“Jadi benar kamu memukul Belle?” El melipat tangan depan dada, memandangi wajah putra sulungnya.Al sama sekali tidak gentar, bahkan anak itu berani menghadap El sendirian tanpa ditemani Livy. Saat ini, ia duduk di kursi kerja milik sang ayah, selalu membalas kontak mata, menunjukkan dirinya tidak salah—melakukan itu karena memiliki alasan kuat.“Iya betul, aku pukul dan dia jatuh ke atas meja. Kalau Daddy mau menghukum aku silakan,” jawab Al.Walaupun dalam hati menolak, bagaimanapun ia tetaplah seorang anak kecil, ingin disayang, dimanja serta dilindungi. Namun, Al mencoba berbesar hati bertanggung jawab atas perbuatannya.“Apa alasanmu? Mommy belum cerita apa pun, sekolah juga bilang kamu menyerangnya lebih dulu,” lanjut El penasaran.“Aku membela Mommy. Aku tidak suka Mommy-ku dihina, Belle jahat, mulutnya benar-benar menyeramkan,” ketus Al lalu membuang muka ke arah lain.El meninggikan satu alis dan bertanya, “Memang apa yang dia katakan?”Al mengedikkan bahu seraya menggeleng ke
“Kak, tadi pagi aku dengar Mommy dan Daddy membicarakan Kakak,” celoteh Gal dengan kelopak mata terbuka lebar.Ekor mata Al melirik tajam ke samping, ia yakin kedua orang tua pasti melarang menghubungi temannya. Padahal anak perempuan itu satu-satu teman yang ‘nyambung’ diajak bicara. Al menelan makanannya, lalu berkata, “Memangnya Daddy dan Mommy bilang apa?”“Ternyata Kakak penasaran juga.” Gal cekikikkan.“Siapa yang penasaran Gal? Lagi pula kamu ceritanya juga setengah, dasar tidak niat, seharusnya tidak boleh begitu.” Bibir Al maju beberapa senti.Seketika keheningan melanda ruang makan, sebab Livy dan El berjalan semakin mendekat. Kedua anak itu berubah menjadi sangat manis dan penurut.Gal menghabiskan sayur dan susunya dengan cepat, sedangkan Al mengunyah terburu-buru. Hari ini, Al akan menuntaskan waktu bersama adiknya, karena Livy dan El disibukkan pekerjaan kantor.Selama sarapan, tidak seorang pun membahas kawan bicara Al semalam. Anak itu juga enggan mendengar atau menja
“Mi Amor, maaf. Livy, dengarkan aku—“Sebelum El menuntaskan kalimatnya, Livy menimpali, “Aku tahu ini bukan pertama kali kamu lembur. Di awal pernikahan kita, kamu sering dinas ke luar negeri. Tapi … bukan seperti ini caranya.” Livy menghela napas, kecewa pada El, ia tidak menyangka suaminya pulang selarut ini. Pengalaman di masa lalu membuat semakin ketakutan, bahkan hatinya paling keras menggaungkan jika El bersama seorang wanita.“Kamu janji makan malam bersama kami.” Livy tersenyum sinis. “Tanpa telepon atau pesan, kamu memaksa aku dan anak-anakmu terlambat makan. Apa sesibuk itu?” tanya Livy memicingkan mata.“Mi Amor, aku tidak tahu kalian menungguku pulang,” lirih El sembari mengayunkan kaki mendekati Livy.Pria itu duduk di tepi ranjang, satu tangannya terjulur hendak meraih jemari lentik istri. Sayang, Livy bergerak lebih cepat, menarik dan menyembunyikan kedua tangan di balik selimut.“Aku minta maaf,” sesal El.Wajah lelah itu bercampur dengan penyesalan mendalam, El memba
“Siapa yang telepon?” tanya Al dan Gal saling melirik satu sama lain.Gal mengetuk-ngetuk dagu, bola matanya bergerak ke atas. Anak itu menerka-nerka, karena setelah mengintip ponsel El, hanya terdapat deret nomor. Al tahu itu bukan kerabat atau orang yang biasa menghubungi ayahnya.“Jangan diterima Dad! Itu orang asing,” tegas Al menatap intens wajah sang ayah.“Aneh ya, kenapa dia bisa tahu nomor telepon Daddy kita?” Gal menggembungkan pipi lalu berlari ke pangkuan Livy. “Mommy, tolong usir orang asing itu, kasihan Daddy!” Kedua tangan mungil Gal menangkup pipi ibunya.Sedangkan Livy diam membisu, tidak perlu melihat langsung, dari keterangan buah hatinya saja ia tahu siapa orang yang mengganggu suasana pagi. Ia mengembuskan napas kasar, hendak bangkit dan melanjutkan aktivitasnya.“Mommy mau ke mana? Kita ‘kan mau jalan-jalan,” celoteh Gal melingkarkan erat kedua tangannya ke leher Livy.“Mommy mau kerja, jalan-jalannya lain waktu saja ya. Pekerjaan di kantor sangat banyak,” ujar ib
“Kamu bilang semua makanan dimasak chef, ternyata bukan,” ketus Livy, bibir tipis semerah cherry itu maju beberapa senti.El mengulum senyum, darahnya berdesir, bulu kuduknya meremang ingin melahap candunya itu. Akan tetapi ia berusaha menahan diri, lantaran kata ‘maafnya’ belum diterima Livy.“Kenapa diam? Kamu itu membahayakan diri sendiri,” sambung bibir glossy.“Kamu terlalu memesona, akhirnya aku lupa jawab.” El tersenyum tanpa dosa, tak lama berteriak kesakitan, “Akh … ini sakit Mi Amor, pelan-pelan sedikit.”Livy mendengus kasar, kemudian melanjutkan kegiatannya, membersihkan luka di tangan El yang memanjang. Bukan sekadar terkena minyak panas, tetapi beberapa jari El terdapat luka dari benda tajam. Entah bagaimana cara El masak, karena tangannya mengenaskan.Satu jam lalu, setelah makan siang, Livy memutuskan kembali ke mansion lantaran tidak tega melihat suaminya beberapa kali meringis. Beruntung Al dan Gal mengerti, dua anak itu patuh tanpa membatah. “Selesai, itu akan hil
“Selama ini anak kita sering bertukar kabar,” sahut El terburu-buru menjelaskan. “Mungkin mereka membutuhkan kawan bicara,” sambungnya.“Mereka itu masih kecil El, bisa-bisanya kamu tidak melarang putrammu mengganggu putriku!” garang Arjuna, lalu mendengus kasar.“Sudahlah, tidak apa-apa. Mungkin kita bisa menjodohkan mereka.” Claudya—istri Arjuna, tersenyum lebar menampilkan deret gigi putih bersih.Ide dadakan itu disetujui oleh Livy, ia langsung mengangguk, karena sudah pasti Al memiliki masa depan cerah, bersanding dengan salah satu putri dari keluarga Caldwell. Terpenting lagi, ia yakin putri rekan bisnis suaminya memiliki perangai yang baik.“Aku setuju, tapi kita tidak perlu memikirkannya sekarang. Mereka juga masih terlalu kecil,” timpal Livy.“Apa?! Aku tidak bisa sembarang menentukan jodoh untuk Calantha dan Claira, calon suaminya harus melalui seleksi ketat,” ketus Arjuna melipat tangan depan dada.Sedangkan El dan Livy saling melirik, sepasang orang tua itu merasa khawatir
“Mi Amor, maaf. Ini tidak seperti pikiranmu,” ucap El mencoba menjelaskan kronologi sebenarnya.“Hu’um,” sahut Livy.Kedua tangan serta netra wanita itu fokus mengupas satu buah apel. Livy menulikan telinga, enggan memperkeruh suasana di waktu yang tidak tepat. Meskipun tidak dipungkiri, wajahnya lebih kaku, menolak menoleh El dan menjawab pertanyaan seadanya. Selesai mengupas serta memotong kecil-kecil apel, ia beranjak hendak mencuci tangan.“Livy, mau ke mana? Jangan pergi! Kemarilah duduk di sini.” El menepuk tepi ranjang.“Tanganku lengket, mau cuci tangan, apa kamu betah kalau tanganku kotor begini?” ketus bibir tipis semerah cherry itu.Tanpa menunggu jawaban dari mulut El, Livy melenggang pergi ke kamar mandi. Di depan cermin wastafel, ia meremas kain di dadanya, tidak tahu lagi harus melakukan apa karena ternyata suaminya itu masih menemui Nyonya Marquez.Setelah lima belas menit melamun di kamar mandi, Livy kembali menemui El, tampaknya di sana ada seorang dokter dan perawat
Keesokan harinya El bangun lebih pagi, bukan tanpa alasan melainkan berusaha menebus kesalahannya. Semalam setelah percakapan panjang dan serius, Livy tidak tidur satu ranjang dengannya, wanita itu memilih memejamkan mata beralaskan sofa.Pagi ini El sibuk memimpin chef di dapur, pria itu menginginkan menu spesial lantas membawanya ke kamar. “Letakkan di sana!” El menunjuk meja tepat di samping sofa.Pria itu tersenyum simpul lantaran Livy-nya masih nyenyak. El benar-benar menyesal karena kejadian di rumah sakit. Ia tidak tahu kalau tangannya dipegang wanita lain.Sebelum membangunkan Livy, ia berdeham dan berujar, “Mi Amor! Ayo bangun! Sarapan untukmu sudah siap.” Mendengar suara lembut, menenangkan tetapi menyebalkan, membuat Livy mengerjap mata, tetapi enggan membalik tubuh menghadap El. Wanita itu juga tidak mau wajahnya dilihat oleh sang suami.“Mi Amor? Kamu mau tidur lagi? Tidak biasanya,” ucap El keheranan. “Masih marah?” tanyanya hati-hati.“Hu’um,” jawab Livy bukannya mele
“Ini sudah siang, di mana Al? Dia bilang olahraga di sekitar hotel,” gusar Livy bolak-balik melihat jam digital.“Periksa saja kamarnya, anak itu senang kabur, menyelinap masuk dan seolah tidak terjadi sesuatu,” jawab El begitu enteng sembari bermain lego bersama An.Livy mendengus kasar mendengar jawaban sang suami. Ia ingin sekali mengahancurkan susunan lego yang terhampar luas di atas lantai. Suaminya itu bukan mencari keberadaan Al malah asyik bermain seperti anak kecil. Alhasil ibu tiga anak itu membuka pintu kamar Al, ternyata kosong.“Al belum pulang,” lirih Livy melirik putra kedua yang asyik bermain game.Akibat kesal, tidak ada yang peduli pada perasaannya, Livy mengunjungi pusat kebugaran serta taman hotel. Memang banyak orang menggunakan fasilitas untuk olahraha, tetapi setengah jam ia mengamati, tidak menemukan putra sulungnya.“Di mana kamu Al?” Livy memijat pelipis.Ketika ia berjalan menuju lobi, Livy tercenung melihat El menggendong An, berjalan tergesa-gesa, diikuti
“Kenapa kamu di sini?” Kedua bola mata Al berbinar menatap sosok gadis cantik di depannya.“Menurumu, untuk apa aku di sini?” goda anak kecil yang kini menjelma menjad remaja luar biasa.“Mommy-mu di sini?” Al menolehkan kepala ke kanan dan kiri.Gadis itu terkekeh geli melihat tingkah teman baiknya. Lalu mendekati Al yang masih kebingungan, sebab ini Swiss bukan New York, lintas benua yang tidak mudah dilalui hanya dengan satu atau dua jam.“Tentu saja Al, aku menemani Mommy,” sahut anak itu.“Ah, aku pikir kamu nyasar. Bagaimana kabarmu Belle?” Al maju satu langkah hendak mengulurkan tangan.Namun, gadis itu mundur satu langkah dengan wajah tersipu, tetapi pandangannya tidak teralihkan dari Al. Seakan kehabisan kosakata, Belle bungkam, tidak menjawab pertanyaan Al. Anak itu larut dalam pesona remaja tampan di hadapannya.Tidak ingin semakin salah tingkah, Belle meraih minuman tinggi gula, lantas meneguknya. Membuat Al semakin mengikis jarak.Bahkan, putra sulung El dan Livy, merebu
“Mi Amor?!” pekik El, melihat Livy berjalan gontai di tengah ramainya orang berlalu-lalang.“Mom, ada apa?!”Seketika El, Al, dan Gal berlarian menghampiri Livy. Bahkan El memapah tubuh wanitanya yang gemetaran.“An … di-a menghilang.” Tangis Livy pecah, perhatian semua orang tertuju pada keluarga kecil itu.Setelah mendengar hal itu, Al dan Gal bergegas ke toilet wanita, mereka masuk tanpa izin, hingga para pengguna kamar kecil berteriak. Tak sedikit dari beberapa orang melempar dengan sepatu. “Kak, bagaimana ini? An benar-benar menghilang.” Gal tidak menyangka hari istiewa yang dinanti berujung petaka.“Ayo temui Mom dan Daddy,” ajak Al menyeret pergelangan tangan adik laki-laki. Walaupun perih menjalar, Gal tidak peduli, karena saat ini paling penting menemukan keberadaan Antonia. Pikiran dua remaja tampan itu khawatir adiknya diculik, tetapi mengingat belakang ini tidak ada sesuatu yang mencurigakan, hal itu pun mustahil.Livy dan El menuju ruang keamanan, di susul Al dan Gal.
“Berisik!” teriak seorang gadis kecil, menutup telinga dan memelotot menatap dua remaja di depannya.“Anak nakal!” seru suara bass sambil menunjuk penuh amarah. “Itu milikku!”“Ambil saja kalau berani!” sahut remaja satunya lagi.Dalam beberapa tahun berlalu, putra dan putri Livy tumbuh pesat. Ketiganya meramaikan mansion, terutama ketika momen liburan seperti sekarang.Di mana, bukan hanya Al, Gal dan An berkumpul, tetapi Estelle serta para sepupu lain turut menyumbang suara di Mansion Torres.“Kalian itu sudah besar kenapa bertingkah seperti kami?!” lontar An menatap gemas dua kakak laki-lakinya.“Galtero merebut laptopku!” geram Al, “Adik nakal, seharusnya kamu ikut Daddy dan Mommy ke pertemuan bisnis, bukan menjadi pengganggu!” Kalimat pedas Al tertuju pada adiknya.Tidak ingin acara bermainnya terusik, An melangkah maju, mendekati kakak keduanya. Bocah itu bertolak pinggang, menjulurkan tangan, meminta secara baik-baik supaya Gal mengembalikan laptop Al. Akan tetapi, Galtero sang
“Jika itu sakit tidak mungkin Livy hamil sampai tiga kali!” jawab El.Livy langsung menundukkan wajah, entah dari mana suaminya bisa memiliki jawaban memalukan seperti itu. Jujur, saat ini ia kehilangan muka di hadapan adik ipar. Bukan hanya adik ipar, tetapi ibu mertua yang mendadak masuk kamar. Seketika, ingin sekali Livy melempar bantal pada wajah tampan suami.“Sudah, tidak perlu dibahas. Itu rahasia ranjang,” celetuk Mom Pamela setelah melihat kulit pipi menantu berubah masak.“Tapi … aku penasaran Mom. Setidaknya aku tahu, ternyata tidak sakit.” Tawa Estefania sambil menubrukkan bahu ke lengan Livy.Rasa malu Livy semakin menggunung ketika El sengaja menghampiri, merunduk, lalu menaruh ibu jari di bawah dagu, perlahan menariknya, mempertemukan dua bibir.“Wah, romantis sekali. Tapi seharusnya kalian tidak pamer kemesraan,” ucap Estefania dengan lemas. “Luis belum pulang. Huh, kenapa dia betah sekali di NYC mengunjungi kakak sepupunya, padahal kami lebih membutuhkan,” sambungnya
[Kak El, cepat ke mansion utama! Sepertinya Livy mengalami kontraksi.]Isi pesan Estefania, dikirim secara diam-diam, sebab Livy selalu menolak. Wanita itu berdalih berdasarkan pengalaman, belum waktunya bersalin.Kedua wanita itu entah sudah berapa putara mengelilingi taman mansion yang luas. Estefania dibanjiri keringat, sama seperti Livy. Akan tetapi, ibu hamil itu enggan mengakhiri kegiatan olahraga ringan.“Akh … tidak apa-apa, semakin terasa sakit, maka waktu bertemu kita lebih cepat,” gumam ibu dari Al dan Gal, membelai bagian bawah perut, seakan mengetahui di sanalah letak kepala bayi.“Mommy percaya kita bisa Nak. Kakak Al dan Gal tidak sabar bermain denganmu,” sambung Livy sembari terkekeh pelan.Sementara Estefania berlinang air mata, menatap Livy sesekali meringis, keringat bercucuran dari kening, bahkan bagian punggung tampak basah.Wanita berambut pirang itu sesenggukan karena ia selalu mengeluh tidak mau mengandung dan melahirkan lagi. Sebab, adik bungsu El merasa tidak
“Ternyata kamu masih mengingatnya, aku tidak suka! Di dalam sini dan sini.” El menunjuk kepala serta dada Livy. “Hanya ada aku, pria lain tidak boleh!”Setelah mengatakan itu, El masuk ke mansion lebih dulu, tujuannya bukan ruang kerja atau kamar.Puas menikmati pemandangan langit malam serta suasana kota yang diramaikan pejalan kaki, El memutuskan membawa Livy pulang.Tadi, dalam perjalanan menuju mansion, El penasaran alasan wanitanya sangat menyukai kopi di café itu tetapi enggan berkunjung.Rupanya, di tempat itu Livy kerap menghabiskan waktu, membuang lelah serta perih karena memikirkan nasib pernikahannya bersama Sergio. “Mommy, bagaimana Bibi Es? Apa adik bayi sudah lahir?” tanya Al antara khawatir dan gembira.“Estefania sakit perut karena terlalu banyak makan pedas. Doakan yang terbaik untuk Bibi ya.” Livy memulas senyum lantas memberi kecupan sebelum tidur pada kedua buah hati.Wanita berperut besar itu melangkah ke kamar, ia membersihkan kulit dari sisa-sisa debu. Menggant
“Kita mau ke mana Mi Amor?!” Dahi El berkerut cukup dalam.Pria itu tidak tahu apa pun, tanpa basa-basi Livy membuka pintu kamar, langsung menarik pergelangan tangan sang suami.“Hati-hati jalannya Mi Amor, sebenarnya ada apa? Kenapa kita buru-buru begini?” El mengamati wajah cantik Livy dihiasi garis kecemasan.“Nanti saja di mobil, ini penting El.” Livy tak melepas tangannya dari pergelangan El. “Tolong kemudikan dengan cepat Pak,” pinta wanita itu tanpa memberi perintah dan arah tujuan.Merasa terdapat sesuatu yang genting, El menjelaskan secara perlahan pada sopir untuk mempersiapkan mobil. Bahkan pria itu harus menambah stok kesabaran, lantaran Livy tidak bisa diam karena menarik-narik lengan kaos.Setelah duduk nyaman, kendaraan roda empat melaju menuju kediaman William. Terlebih dahulu, Livy meneguk setengah botol air mineral.“Pelan-pelan Mi Amor! Kamu bisa tersedak!” Nada peringatan El membuat sopir berjengit. “Lanjutkan, jangan berhenti!” titahnya pada pria di balik setir.“T
“Kenapa membeli pakaian bayi sebanyak ini, Es? Dia tumbuh cepat, dan berakhir tidak terpakai semua.” Livy melihat adik iparnya tersenyum lebar sambil memerintah maid merapikan kamar bayi. “Kamu tahu Livy, aku sudah tidak sabar berbelanja pakaian bayi sejak kita mendekor kamar anaknya Abril. Akhirnya sekarang Luis mengizinkan aku keluar, ah senangnya.” Estefania menjentikkan telunjuk pada maid. “Lemarinya digeser sedikit, ranjangnya jangan terlalu dekat dengan jendela!”Beberapa bulan berlalu, kandungan para ibu hamil itu telah memasuki tri semester tiga. Apalagi Estefania kurang dari satu bulan lagi melahirkan. Paska terjadi hal tidak diinginkan di salon, wanita itu terpeleset dan mengalami pendarahan ringan. Luis sangat posesif, melarang Etefania melakukan kegiatan apa pun, termasuk belanja kebutuhan bayi.Estefania melirik Livy. “Lalu kamu sudah membeli apa saja?”“Oh itu, karena dokter bilang calon anak ketiga kami laki-laki, kebetulan beberapa baju bayi Al dan Gal masih ku simpa