"Pa, Igo nggak bisa menikahi Ciara!" ucap pemuda jangkung dengan garis rahang tegas itu ketika menghadap ayahandanya di sofa ruang tengah.
Pak Bastian Sutedja pun membetulkan kaca mata yang tersangga oleh hidung mancungnya. Beliau bangkit dari tempat duduk dan menjawab putra nomor dua hasil pernikahannya dengan Nyonya Chintami, "Nak, pernikahan ini tidak bisa dibatalkan. Papa sudah menyetujuinya karena keluarga kita berteman dekat dengan keluarga Sasmita. Putrinya Mas Hartono itu cantik kok, anaknya sopan juga!"
"Tapi, Igo nggak suka sama dia! Ciara tuh petakilan dan sembrono. Kami kalau dekat-dekat selalu bikin aku celaka, Pa!" Rodrigo lalu menyibak rambut poni bergelombangnya yang menawan, "nih jidat Igo jadi tambah jenong kayak ikan Louhan gara-gara dilempar bola basket sama cewek barbar itu!"
"Yaelah, Igo ... mungkin Ciara nggak sengaja, Nak. Masa kamu dendam sih hanya karena bola nyasar sedikit—" Pak Bastian tertawa renyah sembari menepuk-nepuk punggung putranya yang nampak emosi.
"Pokoknya Igo nggak mau!"
"Kalau kamu menolak, Papa nggak akan restuin siapa pun gadis yang akan kamu pilih kelak jadi calon istrimu. Papa setuju dengan putrinya Mas Hartono. Titik. No debate, Igo!" tegas Pak Bastian menutup perbantahan bersama putranya tersebut.
Bahu pemuda itu langsung terkulai lemas. Perkataan ayahandanya menegaskan bahwa untuk seterusnya tak boleh ada wanita lain untuk dipersunting olehnya menjadi istri. Rodrigo pun mengangguk seraya menjawab lirih, "Oke, Pa. Igo nurut!"
"Nah, gitu dong. Cowok harus jantan ya. Nanti kalau sudah nikah, jangan lupa kasih Papa cucu laki-laki yang banyak!" pesan Pak Bastian sebelum menyuruh Rodrigo mandi dan berpakaian setelan jas rapi untuk pernikahannya sebentar lagi.
Sembari menapaki anak tangga ke kamarnya, Igo membatin, 'Anjrit bener dah, bijimane pula gue mesti bikin anak sama si cewek tengil gak ada akhlak itu. Gue sentuhan sama dia aja alergi!'
Di dalam kamar tidurnya, sang mama sudah siap dengan setelan jas hitam dengan kemeja putih dan dasi warna merah maroon untuk kostum mempelai pria. "Pakai ini ya, Sayang. Kamu pasti kelihatan ganteng dan gagah. Yuk mandi dulu, jangan lama-lama. Waktunya sudah mepet!" ujar Nyonya Chintami Sutedja sebelum meninggalkan kamar putranya.
Rodrigo melayangkan pandangannya ke gantungan baju di depan pintu lemarinya dan menghela napas pasrah. "Hari yang benar-benar sial buat gue. Dan semua ini gara-gara Ciara!"
***
"Di hadapan hamba Tuhan, saya Rodrigo Gunadharma Sutedja menerima Ciara Eloise Sasmita sebagai istriku yang sah. Saya akan setia mendampingi dalam suka maupun duka, sehat maupun sakit, berkelimpahan maupun berkekurangan sampai maut memisahkan kita!" Rodrigo menggenggam kedua tangan Ciara dengan mengerahkan ketahanan mentalnya.
Ketika tiba giliran Ciara, gadis itu masih syok mendengar janji suci yang baru saja diucapkan oleh mempelai pria. 'Hahh ... beneran nih si Igo mau jadi suamiku?! Lancar amat dia ngomong barusan!' batin Ciara terbengong-bengong.
"Psst ... giliran elo!" bisik Igo dengan mata melotot ke arah Ciara. 'Ckk ... jangan bilang dia mau bertingkah yang kagak-kagak di depan keluarga besar Sasmita dan Sutedja!' batinnya risau karena Ciara tak kunjung mengucapkan janji balasan dari mempelai wanita.
"Cia ... Cia ... ayo giliran kamu, Nak!" ucap lirih Nyonya Wina yang berdiri tak jauh di belakang putrinya dalam kamar perawatan pasien VVIP rumah sakit yang menjadi tempat pernikahan Igo dan Cia.
Setelah menghela napas, gadis itu pun membuka mulutnya dan membuat seisi ruangan yang sempat tegang merasa lega. Ciara berdehem dan mulai mengucapkan janji balasan sekalipun tersendat-sendat,
"Di hadapan hamba Tuhan, ehh ... saya Ciara Eloise Sasmita menerima ... Rodrigo Gunadharma Sutedja sebagai ... sebagai suamiku yang sah. Saya akan setia mendampingi dalam suka maupun duka, sehat maupun sakit, berkelimpahan maupun berkekurangan ... sampai maut memisahkan kita!"
Prosesi pengucapan janji suci itu disahkan pemuka agama lalu disambut sorak sorai gembira seisi ruangan. Kakek Gito pun nampak puas karena cucunya mendapatkan jodoh yang menurut pertimbangannya adalah pemuda berperilaku baik dari keluarga yang jelas bebet, bibit, bobotnya.
"Cia, Igo ... kalian ke sini sebentar. Kakek mau berpesan sedikit!" tutur Kakek Gito dengan suara renta yang bergetar dan serak dari pembaringannya.
Pasangan pengantin remaja yang baru saja sah menjadi suami istri itu perlahan mendekat ke sisi kiri tempat tidur Kakek Gito. Tangan kanan mereka diraih lalu disatukan oleh genggaman sang kakek. "Kalian berdua tadi sudah mengucap janji sehidup semati dalam kondisi apa pun. Jangan ingkar, Kakekmu yang berumur tinggal sejengkal lagi ini saksinya. Berbahagialah Igo, Cia. Kalau kalian bertengkar, segera selesaikan baik-baik. Jangan anggap pasanganmu itu musuh, dia suami atau istrimu, kalian satu tim mengarungi kehidupan yang terkadang keras dan bisa membuat manusia putus asa lalu menyerah. Ingat ya nasihat Kakek Gito!"
Meskipun tak mudah menerima status barunya sebagai istri Igo. Namun, Ciara mengangguk-angguk patuh. Sementara Igo menjawab dengan gentleman, "Baik, Kek. Saya akan jadi suami yang baik untuk cucu Kakek Gito. Semoga Kakek lekas sembuh dan bisa pulang ke rumah bersama keluarga."
"Nah ... kan, Ton. Menantumu ini pemuda yang baik, cocok untuk Ciara!" puji Kakek Gito seraya menepuk-nepuk lengan Rodrigo.
Pak Hartono pun tersenyum dan menanggapi, "Pilihan ayah benar. Aku yakin Igo akan menjadi suami yang terbaik buat Cia."
"TOK TOK TOK." Suara ketokan di pintu kamar perawatan Kakek Gito sontak membuat semua menoleh.
"Maaf, pasien harus beristirahat sekarang ya, Bapak, Ibu!" ujar Suster Maya seraya mendekati tempat tidur.
Pak Bastian Sutedja pun menyalami Kakek Gito sembari berkata, "Cepat sembuh, Pak Anggito. Ditunggu untuk menghadiri pesta resepsi Igo dan Cia ya!"
"Ohh, jangan dulu dibuat resepsi, Bas. Yang terpenting mereka berdua selalu rukun dan bahagia. Satu hal lagi, mereka masih SMA, takutnya orang-orang salah paham malah dikira nikah karena hamil duluan. Uhukk uhukk!" sergah Kakek Gito cepat-cepat sampai terbatuk-batuk.
"Nah ... sudah ya, pasien butuh ketenangan untuk beristirahat. Semua harap pulang saja, besok bisa dijenguk kembali!" tegur Suster Maya yang harus dipatuhi semua pengunjung pasien tersebut.
Nyonya Chintami pun menjabat tangan Kakek Gito lalu berkata, "Kami pamit pulang ya, Kek. Ciara akan tinggal bersama kami."
"Ohh ... bagus kalau begitu, biar terbiasa dengan suaminya. Nanti tolong diajari buat pakai kontrasepsi sementara masih SMA ya. Nanti kalau kuliah mau hamil boleh-boleh saja!" Kakek Gito pun tertawa riang.
"Kakek! Cia—" protes Ciara langsung tenggelam oleh bekapan tangan Igo yang ada di sampingnya.
Pemuda itu berbisik di samping telinga Ciara, "Lo jaga mulut, jangan asal bacot. Kalau kakek lo kaget lalu meninggoy, repot semua!"
Alis Ciara tertaut sengit. 'Baru jadi suami udah main bekap aja dia, dasar cowok sialan!'
"Ya sudah, Kakek istirahat dulu. Alex dan papa mama juga pamit pulang!" ujar Alex segera memasang badan, dia bekerja sama dengan Igo agar sang kakek tidak melihat Ciara yang sedang ditutup mulutnya oleh telapak tangan suami barunya.
"Mundur, Lex. Gue seret adek lo keluar dari sini!" bisik Igo lalu bergegas membawa Ciara yang terpiting oleh lengan kekar Igo dan masih dibekap mulutnya.
Sesampainya di lorong luar kamar perawatan VVIP, Igo sontak berteriak, "AAW! SAKIT TAU!" Cap dua deret gigi tercetak di telapak tangannya.
"Itu salah lo sendiri ya. Baru nikah udah main kasar sama gue. Jangan harap gue ikut pulang ke rumah lo!" bentak Ciara lalu buru-buru berderap cepat menjauhi Igo.
Sejenak pemuda itu bengong hingga Alex menyikut lengannya. "Udah gendong aja, jejelin ke mobil ortu lo, Go! Dia pasti jaim di depan om sama tante pastinya, buruan!"
Segera Igo berlari mengejar pengantin wanita yang berani-beraninya kabur seusai sah menjadi istrinya itu. Sekalipun gaun putih yang dikenakan Ciara mengembang heboh. Namun, Igo tetap menggendong gadis ramping itu di dadanya. "Ikut gue pulang, Biniku!" tukasnya yang membuat Ciara terperangah.
"Turunin gue kagak?! Gue bisa main keras sama lo kalo emang lo yang nantangin!" hardik Ciara galak sembari bersitatap dengan Rodrigo."Ohh ... gaya lo lebay tau?! Badan elo tuh cuma separuh dari gue. Ntar sampai di rumah boleh ngajak gue gulat di kasur. HAHAHA!" Tanpa mengindahkan Ciara yang meronta-ronta seperti kena sawan, Igo tetap santai berjalan ke arah parkiran mobil kedua keluarga mereka. Papa mama mereka yang memang selalu kompak sedari muda dulu malah asik bercengkerama diiringi canda tawa di dekat mobil yang siap pulang ke rumah masing-masing."Tuh, Jeng Wina, Mas Tono, yang habis sah langsung romantis!" Nyonya Chintami terkikik geli menunjuk ke arah putra keduanya yang sedang menggendong Ciara dengan gagah seperti dalam adegan film Holywood."Wah, sayangnya mereka masih SMA ya, Jeng Tami. Rasanya nggak sabar buat gendong cucu pertamaku!" sahut Mama Ciara antusias melihat kebersamaan Igo-Cia yang cocok satu sama lain.Suaminya pun berpesan kepada Pak Bastian, "Ehh, Mas Ibas
"Igo, tolong nanti bawain koper Cia di bagasi belakang mobil ya?" pinta mamanya dengan nada keibuan. Tentu saja Rodrigo tak bisa menolak sekalipun dia enggan."Mau ditaruh ke mana tuh koper, Ma?" tanya Igo dari bangku belakang mobil yang sedang membelok ke arah gapura masuk perumahan Kartika Buana.Pak Bastian pun berdecak kesal, "Ckk ... Igo, kamu ini kok masih nanya sih? Ya jelas dibawa ke kamar kamu dong. Sekarang kalian suami istri, masa malam pertama malah pisah ranjang!"'WHAT?!' batin Igo dan Cia berseru bersamaan lalu mereka pun menoleh seraya saling melempar tatapan tak setuju.Kemudian segera Ciara menutupi dadanya dengan dua tangan tersilang, sedangkan Igo tersenyum miring disertai ekspresi bandel. Mulut Igo berucap tanpa suara, "Mampus lo!""Ehm ... berarti malam ini Igo tidur bareng sama Cia satu ranjang berdua, bener gitu ya Pa?" ujar Rodrigo dengan suara lantang dan jelas agar Ciara mendengar sendiri apa kata orang tuanya."Yoii lah, kalian yang rukun. Cia dipeluk biar
"Gue mau pulang ke rumah ortu!" Ciara menghentak-hentakkan kakinya tantrum seraya menatap tajam Rodrigo yang masih mengganjal pintu kamar dengan telapak tangan kanannya."Kebiasaan lo jadi biang kerok! Bisa gak sekali aja jadi cewek yang kagak barbar dan egois?" balas Igo dengan tegas. Permintaan Ciara dia tepiskan begitu saja. Ide buruk bagi semua yang terkait dengan pernikahan mereka tadi sore.Ciara masih saja menyolot dengan bertanya, "Memang apa yang bikin lo menyimpulkan gue egois, hahh? Perasaan di sini gue yang ada dipaksa nikahin musuh gue. Plus ... ditaruh di satu kamar pula, maksudnya gimana? Biar kita gladiator part two gitu?!" "Aahh ... gue jabaninlah, gladiator bareng bini gue yang semlohay boleh banget tuh. Di lantai udah tadi, cuma kurang empuk, cuss di kasur lebih enak!" seloroh Igo membersitkan senyuman tengil dan memasang tampang tak berdosa."Anjiiirr ... Igo, lo masak bisa sih nganu-nganu kagak pake perasaan? Lo nyadar kagak sih kita di sekolah tiap ketemu pasti
"TOK TOK TOK. Igo, Cia, kalian sudah bangun belum? Nanti telat berangkat ke sekolah lho!" seru Nyonya Chintami sambil mengetok pintu kamar mereka.Pasangan muda mudi yang tadinya tidur lelap berpelukan mesra itu pun terbangun bersamaan. Mereka saling tatap lalu cepat-cepat Igo menutup mulut Ciara agar tidak menjerit. "Iya, Ma. Sebentar lagi kami turun!" balas Igo dengan suara lantang agar mamanya mendengar."Ya sudah, Mama tunggu di meja makan ya!" ujar Nyonya Chintami lalu meninggalkan depan pintu kamar putranya.Ciara memelototi Igo dan menghardik pemuda itu, "Lo pagi-pagi main bekap aja sih! Ngapain juga peluk-peluk gue tadi?!" "Hey, semalem lo yang nemplok ke badan gue. Kali lo kedinginan sama AC kamar gue. Stop debatnya, nggak penting tahu. Kita sudah mau telat dan gue ada ulangan matematika jam pertama. Dari pada telat sekolah mending kita mandi bareng aja!" celoteh Igo sembari bangkit dari tempat tidurnya dan memilih baju seragam hari ini di lemari."Ogah, ngeri amat ngeliatin
"KRIIIINGG!" Suara bel tanda istirahat yang berbunyi nyaring membuat siswa-siswi SMA Teruna Negeri berhamburan dari pintu kelas masing-masing. "Cia, lo lesu amat sih pagi ini!" celetuk Lindsey, bestie-nya yang duduk bersebelahan meja dengan Ciara.Dengan cepat Ciara mengerem lidahnya agar tidak bocor keliling tentang pernikahan dadakannya dengan Rodrigo kemarin sore. "Ehh ... ohh ... biasa capek aja, Lind!" kelitnya. Tiba-tiba dari arah lapangan basket terdengar suara laki-laki dengan pengeras suara berkata, "Tolong yang lihat Ciara Eloise Sasmita, anak 10-A, bilangin suruh ke lapangan basket ya!" "Lho, kayak suara si Billy tuh, Cia. Lo dicariin sama dia di lapangan basket. Sono buruan tengok ada apa!" ujar Lindsey seraya bangkit dari kursinya. Gadis itu pun berdiri lalu melongok-longok dari kaca jendela kelasnya yang mengarah ke lapangan basket. 'Issh ... ngapain si Billy ya? Kagak biasanya begini!' batin Ciara penasaran."Ayo, Cia ... tuh dipanggil lagi!" Lindsey menyeret tangan
"BUK BUKK BUKK!" Baku hantam yang terjadi di antara dua pentolan tim basket dan tim otomotif itu menyebabkan baik Billy maupun Igo babak belur. Suara derap kaki mendekat dari lorong menuju ke toilet putri terdengar semakin jelas hingga pintu terbuka lebar. "Hey, ngapain kalian di sini? Bukannya ikut pelajaran malah kelahi di toilet putri!" hardik Pak Wisnu, guru BP SMA Teruna Negeri yang sontak menghentikan adu pukulan dan tendangan kedua pemuda berpostur tinggi kekar tersebut.Mereka berdua terengah-engah menata napas dengan kepalan tangan jatuh ke sisi tubuh masing-masing. Rupanya Ciara memanggil bala bantuan untuk melerai Igo dan Billy."Sudah, ikut Bapak ke ruang konseling. Kalian ini bikin masalah saja!" seru Pak Wisnu lalu merangkul bahu kedua muridnya tersebut agar meninggalkan toilet putri. "Ciara, kamu masuk ke kelas sekarang!" titahnya."Baik, Pak!" jawab Ciara patuh. Dia pun segera berlari menaiki tangga ke lantai dua. Sementara itu Igo dan Billy digelandang masuk ke lif
"Cia ... Igo ... kok kalian hujan-hujanan sih?!" sambut Nyonya Wina Sasmita di teras rumah. Pasangan belia itu memang basah kuyup karena gerimis yang tadinya turun di area sekitar sekolah lama kelamaan berubah semakin deras ketika menuju ke Bandung Barat. Igo pun bertanya sambil memasang standar sepeda motor gede miliknya, "Apa motor saya boleh diparkir di sini, Ma? Atau harus ditaruh di garasi samping rumah?" "Sudah, di situ aja nggakpapa, aman kok 'kan ada satpam di pintu gerbang depan. Yuk kalian masuk lalu ganti baju dulu biar nggak masuk angin!" jawab mama Ciara cemas.Segera Igo dan Ciara naik ke lantai dua di mana kamar tidur yang tadinya dipakai oleh gadis itu berada. "Aduh basah semua deh. Lo tunggu di kamar mandi ya, biar gue ambilin kaos sama celana punya Bang Alex di kamar sebelah!" ujar Ciara yang dipatuhi tanpa protes oleh Igo. Memang semua seragam dan sepatunya basah, tas sekolah Igo saja yang aman karena berbahan anti air. Segera saja dia melepaskan seragamnya yang
"Aduuh! Pelan dikit dong!" teriak Igo saat wajahnya yang babak belur karena berkelahi dengan Billy tadi diobati Ciara."Tskk ... gue udah pelan, cuma emang ini luka panteslah sakit. Lagian badan lo gede, masa kena alkohol dikit udah merengek!" ejek Ciara dengan puas. 'Hmm ... siapa suruh lo gontok-gontokan di toilet tadi, Igo!' batinnya.Wajah tampan pemuda itu mencebik kesal. Ada lebam dan luka robek kecil di tepi bibir kirinya. "Pokoknya lo jangan sengaja keganjenan sama cowok lain biar gue kagak perlu babak belur begini lagi!" ujar Igo mewanti-wanti."Kayaknya lo salah paham deh, gue kagak ada yang namanya keganjenan. Apa lo tahu kalo tadi gue nolak Billy pas dia nembak gue di lapangan basket istirahat pertama?" balas Ciara. Dia kesal karena dituduh sesuatu yang tidak benar."Bodo amat, gue pengin lo memahami dan menanamkan dalam-dalam ke pikiran lo kalo kita tuh udah merid. Yang berhak atas tubuh lo ... ya gue! Cinta itu kalau sudah disemai, dipupuk, dirawat ... ujung-ujungnya kay
"Welcome to our campus!" ujar teman sekamar Igo di asrama mahasiswa MIT. Pemuda asal Jepang itu mendapat beasiswa penuh sama seperti Igo yang kebetulan satu jurusan juga. Dia mengulurkan jabat tangannya ke Igo, "Kenalkan, namaku Hideo Takajima. Baru sampai di sini dua hari lalu!""Aku Rodrigo Gunadarma Sutedja. Asalku dari Indonesia. Mungkin kamu akan lebih mudah mengingat nama panggilanku. Igo, itu saja!" balas Igo ramah. Hideo akan menjadi teman sekamarnya untuk waktu yang entah berapa lama."Nice, aku suka nama yang singkat. Mudah diingat dan wajahmu seperti bintang film, Bro. Keren sekali!" puji Hideo sembari duduk di lantai kamar beralas karpet. Kemudian Igo membongkar kopernya yang berisi pakaian, barang-barang pribadi, dan makanan kering yang sengaja ditaruh oleh Mama Tami ke dalam bawaannya. Dia pun mulai mengirim telepati dengan penuh konsentrasi ke Ciara, berharap jarak yang luar biasa jauh tak menghilangkan kemampuan istimewa itu.'Beib, hai ... apa lo denger suara gue? In
Seusai resmi menjadi suami Nyonya Wina, pengusaha tajir melintir itu membawa anak dan istrinya tinggal bersama di rumah megah bak istana yang ada di tengah kota Bandung. Memang sebelum Igo berangkat ke Massacussets, Amerika, Ciara tetap tinggal di kediaman Sutedja. Namun, nanti setelah suaminya berangkat kuliah ke luar negeri, Ciara akan tinggal bersama keluarga barunya.Hari demi hari yang dilewati selama sebulan itu bergulir begitu cepat sehingga tanggal keberangkatan Igo tersisa di besok sore penerbangannya."Cayank, gue nggak rela rasanya elo pergi besok!" ucap Ciara di balkon kamar mereka di lantai dua malam itu. Angin malam yang berhembus membuat hati terasa membeku. Ciara bergidik sedikit, Igo segera mengambil jaket untuk menghangatkan istrinya. "Lo jaga kesehatan selama kita LDR. Jangan ilang kontak sama Gabe dan Renata kalo lo lagi di luar rumah!" pesan Igo.Kepala Ciara terangguk pelan. Air mata merembes melalui sudut matanya. Igo makin berat saja meninggalkan si cantik imu
"Pengantinnya sudah boleh turun ya, tamu-tamu sudah memadati meja pesta!" kata Bu Ursula kepada Ciara melalui HT."Okay, copy! Kami akan langsung turun dengan pengantin, Bu Ur!" sahut Ciara lalu memberi kode ke Mama Wina dan Papa Reynold bahwa sudah saatnya acara dimulai di venue party.Pasangan yang tak lagi muda itu nampak berbinar-binar wajahnya. Sedikit unik karena bridesmaid semuanya ibu-ibu berbadan subur dengan beberapa anak sudah remaja."Mbak Wina, kamu cantik sekali lho ngalah-ngalahin yang dua puluhan!" puji Tante Anjali dengan nadanya yang selalu khas rumpi."Kakak pertama kita 'kan memang awet muda sih, Anjali!" sahut Tante Merry yang membantu mengangkat ekor gaun putih panjang Mama Wina.Dalam lift Pak Reynold yang dikerubuti kaum ibu-ibu hanya bisa memasang senyum tipis. Istrinya meliriknya gemas lebih dikarenakan dia santai dan tidak jelalatan matanya. Tangan halus yang terasa sejuk itu berada di genggaman telapak tangan lebar Pak Reynold saat lift berbunyi tanda samp
Kabar bahwa Mama Wina dan Pak Reynold telah sepakat menikah membuat anak-anak mereka turut bergembira. Bahkan, Vincent mendesak agar perayaan pernikahan segera diselenggarakan. Dia berencana mengajak Grandpa Damon Hawkins terbang ke Indonesia untuk menghadiri acara spesial sekali seumur hidup ayah kandungnya tersebut.Masih dalam suasana libur kenaikan kelas serta kelulusan, Ciara dan Alex serta Igo membantu persiapan pesta dengan memilih menu katering, dekorasi bunga, dan entertainment. Rencananya memang lokasi pesta resepsi di taman belakang Hotel Wonderful Paris Van Java sesuai permintaan Mama Wina agar budget tak berlebihan. Namun, tetap representatif untuk menjamu tamu kolega calon suaminya yang notabene pengusaha sukses."Bu Ursula, kami sudah putuskan warna kain dekorasi nuansa putih, kuning, dan jingga. Maknanya sekalipun usia mulai senja, tetapi masih bersinar indah!" tutur Ciara usai berdiskusi dengan kakaknya dan Igo.Pimpinan Wedding Organizer (WO) yang bernama Bu Ursula i
"Halo, Wina. Gimana kalau kamu jalan-jalan denganku saja karena anak-anak asik proom night di sekolah sampai larut malam 'kan?" ajak Pak Reynold melalui telepon HP."Halo, Mas Rey. Iya, nggakpapa. Mau berangkat jam berapa nih?" sahut Nyonya Wina santai. Dia melirik jam dinding di kamar hotel sudah menunjukkan pukul 19.30 WIB."Aku naik sekarang jemput kamu di sana, oke?" balas Pak Reynold lalu mengakhiri telepon ketika menerima jawaban positif dari teman kencannya malam ini. Pria matang berparas rupawan itu segera naik lift menjemput Nyonya Wina.Bunyi bel dua kali membuat wanita yang telah siap bepergian dengan penampilan anggun simple seperti gaya biasanya. Dia membuka pintu kamar hotel dan sempat merasakan jantungnya seolah terhenti sejenak ketika melihat pria di hadapan matanya."Ehh ... apa tempat yang akan kita datangi harus mengenakan pakaian resmi, Mas?" tanya Nyonya Wina melihat Pak Reynold Subrata dalam setelan tuxedo silver grey dengan dasi merah maroon."Kamu mengenakan ba
"Oke, Guys. Di malam yang penuh kenangan ini, kita akan menyaksikan beberapa penampilan istimewa dari kakak-kakak senior idola SMA Teruna Negeri. Tanpa membuang waktu lagi, kita panggil Kak Igo, Kak Alex, Kak Jacky, Kak Kevin, dan Kak Mike ke atas panggung!" Sabrina Elvira, anak kelas 11-B yang dipercaya menjadi MC proom night memanggil genk Auto Drift."Show time, Genks!" ucap Igo penuh percaya diri memimpin rekan-rekannya naik ke pentas.Jeritan histeris siswi-siswi SMA Teruna Negeri dan siulan para adik kelas membuat para jajaka Bandung itu makin bersemangat membagikan penampilan terakhir mereka sebagai bagian SMA Teruna Negeri.Igo memberikan kehormatan kepada Alex untuk memberikan sepatah dua patah kata sambutan atas penampilan pamungkas mereka berlima. Dia siap duduk di kursi dengan gitar listrik akustik dan stand by mikrofon. Alex pastinya dengan biola pribadi yang dia bawa sendiri. Jacky duduk di atas kotak perkusi siap menabuh sesuai irama lagu. Sedangkan, Mike bermain bass g
"TOK TOK TOK." Igo mengetok pintu kamar mamanya dengan tak sabar. Pasalnya, pendamping proom night pemuda itu sedang disandera oleh Mama Tami untuk dimake-over wajah dan rambutnya."Mama, lama amat sih di dalem!" seru Igo senewen. Dia merasa Ciara sudah cantik tanpa perlu didandani heboh.Sementara itu Mama Tami dan Ciara terkikik kompak di depan cermin rias mendengar suara Igo di luar. "Tuh suami kamu, Cia. Baru ditinggal kamu satu jam udah heboh si Igo. Hihihi!" ujar Mama Tami."Nggakpapa, Ma. Nanti juga semalaman berdua melulu. Apa dandannya sudah kelar?" jawab Ciara sambil tersenyum memandangi pantulan bayangan di cermin rias mama mertuanya."Sudah kok. Cantik banget, Igo beruntung mendapat pasangan proom night yang secantik bidadari. Teman-temannya pasti iri!" puji Mama Tami lalu membantu Ciara bangkit dari kursi rias. Dia pun bertanya "Korsasenya belum dibagiin ya sama panitia acara?" "Belum, Ma. Di depan aula sih kata anak OSIS yang ikut panitia proom night!" jawab Ciara sebel
Masih dengan gaun tidur tipisnya Cindy menuruni tangga lantai dua ke bawah. Hari sudah menunjukkan pukul 10.00, matahari sudah tinggi di luar sana. Dia belum juga mandi maupun melakukan aktivitas yang berarti.Pak Hartono yang sedang duduk membaca koran di sofa ruang tengah ditemani secangkir kopi hitam mendengar langkah-langkah wanita itu. Dia pun menutup lembaran koran lalu menyapa wanita kesayangannya, "Pagi, Cindy! Baru bangun ya?""Hoamph ... iya masih ngantuk. Kan dinas semalaman, Mas!" jawab Cindy. Memang tadi malam dia terpaksa melayani Pak Hartono yang menagih jatah untuk diservis."Hohoho. Iya, yang semalam enak deh. Mas demen banget!" sahut pria botak berkumis subur itu menyunggingkan senyuman mesum."Laper nih, Mas. Mbok Parni apa sudah masak sarapan?" Cindy yang duduk manja menyandar di badan Pak Hartono celingukan mencari pelayan tua suaminya itu.Pak Hartono pun me
Setelah ujian kelulusan yang diikuti murid kelas 12, dua minggu berikutnya adik-adik kelas mereka menempuh ujian kenaikan kelas. Ciara ditemani belajar oleh Igo setiap sore hingga malam. "Go, kalau nanti lo sudah di Amrik lantas gue belajar sama siapa dong?" tanya Ciara sedih."Harus bisa belajar sendiri, Cia. Tapi kalau sudah mentok, tanya aja ke gue via chat. Ntar lo foto soalnya biar gue bantu terangin!" jawab Igo santai. "Cayank, ngantuk nih. Bobo aja yuk, dilanjut besok pagi aja belajarnya!" rengek Ciara sambil menguap. Jam dinding telah menunjukkan pukul 23.10."Iya, sudah larut malam. Lo bobo gih, gue pengin cari angin bentar di balkon!" Igo pun beranjak dari tempat tidur menuju ke teras lantai dua depan kamarnya.Udara malam sejuk dengan angin sepoi-sepoi bertiup perlahan. Di langit gelap, bintang berkerlip-kerlip menemani bulan sabit yang menggantung sendirian.Igo berdiri di balik teralis balkon. Dia memikirkan waktu yang mengalir deras bagaikan aliran air sungai ke muara.