“Hi, selamat malam. Tadi aku lihat Paman Arjuna datang ke Mansion Torres. Kamu di mana? Kenapa tidak menemui aku?”Isi pesan singkat El untuk seseorang. Dikarenakan baru lancar menulis atau mengetik, Al membutuhkan waktu lebih dari lima menit. Kemudian mengirimnya kepada sosok yang ia cari di pesta pertunangan Estefania.Sepuluh menit berlalu, belum ada jawaban, hingga lebih dari lima belas menit, mata Al mengantuk, akhirnya ia terpejam sembari memeluk ponsel, berharap teman baiknya bersedia menjawab.Lima belas menit berlalu, Al mendengar suara berisik dari luar kamar. Rasa ingin tahu yang tinggi membawa Al mendekati pintu dan menelinga sembari mengerjapkan mata. Ia membuka sedikit pintu.Tepat di depan kamarnya, El, Ed dan Ar sedang berseteru, tidak lama Livy serta Emilia datang, napas dua wanita itu terengah-engah tampak telah melakukan kegiatan berat. Al memicingkan mata, ia ingin keluar dari kamar tetapi otaknya melarang. Alhasil anak itu menajamkan telinga untuk mendengar lebih
“Aku harus menghubungi Tuan Leonard Torres,” ucap ibu kandung Luis.“Cepatlah! Sepertinya mereka tidak tahan hidup bersama! Daripada menimbulkan skandal dan berdampak buruk bagi keluarga juga perusahaan.” Ayah kandung Luis memaling wajah karena segan melihat tubuh hampir polos seorang gadis.Meskipun dikelilingi dunia bebas, Estefania masih menjaga kesuciannya. Bungsu dari empat berasaudara itu, tidak mau memberikan Cuma-Cuma kepada pria yang belum jelas menjadi jodohnya.Saking pemilihnya, Estefania dijuluki ‘perawan tua’ oleh teman-teman serta kerabat dekat. Lagi, wanita itu tidak peduli, karena ia enggan menikah cepat dan berujung menyesal mendapatkan pria yang salah.“Ayah, ini bukan—“Ayah Luis menyela, “Aku tunggu kalian di ruang keluarga! Bangunkan calon istrimu itu! Entah sampai jam berapa kalian bermain, sampai-sampai dia kelelahan begitu.” Kemudian melenggang pergi.Luis menghela napas, kejadian pagi ini entah malapetaka atau anugerah dari Yang Maha Kuasa. Di satu sisi ia se
“Bibi jangan!” teriak Al, segera mengejar Estefania ke balkon. “Jangan lompat! Kami semua sayang Bibi.” Al mengedip, tidak tahan mengeluarkan air matanya. Anak itu kebingungan, mendadak otak Al membeku tidak bisa digunakan berpikir. Ia takut bibinya terjun dari lantai tiga. Ia ingin menarik badan Estefania tetapi sadar diri, dengan tenaga kecilnya mana sanggup. Sedangkan keluar kamar pun sangat takut, saat kembali nanti bibinya sudah menghilang.“Bibi tenang! Tidak boleh begitu, Bibi harus ingat abuelo dan abuela!” Al terisak.“Hey, anak kecil! Kamu ini bilang apa? Kamu pikir aku mau loncat?!” Estefania memutar tubuh, menatap heran keponakan ajaibnya.“Ya Bibi. Lalu, mau apa ke balkon?” Al melangkah pelan-pelan.Seketika Estefania tergelak, menutup mulut dengan punggung tangan, dan sebelahnya lagi memegangi perut. Wanita itu geleng-geleng kepala kemudian merunduk tepat di depan wajah Al.“Dengar ya jagoan kesayangan Donatello Xavier. Aku ke balkon bukan berarti mau loncat, aku masih
Estefania berjalan mundur ketika sang suami melangkah maju. Sikap arogan wanita itu mendadak sirna tak bersisa ketika menatap iris coklat karamel milik Luis. Jantungnya berdetak semakin cepat, bahkan ia berkeringat dingin.‘Ke-kenapa perasaan ini muncul lagi?’ tanya Estefania dalam hati.“Yakin mau mendengar keinginanku?” ucap Luis membuyarkan pikiran Estefania.“Ten-tu saja yakin! Memangnya kenapa? Kamu lupa siapa aku?” kata adik bungsu El mencoba tetap mengintimidasi meskipun sulit.Kenyataannya, sekarang Estefania-lah yang berada dalam posisi sulit. Luis memenjarakannya menempel pada dinding, jarak sepasang pengantin baru itu sangat dekat. Masing-masing indera penciuman dapat mengendus aroma parfum yang membangkitkan gelenyar manusiawi.Estefania menelan saliva, ia juga mendadak sesak napas karena Luis memajukan kepala lebih dekat. Namun, ada sesuatu yang mampu mengalihkan fokus seorang Estefania Mireya Torres.“I-tu luka apa?” Bola mata wanita itu bergerak dari bekas luka di bawah
“Siapa yang mengganggu malam-malam begini?”Lima belas menit sebelumnya, Luis yang sedang menunggu Estefania mendengar suara ketukan pintu. Pria itu buru-buru membukanya dan mendapati seseorang berdiri di depan.Suami Estefania ini tersenyum hangat lalu berjongkok di depan seorang anak kecil. Al membawa bantal kesayangan kemudian mengulurkannya pada Luis.Anak itu mengedip-ngedipkan kelopak, dari mata sayunya saja tampak mengantuk, tetapi Luis tidak tahu alasan Al mendatangi kamar Estefania.“Kenapa belum tidur Al?” Luis membelai puncak kepala anak itu.“Aku mau tidur di sini boleh ‘kan?” tanya Al begitu polos, nyaris membuat Luis tertawa. “Bibi Es pasti kesulitan menerima Paman di kamar, untuk itu Paman memerlukan bantuanku.”Luis terbahak kemudian menggendong Al dan membawanya ke kamar. Pria itu tidak akan meloloskan siapa pun mengganggu malam pertamanya, setidaknya ia ingin menghabiskan malam hanya berdua bersama Estefania.Nahas, setelah mengantar Al kembali ke kamarnya, tantangan
“Ekhem … apa aku boleh mengobrol sebentar dengan Bibi Estefania?” tanya Luis tampak sungkan.Setelah perdebatan kecil di meja makan, wanita itu memutuskan beranjak ke kamar ditemani Al dan Gal, serta keponakan lain yang melihat isyarat dari Estefania. Ia juga malas berangkat kerja.Ia benar-benar enggan bertemu Luis. Estefania kira suaminya itu berbeda dari kebanyakan pria, ternyata sama saja. Tidak bisa menjadikan istri sebagai prioritas utama.Adik ipar Livy itu tidak suka Luis memanjakkan Belle, apalagi melupakan dirinya. Ia benar-benar merasa perlu bersaing merebut perhatian suami dari anak kecil.“Masuklah, biarkan mereka di sini! Aku juga ingin bermain bersama keponakanku,” rajuk Estefania sembari menatap jengah pada suami.Mendengar kalimat itu seketika para anak kecil saling berpandangan, termasuk Al melirik bibinya. Anak itu memang tidak mengerti alasan dua manusia dewasa di depannya bertengkar.Sama halnya dengan Luis menatap kecewa pada sang istri, karena ingin bicara empat
“Belle?” panggil Al sembari berlari dari dalam ruang kelas menuju luar gedung.Gadis kecil berambut pirang kecoklatan, panjang sebahu dan menggunakan bandana merah jambu menoleh ke belakang. Belle tersipu-sipu melihat Al, seolah-seolah perutnya terdapat banyak kupu-kupu berterbangan. Tidak biasanya Al mengejar sampai ke gerbang, kalau ada sesuatu yang penting pasti anak itu selesaikan sebelum pulang sekolah.“Ada apa Al?” Gadis kecil itu berusaha menyembunyikan rona merah pada pipi, sayangnya tetap terlihat.“Bagaimana kalau kamu ikut ke mansionku? Umm … begini.” Al mendekat, jaraknya hanya lima senti saja. Putra sulung Livy mmbisikkan sesuatu ke telinga Belle. Gadis cilik itu langsung manggut-manggut dan tertawa renyah.“Ok, kalau begitu, tapi setelah selesai antar aku pulang, Al. Maaf bikin repot.” Belle tersenyum manis.Satu hari paska Estefania memohon bantuan dari Al, anak itu berencana menjalankan misinya sesegera mungkin. Al menolak ide gila bibinya lantaran merugikan beberapa
“Bagaimana ini? Pasti Kak El dan Livy marah besar. Apa yang harus aku lakukan Luis?” Panik Estefania menggigiti kuku jari. “Seandainya aku tetap tidur sampai siang dan pergi ke salon, Al tidak mungkin hilang,” keluhnya.Sama halnya dengan Luis, pria itu kebingungan sebab Belle turut menghilang. Bahkan setelah dilakukan pemeriksaan CCTV tidak ada tanda kejahatan, tetapi beberapa kejadian ganjil tertangkap kamera.Keduanya juga menghabiskan kopi sembari menyimak setiap gerakan di layar monitor. Tanpa diminta, Luis memberikan segelas kopi yang dibelinya atas perintah Belle.“Kita laporkan ini ke polisi, mereka harus ditemukan hari ini juga!” Luis tak melepas tautan jarinya dari tangan sang istri.Pria itu berusaha menenangkan Estefania yang sesenggukan sejak satu jam lalu. Keduanya telah mencari ke seluruh sudut taman bermain, nahas tidak menemukan jejak apa pun. Al dan Belle tersapu angin entah ke mana. “Kamu benar, mungkin ini ulah pesaing bisnis. Ya ampun kasihan mereka, kenapa harus