Tarun meletakkan tubuh Rain yang lunglai agak jauh dari goa. Terduduk di tanah. Napas Rain masih tersengal, namun dadanya yang terasa berat sudah mulai terasa enteng.
“Aku tidak mengerti….” Ucap Rain lamat lamat, “Padahal tadi semua baik baik saja. Tapi begitu masuk goa, rasanya pengap, bau, bising dan lemas.”
Tarun mengeluarkan minuman energy dari plastic yang dibawanya, menyodorkannya pada Rain.
“Minum ini.”
“Minuman energy?”
“Penambah stamina. Kalau kamu merasa lapar aku sudah sediakan roti dan cokelat. Bisa menambah stamina dan gula darah agar normal lagi.”
“Kenapa?”
“Kok kenapa. Kamu lupa kita kesini untuk latihan.” Seru tarun.
“Iya, latihan apa?”
“Latihan mengontrol kekuatanmu untuk melihat.”
“Memangnya apa yang aku lihat! Aku tidak melihat apapun.”
“Kamu yakin?”
“Tidak ada sesuatu. Goanya ramai orang, jadi tidak mungkin ada sesuatu!”
“Ramai? Tidak ada siapapun di goa itu kecuali kita!”
Deg! Jantung Rain seperti hendak meloncat.
“Maksudmu….”
“Maksudku. Kalau kau melihat orang yang banyak di goa itu. Mereka bukan orang, mereka sesuatu. Dan, ini adalah hari pasar mereka.”
“Hari pasar?”
Tarun duduk di samping Rain, menyodorkan minuman air mineral yang lansung disambut Rain tanpa basa basi.
“Yah….” Ucap Tarun sambil mengepit tangannya di dada, “Sama seperti manusia. Mereka juga memiliki hari berkumpul ramai ramai. Hari pasar namanya. Tempatnya tidak tetap, waktunya pun bisa siang bisa malam. Kebetulan hari ini adalah hari pasar mereka di sini. Maksudku mengajakmu ke sini untuk membuat kamu bisa mengendalikan kemampuanmu untuk melihat. Jadi, kamu hanya melihat saat diperlukan saja, tidak setiap waktu. Dan cara ini adalah cara yang tercepat untuk bisa mengendalikan kemampuan melihat”
Rain melayangkan tangannya dan mengebuk pundak Tarun dengan jengkel, “Bilang dong dari awal!” seru Rain kesal.
“Tidak bisa!” sergah Tarun.
“Enak saja tidak bisa. Bagaimana saya bisa bertindak. Dari awal kamu tidak pakai penjelasan!”
“Itu sungguhan, aku tidak bisa menceritakan rencana ini sama kamu. Ada dua alasan. Alasan pertama, kamu akan ketakutan dan menolak.”
“Pasti!” jawab Rain setengah teriak.
“Tuh liat. Belum apa apa kamu sudah niat nolak.” ucap Tarun.
“terus, alasan kedua?”
Tarun menggaruk garuk telinganya, “Ini berhubungan dengan masalah yang kamu ceritakan itu lho. Soal Amel.” Ucapnya, nada suaranya ragu dan hati hati.
“Iya, kenapa memangnya?”
“Iya. Kamu kan cerita bagaimana nanti berikutnya untuk menjelaskan pada Amel, ya kan? Ya kan?”
“Enggak usah diulang dua kali juga saya iyakan kok.”
“Nah itu, alasannya.”
“Maksudnya? Aduh, udah deh Tarun. Jangan berbelit belit.”
“Yah, gini….biar nanti kamu enak juga ngomong sama Amelia. Yah, kamu bilang saja kita pacaran.”
“Hah?” Rain membuka mulutnya sedikit lebar, menatap Tarun dengan sosok ingin mengigit telinga cowok tukang tidur tersebut.
“Iya, maksudku. Kita bisa mulai pacaran sekarang, disini. Jadi itu bisa jadi alasan kamu dan aku pergi bersama. Amelia tidak akan curiga dengan latihan latihan ini, dan masalahmu terselesaikan tanpa perlu menjelaskan semua ini.” Terang Tarun.
“Maksudnya?”
Tarun merasa gugup, kemudian menggerakkan jarinya kea rah Rain, lalu ke arahnya. “Ya, maksudnya begitu. Kamu dan aku.”
“Pacaran pura pura?”
“Aku sih berharap enggak pura pura.” Sahut Tarun. Wajah laki-laki berambut keriting itu tertunduk cepat.
“Kamu….sedang nembak saya?” Tanya Rain sambil menaikkan alisnya.
“Anggap saja begitu.” Jawab Tarun cepat.
“Eh, ini seriusan?” tanya Rain dengan roman memerah.
Tarun menggaruk garuk telinganya lagi. Kebingungan, tapi dia berupaya mengusir rasa bingung itu sambil meminum air mineral.
Keduanya terdiam. Rain merasa malu luar biasa. Ingin dia menutup wajahnya dan menyembunyikannya dari hadapan Tarun, namun yang bisa dilakukan Rain hanya membuang muka dan mengambil roti, menyobeknya dengan kasar dan memakannya.
Udara mulai terasa panas, desir angin menggerakkan ranting ranting pohon. Suasana hutan lindung Dago Pakar itu terasa nyaman membawa aroma kantuk yang menenangkan.
Cukup lama juga keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Rain merasa tingkahnya jadi semakin gugup dan berupaya menepis pikirkan aneh aneh dalam kepalanya. Rain sedang berupaya untuk menghipnotis dirinya sendiri dan meyakinkan, seyakin yakin yang dia bisa bahwa ucapan dan ide Tarun bukan pernyataan cinta. Ungkapan itu adalah untuk menyelesaikan solusinya. Namun pada sisi lain dari hatinya ada perasaan unik yang tidak dia pahami. Perasaan malu dan bangga secara bersamaan. Perasaan itu seolah membuat daun daun terlihat lebih hijau dan sinar matahari lebih lembut.
“Yah, kamu tidak perlu jawab cepat cepat. Pikirkan saja nanti ketika perjalanan pulang. Saat ini yang penting kita lanjutkan latihan kita.” Tambah tarun setelah mereka terdiam cukup lama.
Rain mengangkat wajahnya dan tidak dapat menyembunyikan keterkejutan atas lanjutan ucapan Tarun tersebut. Dia tidak menyangka—dan semua hipnotis diri itu langsung buyar—bahwa Tarun sungguh sungguh.
Tarun berdiri, mengulurkan tangannya pada Rain. Rain menengadah menatap Tarun. Sosok Tarun tampak menjadi siluet. Rain mengambil tangan Tarun. Keduanya berdiri.
“Beritahu saya caranya untuk mengontrol kemampuan melihat.” Ucap Rain
“Iya. Sebagai gantinya, nanti tolong beritahu aku jawabanmu ya.”
“Eng…ya, kita lihat saja nanti…” sahut Rain berusaha menetralkan perasaannya yang berdebar debar tidak karuan. Rain memilih untuk sementara menepis perasaannya yang bergerak tidak karuan. Latihan yang mereka hadapi tidak bisa diremehkan.
Berdiri di depan Goa dengan perasaan siap itu memberikan rasa yang berbeda bagi Rain. Udara lembab mulai menyapa dan membelai bulu disekitar tangan Rain. Bau menyengat perlahan terasa nyerupai kabut yang terus menutupi indra penciuman Rain. Ada beragam bau yang terasa. Bau harum yang menyengat, bau busuk yang samar, bau lembab yang dingin, bau amis yang menyeruak diantara kepungan bau yang beragam.Rain melangkah masuk ke dalam goa, seolah ada selaput tipis yang ditembusnya. Lalu pemandangan berubah secara cepat, hanya hitungan detik. Rain melihat keramaian yang luar biasa di dalam goa.Pandangannya yang semula gelap seperti tertimpa cahaya matahari secara tiba tiba, silau. Lalu kemudian pandangan tersebut mulai perlahan terbiasa. Rain melihat keramaian berkerumun, berjalan menyesak. Berubah menjadi pasar malam. Mereka ada yang berpasangan, ada juga yang sendiri sendiri.Kekuatan Rain serasa disedot oleh pesona keramaian dunia lain. Rain merasa seperti berputar
Kegelapan kembali pekat. Butuh sekitar dua puluh detik untuk membuat mata Rain terbiasa dengan kegelapan. Matanya membutuhkan waktu, namun tidak dengan indra penciuman Rain. Dia mendapati udara pekat bau muntahan. Sangat memuakkan dan membuat Rain merasakan gelombang desakan di sekitar perut seolah merambah ke arah tenggorokan.Rain merasakan tengorokannya panas dan pahit. Lalu di tengah kegelapan, Rain menemukan siluet siluet tubuh makhluk yang memiliki tungkai yang panjang sehingga lengan mereka terjatuh lunglai ke tanah. Setelah matanya terbiasa, Rain melihat ada sekitar tiga makhluk yang siluetnya hampir sama, ketiganya tampak berdiri melingkar disekitar Rain. Mendesah desah dan bergumam gumam dengan suara yang tidak jelas, air liur mahkluk tersebut menetes netes. Mulut ketiga makhluk itu bergerak gerak seolah tengah mengunyah.Tampaknya salah satu makhluk itulah yang menarik tubuh Rain sebelum dia keluar dari dalam goa. Tangan mereka yang panjang memungkinkan mere
Tarun menyorotkan senternya ke samping kiri dan kanannya.“Rain?” panggilnya. Dia menyorotkan kembali senter ke belakang, depan lalu memutarinya. Memastikan keberadaan Rain ada di dekatnya.Goa tersebut terasa lengang. “Rain!” panggil Tarun sekali lagi, kali ini suaranya dinyaringkan. Tarun berputar dan kemudian masuk ke dalam goa lebih dalam lagi. Keberadaan Rain seolah menguap hilang. Ada perasaan dingin yang menjalari ulu hatinya sampai ke kerongkongan. Tarun menelan ludah. “Rain!” panggilnya sekali lagi dengan suara cemas dan panik.Goa terasa sunyi. Suara Tarun yang nyaring memanggil Rain berubah menjadi gema yang kemudian bergaung di telinga Tarun sendiri.Hening.Tarun tahu, dia telah kehilangan Rain. pemuda itu mencoba berbikir cepat. Mencoba menganalisis apa yang kira kira tengah terjadi.Tarun masuk ke dalam goa lebih dalam lagi dan mulai membuka indranya. Lalu, goa sekitarnya
“Aku baru saja mau tidur. Kamu tahu bagaimana kerjaanku kan?”“Please bang, klo enggak urgen aku juga engga mau ganggu, tapi bang, temanku hilang!”“Serius? Oke, kamu ke sini sekarang klo gitu.” Putus suara di seberang telepon.“Terimakasih Bang. Aku akan segera ke sana!”Tarun segera memakai tas ranselnya, membuang semua sampah makanan yang dibawanya ke dalam tong sampah dan bergegas menuju ke tempat parkir.**Butuh sekitar satu jam untuk tiba di daerah sekitar Cijerah. Tarun memutar otak dengan cepat untuk mencari jalan tercepat menuju ujung bandung sebelah barat. Tarun memacu motornya dengan rata rata kecepatan 80 km/jam. Harus bersabar ketika mengantri di lampu merah. Lalu, ngebut ketika jalan dirasa lebih lengang.Cijerah merupakan daerah padat dipinggiran antara Bandung dan Cimahi. Untuk sebuah kota pinggiran, daerah Cijerah termasuk padat karena lokasi yang dekat dengan jal
Tarun menggaruk kepalanya, merasa keberatan. Terbayang dikepalanya, Langit. Nama lengkapnya Langit Rahardi. Sudut pandang Tarun tentang Langit hanya satu. Hampang. Ruang yang luas dan kosong. Satu-satunya laki laki yang membuat Tarun bergidik sendiri ketika berjumpa. Kalau manusia bisa terukur dengan keterbatasan dan kotak kotak di dalam dirinya, langit berbeda. Seolah tubuhnya seperti cangkang, dan di dalamnya hanya ada ruang hampa.“Apa tidak cukup hanya kita berdua saja ?” tawar Tarun.“Tidak mungkin Ru. Kamu tahu kan, yang energinya paling besar untuk bisa masuk ke dalam wilayah mereka hanya Langit. Lagipula, yang paling tahu informasi yang terjadi di sana, ya Langit.”“Aku kok ya tidak nyaman kalau bersamanya Bang.” Ucap tarun.“Terserah kalau kamu tidak mau bersamanya. Tapi, abang menolak membantu kalau tidak mengajak Langit. Apalagi ada gosip dari wilayah sana sedang terjadi perseteruan. Abang meno
Langit Rahardi adalah manusia paling misterius yang pernah ditemui Tarun. Tinggi langit 180 cm. tubuhnya kurus, jangkung. Bagian lengannya sedikit menonjol oleh lekuk otot. Bila Langit secara sengaja menggunakan baju kaos ketat, tonjolan otot menyembul secara samar. Wajah Langit lonjong dengan dagu yang runcing disampiri sedikit janggut. Bentuk kedua matanya seolah menonjol diantara dahinya yang lebar. Yang paling menarik dari Langit adalah bentuk mata dan alisnya yang begitu sempurna dan mempesona. Alisnya menyatu dan tepat menghiasi matanya dengan bola mata jernih yang hitam, tajam dan penuh misteri. Yang selalu membuat Tarun penasaran adalah usia Langit. Tarun memperkirakan usia laki-laki itu pada 30 an awal, begitupun Aji berpendapat. Namun, keduanya tidak tahu persis usia Langit yang sebenarnya.Bagi kebanyakan orang—dan kebanyakan wanita—sosok Langit menawan. Pembawaannya yang tenang membuat orang akan tertegun sesaat untuk memandangi dirinya. Namun, di satu
Rain membuka matanya, tubuhnya serasa kaku. Kedua lengannya berat seperti ada beban yang mengelayuti. Lehernya terasa kram, dan kakinya kesemutan. Hari sudah malam, kondisi kamarnya gelap. Ada sedikit sinar masuk dari celah jendela. Udara malam itu lembab dan pengap.Rain memperhatikan sekeliling sebelum bangkit dari tempat tidurnya. Dia memastikan segera bahwa itu adalah kamarnya sendiri. Dia tidak ingat kapan dia berhasil sampai ke rumah. Terakhir yang dia ingat hanya bergelantungan pada pundak makhluk besar yang melompat lompat ringan di bagian kota bandung entah sisi yang mana.Rain juga ingat bocah kecil dengan rambut mengembang nyaris gimbal yang terkesan nakal. Anak yang bernama Razel itu mengatakan mengenalnya, dan seingat Rain, dia tidak pernah mengenal anak dengan tampilan mencolok begitu. Kemudian dia teringat Tarun.Akh! Rain memukul kepalanya sendiri karena merasa bebal. Dia meninggalkanTarun di Dago. Entah bagaimana kabar teman sekelasnya itu. Rain
Rain memperhatikan, sambil berupaya berpikir jernih. “Kamu sebangsa jin bukan?”Razel tersipu, “Apakah sejelas itu terlihat?”“Mau apa kamu membawa saya ke sini?”“Ah..” Razel menggerakkan jari telunjuknya. “Kamu salah Rain. Aku tidak membawamu kesini—secara teknis, kamu sendiri yang kemari, bukan aku yang membawamu.” Jelasnya dengan sikap sok.“Bagaimana—tidak mungkin—buktinya, kamu ada disini.”“Ya,” angguk Razel, tampak penuh teka teki. Dia diam menunggu sekitar dua detik, berharap Rain bisa segera menjawab, namun wajah ketidaksabaran terpancar dari Razel sehingga dengan jumawa dia menerangkan sendiri. “Itulah misteri besarnya. Aku menghubungkan pikiranmu denganku. Jadi, ketika kamu membuka pintu masuk dunia jin, kamu akan segera menuju ke sini. Itu rencana brilian”“Masuk ke dunia jin—saya?” Rain tampak terp