Hari ini adalah hari penting bagi Daxon. Dia sudah siap dengan penampilannya yang bersih dan rapi. Cukup lama ternyata memilih antara kaos dengan kemeja di lemarinya yang hanya itu - itu saja. Akhirnya dia memutuskan untuk memakai kaos putih berlapis blazer hitam pemberian ibunya yang tak pernah dia pakai. Ditambah dengan jeans hitam dan sepatu berwarna putih juga agar terkesan kasual. Tema hari ini adalah black and white. Daxon suka itu.
Bila biasanya dia sangat cuek dengan caranya berpakaian. Namun, kali ini tidak. Dia harus terlihat pantas bila bersanding dengan si seksi Lexy saat berjalan nanti. Wajah tampan saja tidak cukup. Dari kepala hingga kaki harus terlihat sempurna, dan jangan lupakan satu hal lagi. Parfum!
Ya, benda yang satu itu hampir tak pernah dia pakai selama ini, tapi demi sang dewi amor, Daxon memakainya. Dia bahkan lagi-lagi meringis saat melihat perubahan pada dirinya di depan cermin.
"You're very obsessed, Daxon. Really!" Daxon mengetuk bayangan dirinya di cermin, "dan dari semua perjuangan ini … kau harus mendapatkannya. Harus!"
Melihat jam pada tangannya, Daxon kemudian buru-buru mengambil mantel, kunci mobil, ponsel dan dompetnya di atas nakas lalu segera keluar dari kamar. Cepat-cepat dia menuruni tangga rumahnya itu, hingga terdengar bunyi yang heboh dalam setiap pijakannya. Memancing orang di bawah melongok melihatnya.
"Lil bro! Kau ingin merobohkan rumah kita?"
Raven, sang kakak menegur Daxon yang sudah sampai di bawah dari kursi malasnya di depan tv ruang santai. Memindai retinanya kepada sang adik dari kepala hingga kaki. Sungguh berbeda dan juga ….
"Bau apa ini?" Raven membaui udara sekitar. "Parfum? Kau memakainya? Astaga!" Raven kemudian terduduk tegak dan tertawa. Sedangkan Daxon memutar matanya jengah sambil mencebik.
"Aku pergi dulu," pamit Daxon segera. Dia malas menjadi bahan bercandaan saudaranya itu. Sudah pasti Raven akan menggodanya terus-terusan.
"Kemana?" teriak Raven dari kursinya.
"Pergi dengan teman!" seru Daxon sambil mematut kembali penampilannya saat menemukan cermin di ruang tengah. Dia tersenyum bangga pada dirinya sendiri. Dasar Narsis!
"Teman wanita?" teriak Raven lagi.
Daxon melirik malas sang kakak yang sudah tersenyum nakal padanya. Sungguh saudara yang sangat ingin tahu!
"Rav, pergilah keluar dan bawa satu wanita ke kamarmu. Ibu takkan marah. Percayalah. Kau tak pernah menggandeng seorang wanita selama ini. Mendengar kabar anginnya saja kami juga tak pernah," protes Daxon panjang lebar.
Setelahnya sebuah anak panah karet tepat terbidik ke kening Daxon. Bingo!
"Shit! Rav!"
Raven kembali tertawa dan melanjutkan tontonan saluran olahraganya. Menghiraukan sang adik yang sudah mengeluh atas perbuatannya, karena acara yang dia tunggu sudah mulai.
"Pergilah, Dax. Bau parfummu sangat menyengat."
***
Setelah jauh berkendara dari rumahnya menuju alamat yang dituju. Akhirnya tibalah Daxon tak jauh dari rumah Lexy. Menunggu beberapa rumah dari kediaman putri sang laksamana itu.
Ya, Daxon sangat memaklumi sekali permintaan wanita idamannya itu saat mengirim pesan agar tak berhenti tepat di depan rumahnya. Itu semua karena sang ayah yang posesif. Daxon juga secara mental tak siap jika harus berhadapan lebih awal dengan atasannya itu. Apalagi meminta putrinya untuk diajak berkencan. Hell no!
Daxon masih menyayangi jantung dan pangkatnya sebagai marinir.
Sekali lagi Daxon merapikan penampilan dan sedikit bercermin di kaca untuk melihat wajah dan rambutnya. Dia bahkan memeriksa bau napasnya dan berulang kali mempraktekkan bagaimana cara menyapa Lexy setelah sekian lama tak bertemu.
Daxon seakan terkena serangan panik mendadak. Dia sangat cemas dengan dirinya sendiri. Ada yang tak beres dengan perut dan jantungnya, juga pikirannya yang mendadak kacau. Namun, ada perasaan yang lebih mendominasi dari itu semua. Yaitu … rasa rindu.
"Oh, God. Here she comes!" serunya menggumam.
Daxon dapat melihat jika seorang wanita dengan setelan serba merahnya berlari kecil ke arah mobilnya sambil sesekali melihat ke arah belakang. Itu benar Lexy. Wanita itu tersenyum seraya melambaikan tangannya.
Dengan cepat Daxon mengambil buket bunga yang sudah disiapkannya di bangku belakang. Sebuah buket mawar putih yang sangat besar. Bukan tanpa alasan Daxon memberikan mawar putih itu pada Lexy. Itu bukti ketulusan hatinya, dan juga … mawar putih itu mengingatkannya pada Lexy. Putih dan bersih, serta wangi. Juga suci? Tidak lagi.
"Oh, not again. Kau telah 'mengambilnya', Dalmore. Remember that! Semoga dia suka bunga ini," harap Daxon lalu segera keluar dari mobilnya.
Daxon tepat berdiri di luar sebelum Lexy tiba. Saat melihat bagaimana sang pujaan hatinya melangkah mendekat. Sosok itu bagaikan malaikat yang datang padanya.
"Hey, gorgeous," sapa Daxon spontan saat melihat Lexy datang dengan setelan coat merah panjangnya juga topi baret merah yang menutupi rambut pirangnya yang tergerai indah.
"Hai, Dalmore," sapa balik oleh Lexy sambil tersenyum. Dia sedikit terengah-engah setelah habis berlari, lalu tak sengaja kemudian matanya jatuh pada buket bunga yang ada di tangan Daxon.
"Untukku," tunjuknya dengan lirikan matanya yang cantik.
Daxon tersadar akan keterpanaannya, kemudian dengan segera menyerahkan buket tersebut untuk Lexy.
"Milikmu. Kuharap kau suka." Daxon tersenyum kaku sambil memerhatikan bibir semerah ceri itu tersenyum.
"Oh, thank you." Lexy menerima sebuket mawar itu dengan senang. Dia menciumnya sesaat dan terlihat sangat bahagia. Pipinya bahkan merona. Daxon bisa melihat itu, dan sangat tak tahan untuk tidak mengecupnya.
Namun, bukan Daxon yang maju untuk mengecup pipi tomat itu. Melainkan Lexy yang tak kalah cepatnya— sudah maju dan berjinjit di hadapannya untuk mengecup pipi sang Dalmore. Bahkan bibirnya juga walaupun terhitung singkat.
"I miss you," bisik Lexy dengan suara lembutnya yang seakan menggelitik Daxon. Darahnya berdesir begitu hebat. Membuat tubuhnya panas dingin oleh karenanya.
Sadar akan saat ini mereka dimana. Daxon melirik sekitarnya dan tak menemukan siapa-siapa. Dirinya sedikit khawatir bila itu ayah Lexy. Segera ia membawa Lexy untuk masuk ke kursi penumpang. Tak lupa memakaikan sabuk pengaman pada gadis itu. Sebelum dirinya kembali, Daxon sedikit berbisik di telinga Lexy.
"I miss you too, Nana." Kemudian mengecup bibirnya singkat dan menutup pintu.
Lexy yang ditinggal hanya bisa menahan napasnya sesaat kemudian mengulum senyum. Dia memerhatikan sang Dalmore yang berjalan gagah mengitari mobil dengan aura yang dianggap Lexy sangat meluluhkan. Bahkan tatapan dirinya tak lepas sedikit pun sampai sosok itu duduk di sampingnya.
Ketika tangan kokoh itu meremas persneling mobil. Demi Tuhan, Lexy hanya bisa mengembuskan napasnya berat. Hal itu disadari Daxon yang juga mengikuti arah pandang Lexy.
"What's on your mind, gorgeous?" kekeh Daxon yang sambil memerhatikan wajah cantik Lexy.
Lexy menggelengkan kepalanya cepat.
"Really?" tanya Daxon tak yakin.
"Yes! We can go now." Lexy melirik sekilas pada Daxon dengan hati was -was.
Daxon masih dengan senyuman jahilnya kembali meremas persneling mobil itu kuat hingga urat-urat tangannya terlihat
"Oh Jesus," desis Lexy dengan menahan napasnya.
"Baby, you know what?" Daxon memandang intens Lexy. "I can drive you crazy without a driver's license. You ready?" sambil mengedipkan sebelah mata.
Selanjutnya mobil hitam klasik Daxon pun meluncur dengan sangat cepat. Menuju ke berbagai tempat yang akan mereka jelajahi. Akhirnya mereka bisa berlibur bersama juga. Setelah sekian lama berpisah dan menjalani hubungan jarak jauh.
**
Kendaraan klasik beroda empat milik Daxon masih berjalan setelah hampir dua jam perjalanan mereka habiskan dengan senda gurau saling menceritakan sisi buruk masing-masing, lalu mengejek lawannya. Sebuah gurauan seru jika dalam perjalanan untuk mengusir rasa kantuk saat berkendara.Mereka terlalu merasa nyaman hingga tak lagi merasa malu walau untuk mengatakan dirinya tidur begitu berisik dan mendengkur saat tidur. Daxon mengakui Raven sering menceritakan dan mengejeknya demikian. Begitu juga dengan Lexy yang selalu bernyanyi di dalam kamar mandi, walau ibunya sering protes akan suara sumbangnya.Sudah diceritakan sebelumnya bahwa hubungan keduanya berjalan karena mereka selalu mengutamakan rasa nyaman di atas segalanya. Mereka merasa menjadi diri sendiri adalah rasa nyaman yang tak bisa digantikan dengan materi."
Daxon dan Lexy membuka pintu kamar penginapan mereka yang didominasi dengan kayu sebagai tema losmen di tempat yang cocok untuk menikmati musim dingin."Well, setelah dengan baik hatinya kau memberikan satu ruangan kosong untuk new family tadi. This is our room ... come in, Nana. Jangan mengeluh mendengar dengkuranku nanti," ujar Daxon bersandar di pintu dan mempersilahkan Lexy untuk masuk."Ya … mengingat masa kecilku tinggal di perancis bersama ibu dan bibiku. Aku rasa tak ada bocah kecil yang tak menyukai perm
Perjalanan pulang yang tak sehangat perjalanan pergi saat ini tengah terjadi. Pagi yang lebih baik dari semalam setelah badai salju, beruntung pagi tadi tim penyisiran salju di jalan, selesai dilakukan. Mereka kembali ke kota. Sepanjang jalan yang memberikan pemandangan putih itu membuat Lexy sanggup terdiam menatap pohon-pohon pinus yang berubah menjadi putih tertutupi salju. Lexy menyukainya dan Daxon menyukai tatapan kagum Lexy akan alam.Namun, Daxon menangkap sorot dari mata Lexy yang sesekali dilihatnya saat menoleh sekilas. Membuat pria itu memahami ada yang sangat dipikirkan oleh Lexy."Aku tahu kau takut, Nana. But, hei … aku yang harusnya takut." Daxon meraih tangan dingin Lexy dan mengecupnya, "kau layak diperjuangkan, Nana. Kau pantas mendapatkan itu. Dan aku tahu ayahmu tak akan semudah itu mengizinkanku mengencani putrinya. Mengingat sebera
Sepulangnya dari rumah Lexy, dengan cepat Daxon memasuki rumah dan buru-buru menuju kamarnya. Dia sedang menghindari kakaknya, Raven. Pintu pun sengaja ia kunci dari dalam. Antisipasi agar saudaranya itu tak asal sembarang masuk dan berakhir dengan dia diinterogasi.Daxon sama sekali belum siap. Ia takut salah ucap atau apapun yang berpotensi rahasianya dan Lexy terbongkar. Jujur saja, Daxon tidak pandai berbohong. Raven pun terlalu pintar untuk menilik itu semua. Kakaknya itu seperti pakar mikro ekspresi yang bisa membaca apapun hanya dengan melihat wajah.Keahlian yang sangat mengerikan menurut Daxon. Dia pikir dulu kakaknya cenayang saat masih bersekolah. Pemikiran bodoh macam apa itu?"Daxie! Kau mengunci pintumu?"Terdengar suara Raven yang mencoba membu
Part 08 • Indecision "Aku rasa, Nona D'Ryan cukup menarik. Bagaimana menurutmu, Daxie? Apa aku harus menerima tawaran paman Dereck?" Pertanyaan Raven terus berputar-putar semenjak hari dimana Daxon mengantar Lexy pulang dan malah mendengar perkataan Dereck yang menginginkan Raven bersama putrinya, yakni Nana-nya. Kini Daxon terpaksa memutar balik mobilnya. Setelah berusaha mengejar Lexy yang turun dari mobil dan menghentikan taksi, lalu melaju kembali ke rumah. Walau ia sangat menyesal telah membuat wanita itu kecewa. Namun, ia tetap ingin memastikan Lexy kembali dengan selamat. Setelah tiba di rumah dengan hati dan perasaan yang gundah, ia langsung menuju kamarnya. Jika saat bersama Lexy tadi, Daxon memikirkan ucapan
Tak ada yang lebih membuat hati Daxon panas saat ini selain melihat mobil SUV putih yang kini berada di depannya. Sambil berkendara, Daxon berulang kali merutuk dan mengumpat pada dirinya sendiri yang sangat bodoh. Bisa-bisanya ia mengabaikan seorang wanita seperti Lexy. Lantas kini si cantik dambaannya itu bersama sang kakak yang dengan niat baiknya ingin mengantarkan wanitanya pulang."Great! What a gentle, Rav. Kau tahu bagaimana cara memperlakukan wanita dengan baik. Bukan seperti aku yang menjemput dan mengantarkannya saja tidak berani hingga ke depan gerbang. Satu lagi poin untukmu, brother."Daxon menatap miris ke arah kendaraan di depannya yang sudah melambat dan akhirnya berhenti d
Kediaman Rainer terdengar ricuh dengan kesibukan Angeline naik ke atas bahu Daxon dan mencoba memasangkan bagian terakhir yang terpenting dari pohon natal, yakni sebuah bintang yang diletakan di puncak tertinggi dari pohon pinus yang telah dihias lebih dulu.Tema kali ini berwarna putih dan perak, hiasan serba putih dan bola-bola bening yang didalamnya terdapat salju berwarna perak itu, terlihat menggantung dengan indah beriringan dengan lampu kecil berwarna senada.Termasuk sebuah bintang yang terbuat dari lapisan kaca tipis bening dengan kelap kelip di dalamnya, kini dengan susah payah Angeline hendak memasangnya. Namun, tangan mungilnya memanglah belum cukup untuk menggapai puncak pohon. Membuatnya sedikit kesulitan untuk menggapainya."Lebih tinggi lagi, Daxie!" seru Angeline.
Lexy menghampiri Daxon yang mengangkat hiasan bintang dan kembali berdecak kagum. "Wah, apa ini milikmu?" tanyanya."Ya. Raven dan aku memiliki bintang yang sama. Waktu kecil, ayahku mendapatkan bintang pertamanya dalam pangkat militer. Dan dia memesan dua benda ini ke pengrajin untuk kami." Daxon duduk di samping perapian elektronik dan menyalakannya agar ruangan terasa hangat.“This is beautiful,” gumam Lexy kagum saat menekan tombol dan membuat bintang tersebut menyala kelap kelip bergantian di setiap sisi."Kami berdebat menginginkan bintang siapa yang akan diletakan di pohon natal di rumah." Daxon menoleh dan terkekeh, melirik Lexy, "kurasa kau tahu jawabannya," imbuh Daxon.
Extra part Kehebohan di kediaman D'Ryan di Hawaii membuat suasana tengah malam sangat berisik. Suara gaduh langkah kaki Daxon terdengar seolah sedang terjadi perang dunia kedua. Bagaimana tidak? Daxon seketika terkena serangan panik saat dikabari mertuanya -Elizabeth- untuk segera pulang dari pangkalan agar membawa istrinya ke rumah sakit. Kehamilan Lexy yang sudah genap akan usia kandungan untuknya melahirkan, membuat si ibu mengalami kontraksi cukup kuat saat ini. Tentunya Dereck juga mengalami serangan panik yang sama dengan Daxon. Memaksa untuk ikut dalam perjalanan menuju rumah sakit membuat Daxon menyetir seperti orang gila di tengah gelapnya jalan yang sepi. "Dalmore cepat sedikit! Aku tak mau melahirkan di dalam mobil!" erang Lexy di tengah rintihan rasa mulas di perutnya sambil memegangi perut itu
Setelah mendapat pujian dari Dereck di depan seluruh timnya. Daxon juga mendapatkan sebuah peringatan mengerikan dari si penguasa lautan Hawaii tersebut. Masih terbayang dalam benaknya saat ini. Dereck yang secara tiba-tiba memberikan pelukan dan tepukan kuat di punggungnya itu, membisikkan sebuah peringatan keras. Bukan sebuah nada perintah. Melainkan ancaman dari seorang ayah yang memintanya untuk melakukan tanggung jawab serius pada putri kecilnya yang ternoda, akibat kelancangan Daxon yang berani menghamili sang putri. “Kuakui kau telah sukses dalam karir marinir, tetapi restuku ... masih belum kau dapatkan!” Seiring dengan pelukan Dereck yang terlepas, seketika itu juga Daxon membeku di tempatnya. Sementara Dereck kembali memasang wajah biasa, terlebih saat seorang bawahan mereka memint
_The end_Setelah kepergian Hakuri, Raven kembali mengulang kegiatan melepas borgolnya. Beruntung dirinya sempat menyembunyikan kuncinya tepat sebelum komplotan Hakuri tiba di ruangan tersebut. Kini dengan tergesa Raven mengintai dari celah yang ada di pintu, ia memicingkan matanya untuk melihat dengan jelas keadaan di luar. Keadaan langit kembali menggelap dan tak terlihat ada penjaga di manapun.“Great! Ini kesempatanku, ” ujar Raven.Raven menatap ke sekeliling ruangan yang minim penerangan. Ia mencari benda yang bisa mendongkrak pintu yang terkunci dari luar. Beberapa perkakas ditemukan dalam tumpukan benda tak berguna lainnya. Ia menemukan linggis panjang lalu tersenyum dengan wajah penuh harap.
Part 30.2 - Raven is savedMiami, Florida.Raven menggeram kesal untuk kesekian kalinya. Entah sudah berapa lama dirinya di sekap dan selalu disuntikkan obat tidur saat ia memberontak ingin melepaskan diri dari sana.Bangunan gudang yang dikelilingi tumpukan badan truk pengiriman barang itu, tampak asing bagi Raven yang sudah lama berada di perairan Hawaii. Dia tak bisa mendeskripsikan di mana dirinya saat ini, karena hanya itu yang sempat dilihat Raven saat sekali percobaannya melarikan diri berujung kesia-siaan. Kini bukan hanya tangannya yang diborgol dengan rantai, kakinya juga mengalami nasib sama.Namun, para mafia itu tak tahu jika Raven adalah kapten yang begitu akrab dengan rantai kapal. Walau menggunakan benda tersebut, dirinya memiliki banyak cara untuk lepas dari jeratan rantai, a
"Daxon, tolong aku …" Raven merangkak tak berdaya sambil memegang kaki adiknya. Pria gagah itu berlumur darah hingga pada bagian wajahnya. "Aku tertembak." DORRR! __ Daxon terbangun dari tidurnya ia memegangi dadanya dan meraba seluruh tubuh sambil mengecek kondisinya saat ini. Dengan napas terengah dan butiran bening yang mengucur di pelipisnya, Daxon menatap sekitar. Seluruh pasukan tengah bersiap untuk ke luar dari pesawat. Dengan nyawa yang masih setengah sadar, ia memutar memorinya pada bayangan yang baru saja terjadi dan terasa sangat panjang itu. Apa aku hanya bermimpi? “Hei, Kap. sudah bangun dari mimpimu?” sapa Diego. Menepuk punggung kaptennya yang masih terlihat bingung. “Kau terlihat gusar dan tersenyum di dalam tidurmu, apa kau bermimpi buruk lalu berakhir bahagia?” Kali ini Walter menyahut dengan sedikit ejekan, sambil menurunkan peralatannya. Daxon yang masih merasa aneh, tak
Tibalah waktu yang ditunggu. Waktu dimana dua hati akan saling menyatu di hadapan Tuhan. Tepat disaat senja, ketika matahari menenggelamkan dirinya di ufuk barat. Bersamaan dengan bayang bulan sebagai saksi, dan lautan luas ikut melingkupi— sebagai pertanda jika cinta keduanya tak terselam sedalam samudera, serta langit jingga adalah simbol dari kasih tiada tara karena mencakup semesta.Sungguh suatu momen yang akan selalu dikenang keduanya di hari tua kelak. Dimana mereka berharap sampai akhir hayat nanti keduanya akan terus berdampingan, karena mereka percaya; apa yang sudah dipersatukan oleh Tuhan, maka tak boleh dirusak oleh manusia, kecuali maut yang memisahkan dan campur tangan Yang Maha Esa tentunya.Apalagi pernikahan dua insan ini diadakan di sebuah kapal khusus angkatan militer laut. Di dekorasi sedemikian rupa hingga tampak ada perayaan suka cita di atasnya. Terutama di bagian dek paling atas kapal. Sebuah altar di ujung menghadap lautan luas sudah dib
Daxon menatap pantulan dirinya di depan cermin kamarnya. Merapikan penampilannya sejak setengah jam yang lalu. Mengalami kepanikan berlebih saat dirinya sudah siap dengan setelan jasnya. Ia justru menggantinya dengan yang lain, lalu menggantinya lagi dengan yang sebelumnya.Wajahnya memucat dengan butiran bening sebesar biji jagung bermunculan di sisi pelipis. Daxon sungguh gugup dan tak bisa tenang sebelum acara hari ini terlewati dengan lancar.Di ambang pintu telah berdiri Raven yang menyandarkan tubuhnya santai. Sang kakak bukannya segera membantunya bersiap, tetapi malah mengejeknya hanya dengan tatapan dan senyum menyebalkan yang sialnya malah membuat wajah tampan keturunan Rainer menguar."Berhenti menunjukan seringaian itu, Rav! Kau mirip dengan si kotak kuning di Bikini Bottom. Lebih baik kau bantu aku memilih jas," ujar Daxon menatap sang kakak dari pantulan cermin.Raven terkekeh dan beranjak dari posisinya mendekati Daxon yang sibuk membongkar
Daxon menyusuri koridor rumah sakit demi mempercepat langkahnya menuju ruangan dimana Raven dirawat. Kabar Raven telah tersadar dari koma, membuatnya bergegas melakukan penerbangan dari Hawaii menuju New York. Dirinya bahkan masih mengenakan seragam kemiliterannya, karena saat kabar tersebut diberitahukan, Letnan muda itu tengah melakukan bimbingan rutin pada para timnya. Segera ia pergi setelah mendapat izin dari sang laksamana, dan kini ia berhasil tiba di sana begitu cepat.Daxon yang baru saja tiba di ruangan tersebut, bergegas berhambur masuk dan berdiri di hadapan Raven. Samar-samar suara Raven terdengar sedang bicara dengan seseorang. Rupanya sudah terdapat Gizelle yang berada di sisi satunya dengan setia menjaga dan menemani Raven selama beberapa hari setelah insiden kedatangan Daxon yang membuat kegaduhan dengan membawa serta pasukannya.Setelah membicarakan segala penjelasan dengan cara baik-baik. Daxon dan Dereck akhirnya memahami Gabriella dan Gizelle, lalu
Bandar Udara Militer, New York. Tepat tengah malam ketika akhirnya pesawat khusus militer yang ditumpangi Daxon dan rombongannya itu mendarat di New York. Masih dalam cuaca yang dingin, mereka satu per satu keluar dan segera bergegas transit ke sebuah helikopter yang sudah siap sedia untuk mengudara mengantarkan ke tujuan selanjutnya. Terkecuali Lexy dan ibunya. Daxon mengantar kekasih dan calon ibu mertuanya itu ke sebuah mini van yang akan membawa mereka kembali ke rumah. Lebih tepatnya ke rumah keluarga Rainer, karena lebih baik mereka semua berkumpul bersama sekarang. Sembari menunggu kabar dari Daxon dan Dereck juga timnya yang akan segera kembali beroperasi dalam pencarian Raven. Setidaknya mereka bisa saling menguatkan dan menjaga satu sama lain. "Dax, berjanjilah kau akan baik-baik saja. Aku akan mendoakan kalian agar berhasil menemukan Raven. Kabari aku secepatnya, okay?" Lexy memeluk erat Daxon di depan pintu mobil yang akan m