“Mi Amor, maaf. Ini tidak seperti pikiranmu,” ucap El mencoba menjelaskan kronologi sebenarnya.“Hu’um,” sahut Livy.Kedua tangan serta netra wanita itu fokus mengupas satu buah apel. Livy menulikan telinga, enggan memperkeruh suasana di waktu yang tidak tepat. Meskipun tidak dipungkiri, wajahnya lebih kaku, menolak menoleh El dan menjawab pertanyaan seadanya. Selesai mengupas serta memotong kecil-kecil apel, ia beranjak hendak mencuci tangan.“Livy, mau ke mana? Jangan pergi! Kemarilah duduk di sini.” El menepuk tepi ranjang.“Tanganku lengket, mau cuci tangan, apa kamu betah kalau tanganku kotor begini?” ketus bibir tipis semerah cherry itu.Tanpa menunggu jawaban dari mulut El, Livy melenggang pergi ke kamar mandi. Di depan cermin wastafel, ia meremas kain di dadanya, tidak tahu lagi harus melakukan apa karena ternyata suaminya itu masih menemui Nyonya Marquez.Setelah lima belas menit melamun di kamar mandi, Livy kembali menemui El, tampaknya di sana ada seorang dokter dan perawat
Keesokan harinya El bangun lebih pagi, bukan tanpa alasan melainkan berusaha menebus kesalahannya. Semalam setelah percakapan panjang dan serius, Livy tidak tidur satu ranjang dengannya, wanita itu memilih memejamkan mata beralaskan sofa.Pagi ini El sibuk memimpin chef di dapur, pria itu menginginkan menu spesial lantas membawanya ke kamar. “Letakkan di sana!” El menunjuk meja tepat di samping sofa.Pria itu tersenyum simpul lantaran Livy-nya masih nyenyak. El benar-benar menyesal karena kejadian di rumah sakit. Ia tidak tahu kalau tangannya dipegang wanita lain.Sebelum membangunkan Livy, ia berdeham dan berujar, “Mi Amor! Ayo bangun! Sarapan untukmu sudah siap.” Mendengar suara lembut, menenangkan tetapi menyebalkan, membuat Livy mengerjap mata, tetapi enggan membalik tubuh menghadap El. Wanita itu juga tidak mau wajahnya dilihat oleh sang suami.“Mi Amor? Kamu mau tidur lagi? Tidak biasanya,” ucap El keheranan. “Masih marah?” tanyanya hati-hati.“Hu’um,” jawab Livy bukannya mele
“Perempuan, Tuan Kecil. Beliau—“ Buru-buru Al menyela, “Hah perempuan, cepat usir. Kita tidak boleh membuat Mommy menangis lagi!” seru bocah itu. “Ayo Gal, kita temui perempuan di bawah sana!” ajak Al menarik paksa tangan adiknya.“Hu’um kakak benar! Kita tidak boleh diam saja,” sahut Gal sama antusiasnya.Kedua anak itu berlari tergesa-gesa menuruni anak tangga, meninggalkan Kepala Pelayan yang mendadak membisu melihat tingkah Tuan Kecilnya.“Tapi Tuan Kecil tidak boleh melakukan itu!” seru Kepala Pelayan, akhirnya bukan menyelesaikan tujuan, malah mengejar Al dan Gal.Dua anak itu tiba dengan cepat di lantai satu, mereka melihat seorang wanita tengah duduk di ruang tamu. Namun, alis Al dan Gal menekuk tajam, netra biru safirnya saling berpandangan dan menyiratkan pertanyaan.“Jadi itu tamu perempuannya?” tunjuk Al.Gal mengangguk. “Sepertinya iya Kak, tapi … kenapa mirip dengan—“Al berteriak keras, “Bibi Estefania?”Seketika, wanita berambut pirang yang duduk di sofa sembari memba
“Sudah biarkan saja, mereka aman bersama Estefania. Kepala Pengawal juga ada di sana, kemarilah duduk bersamaku,” ajak El hendak menautkan jemarinya dengan jari-jari Livy.“Tapi …” Livy menolak, ia malah menggigit bibir bawah dan menghela napas. “Perasaanku tidak enak.” Kemudian ia menoleh El, dan merengut. “Aku belum memaafkan kamu!”Di tempat berbeda tepatnya di mansion, El masih berusaha meluluhkan hati Livy. Pria itu tahu, telah melakukan kesalahan merusak kepercayaan sang istri. Untuk memulihkannya memerlukan waktu tidak sebentar.Tadi, ketika Estefania berkunjung, El seolah mendapat bantuan, oleh karena itu ia menitipkan buah hatinya. Bos Torres Inc ini ingin memiliki waktu berdua bersama sang istri.“Iya aku tahu Mi Amor, tidak ada salahnya duduk. Aku juga mau menelepon Paman Alonso.” El mendaratkan bokong di sofa, lalu mengeluarkan ponsel dari saku celana.Pria itu menekan layar pipih, sesekali ekor matanya melirik Livy—yang terus memandang ke luar jendela. El mengulum senyum,
“Seharusnya pengusaha itu pintar El, kamu memang bodoh!” desis mendiang istri Jorge Marquez. Sorot mata wanita itu penuh luka dan dengki, apalagi sekarang dilengkapi dengan pipi merah akibat hukuman dari ayah mertua.“Jangan menghina orang lain! Aku malu memiliki menantu sepertimu!” hardik Tuan Besar Marquez.Wanita itu berdecih sinis, lalu mengusap kasar mata yang hampir mengeluarkan bulir bening. Ibu kandung Belle mengalihkan pandangan ke sudut lain, menolak bertatap dengan El dan ayah mertua.Sesaat, El memandang Tuan Besar Marquez, lalu memusatkan atensi pada wanita cantik di hadapannya. Ia meredam emosi karena … sejujurnya merasa iba sekaligus dendam akibat tingkah arogannya.“Baiklah, aku memang bodoh, kalau begitu katakan apa alasanmu membenciku terutama istri dan anak-anakku?!” El mengulang pertanyaan dan bersiap mendengar jawaban menyakitkan.“Karena kalian ….” Bahu wanita itu berguncang. “Aku membenci istrimu! Kalian penyebab suamiku meninggal, aku sangat mencintai Jorge, k
“Kata siapa? Aku belum me—“ Kalimat Livy terhenti karena bibir tipisnya bertemu dengan mulut sang suami. Pria itu tidak sabaran melumat candunya, apalagi semenjak Livy merajuk, El menahan diri tidak menyentuh.Satu tangan El tidak melepaskan rangkulan, satunya lagi berusaha melepas helaian pakaian yang menghalangi. Dikarenakan musim dingin, pria itu cukup kesulitan menanggalkan baju berlapis.Hingga Livy yang semula terbuai sentuhan memanjakan serta memabukkan itu segera tersadar. Ia memaksakan diri menjauh dari tubuh El.Napas wanita itu terengah-engah, seakan telah melakukan kegiatan menguras tenaga. Livy menyeka bibir yang basah akibat ulah sang suami. Ia memicingkan mata, sebab bibirnya sedikit bengkak.“Aku malu, bagaimana kalau ada yang lihat?” gerutu Livy.“Ya sudah kita pindah ke kamar, aku merindukanmu Mi Amor,” desah El kembali tak sabaran, hendak menggendong Livy-nya.Namun, lagi-lagi ibu dari Al dan Gal menggeser tubuh, menghindari sentuhan El. Wanita itu menggelengkan kep
“Hi Dad, Mom.” Al menyengir tanpa dosa, karena memang anak itu tidak tahu kesalahannya.“Kenapa kamu menghubungi anak itu lagi? Bukankah aku bilang jangan ganggu dia!” El memijat pelipis yang terasa pusing. “Daddy-nya tidak suka mereka dekat anak laki-laki, jadi … menjauhlah!” Ia mengibaskan tangan.Mendengar pernyataan itu membuat El kebingungan, apa alasan orang tua temannya itu melarang berkomunikasi? Padahal selama ini Al tidak pernah melakukan kenakalan.Meskipun terkadang terlihat dewasa, Al tetaplah anak-anak yang tidak mengerti isi pikiran pria matang terutama para ayah. Anak itu mengerjapkan mata jernihnya menatap Livy dan El, lalu mengangkat bahu.“Begini jagoan … biasanya seorang ayah akan menjaga dengan sepenuh jiwa dan raga putri kecilnya, dan tidak mau kehilangan kasih sayang dari anak perempuannya karena direbut orang lain.”Ucapan El menambah kadar kebingungan menyelimuti isi kepala Al. Anak itu geleng-geleng kepala, dan melirik Livy di balik punggung sang ayah, seolah
“Kamu belum pulang Belle?” Al memicingkan mata melihat Belle duduk termenung.Iris biru safir anak itu berkeliling memandang sekitar sekolah yang sepi, karena tiga puluh menit lalu jam pelajaran telah usai. Sedangkan ia memang sengaja keluar lebih lama, karena Livy memberi kabar menjemput terlambat.Al merasa aneh, biasanya sopir Belle menjemput sangat awal, anak perempuan itu juga keluar kelas lebih awal. Ini pertama kali Al bertemu Belle di area tunggu siswa. Belle hanya menggeleng pelan, kepalanya tertunduk karena enggan terlibat percakapan panjang bersama Al. Gadis kecil itu juga masih marah karena sikap kasar Al belakang ini.“Ya sudah kalau begitu, aku pulang duluan. Lebih baik kamu menunggu ditemani guru atau penjaga sekolah!” saran Al sebelum akhirnya melenggang pergi.Di saat bersamaan, Livy baru saja menginjakkan kaki di pelataran sekolah. Ibu dua anak itu terengah-engah akibat berlari dari area parkir, khawatir putra sulungnya menunggu lama.Livy tersenyum manis dan hangat