Share

Bab 6 Berlatih

“Waktu pertama kali saya bisa melihat, saya melihat sesuatu yang mengerikan—waktu dirumah sakit—dua wujud suster tanpa wajah dan tanpa pinggang” Cerita Rain. Dia merasa bergidik ketika mengingat moment tersebut. “Lalu, pernah juga melihat orang kate. Hitam, pendek dan gemuk. Ada juga hewan-hewan yang seolah berlaku seperti manusia.” Cerita Rain. Dia mengingat setiap moment dimana perasaan ketakutan selalu ditelannya. “Dan, mereka memiliki bau yang kuat.”

“Bau?” Tarun menengok ke arah Rain, kerutan di tengah alis matanya terlihat.

“Ya. Seperti bau kain pel, atau bau baju lembab. Kadang bau manis seperti gula, atau seperti bau pahit obat. Macam macam bau. Ada juga yang busuk kayak comberan, atau bau seperti pipis bayi. Macam-macam. Kadang itu sangat mengganggu.”

“Ow, aku baru tahu yang seperti itu.”sungut tarun.

“Memang kamu tidak mencium bau mereka?”

“Tidak. “ Tarun menggeleng.

“Tadi juga kamu menyebut masalah hancur dan mengendalikan. Ng…” Rain mencoba mengingat ucapan Tarun di wastafel, “sepertinya kamu bilang kalau saya tidak mengendalikan masalah ini, saya akan hancur.”

“Ya.” Jawab Tarun pendek

“Maksudnya?”

“Sebelum aku jawab, aku mau Tanya dulu padamu rain.” Ujar Tarun. Ini pertama kalinya juga Tarun menyebut nama Rain. Mereka sudah sekelas selama setengah tahun, namun sekalipun mereka tidak pernah saling sapa dan saling bicara. Keduanya hanya mengetahui sebatas nama, tidak lebih.  Rain merasa panggilan Tarun terhadap namanya seolah melelehkan jarak keduanya. Harus diakui, Rain tidak berusaha mengenal Tarun, buatnya itu tidak penting. Masih banyak orang lain di kelas yang lebih penting di dekatinya. Namun kali ini, sesuatu yang sama telah menyatukan keduanya.

“Silahkan.” Jawab Rain, sikap waspadanya sudah cair.

“Apa belakangan kamu merasa lelah?”

“Benar.”

“Lelah yang sangat?”

“Ya.”

“Itulah…” ucap Tarun, “Kemampuan melihat memakan energy kita. Yah, kira kira seperti senter. Untuk melihat keberadaan makluk tersebut kita menyalakan senter pada tubuh kita, Secara otomatis. Tentu saja menyalakan senter secara membabi buta dan tanpa tempatnya akan menyita batere yang ada.

Dalam kasus ini, artinya kita memakai energy yang biasa kita gunakan sehari hari untuk berkegiatan. Itu sebabnya, kamu cepat lelah, mengantuk dan ingin istirahat atau mendadak tertidur. Tubuhmu—sebagai batere—ingin me re-cas tenaga. Namun, sebanyak apapun kita istirahat, kalau kita tetap membiarkan senter itu menyala, maka batere yang kita isi akan cepat habis dan akhirnya malah membebani tubuh melebihi kapasitas.”

“Wow….” Rain mendelik sedikit takjub, “lalu, bagaimana mengatasinya?”

“Latihan.”

“Latihan?”

“Ya, latihan.”

“Latihan seperti apa?”

“Kamu ingin mempelajarinya?”

“Bila perlu.”

“Latihan dariku lumayan keras lho.”

“Tidak apa-apa…”

“Baiklah.”

“Kamu tidak keberatan?”

“Mengapa harus keberatan?”

Benar. Rain merasa aneh sendiri. Dalam pikirannya mungkin tarun akan bersikap keberatan, dan terkesan merasa direpotkan, namun menerima ucapan setuju begitu saja membuat Rain bingung dengan prasangka sendiri.

**

Kegiatan rutin Rain bertambah lagi. Sebuah jadwal latihan yang sudah disusun Tarun untuknya. Tarun menyelipkan jadwal latihan tersebut pada buku pelajaran yang dipinjamnya ketika istirahat. Keajaiban sikap tarun yang mendadak meminjam buku pelajaran pada Rain mengundang sikap curiga Amelia.

“Sejak kapan si tukang tidur dekat denganmu?”

“siapa?”

“Tarun. Tumben-tumben dia pinjam buku.”

Rain menarik napas perlahan. Terkadang sikap jeli Amel menjengkelkan. Disaat yang tidak tepat—walau bisa dibilang terlalu tepat—radar sensitivitasnya demikian akurat sehingga dapat menangkap sinyal sinyal keganjilan, dan itu luar biasa merepotkan. Rain tidak ingin berbohong, walau pun terkadang harus melakukannya, dan seringkali mencari alasan untuk mematikan logika dan radar Amel amatlah sulit.

“Mungkin dia tahu saya memiliki buku itu.” Jawab Rain sekenanya.

“Ah—padahal—“ Amel menggantung ucapannya sambil mengulum senyumnya.

“Padahal apa?” Tanya Rain hati-hati.

“Yah….kupikir dia ada hati denganmu—“

“Tidak lucu!” sergah Rain.

“Ah, padahal itu lucu tau!”

Wajah Rain berubah, bukan salah tingkah, namun lebih ke arah gelisah. Sejenak menengok ke arah Tarun yang seperti biasa selalu dalam keadaan tertelungkup di atas meja dengan malas.

Rain membuka buku yang dikembalikan Tarun, di pertengahan terselip kertas dengan tulisan singkat

“Pulang sekolah”

Sekarang, Rain harus putar otak untuk mengelabui Amelia masalah pulang bareng, dan itu sangat tidak mudah.

**

“Kamu kenapa Rain?” Tanya Tarun ketika Rain terlihat banyak diam, tidak focus dan gelisah.

“Saya bingung…” ucap Rain

“Kenapa?”

“Hari ini saya bisa menghindari Amel, dan tidak pulang sama dia. Tapi besok, dan besoknya lagi. Saya tidak mungkin menghindar terus.”

“Jelaskan saja padanya kamu pulang denganku.” Ucap Tarun santai.

“Menjelaskan apa? Semuanya? Yang benar saja!”

“Begitu.”

“Saya tidak mau melibatkan Amel.”

“Pilihan bijak.”

“Tapi, dia sahabat saya. Dia pasti lama-lama curiga. Curiga saya menyimpan sesuatu…”

Tarun mengangguk, terdiam sebentar. Keduanya kemudian berjalan keluar gerbang. “Aku punya ide untuk mengatasi masalah tersebut…”

“Apa?”

“Nanti aku ceritakan. Tapi, aku ingin kamu konsentrasi untuk program latihan kita.”

“Kenapa tidak diceritakan sekarang saja?”

“Saat ini aku ingin kamu focus. Setelah latihan pertama kamu lewati, kita bahas masalah ini lebih lanjut. Setuju.”

Sebenarnya Rain sungguh-sungguh penasaran dengan ide Tarun, namun saat ini rasa penasarannya pada latihan yang akan diberikan Tarun lebih menyita perhatiannya.

“Kita mau kemana?”

“Kamu lihat saja nanti.”

Tarun berjalan lebih dulu dari Rain. Rain mengikuti dan ingin bertanya, namun mengurungkan niatnya. Dua blok setelah melewati sekolah tarun memutar jalan dan masuk ke dalam sebuah masjid. Rain masih membuntuti dari belakang. Mereka masuk pelataran parkir motor. Tarun menuju sebuah motor Honda Blade dan menarik dari posisi parkirnya ke arah jalan keluar.

“Motor?” Tanya Rain mendekat.

“Iya.”

“Kamu punya motor? Kenapa tidak pakai di sekolah?” Tanya Rain.

Tarun garuk garuk kepala, “Ini baru dikasih.” Ucapnya.

“Dikasih? Maksudnya dibelikan?”

“Dikasih sih, lebih tepatnya. Kamu naik dulu deh, nanti ngerti sendiri.” Jawab Tarun sambil menyerahkan helm pada Rain.

Motor tersebut berjalan membelah jalanan bandung yang padat di siang hari. Beberapa ruas jalan padat merayap karena bertemu lampu merah. Tarun membelok dengan cantik ketika menghindari beberapa mobil. Dia mengambil celah diantara mobil ke mobil dan melengoskan motornya dengan lihai. Motor mereka terus melaju meninggalkan jalanan besar. Udara semakin terasa dingin, menunjukkan bahwa motor melaju ke tempat yang lebih tinggi.

“Mau kemana sih kita ini?” Tanya Rain ketika motor Tarun berhenti di lampu merah.

“Kira kira kamu sudah bisa menebak kita mau kemana nggak?”

“Ke arah Dago?”

“Binggo…” Tarun menekan gas motor, dan motor kembali melaju. Karena kejutan tersebut, tubuh Rain agak condong ke belakang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status