“Kata siapa? Aku belum me—“ Kalimat Livy terhenti karena bibir tipisnya bertemu dengan mulut sang suami. Pria itu tidak sabaran melumat candunya, apalagi semenjak Livy merajuk, El menahan diri tidak menyentuh.Satu tangan El tidak melepaskan rangkulan, satunya lagi berusaha melepas helaian pakaian yang menghalangi. Dikarenakan musim dingin, pria itu cukup kesulitan menanggalkan baju berlapis.Hingga Livy yang semula terbuai sentuhan memanjakan serta memabukkan itu segera tersadar. Ia memaksakan diri menjauh dari tubuh El.Napas wanita itu terengah-engah, seakan telah melakukan kegiatan menguras tenaga. Livy menyeka bibir yang basah akibat ulah sang suami. Ia memicingkan mata, sebab bibirnya sedikit bengkak.“Aku malu, bagaimana kalau ada yang lihat?” gerutu Livy.“Ya sudah kita pindah ke kamar, aku merindukanmu Mi Amor,” desah El kembali tak sabaran, hendak menggendong Livy-nya.Namun, lagi-lagi ibu dari Al dan Gal menggeser tubuh, menghindari sentuhan El. Wanita itu menggelengkan kep
“Hi Dad, Mom.” Al menyengir tanpa dosa, karena memang anak itu tidak tahu kesalahannya.“Kenapa kamu menghubungi anak itu lagi? Bukankah aku bilang jangan ganggu dia!” El memijat pelipis yang terasa pusing. “Daddy-nya tidak suka mereka dekat anak laki-laki, jadi … menjauhlah!” Ia mengibaskan tangan.Mendengar pernyataan itu membuat El kebingungan, apa alasan orang tua temannya itu melarang berkomunikasi? Padahal selama ini Al tidak pernah melakukan kenakalan.Meskipun terkadang terlihat dewasa, Al tetaplah anak-anak yang tidak mengerti isi pikiran pria matang terutama para ayah. Anak itu mengerjapkan mata jernihnya menatap Livy dan El, lalu mengangkat bahu.“Begini jagoan … biasanya seorang ayah akan menjaga dengan sepenuh jiwa dan raga putri kecilnya, dan tidak mau kehilangan kasih sayang dari anak perempuannya karena direbut orang lain.”Ucapan El menambah kadar kebingungan menyelimuti isi kepala Al. Anak itu geleng-geleng kepala, dan melirik Livy di balik punggung sang ayah, seolah
“Kamu belum pulang Belle?” Al memicingkan mata melihat Belle duduk termenung.Iris biru safir anak itu berkeliling memandang sekitar sekolah yang sepi, karena tiga puluh menit lalu jam pelajaran telah usai. Sedangkan ia memang sengaja keluar lebih lama, karena Livy memberi kabar menjemput terlambat.Al merasa aneh, biasanya sopir Belle menjemput sangat awal, anak perempuan itu juga keluar kelas lebih awal. Ini pertama kali Al bertemu Belle di area tunggu siswa. Belle hanya menggeleng pelan, kepalanya tertunduk karena enggan terlibat percakapan panjang bersama Al. Gadis kecil itu juga masih marah karena sikap kasar Al belakang ini.“Ya sudah kalau begitu, aku pulang duluan. Lebih baik kamu menunggu ditemani guru atau penjaga sekolah!” saran Al sebelum akhirnya melenggang pergi.Di saat bersamaan, Livy baru saja menginjakkan kaki di pelataran sekolah. Ibu dua anak itu terengah-engah akibat berlari dari area parkir, khawatir putra sulungnya menunggu lama.Livy tersenyum manis dan hangat
“Kamu merindukan Daddy-mu?” tanya El tercekat di tenggorokan, lalu diangguki Belle.Seketika Al dan Gal ikut menarik napas, seolah enggan berbagi pelukan sang ayah dengan orang lain. Kedua anak itu saling memandang, menyelami bola mata masing-masing, tetapi tidak sepatah kata pun keluar dari mulut.Namun, Al dan Gal masih teringat tingkah jahat Belle, tetapi mereka juga tidak tega melihat wajah memerah anak itu.Livy yang berada di sebelah Gal mengerti arti saling pandang kedua putranya. Ibu dua anak ini menaruh satu tangan di bahu Gal, hingga kakak beradik itu menoleh sang ibu.Livy mengangguk kecil, sebagai jawaban agar putranya turut mengizinkan permintaan gadis kecil. Akhirnya, Al dan Gal kompak menggerakkan kepala lalu menghela napas.“Dad, kasihan dia,” kata Al enggan mengeluarkan kalimat lebih banyak.Seakan mendapat dorongan dari ketiga orang tersayang, perlahan El menggapai tubuh Belle. Pria itu menepuk bahu dan punggung, lalu memeluk putri kecil rivalnya. El berbisik, “Jadil
Lagi-lagi kekesalan Al belum berakhir, pasalnya ia diminta melakukan misi rahasia oleh Estefania. Bukan hanya anak itu tetapi Gal juga terlibat. Alhasil dua putra Livy itu sekarang tengah duduk di kursi salah satu café pusat kota. Al memilih mengunyah makanan dengan cepat, berbeda dengan Gal bermain di arena permainan ditemani babysitter.“Jadi anakmu dua?” tanya seorang pria dengan suara berat.“Hu’um, aku ini ibu tunggal. Aku sengaja menceraikan suamiku, karena bagiku menikah itu tidak menyenangkan,” tutur Estefania sembari menusuk potongan buah dengan garpu.Mendengar hal itu tentu saja Al hampir tersedak, ia memang bukan anak kecil yang tidak pernah berbohong. Akan tetapi diperintah bersandiwara seperti ini, bukanlah ciri khasnya.‘Bibi Es bisa-bisanya berbohong, kasihan sekali Paman,’ batin El mengeluh.“Jadi berapa usiamu anak kecil?” tanya pria yang identitasnya belum diketahui Al.“Sebentar lagi aku tujuh tahun. Memangnya kenapa Paman?” Al menggeser bola mata, memandangi waja
“Kamu benar-benar keterlaluan Es! Tahu apa yang kamu lakukan?!” geram El tidak tertahan lagi. “Kamu menipunya, dia itu rekan bisnis kita yang baru.” El mengusap wajah dengan kasar.Seketika nyali Estefania menciut, wanita berusia matang itu menundukkan kepala. Ia memang selamat dari amukan Dad Leon, tetapi terperangkap bersama El.“Maafkan aku Kak. Aku … belum mau menikah,” cicit wanita itu.El mendengus sebal lantas berdiri dari duduknya dan bertolak pinggang sembari berjalan mondar-mandir. Ketika kedua tangan hendak menggebrak meja, dengan cepat Livy menahannya.Ibu dua anak itu menyentuh bahu kokoh sang suami, dan membelai dada bidang, berusaha menenangkan El. Bahkan menyandarkan kepala pada lengan suaminya.“Tenanglah, ini bisa dibicarakan baik-baik. Bukankah kamu sudah janji tidak menyelesaikan masalah dengan marah-marah?” Livy berjinjit lantas mengecup pipi El. “Anak-anak takut melihat Daddy-nya ngamuk begini.”“Kamu benar Mi Amor, seharusnya aku lebih mengontrol emosi. Tapi ….”
“Belle?” panggil Al ketika alunan melodi pengantar istirahat terdengar ke penjuru sekolah.“Ada apa?” tanya gadis kecil itu dengan suara lemah.Al menarik napas lalu mengembuskan dengan perlahan. Meskipun tadi pagi Daddy-nya tidak murka, dan hanya menegur Al, tetap saja anak itu merasa bersalah. Apalagi pada Luis dan Estefania, Al seolah mengkhianati dua orang dewasa itu.Di satu sisi minta maaf pada Luis, dan sisi lain mengharuskan ia membantu rencana Estefania. Al dan Gal berada di tengah-tengah orang dewasa yang menyebalkan.“Apa kamu mengenal Paman Luis? Aku lihat orang itu dekat sekali denganmu.” Selidik Al, bersiap merekam percakapan dengan jam tangan.Belle manggut-manggut lalu tertawa kecil. Gadis kecil itu teringat cerita Luis tentang pertemuannya bersama seorang janda anak dua yang sangat cantik. “Aku setuju Pamanku menikah dengan Bibimu,” celetuk Belle membuat alis Al menekuk dalam.“Paman? Tapi namanya Luis William, bukan Luis Marquez, jangan mengaku-aku!” Al berdecak seba
“Kenapa pegang-pegang?!” geram Estefania.Wanita berambut pirang, hidung mancung, iris biru safir, serta bibir agak tebal itu tersadar dari perasaan aneh yang datang secara mendadak. Estefania tidak menyukainya, tetapi tubuh kurang ajarnya menginginkan sentuhan kembali.‘Ya ampun Estefania Torres! Buang keinginan itu! Aku tidak memerlukan pria!’ gerutu adik bungsu El dalam hati.Sebelum menjawab, Luis tersenyum setipis benang, lalu mengerlingkan sebelah mata. “Jalan di sekitar sini licin, aku takut kamu terjatuh,” kata pria itu penuh percaya diri.Seketika Estefania terbelalak, ia mendengus sebal dan berusaha menghempas tangan nakal Luis. Sial, tatapan tajam dari ketiga kakak laki-lakinya, memaksa perempuan cantik itu tetap diam dalam rangkulan seorang pria.Estefania mendesis, “Aku bukan wanita jompo! Lepaskan tanganmu!” Sayangnya, perkataan bernada dingin itu seolah hanya masuk telinga kiri lalu mental dan keluar. Alhasil, Estefania dan Luis berjalan berdampingan, hingga keduanya b