"Hah, Mas bilang apa?"
"Apa kamu tidak mendengarnya? Sudahlah terserah kamu mau percaya atau tidak." Alvarendra kembali berdiri lalu berjalan menuju ke kamarnya, diikuti oleh Aretha di belakangnya. Malam hari Aretha terbangun dari tidurnya, dia merasa tenggorokan kering. "Haus." Gumam Aretha lirih yang masih dalam keadaan setengah sadar. Dia berusaha turun dari ranjang dengan hati-hati, namun karena kakinya masih terasa sakit akhirnya jatuh ke lantai. BUG "Awh!" Aretha mengadu kesakitan setelah terjatuh dari ranjang. Alvarendra terbangun dari tidurnya setelah mendengar suara Aretha jatuh sambil mengadu kesakitan. "Sayang, kamu tidur sambil berjalan, kenapa nggak menyalakan lampu?" Alvarendra merasa heran melihat Aretha sudah ada di lantai, padahal kamar masih dalam keadaan remang-remang hanya ada sedikit cahaya dari lampu tidur. Dia segera turun dari ranjang untuk menghampirinya. "Aku takut akan membangunkan Mas, aku cuma mau mengambil air minum. Kakiku sakit karena terkilir ketika Mas menyeret ku." Ujar Aretha menjelaskan. "Kenapa nggak bilang, kamu marah sama Mas?" Tanya Alvarendra menatap ke arah Aretha seolah sedang mengintimidasinya. Aretha yang ditanya hanya menggelengkan kepalanya pelan. Melihat Aretha menggelengkan kepalanya pelan, Alvarendra segera mengangkat Aretha ke dalam gendongannya lalu mendudukkannya di tepi ranjang. Kemudian dia berjalan menuju meja mengambil sebotol air minum yang ada di atasnya. "Ini minum dulu! Katanya haus." Alvarendra menyodorkan sebotol air minum kepada Aretha. "Terima kasih Mas." Aretha yang melihatnya segera meraih botol minum tersebut kemudian meneguk isinya. "Lain kali kalau ada apa-apa bilang!" Ujar Alvarendra mengingatkan, tangannya bergerak memijat kaki Aretha yang tadi terkilir. "Padahal kakiku yang terkilir, tapi kenapa Mas Alvarendra yang kelihatan marah?" Batin Aretha heran melihat suaminya tampak marah. Aretha mengamati suaminya yang sedang memijat kakinya. Dia masih merasa heran dengan suaminya yang tiba-tiba marah tanpa alasan. "Bagaimana, apakah masih terasa sakit?" Pertanyaan Alvarendra membuyarkan lamunan Aretha. "Sudah mendingan, aku ngantuk ayo tidur!" Alvarendra menghentikan gerakan tangannya yang sedang memijat kaki Aretha. Dia merebahkan tub uhnya di samping Aretha lalu memeluknya dengan erat. Pagi hari Alvarendra terkejut melihat Kaki Aretha tampak bengkak. "Ayo ke rumah sakit!" Alvarendra menyusuri lorong rumah sakit sambil menggendong Aretha. "Mas, turunkan aku! Kakiku cuma terkilir aku masih bisa jalan sendiri." Aretha mendongak menatap wajah Alvarendra berharap Alvarendra akan menurunkannya. "Kamu boleh menatapku seperti itu terus jika ingin gosipmu menjadi berita utama pagi ini." Alvarendra tersenyum ke arah Aretha, sedangkan Aretha dengan cepat memalingkan wajahnya. Mereka masuk ke dalam ruangan dokter spesialis ortopedi. "Dok, tolong periksa kaki istriku!" Dokter Fandi segera menoleh ke arah Alvarendra setelah mendengar ucapannya. "Silahkan duduk dulu." Alvarendra menurunkan Aretha dari gendongannya menaruhnya di atas ranjang rumah sakit. "Bagaimanapun caranya pastikan kaki istriku sembuh seperti sedia kala!" Ujar Alvarendra tegas menatap dokter Fandi. "Kami akan berusaha yang terbaik untuk kesembuhan kaki istri bapak." Ujar dokter Fandi. Dokter Fandi berjalan menghampiri Aretha kemudian memeriksa kakinya yang terkilir. Tidak jauh dari mereka Alvarendra berdiri menatap ke arah dokter Fandi yang sedang memeriksa kaki Aretha. "Kakimu hanya terkilir tidak mengalami luka parah, untuk sementara waktu jangan terlalu banyak beraktivitas, istirahat yang cukup sampai kakinya sembuh!" Dokter Fandi menjelaskan kondisi kaki Aretha. "Apa dokter bisa pastikan kaki istriku bisa sembuh seperti sedia kala?" Tanya Alvarendra menatap ke arah dokter Fandi menuntut jawaban darinya. "Iya, kaki istri Bapak hanya terkilir, untuk sementara waktu jangan terlalu banyak beraktivitas. Ini resep obatnya bisa ditebus di apotik!" Dokter Fandi menyerahkan selembar kertas tertulis resep obat untuk Aretha. "Terima kasih Dok, kalau begitu kami permisi dulu." Alvarendra menerima selembar kertas yang diserahkan oleh dokter Fandi lalu membacakan sekilas. Alvarendra mengangkat Aretha ke dalam gendongannya, membawanya keluar dari ruangan dokter spesialis ortopedi. "Fano, kamu tebus obat Aretha di apotik!" Alvarendra menyerahkan selembar kertas tertulis beberapa obat untuk Aretha kepada Fano. "Baik Pak." Fano berjalan menuju ke apotik, sedangkan Alvarendra masuk ke dalam mobil. "Hari ini kamu istirahat saja yang cukup di apartemen sampai kakimu sembuh!" Alvarendra menoleh ke arah Aretha yang duduk di sampingnya. "Iya Mas." Alvarendra kembali menatap ke depan. "Aku tahu Aretha bersedia menikah denganku karena uang, jadi aku tidak terlalu berharap dia akan setia kepadaku. Meskipun begitu tidak seharusnya dia berpelukan dengan pria sembarangan di luar sana." Monolog Alvarendra dalam hati teringat Aretha berpelukan dengan pria lain di restoran. Beberapa saat kemudian Fano masuk ke dalam mobil. "Pak ini obatnya." Fano menyerahkan plastik berisi beberapa obat kepada Alvarendra yang sedang duduk di dalam mobil. "Terima kasih!" Alvarendra menerima obat yang diserahkan oleh Fano kepadanya. "Pak, tadi saya melihat ada wartawan yang memotret bapak." Fano menyerahkan sebuah kamera kepada Alvarendra. Alvarendra melihat foto yang ada di kamera tersebut, foto dirinya dari belakang yang sedang menggendong Aretha masuk ke dalam rumah sakit. Karena memotretnya agak jauh jadi foto Aretha tidak terlihat jelas. "Apa perlu saya menghancurkan kameranya?" Fano bertanya dengan hati-hati. "Nggak perlu, kembalikan lagi kepadanya serta katakan untuk berhati-hati dengan apa yang ditulis olehnya!" Alvarendra menyerahkan kembali kameranya kepada Fano. "Baik Pak." Fano keluar dari mobil menghampiri wartawan yang telah memotret Alvarendra dan Aretha. "Foto siapa Mas?" Tanya Aretha merasa penasaran dengan foto yang sedang dibahas oleh Alvarendra dan Fano. "Kepo." Aretha mencebikkan bibirnya sebal mendengar Jawaban Alvarendra. "Foto Mas dan kekasihnya?" Tanya Aretha asal menebak. "Iya, nggak usah terlalu dipikirkan, lebih baik fokus pada kesembuhan kakimu!" "Iya Mas." Entah kenapa hati Aretha terasa nyeri, sehingga dia lebih memilih melihat keluar melalui kaca mobil. "Sayang, kamu marah sama Mas?" Alvarendra bertanya kepada Aretha sambil mengusap rambutnya dengan lembut. "Nggak Mas." Aretha tersenyum menoleh ke arah Alvarendra berusaha tetap terlihat biasa saja. "Aku bukan anak kecil yang suka ngambek." Ujarnya lagi. "Iya mas tahu." Alvarendra memperbaiki posisi duduknya kembali menatap ke depan. Fano masuk kembali ke dalam mobil, perlahan mobil berjalan meninggalkan area rumah sakit. Hening tidak ada pembicaraan di antara mereka, semua sibuk dengan pikirannya masing-masing. Mobil berhenti setelah sampai di depan Villa Grand Luxury. Alvarendra turun dari mobil lalu mengitarinya membuka pintu sebelah kiri. Dia mengulurkan tangannya membantu Aretha turun dari mobil. Alvarendra memapah Aretha masuk ke dalam villa. "Sayang, hari ini kamu minta izin saja, nggak usah pergi ke kampus!" Alvarendra berkata sambil membantu Aretha duduk di sofa. "Tapi Mas ...." "Aretha, apa kamu lupa dengan apa yang tadi diucapkan oleh dokter Fandi?" Alvarendra mencondongkan tub uhnya ke arah Aretha sehingga wajahnya tepat berada di depan wajah Aretha. Aretha refleks memejamkan matanya sambil menggelengkan kepalanya pelan. Alvarendra menyunggingkan senyum tipis kembali menegakkan tub uhnya, tangannya bergerak mengusap rambut Aretha dengan lembut. "Mas sudah minta Fani untuk datang ke sini, jadi kalau kamu butuh sesuatu bisa minta tolong kepadanya." Mendengar ucapan Alvarendra, Aretha membuka matanya secara perlahan lalu menunduk merasa malu. "Sayang, apa yang kamu pikirkan? Apa kamu berpikir mas akan menci_ummu?" Alvarendra tersenyum jahil ke arah Aretha. "Mana ada." Tanpa Aretha sadari semburat merah muncul di pipinya. "Benarkah?"Dengan gerakan cepat Alvarendra mengecup singkat bibir Aretha. Aretha tampak terkejut matanya membulat sempurna jantungnya berdegup kencang menyadari sesuatu yang kenyal menempel di bibirnya walaupun hanya sebentar. Senyum merekah di bibir Alvarendra melihat ekspresi wajah Aretha. "Mas pergi ke kantor dulu. Kalau ada apa-apa langsung hubungi mas!" Pamit Alvarendra berjalan keluar dari Villa Grand Luxury. "Aretha sadar, Mas Alvarendra baik kepadamu karena saat ini status kalian masih suami istri, cepat atau lambat dia pasti akan menceraikan_mu. Jadi jangan sampai berharap lebih darinya, apalagi sampai menaruh perasaan kepadanya." Batin Aretha mengingatkan dirinya sendiri. Aretha membuka hpnya, dia membuka beranda akun sosial medianya. Dia tampak terkejut melihat foto dirinya yang sedang digendong oleh Alvarendra menjadi trending topik. Serta dibubuhi dengan caption "CEO FR Group Alvarendra menggendong seorang wanita masuk ke dalam rumah sakit, ini merupakan pertama kalinya Alvarendr
Aretha: Hal penting, apakah tentang ibu? Dokter Wilson: Untuk lebih jelasnya, sebaiknya kamu datang langsung ke rumah sakit. Aretha: Iya dok nanti saya ke sana. Panggilan terputus. "Risa, aku pergi dulu." Pamit Aretha berjalan dengan cepat meninggalkan Risa. "Iya, apa yang sebenarnya terjadi dengan Aretha kenapa dia kelihatannya buru-buru sekali?" Gumam Risa lirih merasa heran melihat Aretha berjalan dengan terburu-buru. "Aku sudah mengenal Aretha sejak lama, tapi dia tidak pernah terbuka dengan masalah pribadinya. Yang aku tahu Aretha merupakan putri salah satu pengusaha, namun sekarang perusahaan ayahnya sudah bangkrut. Setelah itu aku tidak tahu kehidupan pribadinya seperti apa, yang aku lihat dari wajahnya dia berusaha tersenyum untuk menutupi luka. Aku juga baru tahu kalau dia sudah putus dari Evan dua tahun lalu, padahal mereka pernah dijuluki sebagai best couple." Monolog Risa dalam hati menatap Aretha yang berjalan semakin menjauh darinya. "Risa!" Terdengar suara Shela m
Dua miliar." Nominal tersebut terus menerus memenuhi otak Aretha. Aretha membuka tasnya mengambil benda pipih yang tersimpan di dalamnya. Dia mencoba menghubungi Alvarendra namun nomornya tidak aktif. Aretha tidak menyerah begitu saja, dia kembali menghubungi Alvarendra hingga berulang kali namun nomornya tetap saja tidak aktif. "Mungkin Mas Alvarendra masih sibuk, aku akan menghubunginya kembali nanti." Gumam Aretha menyimpan kembali hp-nya ke dalam tas. *** Malam ini Alvarendra bertemu dengan Mr. Aron di lounge salah satu hotel bintang lima yang ada di pusat kota. Alvarendra tidak datang sendirian ada Alisa di sampingnya. Pertemuan mereka untuk membahas film yang dibintangi oleh Alisa. Film tersebut tertunda penayangannya padahal dijadwalkan akan tayang 5 bulan yang lalu, namun sampai saat ini belum juga ditayangkan. "Selamat malam Mr. Aron." Sapa Alvarendra mendaratkan bokongnya di atas kursi duduk berhadapan dengan Mr. Aron, sedangkan Alisa duduk di sampingnya. "Malam juga."
Aretha, kamu sepertinya tidak senang mas pulang?" Alvarendra bertanya dengan nada kecewa. Pertanyaan Alvarendra membuyarkan lamunan Aretha. "Bukan begitu maksudnya Mas, tentu saja aku merasa senang Mas pulang ke sini." Aretha berusaha tersenyum ke Alvarendra, seolah tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Seulas senyum tipis terbit di bibir Alvarendra mendengar ucapan Aretha. "Benarkah?" Alvarendra mendaratkan bokongnya di tepi ranjang, tangannya terulur meraih dagu Aretha agar menatap ke arahnya membuat pandangan mereka saling bertemu. Aretha yang ditanya hanya diam sambil menganggukkan kepalanya. Seulas senyum tipis terbit di bibir Alvarendra lalu mendekatkan wajahnya dengan wajah Aretha hanya berjarak beberapa sentimeter saja. Menyadari wajah Alvarendra semakin mendekat dengannya, Aretha merasa jantungnya berdegup kencang refleks memejamkan matanya. Alvarendra menyatukan bibir mereka, tangan Aretha dikalungkan ke lehernya. "Mas!" Panggil Aretha kepada Alvarendra setelah tautan bibir
Melihat Aretha berjalan ke arahnya Alvarendra segera memutuskan sambungan teleponnya. "Mas, minum dulu!" Aretha meletakkan secangkir teh manis di hadapan Alvarendra kemudian mendaratkan bokongnya di atas kursi, duduk berhadapan dengan Alvarendra. "Terima kasih Sayang." Alvarendra menyunggingkan senyum tipis menoleh ke arah Aretha. Mereka mulai menikmati sarapannya masing-masing. "Mas!" Mendengar suara Aretha memanggilnya Alvarendra segera menoleh ke arahnya. "Iya Sayang, ada apa?" "Mas, kalau kita berangkat bersama takutnya ada wartawan yang melihatnya kemudian menyebarkan gosip yang tidak-tidak." Aretha berkata dengan hati-hati, berusaha menolak ajakan suaminya untuk berangkat bersama secara halus. "Memangnya kenapa?" "Bukankah selama ini Mas tidak ingin aku menimbulkan masalah yang bisa merusak reputasi Mas?" Bukannya menjawab pertanyaan dari Alvarendra, Aretha justru balik bertanya. "Kamu tenang saja tidak akan ada wartawan yang berani menyebarkan gosip yang tidak-tidak ten
"Lupakan saja." Alvarendra meralat ucapannya. "Aku pikir Pak Alvarendra akan berkata "hubungi pihak rumah sakit aku akan menanggung seluruh biaya pengobatan ibunya Aretha" ternyata aku terlalu jauh berpikirnya." Batin Fano. "Kamu boleh pergi." "Baik Pak." Fano berjalan keluar dari ruang CEO. "Aretha, kenapa kamu tidak pernah mengatakan kepada mas kalau ibumu menderita sakit jantung? Apa sampai saat ini kamu masih menganggap mas sebagai orang asing, Padahal kita sudah menikah selama dua tahun." Monolog Alvarendra dalam hati dengan tatapan lurus ke depan. *** "Begini jadinya kalau tidak membawa mobil sendiri." Gumam Aretha berdiri di pinggir jalan depan kampusnya. Dia merogoh tasnya mengambil benda pipih yang tersimpan di dalamnya. Belum sempat memesan taksi online, sebuah mobil berhenti di hadapannya. "Mobil siapa ini kenapa berhenti di sini?" Gumam Aretha heran. Perlahan kaca mobilnya dibuka terlihat Evan duduk di kursi pengemudi. "Apa hari ini sugar daddy-mu tidak datang men
"Jadi sekarang kamu sudah berani mengatur Mas, apa karena kekasihmu sudah kembali jadi kamu merasa hebat?" Alvarendra menatap tajam ke arah Aretha seolah sedang mengintimidasinya. "Tentu saja aku tidak berani." Aretha menggelengkan kepalanya pelan berusaha tersenyum ke arah Alvarendra. "Jangan pernah bertemu dengan kekasihmu itu tanpa seizin Mas!" Ujar Alvarendra tegas beranjak dari duduknya. "Haruskah Mas Alvarendra semarah itu, padahal aku tidak sengaja bertemu dengan Evan. Evan yang lebih dulu memelukku, aku berusaha melepaskannya namun dia justru semakin erat memelukku." Monolog Aretha dalam hati menatap kepergian Alvarendra yang semakin menjauh darinya. Aretha menghela nafas panjang beranjak dari duduknya. *** Alvarendra masuk ke dalam ruangannya, lalu mendaratkan bokongnya di atas kursi kerjanya. Terdengar suara pintu diketuk dari luar. "Tok ... tok ... tok!" "Masuk!" Pintu dibuka dari luar terlihat Fano masuk ke dalam ruangan tersebut. "Selamat pagi Pak, ini kopinya!"
Cinta Hanya Sebatas Kontrak bab 14 Ariana tampak terkejut mendengar pengakuan Alvarendra. "Menikah, kamu pasti bohong kan?" Ariana menatap tidak percaya ke arah Alvarendra seolah meminta penjelasan darinya. "Aku sudah menikah dua tahun yang lalu." Jawab Alvarendra menegaskan. "Alvarendra, kenapa kamu tega melakukan semua ini kepadaku? Aku Kembali karena merindukanmu tapi ternyata kamu sudah menikah dengan wanita lain. Al, aku sangat mencintaimu, tapi kenapa kamu justru mengkhianati ketulusan cintaku?" Ariana menunduk dadanya terasa nyeri, buliran-buliran bening mengalir deras di kedua pipinya dibiarkan begitu saja. "Maaf aku sama sekali tidak bermaksud untuk mengkhianatimu, tapi kamu pergi dalam waktu yang begitu lama tanpa kabar." Melihat Ariana menangis Alvarendra merasa bersalah, sebenarnya dia juga tidak ingin menyakiti Ariana tapi semua sudah terjadi. Hening, mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing. Setelah beberapa saat kemudian terdengar suara Ariana memecahkan keheni
"Aretha, ada yang ingin aku bicarakan berdua denganmu." "Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, hubungan kita sudah berakhir. Silahkan pergi dari sini!" Usir Aretha, dia tidak ingin bertemu dengan Alvarendra saat ini. Apalagi sampai dicap sebagai orang tiga karena menjalin hubungan dengan pria yang sudah beristri. "Semuanya hanya salah paham, karena itu aku ingin meluruskan kesalahpahaman yang terjadi di antara kita lima tahun yang lalu." Alvarendra akhirnya membuka mulutnya berusaha menjelaskan kesalahan pahaman yang terjadi lima tahun yang lalu. "Salah paham?" Aretha menatap ke arah Alvarendra meminta penjelasan darinya. Alvarendra menganggukkan kepala sebagai jawabannya. "Sebenarnya kesalahan pahaman seperti apa yang dimaksud oleh Mas Alvarendra?" Batin Aretha merasa penasaran. "Beri aku kesempatan untuk menjelaskannya." Alvarendra menatap penuh harap ke arah Aretha. Aretha tampak terdiam berusaha mempertimbangkan permintaan Alvarendra. "Baiklah." Ujar Aretha lirih set
Lima tahun berlalu kini Aretha tidak lagi sendirian ada seorang anak laki-laki yang bersama dengannya. Yaitu anak laki-laki yang lahir dari rahimnya, anak dirinya dengan Alvarendra yang diberi nama Rafa.Selama lima tahun terakhir ini Aretha memfokuskan diri mengurus putranya serta butik miliknya, sama sekali belum terbesit keinginan untuk menikah lagi.Siang itu Aretha menjemput Rafa di sekolahnya seperti biasa."Bu, Rafa mau balon." Rafa merengek sambil menunjuk ke arah beberapa balon dengan beragam bentuk dan warna.Aretha menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Rafa, ada penjual balon di seberang jalan."Tunggu sebentar!" Aretha menoleh ke kanan serta ke kiri sebelum menyeberang jalan. Rafa yang sudah tidak sabar ingin membeli balon berlari begitu tanpa menunggu ibunya."Rafa!" Teriak Aretha terkejut sekaligus panik melihat sebuah mobil hampir menabrak Rafa. Beruntung pengemudi mobil segera mengerem mobil dengan cepat sehingga Rafa bisa selamat.Aretha langsung berlari ke arah Rafa lal
Alvarendra berjalan dengan cepat keluar dari restoran lalu masuk ke dalam mobilnya. Dia mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi agar bisa secepatnya sampai di apartemen untuk menanyakan alasan Aretha menjual kalung berlian "the hope diamond"."Kalau Aretha butuh uang seharusnya bilang langsung kepadaku, bukan malah menjual kalung berlian "the hope diamond" miliknya." Sepanjang perjalanan Alvarendra terus menggerutu kesal.Setelah sampai di apartemennya Alvarendra langsung membuka pintunya sambil memanggil nama Aretha dengan keras."Aretha, Aretha, Aretha ....!"Alvarendra berjalan masuk ke dalam apartemennya, namun apartemennya terlihat sepi seperti tidak ada kehidupan di dalamnya."Kenapa sepi, apakah Aretha belum pulang?" Batin Alvarendra sambil mengedarkan pandangannya mencari keberadaan Aretha di beberapa ruangan, namun sama sekali tidak menemukan keberadaan Aretha di dalamnya.Dia akhirnya berjalan menuju ke kamarnya lalu masuk ke dalamnya. Pandangannya tanpa sengaja melihat
"Mungkin seperti ini jauh lebih baik, Aku menikah dengan Alvarendra demi uang agar tetap bisa melanjutkan kuliah serta membiayai pengobatan ibu. Sekarang aku sudah lulus kuliah dan ibu juga sudah meninggal dunia. Saatnya aku belajar mandiri agar tidak bergantung terus dengan Alvarendra." Kata Aretha berusaha tetap berpikir positif dengan apa yang terjadi."Lebih baik kita fokus jalani kehidupan kita sendiri, tidak perlu peduli dengan Alvarendra." Sahut Tasya."Sya, aku hamil." Aretha akhirnya memberi tahu tentang kehamilannya kepada Tasya.Tasya terkejut mendengar apa yang diucapkan oleh Aretha. "Apa hamil, kamu serius?" Tanyanya memastikan."Iya, tapi aku sangat bersyukur karena aku tidak sendirian ada bayi di dalam perut ini yang akan menemaniku." Jawan Aretha tersenyum sambil mengusap perutnya yang masih rata."Aretha, menjadi single parent bukankah hal yang mudah." Ujar Tasya mengingatkan."Dua tahun ini hidupku juga tidak mudah tapi aku berhasil melaluinya. Aku yakin ibu memilih
"Aretha!" Panggil Evan membuat Aretha mengangkat pandangannya menatap ke arahnya."Iya Kak?""Kenapa nggak dimakan soto ayamnya?" Tanya Evan melihat soto ayam di mangkuk Aretha masih banyak."Ini dimakan, Kak." Jawab Aretha kembali memakan soto ayamnya."Sepertinya Aretha sudah jatuh cinta dengan Alvarendra?" Batin Evan menyadari perubahan ekspresi di wajah Aretha setelah melihat berita akuisisi HR Group.Setelah selesai makan Evan mengantarkan Aretha ke apartemen Grand Luminor."Terima kasih Kak." Aretha tersenyum ke arah Evan setelah turun dari mobil."Sama-sama."Evan menatap ke arah Aretha yang berjalan masuk ke dalam apartemen Grand Luminor."Meskipun kita tidak ditakdirkan untuk kembali bersama, aku berharap kamu bisa hidup bahagia." Gumam Evan lirih.Aretha membuka pintu apartemennya terlihat gelap dan sepi menandakan Alvarendra belum pulang."Sepertinya Mas Alvarendra belum pulang?" Batin Aretha berjalan masuk ke dalam apartemen lalu menyalakan lampunya.Dia masuk ke dalam kam
Evan yang melihatnya segera menahan tub uh Aretha sehingga tidak jatuh ke lantai, mengangkatnya ke dalam gendongannya. Dia membawa Aretha menuju ruang rawat."Aretha baru berusia 21 tahun tapi sudah harus kehilangan ayahnya, dan sekarang juga kehilangan ibunya." Batin dokter Wilson menatap iba ke arah Aretha yang sedang digendong oleh Evan.Terdengar bisik-bisik beberapa dokter dan perawat yang melihat Evan menggendong Aretha."Beruntung Aretha mempunyai suami yang tidak hanya tampan, tapi juga begitu perhatian.""Aku juga mau punya suami yang tampan serta perhatian."Evan seolah menulikan pendengarannya, dia tetap menggendong Aretha tidak peduli dengan beberapa orang yang sedang membicarakannya.Evan merebahkan Aretha di atas ranjang rumah sakit. Dia menatap iba wajah pucat Aretha yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Wanita yang pernah menjadi kekasihnya memberi warna dalam kehidupannya kini terlihat begitu rapuh. Ada perasaan bersalah karena pernah menuduh Aretha yang t
"Dari awal sampai akhir aku tidak pernah berpikir untuk mengakuisisi HR GROUP secara menyeluruh. Kontrol mutlak merupakan strategi FR GROUP terhadap HR GROUP kali ini. Yang kalian maupun dunia luar lihat hanyalah perangkap." Ujar Alvarendra tegas menatap ke arah Ariana dengan seringai menghiasi wajah tampannya.DEGAriana tampak terkejut mendengar penuturan Alvarendra. "Jadi semua hanyalah perangkap?" Tanyanya menatap ke arah Alvarendra meminta penjelasan darinya."Iya. Tapi yang paling tidak ingin aku lihat hari ini adalah kamu. Walaupun tidak bisa melanjutkan hubungan kita, setidaknya kamu masih bisa menempati sebuah posisi dalam hatiku?" Terang Alvarendra menjelaskan membuat Ariana semakin terkejut mendengarnya."Sampai detik ini tidak ada seorang pun yang peduli denganku sama sekali. Ayah yang memaksaku untuk pergi meninggalkanmu, kepulanganku kali ini juga karena dipaksa olehnya." Raung Ariana dengan air matanya mengucur deras membasahi kedua pipinya, berharap Alvarendra akan ber
Breaking newsFR GROUP berhasil mendapatkan lebih dari 50% saham HR GROUP. Secara resmi mengambil alih kepemilikan perusahaan tersebut dengan kepemilikan saham mutlak.Ariana memegangi pipinya yang terasa panas setelah ditampar oleh ayahnya."Anak nggak tahu diri, bukankah aku sudah mengatakannya sejak awal untuk memanfaatkan hubunganmu dengan Alvarendra. Tapi apa yang kamu lakukan, Hah?" Bentak Pak Harry dengan suara keras menatap tajam ke arah Ariana, dadanya naik turun amarah telah menguasai dirinya. Perlahan kembali mengangkat tangannya tinggi-tinggi."Tampar saja, lagipula aku sudah nggak peduli." Ujar Ariana ketus ketika melihat ayahnya hendak menamparnya lagi.Pak Harry menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya secara perlahan berusaha mengendalikan emosi dalam dirinya."Ariana, asal kamu bisa mengatasinya maka HR GROUP akan ayah serahkan kepadamu." Pak Harry menurunkan tangannya membalikkan badannya berjalan menuju sofa lalu duduk di atas, memijat pelipis kepalanya y
Alvarendra meminta Fano untuk datang ke ruangannya."Iya Pak, ada apa?" Fano bertanya kepada Alvarendra setelah berada di dalam ruang CEO."Mari kita lihat sejauh mana perkembangan kondisi penyakit ibunya Aretha saat ini." Ujar Alvarendra menatap ke arah Fano."Bukankah waktu itu nggak peduli? Sekarang mau peduli nih." Monolong Fano tersenyum dalam hati."Kalau kekurangan dana buka rekening rumah sakit untuk biaya pengobatannya!""Baik Pak, kalau begitu nanti saya akan melihatnya dulu ke rumah sakit.""Untuk saat ini minta pihak rumah sakit agar tidak memberi tahu Aretha dulu!""Iya Pak, kalau begitu saya permisi." Pamit Fano keluar dari ruangan CEO."Kalau dilihat dari sikapnya sepertinya Pak Alvarendra tidak akan menceraikan Bu Aretha." Monolog Fano dalam hati keluar dari ruang CEO.Seperti permintaan Alvarendra, Fano pergi ke rumah sakit tempat ibunya Aretha dirawat."Selamat siang Pak." Sapa Fano kepada dokter Wilson setelah berada di dalam ruangannya."Siang juga, maaf anda siapa