Siang Kakak Kakak semuanya kira-kira ada apa dengan Al? Terima kasih kakak-kakak tetap setia bersama Al dan Gal (•‿•)。◕‿◕。(✷‿✷)(•‿•)
“Al?” panggil Livy tepat setelah membuka pintu ruang pembimbing siswa.Ketika satu kaki jenjang melangkah masuk, Livy tergugu di tempat. Ia sempat tersenyum menatap seorang wanita cantik berpakaian elegan sedang duduk didampingi dua orang pendidik.Kemudian, bola mata Livy bergeser sedikit, memperhatikan putra sulung yang berdiri di depan meja, saling berhadapan dengan seorang anak perempuan seusianya, tidak lain putri tunggal mendiang Jorge Marquez.“Terima kasih Bu Livyta bersedia datang, ini karena ….” Wali kelas Al melirik dua murid di tengah ruangan.“Iya sama-sama.” Livy mengambil napas dalam, memenuhi rongga dada dengan oksigen. “Sebenarnya apa yang terjadi, kenapa bertemu di sini?” tanyanya.Sebenarnya ibu dari Alessandro Javier Torres ini tidak bodoh, ia tahu tetapi ingin mendengar secara langsung dari mulut guru. Livy enggan menafsirkan sendiri kalau memang putranya dan anak perempuan itu ....“Kami mohon maaf mengganggu Anda, tapi ini penting—“Ucapan guru itu tepotong, ka
“Jadi benar kamu memukul Belle?” El melipat tangan depan dada, memandangi wajah putra sulungnya.Al sama sekali tidak gentar, bahkan anak itu berani menghadap El sendirian tanpa ditemani Livy. Saat ini, ia duduk di kursi kerja milik sang ayah, selalu membalas kontak mata, menunjukkan dirinya tidak salah—melakukan itu karena memiliki alasan kuat.“Iya betul, aku pukul dan dia jatuh ke atas meja. Kalau Daddy mau menghukum aku silakan,” jawab Al.Walaupun dalam hati menolak, bagaimanapun ia tetaplah seorang anak kecil, ingin disayang, dimanja serta dilindungi. Namun, Al mencoba berbesar hati bertanggung jawab atas perbuatannya.“Apa alasanmu? Mommy belum cerita apa pun, sekolah juga bilang kamu menyerangnya lebih dulu,” lanjut El penasaran.“Aku membela Mommy. Aku tidak suka Mommy-ku dihina, Belle jahat, mulutnya benar-benar menyeramkan,” ketus Al lalu membuang muka ke arah lain.El meninggikan satu alis dan bertanya, “Memang apa yang dia katakan?”Al mengedikkan bahu seraya menggeleng ke
“Kak, tadi pagi aku dengar Mommy dan Daddy membicarakan Kakak,” celoteh Gal dengan kelopak mata terbuka lebar.Ekor mata Al melirik tajam ke samping, ia yakin kedua orang tua pasti melarang menghubungi temannya. Padahal anak perempuan itu satu-satu teman yang ‘nyambung’ diajak bicara. Al menelan makanannya, lalu berkata, “Memangnya Daddy dan Mommy bilang apa?”“Ternyata Kakak penasaran juga.” Gal cekikikkan.“Siapa yang penasaran Gal? Lagi pula kamu ceritanya juga setengah, dasar tidak niat, seharusnya tidak boleh begitu.” Bibir Al maju beberapa senti.Seketika keheningan melanda ruang makan, sebab Livy dan El berjalan semakin mendekat. Kedua anak itu berubah menjadi sangat manis dan penurut.Gal menghabiskan sayur dan susunya dengan cepat, sedangkan Al mengunyah terburu-buru. Hari ini, Al akan menuntaskan waktu bersama adiknya, karena Livy dan El disibukkan pekerjaan kantor.Selama sarapan, tidak seorang pun membahas kawan bicara Al semalam. Anak itu juga enggan mendengar atau menja
“Mi Amor, maaf. Livy, dengarkan aku—“Sebelum El menuntaskan kalimatnya, Livy menimpali, “Aku tahu ini bukan pertama kali kamu lembur. Di awal pernikahan kita, kamu sering dinas ke luar negeri. Tapi … bukan seperti ini caranya.” Livy menghela napas, kecewa pada El, ia tidak menyangka suaminya pulang selarut ini. Pengalaman di masa lalu membuat semakin ketakutan, bahkan hatinya paling keras menggaungkan jika El bersama seorang wanita.“Kamu janji makan malam bersama kami.” Livy tersenyum sinis. “Tanpa telepon atau pesan, kamu memaksa aku dan anak-anakmu terlambat makan. Apa sesibuk itu?” tanya Livy memicingkan mata.“Mi Amor, aku tidak tahu kalian menungguku pulang,” lirih El sembari mengayunkan kaki mendekati Livy.Pria itu duduk di tepi ranjang, satu tangannya terjulur hendak meraih jemari lentik istri. Sayang, Livy bergerak lebih cepat, menarik dan menyembunyikan kedua tangan di balik selimut.“Aku minta maaf,” sesal El.Wajah lelah itu bercampur dengan penyesalan mendalam, El memba
“Siapa yang telepon?” tanya Al dan Gal saling melirik satu sama lain.Gal mengetuk-ngetuk dagu, bola matanya bergerak ke atas. Anak itu menerka-nerka, karena setelah mengintip ponsel El, hanya terdapat deret nomor. Al tahu itu bukan kerabat atau orang yang biasa menghubungi ayahnya.“Jangan diterima Dad! Itu orang asing,” tegas Al menatap intens wajah sang ayah.“Aneh ya, kenapa dia bisa tahu nomor telepon Daddy kita?” Gal menggembungkan pipi lalu berlari ke pangkuan Livy. “Mommy, tolong usir orang asing itu, kasihan Daddy!” Kedua tangan mungil Gal menangkup pipi ibunya.Sedangkan Livy diam membisu, tidak perlu melihat langsung, dari keterangan buah hatinya saja ia tahu siapa orang yang mengganggu suasana pagi. Ia mengembuskan napas kasar, hendak bangkit dan melanjutkan aktivitasnya.“Mommy mau ke mana? Kita ‘kan mau jalan-jalan,” celoteh Gal melingkarkan erat kedua tangannya ke leher Livy.“Mommy mau kerja, jalan-jalannya lain waktu saja ya. Pekerjaan di kantor sangat banyak,” ujar ib
“Kamu bilang semua makanan dimasak chef, ternyata bukan,” ketus Livy, bibir tipis semerah cherry itu maju beberapa senti.El mengulum senyum, darahnya berdesir, bulu kuduknya meremang ingin melahap candunya itu. Akan tetapi ia berusaha menahan diri, lantaran kata ‘maafnya’ belum diterima Livy.“Kenapa diam? Kamu itu membahayakan diri sendiri,” sambung bibir glossy.“Kamu terlalu memesona, akhirnya aku lupa jawab.” El tersenyum tanpa dosa, tak lama berteriak kesakitan, “Akh … ini sakit Mi Amor, pelan-pelan sedikit.”Livy mendengus kasar, kemudian melanjutkan kegiatannya, membersihkan luka di tangan El yang memanjang. Bukan sekadar terkena minyak panas, tetapi beberapa jari El terdapat luka dari benda tajam. Entah bagaimana cara El masak, karena tangannya mengenaskan.Satu jam lalu, setelah makan siang, Livy memutuskan kembali ke mansion lantaran tidak tega melihat suaminya beberapa kali meringis. Beruntung Al dan Gal mengerti, dua anak itu patuh tanpa membatah. “Selesai, itu akan hil
“Selama ini anak kita sering bertukar kabar,” sahut El terburu-buru menjelaskan. “Mungkin mereka membutuhkan kawan bicara,” sambungnya.“Mereka itu masih kecil El, bisa-bisanya kamu tidak melarang putrammu mengganggu putriku!” garang Arjuna, lalu mendengus kasar.“Sudahlah, tidak apa-apa. Mungkin kita bisa menjodohkan mereka.” Claudya—istri Arjuna, tersenyum lebar menampilkan deret gigi putih bersih.Ide dadakan itu disetujui oleh Livy, ia langsung mengangguk, karena sudah pasti Al memiliki masa depan cerah, bersanding dengan salah satu putri dari keluarga Caldwell. Terpenting lagi, ia yakin putri rekan bisnis suaminya memiliki perangai yang baik.“Aku setuju, tapi kita tidak perlu memikirkannya sekarang. Mereka juga masih terlalu kecil,” timpal Livy.“Apa?! Aku tidak bisa sembarang menentukan jodoh untuk Calantha dan Claira, calon suaminya harus melalui seleksi ketat,” ketus Arjuna melipat tangan depan dada.Sedangkan El dan Livy saling melirik, sepasang orang tua itu merasa khawatir
“Mi Amor, maaf. Ini tidak seperti pikiranmu,” ucap El mencoba menjelaskan kronologi sebenarnya.“Hu’um,” sahut Livy.Kedua tangan serta netra wanita itu fokus mengupas satu buah apel. Livy menulikan telinga, enggan memperkeruh suasana di waktu yang tidak tepat. Meskipun tidak dipungkiri, wajahnya lebih kaku, menolak menoleh El dan menjawab pertanyaan seadanya. Selesai mengupas serta memotong kecil-kecil apel, ia beranjak hendak mencuci tangan.“Livy, mau ke mana? Jangan pergi! Kemarilah duduk di sini.” El menepuk tepi ranjang.“Tanganku lengket, mau cuci tangan, apa kamu betah kalau tanganku kotor begini?” ketus bibir tipis semerah cherry itu.Tanpa menunggu jawaban dari mulut El, Livy melenggang pergi ke kamar mandi. Di depan cermin wastafel, ia meremas kain di dadanya, tidak tahu lagi harus melakukan apa karena ternyata suaminya itu masih menemui Nyonya Marquez.Setelah lima belas menit melamun di kamar mandi, Livy kembali menemui El, tampaknya di sana ada seorang dokter dan perawat