Raven Seth Rainer terdorong untuk mengatakan permintaan maaf atas kelalaiannya mendidik sang adik -Daxon- yang kembali membuat ulah saat upacara rutin pagi tadi. Ia dengan sadar diri, sering melupakan tugasnya sebagai seorang kakak yang menjadi tanggung jawab Daxon dalam keluarga setelah kepergian ayah mereka.
Di ruangan seorang Laksamana, berjejer berbagai penghargaan dan bendera kebangsaan serta bendera angkatan laut. Tertata rapi di belakang kursi kebesaran Dereck. Semua itu terlihat jelas pada kedua netra biru milik Raven yang duduk di hadapan Dereck—seorang komandan yang sudah dianggap seperti ayahnya itu.
Seakan telah memahami kedua watak Rainer bersaudara, Dereck mengajarkan keduanya secara tegas sesuai dengan surat wasiat yang diberikan sahabatnya yakni; ayah dari kedua Rainer.
“Sekali lagi aku sungguh meminta maaf sebagai kakaknya, karena lalai mendidiknya untuk lebih displin, Sir. Kuharap kau tak mengeluarkannya dari sini,” pinta Raven.
Kekehan terdengar dari bibir seorang Dereck yang merasa lucu akan kedua sifat Rainer brother yang sangat bertolak belakang.
“Sudahlah, aku tak mendendam dengan adikmu. Dia hanya perlu diberikan sedikit hukuman kecil agar bisa memperbaiki dirinya lagi. Apalagi kini ia memiliki pasukannya sendiri.” Dereck menanggapi dengan santai.
“Terima kasih jika kau memaklumi, Sir. Mungkin memang aku terlalu keras menuntutnya. Aku akan bicara baik-baik padanya nanti,” ujar Raven mendapat anggukan dari Dereck yang mengerti.
“Kalau begitu, aku tak akan mengganggu waktumu lagi, Sir. Aku pamit undur diri untuk—” Suara ketukan menghentikan ucapan Raven yang baru saja berdiri dari duduknya.
“Masuk,” kata Dereck.
“Hey, Dad!” seru suara lembut seorang wanita yang membuat Raven tertegun menatap sepasang kaki mulus yang melangkah masuk ke ruangan pimpinannya.
“Hey, sweety, kenapa kau tidak menelepon jika sudah sampai? Dan bagaimana kau bisa tiba di ruanganku?” tanya Dereck.
Raven terdiam di sisi meja Dereck, enggan beranjak karena ia belum benar-benar pamit. Ia memilih diam di sudut yang hampir tak terlihat oleh putri komandannya.
“Aku diantarkan Letnan Rainer, Dad. Oh, aku belum ucapkan terima kasih!” seru Alexia, “Letnan, Rainer … kenapa kau di depan saja? Masuklah,” pinta Alexia.
Seketika pandangan Dereck dan Raven menoleh ke arah pintu dimana Daxon berdiri kaku di sana.
Tamatlah riwayatmu, Dax! Kau akan ditenggelamkan ke tubin laut atau yang terparah …, terdampar di Bikini Bottom jika putri Laksamana ini mengadukan semua umpatanmu pada Ayahnya! rutuk Daxon dalam hati. Ia tersenyum miris sambil melangkah ragu memasuki ruangan Laksamananya.
“Well, terima kasih sudah mengantarkanku ke tempat ayahku,” ujar Alexia.
“Ya, bukan apa-apa. Lagipula aku sekalian ingin melapor bahwa tugasku sudah selesai,” ujar Daxon. Berdiri tegak di samping Raven.
Dereck mengangguk mengerti. Sementara putrinya terlihat menatap geli kepada Daxon yang seketika berubah menjadi kaku seperti habis menatap mata medusa, hingga membuatnya mematung di depan Ayahnya. Padahal sebelumnya ia mengejek sang komandan sedemikian parah.
“Oh ya, Dad. Saat perjalanan ke tempatmu ini, aku mendengar bisik-bisik seseorang yang mengumpatimu,” celetuk Alexia. Melirik Daxon yang menatap cemas ke arahnya.
Please …, don't say anything, Sexy lips! Atau aku akan membuat perhitungan pada bibirmu! Daxon mengancam dalam hati. Tentu saja dia tak akan berani mengatakannya langsung saat ini.
“Apa yang mereka katakan, Xia?” tanya Dereck.
“Aku kurang yakin. Tapi, ada satu kalimat yang sangat mengganggu. Orang itu mengatakan bahwa kau adalah pemimpin yang menyebalkan dengan hidung besar,” adu Alexia.
Sambil melirik Daxon yang membulatkan mata kepadanya, kemudian menunduk ketika tatapan Dereck ikut menatap ke arahnya.
“Benarkah?” tanya Dereck mengerutkan keningnya sambil melirik putrinya.
Alexia mengalihkan tatapannya dari Daxon dan sepenuhnya menatap sang Ayah.
“Ya, aku tak mungkin salah dengar. Dan tentu saja orang itu bukan Letnan Rainer yang berkata demikian, karena bahkan dia juga mendengarnya. Bukan begitu, Letnan?” tanya Alexia kembali menatap Daxon yang seketika terkejut dan mendongakkan kepalanya.
“Hah? Yes, Sir, tetapi saya tak begitu mendengarnya. Nona D’Ryan yang mendengarnya dengan jelas.” Daxon menjawab dengan tatapan lurus ke depan. Mempertahankan wajah kakunya.
Sementara sang kakak -Raven- menelisik raut wajah mencurigakan dari adiknya, mencoba hendak menyela untuk membawa pergi sang adik.
“Maaf menyelamu, Sir. Aku rasa kami harus kembali ke tempat kami. Bolehkah kami pamit undur diri?”
“Ya, silahkan, jika memang tidak ada keperluan lain. Terima kasih,” ujar Dereck.
Lalu Rainer brother memberi hormat sebelum mereka meninggalkan ruangan komandannya.
Aura mencekam menguar dari dalam diri Raven. Dengan pandangan mata setajam elang sambil berjalan tegap memimpin di depan— ia mengarahkan tujuannya ke dek kapal paling atas. Ada pembicaraan khusus antara adik dan kakak itu yang harus mereka lakukan perihal kelakuan minus Daxon yang sangat tidak beretika.
***
Sepasang kaki berbalut sepatu boots khusus seorang marinir itu, menapaki undakan tangga besi yang membawa mereka pada akhirnya, ke bagian atas. Raven tanpa menoleh sudah tahu bila adik lelakinya itu terus mengikuti langkahnya tanpa berani kabur ataupun berontak.
Begitu kedua pasang kaki itu menapaki pijakan kayu di atas kapal, semilir angin laut menerpa kulit wajah keduanya yang memang terbilang di atas rata-rata. Bahkan beberapa marinir yang melihat mereka, mengakui dalam hati akan ketampanan Rainer brother itu.
Sepanjang keduanya menuju ujung kapal, tak hentinya sapaan hormat dilayangkan para marinir muda yang sedang bertugas di sana. Bersikap sopan kepada atasan mereka yang grade-nya sudah jauh diatas. Walaupun kedua kakak-beradik itu sama-sama memegang jabatan sebagai letnan, akan tetapi mereka berbeda tingkatan. Tentu saja Raven jauh lebih tinggi pangkatnya dibandingkan Daxon yang baru saja menjabat sabagai letnan muda.
Sesampainya di ujung kapal yang langsung menghadap ke lautan biru, keduanya berhenti, dan untuk beberapa saat terdiam merasakan angin laut yang kencang seakan menerbangkan pakaian mereka bersama burung-burung pantai.
“Kau tahu kesalahanmu, Letnan Daxon Seth Rainer?” Raven membuka percakapan mereka. Tanpa berbalik, pria yang lebih tinggi daripada adiknya itu memandang jauh ke seluruh lautan.
Daxon mengerti akan sikap formal yang dilakukan saudaranya itu, ia menjawab selayaknya sang bawahan kepada atasannya dengan tegas; mengakui benar dirinya bersalah.
“Ini bukan kali pertama kau melakukannya, Dax.” Kali ini Raven berbalik. Menyorot ke arah wajah pucat Daxon yang masih mencoba tenang dan bersikap sopan.
Daxon tahu ini pembicaraan serius. Raven takkan menyebut nama lengkapnya bila ia tak benar-benar marah. Salahnya yang sudah menyalakan sumbu kompor. Daxon siap menerima sanksi tegas dari sang kakak. Apalagi kata-kata sadis yang biasa terucap sarkas dari bibir merah alami milik Raven.
Raven mendekat dan berdiri di hadapan adiknya. Menatap lekat pada iris yang sama dengan milik ibu mereka. Jujur saja, Raven iri melihat hazel milik adiknya yang menurutnya sangat terlihat ramah juga hangat. Tidak seperti biru lautnya yang tampak dingin, meski banyak yang berkata bila dirinya akan diberkahi dengan umur yang panjang.
“Maaf.” Daxon berkata lirih. Hampir tak terdengar karena desau angina, tetapi Raven bisa menangkap pergerakan bibir adiknya itu dengan jelas.
“Simpan maafmu, Letnan Daxon. Mulai detik ini kau tak perlu mengkhawatirkan atau meresahkan tugas-tugasmu,” tegas Raven.
Membuat tanda tanya besar di hati Daxon, akan tetapi sebelum ia bertanya, Raven mendahuluinya. Pria bermanik biru itu maju, menepuk kedua bahu sang adik dan berkata, “Tanggalkan seluruh atributmu dan pulanglah ke New York. Kau bisa bebas sekarang.”
Kemudian Raven kembali berbalik ke arah lautan. Menggenggam pembatas besi di depannya, tanpa bersuara lagi. Membiarkan Daxon mematung dalam keadaan syok. Hanya matanya yang mengerjap tak percaya, karena indera pendengarnya dirasa seketika tuli.
“Se- seriously, Rav?! Kau pasti bercanda, bukan? It's not funny!”
Daxon mengerang frustrasi dengan bahu yang tak lagi tegap. Kakinya melemas dan juga rasa kecewa serta amarah menyelimutinya. Bagaimana bisa candaan kecilnya menjadi petaka besar baginya? Bahkan ia terancam keluar dan melepas pangkatnya.
“Tidak! Aku tidak bisa melepas semua atributku,” elaknya panik, “aku tidak bisa keluar secara tidak hormat begini.”
Namun, Daxon tak mendapati tubuh sang kakak berbalik untuk memberi penjelasan lebih, atau melakukan penghiburan baginya. Itu semakin memperburuk firasatnya.
Daxon memegang kepala dengan kedua tangannya sambil menunduk, ia mencoba berpikir jernih sambil menunggu tanggapan saudara sekandungnya yang sedari tadi hanya diam. Dia pun akhirnya ikut terdiam mencoba merenungi kesalahannya kembali.
“Rav, I'm so sorry.” Suara lirih Daxon keluar seiring ia kembali mengangkat kepalanya, “aku tidak bermaksud mencela pak tua itu, ehem! Maksudku komandan kita," ralatnya setelah merutuk dirinya sendiri.
Lagi. Raven tak bersuara. Hanya suara burung, deburan ombak juga desau angin yang terdengar. Membuat Daxon mati kutu dan hanya bisa mengusap kasar wajah frustrasinya.
Dia sudah tahu akhir dari sesi pembicaraan ini; bahwa riwayatnya habis sudah. Dirinya benar tenggelam ke dasar Bikini Bottom. Hell! Semudah itukah?
Kembali menilik ke arah punggung sang kakak. Tubuh itu berguncang hebat. Daxon tidak tahu jika berita pencabutannya akan membuat seorang Raven begitu sedih. Bahkan bisa ia tebak, jika saudaranya itu pasti menangis sekarang.
Bukankah harusnya ia yang bersedih seperti itu?
“Rav ….” Daxon mendekat untuk menyentuh bahu saudaranya, “… maaf telah—”
Daxon terdiam ketika suara tawa terbahak-bahak terdengar lantang dari seorang Raven. Pria tinggi itu berbalik menatap adiknya yang memasang wajah bingung. Raven menunjuk wajah bodoh Daxon dengan telunjuknya sambil melanjutkan tawanya yang terdengar sangat lucu.
“Tampangmu mirip bintang laut bodoh, bila kau ingin tahu, Dax!” Gelak tawa Raven masih berlanjut diikuti tepukan pada bahu sang adik yang masih tampak bingung dengan apa yang terjadi.
Jangan bilang Raven dirasuki jin laut? Mengingat mereka kini berada di kepulauan Hawaii yang masih percaya dengan cerita mistis, legenda, mitos atau semacamnya.
“It's just a prank, Bro," jelasnya sambil mencoba meredakan tawanya.
Daxon yang akhirnya paham, mengumpat dan meninju bisep sang kakak. "Sialan kau, Rav! Bercandamu tidak lucu!”
“Siapa bilang? Buktinya aku menikmati wajah nelangsamu tadi,” balasnya tak ingin kalah.
Daxon mendengus. “Kau bahkan tak melihatku! Yang kau perhatikan hanyalah lautan.”
Raven mengedikkan bahunya. “Who knows? Kalau kau ingin tahu, aku melihatmu tadi sebentar. Wajah bodohmu sangat lucu. Sialnya aku lupa mengabadikannya.”
“Damn ya, Rav! Kau yang terburuk!” umpat Daxon menjauh ke samping.
Namun, Raven membalas umpatan sang adik dengan mengacak rambutnya, dan berkata, “I love you too, my little Daxie.”
Setelah berhasil mengerjai sang adik, Raven kini tampak lebih santai untuk diajak berbicara. Ia merangkul sang adik, Raven kembali berujar, “Perbaiki dirimu, Dax. Bersikaplah dewasa. Umur mungkin hanyalah soal angka, akan tetapi apa yang ada di dalam hati dan pikiranmu yang utama.
“Fokus dengan apa yang menjadi tujuanmu. Ubah cara berpikirmu dan perilaku burukmu itu. Jadilah pria yang bertanggung jawab, disiplin dan mandiri, karena kelak kau akan menjadi seorang pemimpin seperti yang dikatakan ayah. Ingat itu,” sambung Raven mengikuti arah pandang adiknya ke langit biru.
Daxon menoleh kepada kakaknya; dengan penuh wibawa dan kharisma, Raven berdiri tegap dengan pandangan matanya yang masih menyimpan sejuta misteri. Tak bisa ditebak, adalah gambaran untuk seorang Raven bila mendengar namanya.
Persis seperti sang ayah yang dulunya adalah seorang Jenderal. Daxon bisa melihat siluet yang sama ketika mereka bersama. Membuat hati Daxon bersyukur karena bisa terus melihat sang ayah pada sosok sang kakak. Mengobati rasa rindunya yang dalam hanya dengan bersama Raven. Maka dari itu, ia sangat menghormati dan menyayangi saudaranya. Bahkan mengikuti jalan sang kakak yang adalah anggota militer.
“I promise you, Brother,” janji Daxon pada sang kakak, “aku takkan mengecewakanmu lagi,” tekadnya yakin.
“Kuharap kau tidak kembali lagi ke ruangan paman Dereck, Dax,” ucap Raven mengingatkan. Ada nada geli saat ia berujar seperti itu.
Daxon hanya mengangguk. “Yeah, that's my fault. My mouth is my tiger,” desahnya sambil menatap jauh ke arah perairan.
“Dan jangan menghina seorang ayah di depan anaknya. Atau kau …”
“Shit! Seriously! Aku tidak tahu bila wanita itu anak si pak tua,” potong Daxon cepat, “dan sialnya dia mengkonfrontasiku juga tadi.”
Raven kembali terkekeh. “Dia telak menyindirmu, bukan? Untung saja dia tak melaporkan pada ayahnya. Good girl.”
Daxon kembali tersudut. Menyesali mulut besarnya yang seperti tak mempunyai daya filter untuk menyaring omongan busuk sialannya yang penuh omong kosong. Tolong ingatkan dirinya untuk bersikap lebih manis sekarang.
“I swear, Rav. Aku takkan membuat diriku dipermalukan lagi.” Terlebih oleh si gadis berbibir seksi itu, batinnya melanjutkan.
Raven tersenyum hangat akan tekad sang adik. Menepuk bahu yang ia rangkul dan berkata, “Aku pegang janjimu, Letnan Daxon Seth Rainer, dan berjanjilah juga satu hal lainnya.”
“Apa itu?” tanya Daxon.
Raven kembali dengan wajah seriusnya. Ia menatap adiknya, lalu memegang kedua bahu itu dengan sungguh-sungguh.
“Bila aku tiada, tolong lanjutkan hidupmu dan jaga keluarga kita. Juga, jangan pernah lupa membawa kompas pemberian ayah. Kemanapun kita pergi tetap bawa benda itu, karena dengan itu kita saling tertaut. Kau mengerti?”
Daxon mengangguk. Kemudian meraih sesuatu dari dalam sakunya dan keluarlah rantai berwarna tembaga yang mengikat sebuah kompas sebagai mata kepalanya.
“Maksudmu kompas ini, bukan?” tunjuknya sambil membuka kompas itu.
“Ya.” Raven juga mengeluarkan miliknya yang terdapat di saku.
Daxon tersenyum kecil pada kedua benda yang berada di tangan masing-masing, kemudian pada sang kakak dihadapannya.
“Rav, jangan biarkan aku menyimpan milikmu, please …,” ucap Daxon masih dengan gaya jenakanya.
“Then, kita harus mengurus benda ini masing-masing. Bagaimana?” saran Raven dengan kedua alisnya yang bermain.
Daxon dan Raven tertawa, secara bersamaan mereka menyebutkan kata, “Deal!” Keduanya menjabat tangan, Raven menarik sang adik hingga pelukan hangat tercipta dengan tepukan tegas diberikan pada punggung lebar adiknya. Dibalas Daxon dengan sedikit usapan.
**
Jam sudah menunjukkan pukul empat sore hari waktu setempat, ketika akhirnya Dereck –sang pemimpin pangkalan Pearl Harbor– harus mengakhiri tour singkatnya bersama sang putri kesayangan untuk menunjukkan situasi dan kondisi di tempatnya bekerja sekarang.Ini adalah kali pertama Alexia atau biasa dipanggil Lexy, mengunjungi sang ayah di Hawaii. Sekaligus berlibur tentunya, karena selama ini gadis manis berdarah campuran Amerika-Perancis itu sedang menempuh jalur pendidikannya di salah satu Universitas ternama di California— Universitas Stanford, untuk menyelesaikan Magister Bisnis Administrasinya.Kembali ke ruangan sang ayah yang berada di sebuah kapal induk, Lexy ditinggal beberapa saat karena sang ayah ada keperluan mendesak.Ruangan seorang laksamana ternyata cukup luas. Desainnya juga cukup futuristik tanpa meninggalkan gaya klasik yang selalu ayahnya usung untuk setiap desain interiornya. Membuat ruangan besi itu menjadi lebih hang
Hawaii, Honolulu - Amerika Serikat | Pearl Harbour, 05.30 PMSuasana tegang dan mencekam tengah dirasakan para pengunjung perayaan hari angkatan laut yang sedang menyaksikan para marinir di medan perang.Bukan … Ini bukan perang sesungguhnya. Ini hanya sebuah opening ceremonial hari angkatan laut untuk memeriahkan acara dan menunjukkan aksi terbaik para tentara terlatih yang selalu melakukan tugasnya dengan benar.Terdiri dari empat kapal yang dipimpin langsung oleh para kapten kapal. Dua diantaranya dipimpin oleh Rainer bersaudara.Beberapa tamu pilihan dapat menumpangi kapal-kapal itu dan bisa secara langsung melihat para pemimpin dan awak kapalnya bekerja seperti kejadian disaat perang. Membuat hati pengunjung berdebar ikut terpacu dan merasa tegang, karena dibuat seperti sedang menghadapi musuh sesungguhnya.Setelah bersitegang dengan gugurnya dua kapal, kini tersisa dua kapal yang masih bertaha
Suasana bising di sebuah klub yang terdapat di dekat pantai Hawaii terlihat ramai saat hari semakin malam. Bertambahnya pengunjung membuat keadaan semakin sesak dan tak lagi terlihat nyaman bagi Daxon dan Lexy.Hingga keduanya memutuskan untuk berjalan-jalan di dekat bibir pantai menikmati semilir angin yang menerpa kulit mereka. Daxon dengan senang hati memberikan jaket kulitnya untuk dikenakan Lexy, sebagai bentuk kelemah lembutannya.Hanya dalam hitungan jam mereka tampak akrab karena pembicaraan mereka yang selalu sama setiap kali menebak. Membuat Lexy merasa nyaman dan tak berhenti tertawa dengan semua lelucon yang dilontarkan Daxon di sepanjang kebersamaannya.“Ya, dan saat aku mengejek Walter. Wajahnya malah semakin kaku seperti habis melihat medusa,” ujar Daxon terkekeh.Membuat Lexy ikut terkekeh saat mendengar cerita Daxon tentang kebodohannya mengejek Walter.“Aku bisa bayangkan wajah hitamnya yang menegang, saat meliha
Beberapa minggu kemudian ...“Hei Kap, jadi kau ambil cuti liburan natalmu?”Walter, sang anak buah berlari menyapa saat melihat Daxon berjalan keluar dari ruang kantor administrasi pangkalan tempat mereka bertugas. Daxon menyikut perut bawahan yang sudah dianggap sebagai temannya itu karena sebenarnya mereka hampir seumuran dan sangat dekat.“Bagaimana dengan kau? Tidak natal bersama keluarga?” tanya Daxon yang sudah merangkul bahu pria yang kalah tinggi dengannya itu.Walter hanya mengendikkan bahu, menjawab, “Tahun ini giliranku yang standby. Mungkin aku pulang setelah tahun baru.”“Poor you. Itu artinya wanitamu harus menunggu lebih lama, bukan?”“Aku tidak punya kekasih lagi, bila kau ingin tahu.”“Why?”“Dia memutuskanku karena tidak bisa selalu bersamanya.”Daxon menepuk bahu Walter menya
Hari ini adalah hari penting bagi Daxon. Dia sudah siap dengan penampilannya yang bersih dan rapi. Cukup lama ternyata memilih antara kaos dengan kemeja di lemarinya yang hanya itu - itu saja. Akhirnya dia memutuskan untuk memakai kaos putih berlapis blazer hitam pemberian ibunya yang tak pernah dia pakai. Ditambah dengan jeans hitam dan sepatu berwarna putih juga agar terkesan kasual. Tema hari ini adalah black and white. Daxon suka itu.Bila biasanya dia sangat cuek dengan caranya berpakaian. Namun, kali ini tidak. Dia harus terlihat pantas bila bersanding dengan si seksi Lexy saat berjalan nanti. Wajah tampan saja tidak cukup. Dari kepala hingga kaki harus terlihat sempurna, dan jangan lupakan satu hal lagi. Parfum!Ya, benda yang satu itu hampir tak pernah dia pakai
Kendaraan klasik beroda empat milik Daxon masih berjalan setelah hampir dua jam perjalanan mereka habiskan dengan senda gurau saling menceritakan sisi buruk masing-masing, lalu mengejek lawannya. Sebuah gurauan seru jika dalam perjalanan untuk mengusir rasa kantuk saat berkendara.Mereka terlalu merasa nyaman hingga tak lagi merasa malu walau untuk mengatakan dirinya tidur begitu berisik dan mendengkur saat tidur. Daxon mengakui Raven sering menceritakan dan mengejeknya demikian. Begitu juga dengan Lexy yang selalu bernyanyi di dalam kamar mandi, walau ibunya sering protes akan suara sumbangnya.Sudah diceritakan sebelumnya bahwa hubungan keduanya berjalan karena mereka selalu mengutamakan rasa nyaman di atas segalanya. Mereka merasa menjadi diri sendiri adalah rasa nyaman yang tak bisa digantikan dengan materi."
Daxon dan Lexy membuka pintu kamar penginapan mereka yang didominasi dengan kayu sebagai tema losmen di tempat yang cocok untuk menikmati musim dingin."Well, setelah dengan baik hatinya kau memberikan satu ruangan kosong untuk new family tadi. This is our room ... come in, Nana. Jangan mengeluh mendengar dengkuranku nanti," ujar Daxon bersandar di pintu dan mempersilahkan Lexy untuk masuk."Ya … mengingat masa kecilku tinggal di perancis bersama ibu dan bibiku. Aku rasa tak ada bocah kecil yang tak menyukai perm
Perjalanan pulang yang tak sehangat perjalanan pergi saat ini tengah terjadi. Pagi yang lebih baik dari semalam setelah badai salju, beruntung pagi tadi tim penyisiran salju di jalan, selesai dilakukan. Mereka kembali ke kota. Sepanjang jalan yang memberikan pemandangan putih itu membuat Lexy sanggup terdiam menatap pohon-pohon pinus yang berubah menjadi putih tertutupi salju. Lexy menyukainya dan Daxon menyukai tatapan kagum Lexy akan alam.Namun, Daxon menangkap sorot dari mata Lexy yang sesekali dilihatnya saat menoleh sekilas. Membuat pria itu memahami ada yang sangat dipikirkan oleh Lexy."Aku tahu kau takut, Nana. But, hei … aku yang harusnya takut." Daxon meraih tangan dingin Lexy dan mengecupnya, "kau layak diperjuangkan, Nana. Kau pantas mendapatkan itu. Dan aku tahu ayahmu tak akan semudah itu mengizinkanku mengencani putrinya. Mengingat sebera
Extra part Kehebohan di kediaman D'Ryan di Hawaii membuat suasana tengah malam sangat berisik. Suara gaduh langkah kaki Daxon terdengar seolah sedang terjadi perang dunia kedua. Bagaimana tidak? Daxon seketika terkena serangan panik saat dikabari mertuanya -Elizabeth- untuk segera pulang dari pangkalan agar membawa istrinya ke rumah sakit. Kehamilan Lexy yang sudah genap akan usia kandungan untuknya melahirkan, membuat si ibu mengalami kontraksi cukup kuat saat ini. Tentunya Dereck juga mengalami serangan panik yang sama dengan Daxon. Memaksa untuk ikut dalam perjalanan menuju rumah sakit membuat Daxon menyetir seperti orang gila di tengah gelapnya jalan yang sepi. "Dalmore cepat sedikit! Aku tak mau melahirkan di dalam mobil!" erang Lexy di tengah rintihan rasa mulas di perutnya sambil memegangi perut itu
Setelah mendapat pujian dari Dereck di depan seluruh timnya. Daxon juga mendapatkan sebuah peringatan mengerikan dari si penguasa lautan Hawaii tersebut. Masih terbayang dalam benaknya saat ini. Dereck yang secara tiba-tiba memberikan pelukan dan tepukan kuat di punggungnya itu, membisikkan sebuah peringatan keras. Bukan sebuah nada perintah. Melainkan ancaman dari seorang ayah yang memintanya untuk melakukan tanggung jawab serius pada putri kecilnya yang ternoda, akibat kelancangan Daxon yang berani menghamili sang putri. “Kuakui kau telah sukses dalam karir marinir, tetapi restuku ... masih belum kau dapatkan!” Seiring dengan pelukan Dereck yang terlepas, seketika itu juga Daxon membeku di tempatnya. Sementara Dereck kembali memasang wajah biasa, terlebih saat seorang bawahan mereka memint
_The end_Setelah kepergian Hakuri, Raven kembali mengulang kegiatan melepas borgolnya. Beruntung dirinya sempat menyembunyikan kuncinya tepat sebelum komplotan Hakuri tiba di ruangan tersebut. Kini dengan tergesa Raven mengintai dari celah yang ada di pintu, ia memicingkan matanya untuk melihat dengan jelas keadaan di luar. Keadaan langit kembali menggelap dan tak terlihat ada penjaga di manapun.“Great! Ini kesempatanku, ” ujar Raven.Raven menatap ke sekeliling ruangan yang minim penerangan. Ia mencari benda yang bisa mendongkrak pintu yang terkunci dari luar. Beberapa perkakas ditemukan dalam tumpukan benda tak berguna lainnya. Ia menemukan linggis panjang lalu tersenyum dengan wajah penuh harap.
Part 30.2 - Raven is savedMiami, Florida.Raven menggeram kesal untuk kesekian kalinya. Entah sudah berapa lama dirinya di sekap dan selalu disuntikkan obat tidur saat ia memberontak ingin melepaskan diri dari sana.Bangunan gudang yang dikelilingi tumpukan badan truk pengiriman barang itu, tampak asing bagi Raven yang sudah lama berada di perairan Hawaii. Dia tak bisa mendeskripsikan di mana dirinya saat ini, karena hanya itu yang sempat dilihat Raven saat sekali percobaannya melarikan diri berujung kesia-siaan. Kini bukan hanya tangannya yang diborgol dengan rantai, kakinya juga mengalami nasib sama.Namun, para mafia itu tak tahu jika Raven adalah kapten yang begitu akrab dengan rantai kapal. Walau menggunakan benda tersebut, dirinya memiliki banyak cara untuk lepas dari jeratan rantai, a
"Daxon, tolong aku …" Raven merangkak tak berdaya sambil memegang kaki adiknya. Pria gagah itu berlumur darah hingga pada bagian wajahnya. "Aku tertembak." DORRR! __ Daxon terbangun dari tidurnya ia memegangi dadanya dan meraba seluruh tubuh sambil mengecek kondisinya saat ini. Dengan napas terengah dan butiran bening yang mengucur di pelipisnya, Daxon menatap sekitar. Seluruh pasukan tengah bersiap untuk ke luar dari pesawat. Dengan nyawa yang masih setengah sadar, ia memutar memorinya pada bayangan yang baru saja terjadi dan terasa sangat panjang itu. Apa aku hanya bermimpi? “Hei, Kap. sudah bangun dari mimpimu?” sapa Diego. Menepuk punggung kaptennya yang masih terlihat bingung. “Kau terlihat gusar dan tersenyum di dalam tidurmu, apa kau bermimpi buruk lalu berakhir bahagia?” Kali ini Walter menyahut dengan sedikit ejekan, sambil menurunkan peralatannya. Daxon yang masih merasa aneh, tak
Tibalah waktu yang ditunggu. Waktu dimana dua hati akan saling menyatu di hadapan Tuhan. Tepat disaat senja, ketika matahari menenggelamkan dirinya di ufuk barat. Bersamaan dengan bayang bulan sebagai saksi, dan lautan luas ikut melingkupi— sebagai pertanda jika cinta keduanya tak terselam sedalam samudera, serta langit jingga adalah simbol dari kasih tiada tara karena mencakup semesta.Sungguh suatu momen yang akan selalu dikenang keduanya di hari tua kelak. Dimana mereka berharap sampai akhir hayat nanti keduanya akan terus berdampingan, karena mereka percaya; apa yang sudah dipersatukan oleh Tuhan, maka tak boleh dirusak oleh manusia, kecuali maut yang memisahkan dan campur tangan Yang Maha Esa tentunya.Apalagi pernikahan dua insan ini diadakan di sebuah kapal khusus angkatan militer laut. Di dekorasi sedemikian rupa hingga tampak ada perayaan suka cita di atasnya. Terutama di bagian dek paling atas kapal. Sebuah altar di ujung menghadap lautan luas sudah dib
Daxon menatap pantulan dirinya di depan cermin kamarnya. Merapikan penampilannya sejak setengah jam yang lalu. Mengalami kepanikan berlebih saat dirinya sudah siap dengan setelan jasnya. Ia justru menggantinya dengan yang lain, lalu menggantinya lagi dengan yang sebelumnya.Wajahnya memucat dengan butiran bening sebesar biji jagung bermunculan di sisi pelipis. Daxon sungguh gugup dan tak bisa tenang sebelum acara hari ini terlewati dengan lancar.Di ambang pintu telah berdiri Raven yang menyandarkan tubuhnya santai. Sang kakak bukannya segera membantunya bersiap, tetapi malah mengejeknya hanya dengan tatapan dan senyum menyebalkan yang sialnya malah membuat wajah tampan keturunan Rainer menguar."Berhenti menunjukan seringaian itu, Rav! Kau mirip dengan si kotak kuning di Bikini Bottom. Lebih baik kau bantu aku memilih jas," ujar Daxon menatap sang kakak dari pantulan cermin.Raven terkekeh dan beranjak dari posisinya mendekati Daxon yang sibuk membongkar
Daxon menyusuri koridor rumah sakit demi mempercepat langkahnya menuju ruangan dimana Raven dirawat. Kabar Raven telah tersadar dari koma, membuatnya bergegas melakukan penerbangan dari Hawaii menuju New York. Dirinya bahkan masih mengenakan seragam kemiliterannya, karena saat kabar tersebut diberitahukan, Letnan muda itu tengah melakukan bimbingan rutin pada para timnya. Segera ia pergi setelah mendapat izin dari sang laksamana, dan kini ia berhasil tiba di sana begitu cepat.Daxon yang baru saja tiba di ruangan tersebut, bergegas berhambur masuk dan berdiri di hadapan Raven. Samar-samar suara Raven terdengar sedang bicara dengan seseorang. Rupanya sudah terdapat Gizelle yang berada di sisi satunya dengan setia menjaga dan menemani Raven selama beberapa hari setelah insiden kedatangan Daxon yang membuat kegaduhan dengan membawa serta pasukannya.Setelah membicarakan segala penjelasan dengan cara baik-baik. Daxon dan Dereck akhirnya memahami Gabriella dan Gizelle, lalu
Bandar Udara Militer, New York. Tepat tengah malam ketika akhirnya pesawat khusus militer yang ditumpangi Daxon dan rombongannya itu mendarat di New York. Masih dalam cuaca yang dingin, mereka satu per satu keluar dan segera bergegas transit ke sebuah helikopter yang sudah siap sedia untuk mengudara mengantarkan ke tujuan selanjutnya. Terkecuali Lexy dan ibunya. Daxon mengantar kekasih dan calon ibu mertuanya itu ke sebuah mini van yang akan membawa mereka kembali ke rumah. Lebih tepatnya ke rumah keluarga Rainer, karena lebih baik mereka semua berkumpul bersama sekarang. Sembari menunggu kabar dari Daxon dan Dereck juga timnya yang akan segera kembali beroperasi dalam pencarian Raven. Setidaknya mereka bisa saling menguatkan dan menjaga satu sama lain. "Dax, berjanjilah kau akan baik-baik saja. Aku akan mendoakan kalian agar berhasil menemukan Raven. Kabari aku secepatnya, okay?" Lexy memeluk erat Daxon di depan pintu mobil yang akan m