laki-laki itu pada 30 an awal, begitupun Aji berpendapat. Namun, keduanya tidak tahu persis usia Langit yang sebenarnya.Bagi kebanyakan orang—dan kebanyakan wanita—sosok Langit menawan. Pembawaannya yang tenang membuat orang akan tertegun sesaat untuk memandangi dirinya. Namun, di satu
Rain membuka matanya, tubuhnya serasa kaku. Kedua lengannya berat seperti ada beban yang mengelayuti. Lehernya terasa kram, dan kakinya kesemutan. Hari sudah malam, kondisi kamarnya gelap. Ada sedikit sinar masuk dari celah jendela. Udara malam itu lembab dan pengap.Rain memperhatikan sekeliling sebelum bangkit dari tempat tidurnya. Dia memastikan segera bahwa itu adalah kamarnya sendiri. Dia tidak ingat kapan dia berhasil sampai ke rumah. Terakhir yang dia ingat hanya bergelantungan pada pundak makhluk besar yang melompat lompat ringan di bagian kota bandung entah sisi yang mana.Rain juga ingat bocah kecil dengan rambut mengembang nyaris gimbal yang terkesan nakal. Anak yang bernama Razel itu mengatakan mengenalnya, dan seingat Rain, dia tidak pernah mengenal anak dengan tampilan mencolok begitu. Kemudian dia teringat Tarun.Akh! Rain memukul kepalanya sendiri karena merasa bebal. Dia meninggalkanTarun di Dago. Entah bagaimana kabar teman sekelasnya itu. Rain