“Waktu pertama kali saya bisa melihat, saya melihat sesuatu yang mengerikan—waktu dirumah sakit—dua wujud suster tanpa wajah dan tanpa pinggang” Cerita Rain. Dia merasa bergidik ketika mengingat moment tersebut. “Lalu, pernah juga melihat orang kate. Hitam, pendek dan gemuk. Ada juga hewan-hewan yang seolah berlaku seperti manusia.” Cerita Rain. Dia mengingat setiap moment dimana perasaan ketakutan selalu ditelannya. “Dan, mereka memiliki bau yang kuat.”
“Bau?” Tarun menengok ke arah Rain, kerutan di tengah alis matanya terlihat.
“Ya. Seperti bau kain pel, atau bau baju lembab. Kadang bau manis seperti gula, atau seperti bau pahit obat. Macam macam bau. Ada juga yang busuk kayak comberan, atau bau seperti pipis bayi. Macam-macam. Kadang itu sangat mengganggu.”
“Ow, aku baru tahu yang seperti itu.”sungut tarun.
“Memang kamu tidak mencium bau mereka?”
“Tidak. “ Tarun menggeleng.
“Tadi juga kamu menyebut masalah hancur dan mengendalikan. Ng…” Rain mencoba mengingat ucapan Tarun di wastafel, “sepertinya kamu bilang kalau saya tidak mengendalikan masalah ini, saya akan hancur.”
“Ya.” Jawab Tarun pendek
“Maksudnya?”
“Sebelum aku jawab, aku mau Tanya dulu padamu rain.” Ujar Tarun. Ini pertama kalinya juga Tarun menyebut nama Rain. Mereka sudah sekelas selama setengah tahun, namun sekalipun mereka tidak pernah saling sapa dan saling bicara. Keduanya hanya mengetahui sebatas nama, tidak lebih. Rain merasa panggilan Tarun terhadap namanya seolah melelehkan jarak keduanya. Harus diakui, Rain tidak berusaha mengenal Tarun, buatnya itu tidak penting. Masih banyak orang lain di kelas yang lebih penting di dekatinya. Namun kali ini, sesuatu yang sama telah menyatukan keduanya.
“Silahkan.” Jawab Rain, sikap waspadanya sudah cair.
“Apa belakangan kamu merasa lelah?”
“Benar.”
“Lelah yang sangat?”
“Ya.”
“Itulah…” ucap Tarun, “Kemampuan melihat memakan energy kita. Yah, kira kira seperti senter. Untuk melihat keberadaan makluk tersebut kita menyalakan senter pada tubuh kita, Secara otomatis. Tentu saja menyalakan senter secara membabi buta dan tanpa tempatnya akan menyita batere yang ada.
Dalam kasus ini, artinya kita memakai energy yang biasa kita gunakan sehari hari untuk berkegiatan. Itu sebabnya, kamu cepat lelah, mengantuk dan ingin istirahat atau mendadak tertidur. Tubuhmu—sebagai batere—ingin me re-cas tenaga. Namun, sebanyak apapun kita istirahat, kalau kita tetap membiarkan senter itu menyala, maka batere yang kita isi akan cepat habis dan akhirnya malah membebani tubuh melebihi kapasitas.”
“Wow….” Rain mendelik sedikit takjub, “lalu, bagaimana mengatasinya?”
“Latihan.”
“Latihan?”
“Ya, latihan.”
“Latihan seperti apa?”
“Kamu ingin mempelajarinya?”
“Bila perlu.”
“Latihan dariku lumayan keras lho.”
“Tidak apa-apa…”
“Baiklah.”
“Kamu tidak keberatan?”
“Mengapa harus keberatan?”
Benar. Rain merasa aneh sendiri. Dalam pikirannya mungkin tarun akan bersikap keberatan, dan terkesan merasa direpotkan, namun menerima ucapan setuju begitu saja membuat Rain bingung dengan prasangka sendiri.
**
Kegiatan rutin Rain bertambah lagi. Sebuah jadwal latihan yang sudah disusun Tarun untuknya. Tarun menyelipkan jadwal latihan tersebut pada buku pelajaran yang dipinjamnya ketika istirahat. Keajaiban sikap tarun yang mendadak meminjam buku pelajaran pada Rain mengundang sikap curiga Amelia.
“Sejak kapan si tukang tidur dekat denganmu?”
“siapa?”
“Tarun. Tumben-tumben dia pinjam buku.”
Rain menarik napas perlahan. Terkadang sikap jeli Amel menjengkelkan. Disaat yang tidak tepat—walau bisa dibilang terlalu tepat—radar sensitivitasnya demikian akurat sehingga dapat menangkap sinyal sinyal keganjilan, dan itu luar biasa merepotkan. Rain tidak ingin berbohong, walau pun terkadang harus melakukannya, dan seringkali mencari alasan untuk mematikan logika dan radar Amel amatlah sulit.
“Mungkin dia tahu saya memiliki buku itu.” Jawab Rain sekenanya.
“Ah—padahal—“ Amel menggantung ucapannya sambil mengulum senyumnya.
“Padahal apa?” Tanya Rain hati-hati.
“Yah….kupikir dia ada hati denganmu—“
“Tidak lucu!” sergah Rain.
“Ah, padahal itu lucu tau!”
Wajah Rain berubah, bukan salah tingkah, namun lebih ke arah gelisah. Sejenak menengok ke arah Tarun yang seperti biasa selalu dalam keadaan tertelungkup di atas meja dengan malas.
Rain membuka buku yang dikembalikan Tarun, di pertengahan terselip kertas dengan tulisan singkat
“Pulang sekolah”
Sekarang, Rain harus putar otak untuk mengelabui Amelia masalah pulang bareng, dan itu sangat tidak mudah.
**
“Kamu kenapa Rain?” Tanya Tarun ketika Rain terlihat banyak diam, tidak focus dan gelisah.
“Saya bingung…” ucap Rain
“Kenapa?”
“Hari ini saya bisa menghindari Amel, dan tidak pulang sama dia. Tapi besok, dan besoknya lagi. Saya tidak mungkin menghindar terus.”
“Jelaskan saja padanya kamu pulang denganku.” Ucap Tarun santai.
“Menjelaskan apa? Semuanya? Yang benar saja!”
“Begitu.”
“Saya tidak mau melibatkan Amel.”
“Pilihan bijak.”
“Tapi, dia sahabat saya. Dia pasti lama-lama curiga. Curiga saya menyimpan sesuatu…”
Tarun mengangguk, terdiam sebentar. Keduanya kemudian berjalan keluar gerbang. “Aku punya ide untuk mengatasi masalah tersebut…”
“Apa?”
“Nanti aku ceritakan. Tapi, aku ingin kamu konsentrasi untuk program latihan kita.”
“Kenapa tidak diceritakan sekarang saja?”
“Saat ini aku ingin kamu focus. Setelah latihan pertama kamu lewati, kita bahas masalah ini lebih lanjut. Setuju.”
Sebenarnya Rain sungguh-sungguh penasaran dengan ide Tarun, namun saat ini rasa penasarannya pada latihan yang akan diberikan Tarun lebih menyita perhatiannya.
“Kita mau kemana?”
“Kamu lihat saja nanti.”
Tarun berjalan lebih dulu dari Rain. Rain mengikuti dan ingin bertanya, namun mengurungkan niatnya. Dua blok setelah melewati sekolah tarun memutar jalan dan masuk ke dalam sebuah masjid. Rain masih membuntuti dari belakang. Mereka masuk pelataran parkir motor. Tarun menuju sebuah motor Honda Blade dan menarik dari posisi parkirnya ke arah jalan keluar.
“Motor?” Tanya Rain mendekat.
“Iya.”
“Kamu punya motor? Kenapa tidak pakai di sekolah?” Tanya Rain.
Tarun garuk garuk kepala, “Ini baru dikasih.” Ucapnya.
“Dikasih? Maksudnya dibelikan?”
“Dikasih sih, lebih tepatnya. Kamu naik dulu deh, nanti ngerti sendiri.” Jawab Tarun sambil menyerahkan helm pada Rain.
Motor tersebut berjalan membelah jalanan bandung yang padat di siang hari. Beberapa ruas jalan padat merayap karena bertemu lampu merah. Tarun membelok dengan cantik ketika menghindari beberapa mobil. Dia mengambil celah diantara mobil ke mobil dan melengoskan motornya dengan lihai. Motor mereka terus melaju meninggalkan jalanan besar. Udara semakin terasa dingin, menunjukkan bahwa motor melaju ke tempat yang lebih tinggi.
“Mau kemana sih kita ini?” Tanya Rain ketika motor Tarun berhenti di lampu merah.
“Kira kira kamu sudah bisa menebak kita mau kemana nggak?”
“Ke arah Dago?”
“Binggo…” Tarun menekan gas motor, dan motor kembali melaju. Karena kejutan tersebut, tubuh Rain agak condong ke belakang.
Motor yang dikendarai Tarun terus melaju ke arah Dago atas. Mereka melewati jalan layang surapati. Jembatan besar tersebut berdiri memayungi bawah mereka.Keduanya terus jalan lurus, menyusuri jalan ir H Juanda yang panjang. Di sisi kiri kanan jalan tampak deretan toko besar nan megah. Jalanan ramai lancar, beberapa kali motor mereka bertemu gerombolan anak anak sekolah yang menyesak masuk ke dalam angkot. Atau berdiri ditepian jalan bergerombol.Motor terus melaju. Kini kiri dan kanan mereka sudah masuk ke dalam daerah perhotelan ir H juanda. Udara mulai terasa dingin, dan jalanan terlihat seolah menghijau karena deretan pohon tinggi di beberapa ruas jalan.Motor mereka berhenti di persimbangan lampu merah antara jalan Dipati Ukur dan Siliwangi. Tidak sampai satu menit, lampu merah sudah berubah hijau, Tarun melajukan motornya dengan sedikit perlahan dan agak menepi.Motor tersebut masuk ke dalam restoran McD yang berdiri gagah dipersimpangan. Parkiran m
Tarun meletakkan tubuh Rain yang lunglai agak jauh dari goa. Terduduk di tanah. Napas Rain masih tersengal, namun dadanya yang terasa berat sudah mulai terasa enteng.“Aku tidak mengerti….” Ucap Rain lamat lamat, “Padahal tadi semua baik baik saja. Tapi begitu masuk goa, rasanya pengap, bau, bising dan lemas.”Tarun mengeluarkan minuman energy dari plastic yang dibawanya, menyodorkannya pada Rain.“Minum ini.”“Minuman energy?”“Penambah stamina. Kalau kamu merasa lapar aku sudah sediakan roti dan cokelat. Bisa menambah stamina dan gula darah agar normal lagi.”“Kenapa?”“Kok kenapa. Kamu lupa kita kesini untuk latihan.” Seru tarun.“Iya, latihan apa?”“Latihan mengontrol kekuatanmu untuk melihat.”“Memangnya apa yang aku lihat! Aku tidak melihat apapun.”“Kamu yakin?”
Berdiri di depan Goa dengan perasaan siap itu memberikan rasa yang berbeda bagi Rain. Udara lembab mulai menyapa dan membelai bulu disekitar tangan Rain. Bau menyengat perlahan terasa nyerupai kabut yang terus menutupi indra penciuman Rain. Ada beragam bau yang terasa. Bau harum yang menyengat, bau busuk yang samar, bau lembab yang dingin, bau amis yang menyeruak diantara kepungan bau yang beragam.Rain melangkah masuk ke dalam goa, seolah ada selaput tipis yang ditembusnya. Lalu pemandangan berubah secara cepat, hanya hitungan detik. Rain melihat keramaian yang luar biasa di dalam goa.Pandangannya yang semula gelap seperti tertimpa cahaya matahari secara tiba tiba, silau. Lalu kemudian pandangan tersebut mulai perlahan terbiasa. Rain melihat keramaian berkerumun, berjalan menyesak. Berubah menjadi pasar malam. Mereka ada yang berpasangan, ada juga yang sendiri sendiri.Kekuatan Rain serasa disedot oleh pesona keramaian dunia lain. Rain merasa seperti berputar
Kegelapan kembali pekat. Butuh sekitar dua puluh detik untuk membuat mata Rain terbiasa dengan kegelapan. Matanya membutuhkan waktu, namun tidak dengan indra penciuman Rain. Dia mendapati udara pekat bau muntahan. Sangat memuakkan dan membuat Rain merasakan gelombang desakan di sekitar perut seolah merambah ke arah tenggorokan.Rain merasakan tengorokannya panas dan pahit. Lalu di tengah kegelapan, Rain menemukan siluet siluet tubuh makhluk yang memiliki tungkai yang panjang sehingga lengan mereka terjatuh lunglai ke tanah. Setelah matanya terbiasa, Rain melihat ada sekitar tiga makhluk yang siluetnya hampir sama, ketiganya tampak berdiri melingkar disekitar Rain. Mendesah desah dan bergumam gumam dengan suara yang tidak jelas, air liur mahkluk tersebut menetes netes. Mulut ketiga makhluk itu bergerak gerak seolah tengah mengunyah.Tampaknya salah satu makhluk itulah yang menarik tubuh Rain sebelum dia keluar dari dalam goa. Tangan mereka yang panjang memungkinkan mere
Tarun menyorotkan senternya ke samping kiri dan kanannya.“Rain?” panggilnya. Dia menyorotkan kembali senter ke belakang, depan lalu memutarinya. Memastikan keberadaan Rain ada di dekatnya.Goa tersebut terasa lengang. “Rain!” panggil Tarun sekali lagi, kali ini suaranya dinyaringkan. Tarun berputar dan kemudian masuk ke dalam goa lebih dalam lagi. Keberadaan Rain seolah menguap hilang. Ada perasaan dingin yang menjalari ulu hatinya sampai ke kerongkongan. Tarun menelan ludah. “Rain!” panggilnya sekali lagi dengan suara cemas dan panik.Goa terasa sunyi. Suara Tarun yang nyaring memanggil Rain berubah menjadi gema yang kemudian bergaung di telinga Tarun sendiri.Hening.Tarun tahu, dia telah kehilangan Rain. pemuda itu mencoba berbikir cepat. Mencoba menganalisis apa yang kira kira tengah terjadi.Tarun masuk ke dalam goa lebih dalam lagi dan mulai membuka indranya. Lalu, goa sekitarnya
“Aku baru saja mau tidur. Kamu tahu bagaimana kerjaanku kan?”“Please bang, klo enggak urgen aku juga engga mau ganggu, tapi bang, temanku hilang!”“Serius? Oke, kamu ke sini sekarang klo gitu.” Putus suara di seberang telepon.“Terimakasih Bang. Aku akan segera ke sana!”Tarun segera memakai tas ranselnya, membuang semua sampah makanan yang dibawanya ke dalam tong sampah dan bergegas menuju ke tempat parkir.**Butuh sekitar satu jam untuk tiba di daerah sekitar Cijerah. Tarun memutar otak dengan cepat untuk mencari jalan tercepat menuju ujung bandung sebelah barat. Tarun memacu motornya dengan rata rata kecepatan 80 km/jam. Harus bersabar ketika mengantri di lampu merah. Lalu, ngebut ketika jalan dirasa lebih lengang.Cijerah merupakan daerah padat dipinggiran antara Bandung dan Cimahi. Untuk sebuah kota pinggiran, daerah Cijerah termasuk padat karena lokasi yang dekat dengan jal
Tarun menggaruk kepalanya, merasa keberatan. Terbayang dikepalanya, Langit. Nama lengkapnya Langit Rahardi. Sudut pandang Tarun tentang Langit hanya satu. Hampang. Ruang yang luas dan kosong. Satu-satunya laki laki yang membuat Tarun bergidik sendiri ketika berjumpa. Kalau manusia bisa terukur dengan keterbatasan dan kotak kotak di dalam dirinya, langit berbeda. Seolah tubuhnya seperti cangkang, dan di dalamnya hanya ada ruang hampa.“Apa tidak cukup hanya kita berdua saja ?” tawar Tarun.“Tidak mungkin Ru. Kamu tahu kan, yang energinya paling besar untuk bisa masuk ke dalam wilayah mereka hanya Langit. Lagipula, yang paling tahu informasi yang terjadi di sana, ya Langit.”“Aku kok ya tidak nyaman kalau bersamanya Bang.” Ucap tarun.“Terserah kalau kamu tidak mau bersamanya. Tapi, abang menolak membantu kalau tidak mengajak Langit. Apalagi ada gosip dari wilayah sana sedang terjadi perseteruan. Abang meno
Langit Rahardi adalah manusia paling misterius yang pernah ditemui Tarun. Tinggi langit 180 cm. tubuhnya kurus, jangkung. Bagian lengannya sedikit menonjol oleh lekuk otot. Bila Langit secara sengaja menggunakan baju kaos ketat, tonjolan otot menyembul secara samar. Wajah Langit lonjong dengan dagu yang runcing disampiri sedikit janggut. Bentuk kedua matanya seolah menonjol diantara dahinya yang lebar. Yang paling menarik dari Langit adalah bentuk mata dan alisnya yang begitu sempurna dan mempesona. Alisnya menyatu dan tepat menghiasi matanya dengan bola mata jernih yang hitam, tajam dan penuh misteri. Yang selalu membuat Tarun penasaran adalah usia Langit. Tarun memperkirakan usia laki-laki itu pada 30 an awal, begitupun Aji berpendapat. Namun, keduanya tidak tahu persis usia Langit yang sebenarnya.Bagi kebanyakan orang—dan kebanyakan wanita—sosok Langit menawan. Pembawaannya yang tenang membuat orang akan tertegun sesaat untuk memandangi dirinya. Namun, di satu