Suasana bising di sebuah klub yang terdapat di dekat pantai Hawaii terlihat ramai saat hari semakin malam. Bertambahnya pengunjung membuat keadaan semakin sesak dan tak lagi terlihat nyaman bagi Daxon dan Lexy.
Hingga keduanya memutuskan untuk berjalan-jalan di dekat bibir pantai menikmati semilir angin yang menerpa kulit mereka. Daxon dengan senang hati memberikan jaket kulitnya untuk dikenakan Lexy, sebagai bentuk kelemah lembutannya.
Hanya dalam hitungan jam mereka tampak akrab karena pembicaraan mereka yang selalu sama setiap kali menebak. Membuat Lexy merasa nyaman dan tak berhenti tertawa dengan semua lelucon yang dilontarkan Daxon di sepanjang kebersamaannya.
“Ya, dan saat aku mengejek Walter. Wajahnya malah semakin kaku seperti habis melihat medusa,” ujar Daxon terkekeh.
Membuat Lexy ikut terkekeh saat mendengar cerita Daxon tentang kebodohannya mengejek Walter.
“Aku bisa bayangkan wajah hitamnya yang menegang, saat melihat ayahku. Oh ya ampun … apa ayahku sekeras itu pada kalian?” tanya Lexy. Tak henti-hentinya tertawa.
Daxon mengangguk sebagai jawaban. Keduanya hening sejenak seiring dengan tawa yang menghilang ditelan angin. Menatap gemerlap di ujung pulau yang tampak semakin marak acara di pangkalan angkatan laut.
Daxon berdeham. “Udaranya semakin dingin, sepertinya akan turun hujan. Bagaimana jika kita kembali?” tawar Daxon.
“Ya, kau benar,” ujar Lexy merapatkan jaket Daxon di tubuhnya.
“Ayo kembali ke mobil,” ajak Daxon.
Namun, baru selangkah mereka berbalik secara tiba-tiba hujan turun mengguyur pasir pantai. Membuat Daxon secara spontan menarik Lexy menuju sebuah pohon untuk berteduh di sana.
“Hah, ya ampun. Kau jadi basah,” keluh Daxon memerhatikan Lexy yang tampak kacau karena ulahnya mengajak wanita itu berjalan di pantai.
“Tak apa. Aku menyukai pantai dan hujan,” ujar Lexy mengibaskan dress-nya yang basah.
Daxon memerhatikan pohon yang ternyata memiliki sebuah rumah kayu di atasnya. “Apa ini rumah pohon milik orang?” tanya Daxon.
Lexy mengikuti arah pandang Daxon. Pria itu mulai menaiki tangga yang terbuat dari kayu yang di tempelkan di badan pohon.
“Dalmore, mungkin ada pemiliknya. Jangan sembarangan," peringat Lexy.
“Tenanglah, kau tunggu di bawah," ujar Daxon tak mengindahkan peringatan Lexy.
Daxon menemukan secarik kertas yang tertancap di pintu masuk rumah pohon itu. Pintu yang berada di atas kepalanya itu tampak terawat dengan baik dan terlihat bersih, karena dilapisi cat kayu berwarna coklat.
Daxon melihat isi memo yang mungkin ditinggalkan pemiliknya sebagai tanda kepemilikan.
“Tinggalah jika hujan lebat turun. Tak ada penginapan di dekat sini. Maka rawat-lah tempat ini dengan baik.”
-pemilik sebelumnya-
Setelah membaca memo tersebut, Daxon membuka pintu kayu yang membawanya untuk melihat keadaan di dalam. Cukup gelap namun terdapat sebuah lentera saat Daxon menyenterkan cahaya dari ponsel pintarnya.
Ia meraih lentera itu dan menyalakan sumbunya, menerangi ruangan yang cukup untuknya berteduh dengan nyaman di atas sana.
Daxon kembali turun dan mengajak Lexy untuk naik, karena hujan yang semakin lebat.
“Ayo, Nana! Di atas sana sangat nyaman. Dan ini memo dari pemilik sebelumnya. Sepertinya baru ditinggalkan kemarin ada tanggal yang tertera di baliknya,” ungkap Daxon mengajak Lexy. Mereka bahkan sudah memiliki nama panggilan unik setelah beberapa jam bicara.
“Syukurlah. Kau bisa membantuku untuk naik?” tanya Lexy.
“Tentu, ayo!” ajak Daxon.
Hingga beberapa menit kemudian mereka sudah berada di atas rumah pohon yang tampak terawat dengan baik. Seolah memang sudah ditakdirkan untuk mereka temukan dalam keadaan mendesak.
“Bajumu basah, Dalmore. Kau bisa sakit jika tak mengeringkannya,” ujar Lexy, "oh, bagaimana jika kau menggantinya dengan jaketmu," timpal Lexy sambil melepaskan jaket dari Daxon.
“Tidak! Kau akan kedinginan jika hanya menggunakan sehelai gaun tipis itu. Aku sudah terbiasa—”
“Pakailah atau kau akan sakit, ayahku tak menyukai marinir yang sakit, bukan? Kau harus menjaga kesehatanmu!” Lexy memaksa.
“Bagaimana denganmu? Kau akan kedinginan jika—”
“Kau bisa memelukku jika aku kedinginan,” sela Lexy.
Membuat Daxon ternganga tak percaya. “Hentikan gurauanmu, Nana. Saat ini keadaan sangat mendukung untukku—”
Kembali Daxon menelan perkataannya saat Lexy menarik kaosnya dan mengangkatnya naik untuk dilepaskan.
“Hei, hei! Hati-hati, Nona. Kau ….”
“Cepat gunakan jaketmu. Atau kau akan sakit, kenapa kau begitu banyak alasan dan—”
“Dan aku hanya berusaha untuk menahan diri, agar tidak menciummu. Keadaan ini sangat berbahaya untukmu, Nana. Apa kau tak takut denganku?” Kali ini Daxon menyela dengan pertanyaan yang membuat Lexy bungkam.
Menatap pahatan sempurna di tubuh Daxon. Membuatnya tercekat meneguk salivanya dengan susah payah.
“A- aku hanya ….” Lexy menatap mata Daxon yang menatapnya berbeda.
Astaga … bagaimana bisa aku dengan bodohnya membuka pakaiannya. Ini gila, aku hanya khawatir dia akan saki, tapi tak memikirkan efek keterpanaanku dengan pahatan sempurna miliknya, batin Lexy menundukkan kepalanya malu.
D*mn! Aku sangat ingin menciumnya. Merasakan bibir sexy yang mungkin akan membuatku candu. Persetan dengan statusnya sebagai anak laksamana! umpat Daxon dalam hati.
Daxon meraih dagu Lexy. Memintanya untuk menatap netra hazel yang memohon permintaan. Memberikan arti seolah meminta izin untuk mencium wanita itu. Hingga dengan perlahan tanpa mengeluarkan sebuah izin. Daxon mendekatkan bibirnya pada bibir ranum milik Lexy.
Lexy terbawa untuk mengikuti gerakan slow motion yang membuatnya terlarut dan memejamkan matanya saat sesuatu yang kenyal menyentuh bibirnya dengan lembut.
Merasakan sentuhan yang menciptakan debaran kencang di dadanya kian berpacu saling mengejar. Seiring dengan pagutan yang kini mulai bergerak seirama, saling mengecap dan memberikan lumatan kecil.
Secara otomatis membawa tangan Lexy untuk menyentuh dada liat milik Daxon saat pria yang membuatnya terlarut dengan ciuman itu mendekatkan tubuhnya. Melingkarkan tangan kekar yang liar tersebut untuk mengikat pinggang nan ramping miliknya.
Membawa ciumannya bergerak meningkat satu detik lebih cepat dari sebelumnya. Ditambah dengan tangan Daxon yang meraih tengkuknya untuk memperdalam ciuman mereka. Pria itu semakin membuat Lexy terlarut. Membawa tubuhnya untuk berbaring secara perlahan di atas matras sebagai alas mereka duduk sejak tadi.
Hingga tanpa terasa keduanya semakin kekurangan oksigen. Daxon melepaskan pagutan yang sebenarnya tak ingin ia lepaskan. Namun, napas yang kini bersautan menjawab keputusannya yang tepat.
“Hah … Sudah kubilang, bukan? Keadaan ini sangat berbahaya untukmu, Nana!” desis Daxon, mengusap bibir Lexy dengan ibu jarinya.
Lexy terkekeh pelan. “Tapi bagaimana jika aku menyukainya? Apa kau akan melanjutkannya?” tantang Lexy.
Daxon terkekeh di atas bahu Lexy. “Jangan membuatku mendapat masalah pada ayahmu, Nana! Apa kau sadar bahwa; aku adalah pria yang paling dibenci ayahmu?” kekeh Daxon miris.
Membuat Lexy cukup terhibur dan malah semakin senang menggoda Daxon. “Let's see …, apa kau bisa menghindariku disaat keadaan ini sangat mendukungmu?” desis Lexy.
Daxon menatap dalam gelap, wajah cantik Lexy yang masih tampak jelas walau penerangan begitu minim. Semua itu karena seluruh ingatan Daxon telah terkontaminasi oleh wajah dan bentuk tubuh Alexia Oceana D'Ryan. Hell ya!
Lantas semua itu kembali membawanya untuk mengecap bibir lincah yang menggoda seperti memanggilnya untuk memagut. Dengan gemas, Daxon meraupnya. Memegang kedua pipi Lexy dan memperdalam lumatannya dengan kuat dan tergesa.
“D*mn! I give up! Persetan dengan statusmu! I want you more, Lexy!” umpat Daxon berdesis.
Kini bibirnya bukan hanya meraup bibir ranum Lexy. Melainkan mulai turun ke leher hingga dada dan menyapukan lidahnya dengan perlahan. Membasahi kulit Lexy lalu mengisapnya hingga membuat wanita itu memekik nikmat.
Membiarkan Daxon melakukan semua dengan nafsunya, membakar tubuh keduanya melalui aliran darah yang berdesir dan mendidih seketika di saat dengan tergesa keduanya saling melepaskan benang dari tubuh lawannya.
Kedua tangan mereka mulai sibuk walau cumbuan di bibir mereka kembali menyatu. Saling membantu membuka semua penghalang hingga kini keduanya sudah sama-sama polos tanpa helaian benang di tubuh yang mengganggu sentuhan intens yang begitu mendamba.
Bibir Daxon tak berhenti mengecapi setiap jengkal lekuk dan tonjolan di posisi yang pas dari si pemilik tubuh seksi itu. Membawa bibirnya kini berada di bagian tersensitif yang begitu dikagumi Daxon. Memberikan sensasi geli dan gelenyar aneh dari sentuhan lidah yang memainkan inti Lexy dan menggodanya tanpa henti.
Suara hujan semakin terdengar deras seiring dengan desahan yang dikeluarkan Lexy saat Daxon berhasil membawanya pada pelepasan pertamanya.
Daxon kembali ke atas dan menciumi bibir Lexy dengan lembut.
“Kau menyukainya?” tanya Daxon dengan suara parau.
Napas Lexy terengah. “Ya,” jawabnya serak.
“Get ready for more, baby!” seru Daxon mendesis. Sambil kembali menciumi bibir dan leher Lexy.
Sementara miliknya dibawah sana telah terarah dan berusaha mendorong, sambil mengacaukan konsentrasi Lexy dengan meraup nipple kemerahan yang mengeras menandakan Lexy sama berhasratnya dengan Daxon.
What the h*ll! Kenapa miliknya sulit ditembus! batin Daxon.
Mencoba mendorong miliknya dengan perlahan. Sambil kembali menciumi bibir Lexy lalu melumatnya cukup kuat seiring dorongan di bawah sana ia tekankan semakin kuat dan akhirnya menembus dinding itu.
Daxon mengerjap saat Lexy meringis dalam pagutannya. Pria itu mengangkat kepalanya menatap wajah meringis Lexy yang perlahan membuka matanya dengan senyum terukir di wajah cantik itu.
“Nana, kau—”
“Ya, Dalmore,” sela Lexy terengah, “now …. I'm not virgin anymore, you're the first. Yeay...! Congrats!” seru Lexy mengalungkan tangannya di leher Daxon.
Membiarkan Daxon dan keterkejutannya mengumpat.
“Holy Shit, Nana! kau sungguh membuatku dalam masalah besar sekarang!” desis Daxon merutuki kebodohannya.
Lexy hanya terkekeh mendengar rutukan Daxon yang lucu dan menggemaskan.
“Oh ayolah, Dalmore! Di bawah sana butuh pergerakan! Berapa lama lagi kau ingin menyiksaku!” tukas Lexy.
Membuat Daxon mulai bergerak dengan perlahan. Sambil tetap merutuki keadaan yang seolah sedang mengiringnya untuk terdampar ke Bikini Bottom.
F*cking shit! Bersiaplah hilang dari peredaran, Dalmore! Hasratmu sungguh menyusahkan! umpat Daxon dalam hati.
**
Beberapa minggu kemudian ...“Hei Kap, jadi kau ambil cuti liburan natalmu?”Walter, sang anak buah berlari menyapa saat melihat Daxon berjalan keluar dari ruang kantor administrasi pangkalan tempat mereka bertugas. Daxon menyikut perut bawahan yang sudah dianggap sebagai temannya itu karena sebenarnya mereka hampir seumuran dan sangat dekat.“Bagaimana dengan kau? Tidak natal bersama keluarga?” tanya Daxon yang sudah merangkul bahu pria yang kalah tinggi dengannya itu.Walter hanya mengendikkan bahu, menjawab, “Tahun ini giliranku yang standby. Mungkin aku pulang setelah tahun baru.”“Poor you. Itu artinya wanitamu harus menunggu lebih lama, bukan?”“Aku tidak punya kekasih lagi, bila kau ingin tahu.”“Why?”“Dia memutuskanku karena tidak bisa selalu bersamanya.”Daxon menepuk bahu Walter menya
Hari ini adalah hari penting bagi Daxon. Dia sudah siap dengan penampilannya yang bersih dan rapi. Cukup lama ternyata memilih antara kaos dengan kemeja di lemarinya yang hanya itu - itu saja. Akhirnya dia memutuskan untuk memakai kaos putih berlapis blazer hitam pemberian ibunya yang tak pernah dia pakai. Ditambah dengan jeans hitam dan sepatu berwarna putih juga agar terkesan kasual. Tema hari ini adalah black and white. Daxon suka itu.Bila biasanya dia sangat cuek dengan caranya berpakaian. Namun, kali ini tidak. Dia harus terlihat pantas bila bersanding dengan si seksi Lexy saat berjalan nanti. Wajah tampan saja tidak cukup. Dari kepala hingga kaki harus terlihat sempurna, dan jangan lupakan satu hal lagi. Parfum!Ya, benda yang satu itu hampir tak pernah dia pakai
Kendaraan klasik beroda empat milik Daxon masih berjalan setelah hampir dua jam perjalanan mereka habiskan dengan senda gurau saling menceritakan sisi buruk masing-masing, lalu mengejek lawannya. Sebuah gurauan seru jika dalam perjalanan untuk mengusir rasa kantuk saat berkendara.Mereka terlalu merasa nyaman hingga tak lagi merasa malu walau untuk mengatakan dirinya tidur begitu berisik dan mendengkur saat tidur. Daxon mengakui Raven sering menceritakan dan mengejeknya demikian. Begitu juga dengan Lexy yang selalu bernyanyi di dalam kamar mandi, walau ibunya sering protes akan suara sumbangnya.Sudah diceritakan sebelumnya bahwa hubungan keduanya berjalan karena mereka selalu mengutamakan rasa nyaman di atas segalanya. Mereka merasa menjadi diri sendiri adalah rasa nyaman yang tak bisa digantikan dengan materi."
Daxon dan Lexy membuka pintu kamar penginapan mereka yang didominasi dengan kayu sebagai tema losmen di tempat yang cocok untuk menikmati musim dingin."Well, setelah dengan baik hatinya kau memberikan satu ruangan kosong untuk new family tadi. This is our room ... come in, Nana. Jangan mengeluh mendengar dengkuranku nanti," ujar Daxon bersandar di pintu dan mempersilahkan Lexy untuk masuk."Ya … mengingat masa kecilku tinggal di perancis bersama ibu dan bibiku. Aku rasa tak ada bocah kecil yang tak menyukai perm
Perjalanan pulang yang tak sehangat perjalanan pergi saat ini tengah terjadi. Pagi yang lebih baik dari semalam setelah badai salju, beruntung pagi tadi tim penyisiran salju di jalan, selesai dilakukan. Mereka kembali ke kota. Sepanjang jalan yang memberikan pemandangan putih itu membuat Lexy sanggup terdiam menatap pohon-pohon pinus yang berubah menjadi putih tertutupi salju. Lexy menyukainya dan Daxon menyukai tatapan kagum Lexy akan alam.Namun, Daxon menangkap sorot dari mata Lexy yang sesekali dilihatnya saat menoleh sekilas. Membuat pria itu memahami ada yang sangat dipikirkan oleh Lexy."Aku tahu kau takut, Nana. But, hei … aku yang harusnya takut." Daxon meraih tangan dingin Lexy dan mengecupnya, "kau layak diperjuangkan, Nana. Kau pantas mendapatkan itu. Dan aku tahu ayahmu tak akan semudah itu mengizinkanku mengencani putrinya. Mengingat sebera
Sepulangnya dari rumah Lexy, dengan cepat Daxon memasuki rumah dan buru-buru menuju kamarnya. Dia sedang menghindari kakaknya, Raven. Pintu pun sengaja ia kunci dari dalam. Antisipasi agar saudaranya itu tak asal sembarang masuk dan berakhir dengan dia diinterogasi.Daxon sama sekali belum siap. Ia takut salah ucap atau apapun yang berpotensi rahasianya dan Lexy terbongkar. Jujur saja, Daxon tidak pandai berbohong. Raven pun terlalu pintar untuk menilik itu semua. Kakaknya itu seperti pakar mikro ekspresi yang bisa membaca apapun hanya dengan melihat wajah.Keahlian yang sangat mengerikan menurut Daxon. Dia pikir dulu kakaknya cenayang saat masih bersekolah. Pemikiran bodoh macam apa itu?"Daxie! Kau mengunci pintumu?"Terdengar suara Raven yang mencoba membu
Part 08 • Indecision "Aku rasa, Nona D'Ryan cukup menarik. Bagaimana menurutmu, Daxie? Apa aku harus menerima tawaran paman Dereck?" Pertanyaan Raven terus berputar-putar semenjak hari dimana Daxon mengantar Lexy pulang dan malah mendengar perkataan Dereck yang menginginkan Raven bersama putrinya, yakni Nana-nya. Kini Daxon terpaksa memutar balik mobilnya. Setelah berusaha mengejar Lexy yang turun dari mobil dan menghentikan taksi, lalu melaju kembali ke rumah. Walau ia sangat menyesal telah membuat wanita itu kecewa. Namun, ia tetap ingin memastikan Lexy kembali dengan selamat. Setelah tiba di rumah dengan hati dan perasaan yang gundah, ia langsung menuju kamarnya. Jika saat bersama Lexy tadi, Daxon memikirkan ucapan
Tak ada yang lebih membuat hati Daxon panas saat ini selain melihat mobil SUV putih yang kini berada di depannya. Sambil berkendara, Daxon berulang kali merutuk dan mengumpat pada dirinya sendiri yang sangat bodoh. Bisa-bisanya ia mengabaikan seorang wanita seperti Lexy. Lantas kini si cantik dambaannya itu bersama sang kakak yang dengan niat baiknya ingin mengantarkan wanitanya pulang."Great! What a gentle, Rav. Kau tahu bagaimana cara memperlakukan wanita dengan baik. Bukan seperti aku yang menjemput dan mengantarkannya saja tidak berani hingga ke depan gerbang. Satu lagi poin untukmu, brother."Daxon menatap miris ke arah kendaraan di depannya yang sudah melambat dan akhirnya berhenti d
Extra part Kehebohan di kediaman D'Ryan di Hawaii membuat suasana tengah malam sangat berisik. Suara gaduh langkah kaki Daxon terdengar seolah sedang terjadi perang dunia kedua. Bagaimana tidak? Daxon seketika terkena serangan panik saat dikabari mertuanya -Elizabeth- untuk segera pulang dari pangkalan agar membawa istrinya ke rumah sakit. Kehamilan Lexy yang sudah genap akan usia kandungan untuknya melahirkan, membuat si ibu mengalami kontraksi cukup kuat saat ini. Tentunya Dereck juga mengalami serangan panik yang sama dengan Daxon. Memaksa untuk ikut dalam perjalanan menuju rumah sakit membuat Daxon menyetir seperti orang gila di tengah gelapnya jalan yang sepi. "Dalmore cepat sedikit! Aku tak mau melahirkan di dalam mobil!" erang Lexy di tengah rintihan rasa mulas di perutnya sambil memegangi perut itu
Setelah mendapat pujian dari Dereck di depan seluruh timnya. Daxon juga mendapatkan sebuah peringatan mengerikan dari si penguasa lautan Hawaii tersebut. Masih terbayang dalam benaknya saat ini. Dereck yang secara tiba-tiba memberikan pelukan dan tepukan kuat di punggungnya itu, membisikkan sebuah peringatan keras. Bukan sebuah nada perintah. Melainkan ancaman dari seorang ayah yang memintanya untuk melakukan tanggung jawab serius pada putri kecilnya yang ternoda, akibat kelancangan Daxon yang berani menghamili sang putri. “Kuakui kau telah sukses dalam karir marinir, tetapi restuku ... masih belum kau dapatkan!” Seiring dengan pelukan Dereck yang terlepas, seketika itu juga Daxon membeku di tempatnya. Sementara Dereck kembali memasang wajah biasa, terlebih saat seorang bawahan mereka memint
_The end_Setelah kepergian Hakuri, Raven kembali mengulang kegiatan melepas borgolnya. Beruntung dirinya sempat menyembunyikan kuncinya tepat sebelum komplotan Hakuri tiba di ruangan tersebut. Kini dengan tergesa Raven mengintai dari celah yang ada di pintu, ia memicingkan matanya untuk melihat dengan jelas keadaan di luar. Keadaan langit kembali menggelap dan tak terlihat ada penjaga di manapun.“Great! Ini kesempatanku, ” ujar Raven.Raven menatap ke sekeliling ruangan yang minim penerangan. Ia mencari benda yang bisa mendongkrak pintu yang terkunci dari luar. Beberapa perkakas ditemukan dalam tumpukan benda tak berguna lainnya. Ia menemukan linggis panjang lalu tersenyum dengan wajah penuh harap.
Part 30.2 - Raven is savedMiami, Florida.Raven menggeram kesal untuk kesekian kalinya. Entah sudah berapa lama dirinya di sekap dan selalu disuntikkan obat tidur saat ia memberontak ingin melepaskan diri dari sana.Bangunan gudang yang dikelilingi tumpukan badan truk pengiriman barang itu, tampak asing bagi Raven yang sudah lama berada di perairan Hawaii. Dia tak bisa mendeskripsikan di mana dirinya saat ini, karena hanya itu yang sempat dilihat Raven saat sekali percobaannya melarikan diri berujung kesia-siaan. Kini bukan hanya tangannya yang diborgol dengan rantai, kakinya juga mengalami nasib sama.Namun, para mafia itu tak tahu jika Raven adalah kapten yang begitu akrab dengan rantai kapal. Walau menggunakan benda tersebut, dirinya memiliki banyak cara untuk lepas dari jeratan rantai, a
"Daxon, tolong aku …" Raven merangkak tak berdaya sambil memegang kaki adiknya. Pria gagah itu berlumur darah hingga pada bagian wajahnya. "Aku tertembak." DORRR! __ Daxon terbangun dari tidurnya ia memegangi dadanya dan meraba seluruh tubuh sambil mengecek kondisinya saat ini. Dengan napas terengah dan butiran bening yang mengucur di pelipisnya, Daxon menatap sekitar. Seluruh pasukan tengah bersiap untuk ke luar dari pesawat. Dengan nyawa yang masih setengah sadar, ia memutar memorinya pada bayangan yang baru saja terjadi dan terasa sangat panjang itu. Apa aku hanya bermimpi? “Hei, Kap. sudah bangun dari mimpimu?” sapa Diego. Menepuk punggung kaptennya yang masih terlihat bingung. “Kau terlihat gusar dan tersenyum di dalam tidurmu, apa kau bermimpi buruk lalu berakhir bahagia?” Kali ini Walter menyahut dengan sedikit ejekan, sambil menurunkan peralatannya. Daxon yang masih merasa aneh, tak
Tibalah waktu yang ditunggu. Waktu dimana dua hati akan saling menyatu di hadapan Tuhan. Tepat disaat senja, ketika matahari menenggelamkan dirinya di ufuk barat. Bersamaan dengan bayang bulan sebagai saksi, dan lautan luas ikut melingkupi— sebagai pertanda jika cinta keduanya tak terselam sedalam samudera, serta langit jingga adalah simbol dari kasih tiada tara karena mencakup semesta.Sungguh suatu momen yang akan selalu dikenang keduanya di hari tua kelak. Dimana mereka berharap sampai akhir hayat nanti keduanya akan terus berdampingan, karena mereka percaya; apa yang sudah dipersatukan oleh Tuhan, maka tak boleh dirusak oleh manusia, kecuali maut yang memisahkan dan campur tangan Yang Maha Esa tentunya.Apalagi pernikahan dua insan ini diadakan di sebuah kapal khusus angkatan militer laut. Di dekorasi sedemikian rupa hingga tampak ada perayaan suka cita di atasnya. Terutama di bagian dek paling atas kapal. Sebuah altar di ujung menghadap lautan luas sudah dib
Daxon menatap pantulan dirinya di depan cermin kamarnya. Merapikan penampilannya sejak setengah jam yang lalu. Mengalami kepanikan berlebih saat dirinya sudah siap dengan setelan jasnya. Ia justru menggantinya dengan yang lain, lalu menggantinya lagi dengan yang sebelumnya.Wajahnya memucat dengan butiran bening sebesar biji jagung bermunculan di sisi pelipis. Daxon sungguh gugup dan tak bisa tenang sebelum acara hari ini terlewati dengan lancar.Di ambang pintu telah berdiri Raven yang menyandarkan tubuhnya santai. Sang kakak bukannya segera membantunya bersiap, tetapi malah mengejeknya hanya dengan tatapan dan senyum menyebalkan yang sialnya malah membuat wajah tampan keturunan Rainer menguar."Berhenti menunjukan seringaian itu, Rav! Kau mirip dengan si kotak kuning di Bikini Bottom. Lebih baik kau bantu aku memilih jas," ujar Daxon menatap sang kakak dari pantulan cermin.Raven terkekeh dan beranjak dari posisinya mendekati Daxon yang sibuk membongkar
Daxon menyusuri koridor rumah sakit demi mempercepat langkahnya menuju ruangan dimana Raven dirawat. Kabar Raven telah tersadar dari koma, membuatnya bergegas melakukan penerbangan dari Hawaii menuju New York. Dirinya bahkan masih mengenakan seragam kemiliterannya, karena saat kabar tersebut diberitahukan, Letnan muda itu tengah melakukan bimbingan rutin pada para timnya. Segera ia pergi setelah mendapat izin dari sang laksamana, dan kini ia berhasil tiba di sana begitu cepat.Daxon yang baru saja tiba di ruangan tersebut, bergegas berhambur masuk dan berdiri di hadapan Raven. Samar-samar suara Raven terdengar sedang bicara dengan seseorang. Rupanya sudah terdapat Gizelle yang berada di sisi satunya dengan setia menjaga dan menemani Raven selama beberapa hari setelah insiden kedatangan Daxon yang membuat kegaduhan dengan membawa serta pasukannya.Setelah membicarakan segala penjelasan dengan cara baik-baik. Daxon dan Dereck akhirnya memahami Gabriella dan Gizelle, lalu
Bandar Udara Militer, New York. Tepat tengah malam ketika akhirnya pesawat khusus militer yang ditumpangi Daxon dan rombongannya itu mendarat di New York. Masih dalam cuaca yang dingin, mereka satu per satu keluar dan segera bergegas transit ke sebuah helikopter yang sudah siap sedia untuk mengudara mengantarkan ke tujuan selanjutnya. Terkecuali Lexy dan ibunya. Daxon mengantar kekasih dan calon ibu mertuanya itu ke sebuah mini van yang akan membawa mereka kembali ke rumah. Lebih tepatnya ke rumah keluarga Rainer, karena lebih baik mereka semua berkumpul bersama sekarang. Sembari menunggu kabar dari Daxon dan Dereck juga timnya yang akan segera kembali beroperasi dalam pencarian Raven. Setidaknya mereka bisa saling menguatkan dan menjaga satu sama lain. "Dax, berjanjilah kau akan baik-baik saja. Aku akan mendoakan kalian agar berhasil menemukan Raven. Kabari aku secepatnya, okay?" Lexy memeluk erat Daxon di depan pintu mobil yang akan m