Selamat Siang Kakak ( ◜‿◝ )♡ apa kabar? Ada yang sudah mudik kah? atau masih dalam perjalanan?
“Bagaimana ini? Pasti Kak El dan Livy marah besar. Apa yang harus aku lakukan Luis?” Panik Estefania menggigiti kuku jari. “Seandainya aku tetap tidur sampai siang dan pergi ke salon, Al tidak mungkin hilang,” keluhnya.Sama halnya dengan Luis, pria itu kebingungan sebab Belle turut menghilang. Bahkan setelah dilakukan pemeriksaan CCTV tidak ada tanda kejahatan, tetapi beberapa kejadian ganjil tertangkap kamera.Keduanya juga menghabiskan kopi sembari menyimak setiap gerakan di layar monitor. Tanpa diminta, Luis memberikan segelas kopi yang dibelinya atas perintah Belle.“Kita laporkan ini ke polisi, mereka harus ditemukan hari ini juga!” Luis tak melepas tautan jarinya dari tangan sang istri.Pria itu berusaha menenangkan Estefania yang sesenggukan sejak satu jam lalu. Keduanya telah mencari ke seluruh sudut taman bermain, nahas tidak menemukan jejak apa pun. Al dan Belle tersapu angin entah ke mana. “Kamu benar, mungkin ini ulah pesaing bisnis. Ya ampun kasihan mereka, kenapa harus
“Hey Kak Al! Kasihan Belle menunggu di mini bar! Teman apaan yang meninggalkan temannya sendirian?” Gal geleng-geleng kepala.Mendengar celotehan sang adik, buru-buru Al turun dari sofa ruang baca. Anak itu berlari kecil sambil membawa tabletnya. Ketika menerima panggilan video dari teman baik, dunia Al benar-benar teralihkan. Ia tidak lagi memikirkan apa pun, karena menggebu ingin bertukar kabar serta merindukan seseorang di balik tab.Sampai di area dapur, Al mengedarkan pandangan. Ia mencari seseorang yang duduk di mini bar. Bahkan Al melihat ke kolong meja lalau sudut dapur bersih, sayangnya tidak ada.“Katanya Belle menungguku, kenapa menghilang? Mungkin dia ke kamar mandi,” gumam Al sembari manggut-manggut, lalu duduk di mini bar, bermain tab.Anak itu tersenyum, sesekali tertawa mengingat isi percakapan beberapa menit lalu bersama teman baiknya. Al menepuk dada, merasa lega karena sosok itu masih mau berkomunikasi dengannya. “Semoga kamu cepat sembuh, dan kita bisa bermain be
“Maaf,” cicit Belle melepaskan belitan tangan dari leher Luis. Luis menurunkan anak itu dan merengkuh pinggang ramping Estefania. Tadi, selama perjalanan menuju rumah, dua insan itu saling bertukar kata. Baik Luis atau Estefania sama-sama jujur menyampaikan isi hati.Masing-masing tidak percaya selama beberapa hari ini memendam kekecewaan. Maka dari itu Estefania berbesar hati menerima kehadiran Belle di rumah sang suami, tentu saja dengan catatan Luis tidak memanjakan secara berlebihan. “Jangan galak-galak Sayang. Dia anak kecil dan tidak salah apa-apa,” bisik Luis sembari mengecup daun telinga sang istri.“Ah iya, aku punya sesuatu untukmu. Ini ambilah!” Estefania menjulurkan tangan ke depan Belle.Ragu-ragu anak itu menerima pemberian bibi barunya. “Terima kasih coklatnya. Dan … selamat datang di rumah Paman,” sambut Belle tersenyum merekah.Estefania berjongkok di depan gadis kecil itu, mengacak rambut rapi yang terikat sempurna. Kemudian mencubit gemas pipi berisi Belle. Bagaim
“Aku janji Sayang, pelan-pelan supaya kamu nyaman,” oceh Luis sambil mengerutkan kening. Pria itu benar-benar tidak tahan menuntaskan kegiatan tertunda. Gairah yang telah di ujung, siap meledak di tempat seharusnya.Namun, Estefania menggelengkan kepala. Wanita cantik bak model papan atas itu menggigit bibir bawah. Bagi Luis pemandangan ini tentu menggoda, tetapi tidak menurut Estefania.Adik ipar Livy sedang berusaha merangkai kalimat terbaik agar suaminya tidak sakit hati. Ia memutar bola mata ke atas, sesaat menghindari tatapan dari lelakinya.“Kenapa Sayang? Kamu takut? Tidak perlu, karena aku sudah berjanji tidak melakukannya terburu-buru,” ucap Luis membelai surai panjang berwarna pirang basah oleh keringat.“Bu-bukan itu Luis.” Tanggapan Estefania membuat pria atas tubuhnya memicingkan mata. “Aku … belum siap hamil, sebaiknya kamu gunakan pengaman. Aku ingin me—akh.”Belum selesai mengatakan kalimat panjang bak kereta, mulut Estefania dibungkam paksa oleh Luis. Pria itu tidak m
“Ini paella untukmu Es. Sesuai pesanan lebih banyak udang dan cumi-cumi.” Livy meletakkan satu wadah besar berisi nasi lezat dimasak secara khusus.“Terima kasih Livy.”Bola mata Estefania berbinar melihatnya, mulut terbuka lebar tergiur paella buatan Livy. Tanpa menunggu anggota keluarga lain, adik bungsu El menyantap satu suapan besar sampai mulutnya penuh.Akibat tergesa-gesa, tidak tahan menghabiskan semuanya, Estefania tersedak. Segera Livy memberikan segelas air putih diambil dari kran. “Pelan-pelan Es. Jangan takut kehabisan, ini sangat banyak, sengaja aku bikin porsi besar.” Livy membantu menepuk punggung adik ipar.“Kamu tidak tahu, aku menginginkan ini dari seminggu lalu, tapi di NYC tidak ada. Dan suami, maksudku Luis tidak bisa memasaknya. Jadi … jangan melarangku menghabiskan semua ini,” tutur Estefania sembari menunjuk wadah besar di depannya.Satu bulan paska perhelatan cinta, baik Estefania atau Luis selalu sibuk. Namun, sebagai istri yang baik, wanita itu mengekor ke
“Al terima kasih bekalnya, ini sangat enak. Maaf, aku pernah bilang kalau mommy-mu itu—“ “Tidak apa-apa Belle, itu ‘kan dulu. Kamu juga sudah minta maaf,” sela Al tidak mau temannya berkecil hati.Kedua anak itu sedang duduk di taman, menanti bel istirahat mengalun. Belakangan ini Al sangat dekat dengan Belle, paska kerja sama mereka menyatukan Estefania dan Luis. Namun, Belle lebih banyak diam, apalagi mengetahui kalau Al memiliki banyak teman dekat perempuan. Gadis kecil itu tidak merasa istimewa lagi, kenyataannya, Al memang bersikap baik pada semua orang.“Oh iya, Al. Beberapa hari ini Bibi Es sering muntah di pagi hari, katanya ....” Belle mencoba mengingat beberapa kalimat yang tidak sengaja didengarnya. “Bibi Es bilang perutnya kram.” “Hah?! Lalu apa kata Paman Luis?” tanya Al menggebu sangat penasaran.Belle menghela napas dan mengangkat bahu, lalu menggelengkan kepala. Gadis kecil itu menggosok rumput dengan sepatunya.“Sudah tiga hari Paman Luis pergi, aku juga sempat hera
“Es ada apa? Ayo masuk.” Livy memundurkan langkah menoleh adik ipar. Melihat Estefania bergeming, sama sekali tidak merespon, Livy mengikuti arah pandang wanita berambut pirang panjang sepinggang. Mendadak, ibu dua anak itu melebarkan kelopak mata, seketika ia langsung merangkul bahu adik ipar.“Sekarang, sebaiknya periksa dulu, kamu—“ Estefania menyela, “Hu’um, boleh aku minta tolong?” Sorot mata biru safir itu teramat mengiba.Livy mengangguk pelan, sambil terus memandangi dua orang yang kini telah menghilang entah ke mana. Ia mengerti perasaan adik iparnya, untuk itu meminta Estefania lebih mementingkan kondisi tubuhnya sendiri.“Rahasiakan ini dari Kak El! Aku ingin menyelidiki sendirian,” lirih Estefania merasakan desakan kuat dari lambung.Melihat adik iparnya menerobos masuk dan meminta izin menggunakan toilet dalam ruang poli, Livy menghela napas. Ia memandangi wajah El dan punggung Estefania yang menyelinap ke toilet.‘Kasihan sekali dia. Aku harus membantunya, sebenarnya s
“Kamu dari mana? Kenapa mengabaikan pesanku? Apa kamu tidak tahu kalau aku mencemaskanmu?” Luis memberondong banyak pertanyaan pada Estefania yang baru memasuki rumah. “Kamu tanya aku dari mana?!” jawab Estefania sambil melepas heels. “Bukankah kamu bisa melihat sendiri?! Tentu saja aku pulang kerja.”Estefania melangkah anggun melewati Luis. Bahkan kedua matanya enggan menatap Luis, ia melenggang begitu saja menuju kamar.Ketika tanganya hendak menutup pintu, sebelah kaki Luis menghalangi. Pria itu mendorong Estefania sampai melekat pada dinding. “Katakan ada apa?” Luis menangkup pipi mulus sang istri, sayangnya Estefania mengelak dan menepis sentuhan. “Aku dengar dari Belle, kemarin kamu ke rumah sakit, sakit apa?”Adik bungsu El berdecih sinis, mengingat bagaimana tangan Luis merangkul seorang wanita di lorong rumah sakit. Lalu tadi pagi mengirim pesan akan pulang besok, dan sekarang pria itu bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa.“Ya itu benar, aku hanya pusing dan kurang dara
“Ini sudah siang, di mana Al? Dia bilang olahraga di sekitar hotel,” gusar Livy bolak-balik melihat jam digital.“Periksa saja kamarnya, anak itu senang kabur, menyelinap masuk dan seolah tidak terjadi sesuatu,” jawab El begitu enteng sembari bermain lego bersama An.Livy mendengus kasar mendengar jawaban sang suami. Ia ingin sekali mengahancurkan susunan lego yang terhampar luas di atas lantai. Suaminya itu bukan mencari keberadaan Al malah asyik bermain seperti anak kecil. Alhasil ibu tiga anak itu membuka pintu kamar Al, ternyata kosong.“Al belum pulang,” lirih Livy melirik putra kedua yang asyik bermain game.Akibat kesal, tidak ada yang peduli pada perasaannya, Livy mengunjungi pusat kebugaran serta taman hotel. Memang banyak orang menggunakan fasilitas untuk olahraha, tetapi setengah jam ia mengamati, tidak menemukan putra sulungnya.“Di mana kamu Al?” Livy memijat pelipis.Ketika ia berjalan menuju lobi, Livy tercenung melihat El menggendong An, berjalan tergesa-gesa, diikuti
“Kenapa kamu di sini?” Kedua bola mata Al berbinar menatap sosok gadis cantik di depannya.“Menurumu, untuk apa aku di sini?” goda anak kecil yang kini menjelma menjad remaja luar biasa.“Mommy-mu di sini?” Al menolehkan kepala ke kanan dan kiri.Gadis itu terkekeh geli melihat tingkah teman baiknya. Lalu mendekati Al yang masih kebingungan, sebab ini Swiss bukan New York, lintas benua yang tidak mudah dilalui hanya dengan satu atau dua jam.“Tentu saja Al, aku menemani Mommy,” sahut anak itu.“Ah, aku pikir kamu nyasar. Bagaimana kabarmu Belle?” Al maju satu langkah hendak mengulurkan tangan.Namun, gadis itu mundur satu langkah dengan wajah tersipu, tetapi pandangannya tidak teralihkan dari Al. Seakan kehabisan kosakata, Belle bungkam, tidak menjawab pertanyaan Al. Anak itu larut dalam pesona remaja tampan di hadapannya.Tidak ingin semakin salah tingkah, Belle meraih minuman tinggi gula, lantas meneguknya. Membuat Al semakin mengikis jarak.Bahkan, putra sulung El dan Livy, merebu
“Mi Amor?!” pekik El, melihat Livy berjalan gontai di tengah ramainya orang berlalu-lalang.“Mom, ada apa?!”Seketika El, Al, dan Gal berlarian menghampiri Livy. Bahkan El memapah tubuh wanitanya yang gemetaran.“An … di-a menghilang.” Tangis Livy pecah, perhatian semua orang tertuju pada keluarga kecil itu.Setelah mendengar hal itu, Al dan Gal bergegas ke toilet wanita, mereka masuk tanpa izin, hingga para pengguna kamar kecil berteriak. Tak sedikit dari beberapa orang melempar dengan sepatu. “Kak, bagaimana ini? An benar-benar menghilang.” Gal tidak menyangka hari istiewa yang dinanti berujung petaka.“Ayo temui Mom dan Daddy,” ajak Al menyeret pergelangan tangan adik laki-laki. Walaupun perih menjalar, Gal tidak peduli, karena saat ini paling penting menemukan keberadaan Antonia. Pikiran dua remaja tampan itu khawatir adiknya diculik, tetapi mengingat belakang ini tidak ada sesuatu yang mencurigakan, hal itu pun mustahil.Livy dan El menuju ruang keamanan, di susul Al dan Gal.
“Berisik!” teriak seorang gadis kecil, menutup telinga dan memelotot menatap dua remaja di depannya.“Anak nakal!” seru suara bass sambil menunjuk penuh amarah. “Itu milikku!”“Ambil saja kalau berani!” sahut remaja satunya lagi.Dalam beberapa tahun berlalu, putra dan putri Livy tumbuh pesat. Ketiganya meramaikan mansion, terutama ketika momen liburan seperti sekarang.Di mana, bukan hanya Al, Gal dan An berkumpul, tetapi Estelle serta para sepupu lain turut menyumbang suara di Mansion Torres.“Kalian itu sudah besar kenapa bertingkah seperti kami?!” lontar An menatap gemas dua kakak laki-lakinya.“Galtero merebut laptopku!” geram Al, “Adik nakal, seharusnya kamu ikut Daddy dan Mommy ke pertemuan bisnis, bukan menjadi pengganggu!” Kalimat pedas Al tertuju pada adiknya.Tidak ingin acara bermainnya terusik, An melangkah maju, mendekati kakak keduanya. Bocah itu bertolak pinggang, menjulurkan tangan, meminta secara baik-baik supaya Gal mengembalikan laptop Al. Akan tetapi, Galtero sang
“Jika itu sakit tidak mungkin Livy hamil sampai tiga kali!” jawab El.Livy langsung menundukkan wajah, entah dari mana suaminya bisa memiliki jawaban memalukan seperti itu. Jujur, saat ini ia kehilangan muka di hadapan adik ipar. Bukan hanya adik ipar, tetapi ibu mertua yang mendadak masuk kamar. Seketika, ingin sekali Livy melempar bantal pada wajah tampan suami.“Sudah, tidak perlu dibahas. Itu rahasia ranjang,” celetuk Mom Pamela setelah melihat kulit pipi menantu berubah masak.“Tapi … aku penasaran Mom. Setidaknya aku tahu, ternyata tidak sakit.” Tawa Estefania sambil menubrukkan bahu ke lengan Livy.Rasa malu Livy semakin menggunung ketika El sengaja menghampiri, merunduk, lalu menaruh ibu jari di bawah dagu, perlahan menariknya, mempertemukan dua bibir.“Wah, romantis sekali. Tapi seharusnya kalian tidak pamer kemesraan,” ucap Estefania dengan lemas. “Luis belum pulang. Huh, kenapa dia betah sekali di NYC mengunjungi kakak sepupunya, padahal kami lebih membutuhkan,” sambungnya
[Kak El, cepat ke mansion utama! Sepertinya Livy mengalami kontraksi.]Isi pesan Estefania, dikirim secara diam-diam, sebab Livy selalu menolak. Wanita itu berdalih berdasarkan pengalaman, belum waktunya bersalin.Kedua wanita itu entah sudah berapa putara mengelilingi taman mansion yang luas. Estefania dibanjiri keringat, sama seperti Livy. Akan tetapi, ibu hamil itu enggan mengakhiri kegiatan olahraga ringan.“Akh … tidak apa-apa, semakin terasa sakit, maka waktu bertemu kita lebih cepat,” gumam ibu dari Al dan Gal, membelai bagian bawah perut, seakan mengetahui di sanalah letak kepala bayi.“Mommy percaya kita bisa Nak. Kakak Al dan Gal tidak sabar bermain denganmu,” sambung Livy sembari terkekeh pelan.Sementara Estefania berlinang air mata, menatap Livy sesekali meringis, keringat bercucuran dari kening, bahkan bagian punggung tampak basah.Wanita berambut pirang itu sesenggukan karena ia selalu mengeluh tidak mau mengandung dan melahirkan lagi. Sebab, adik bungsu El merasa tidak
“Ternyata kamu masih mengingatnya, aku tidak suka! Di dalam sini dan sini.” El menunjuk kepala serta dada Livy. “Hanya ada aku, pria lain tidak boleh!”Setelah mengatakan itu, El masuk ke mansion lebih dulu, tujuannya bukan ruang kerja atau kamar.Puas menikmati pemandangan langit malam serta suasana kota yang diramaikan pejalan kaki, El memutuskan membawa Livy pulang.Tadi, dalam perjalanan menuju mansion, El penasaran alasan wanitanya sangat menyukai kopi di café itu tetapi enggan berkunjung.Rupanya, di tempat itu Livy kerap menghabiskan waktu, membuang lelah serta perih karena memikirkan nasib pernikahannya bersama Sergio. “Mommy, bagaimana Bibi Es? Apa adik bayi sudah lahir?” tanya Al antara khawatir dan gembira.“Estefania sakit perut karena terlalu banyak makan pedas. Doakan yang terbaik untuk Bibi ya.” Livy memulas senyum lantas memberi kecupan sebelum tidur pada kedua buah hati.Wanita berperut besar itu melangkah ke kamar, ia membersihkan kulit dari sisa-sisa debu. Menggant
“Kita mau ke mana Mi Amor?!” Dahi El berkerut cukup dalam.Pria itu tidak tahu apa pun, tanpa basa-basi Livy membuka pintu kamar, langsung menarik pergelangan tangan sang suami.“Hati-hati jalannya Mi Amor, sebenarnya ada apa? Kenapa kita buru-buru begini?” El mengamati wajah cantik Livy dihiasi garis kecemasan.“Nanti saja di mobil, ini penting El.” Livy tak melepas tangannya dari pergelangan El. “Tolong kemudikan dengan cepat Pak,” pinta wanita itu tanpa memberi perintah dan arah tujuan.Merasa terdapat sesuatu yang genting, El menjelaskan secara perlahan pada sopir untuk mempersiapkan mobil. Bahkan pria itu harus menambah stok kesabaran, lantaran Livy tidak bisa diam karena menarik-narik lengan kaos.Setelah duduk nyaman, kendaraan roda empat melaju menuju kediaman William. Terlebih dahulu, Livy meneguk setengah botol air mineral.“Pelan-pelan Mi Amor! Kamu bisa tersedak!” Nada peringatan El membuat sopir berjengit. “Lanjutkan, jangan berhenti!” titahnya pada pria di balik setir.“T
“Kenapa membeli pakaian bayi sebanyak ini, Es? Dia tumbuh cepat, dan berakhir tidak terpakai semua.” Livy melihat adik iparnya tersenyum lebar sambil memerintah maid merapikan kamar bayi. “Kamu tahu Livy, aku sudah tidak sabar berbelanja pakaian bayi sejak kita mendekor kamar anaknya Abril. Akhirnya sekarang Luis mengizinkan aku keluar, ah senangnya.” Estefania menjentikkan telunjuk pada maid. “Lemarinya digeser sedikit, ranjangnya jangan terlalu dekat dengan jendela!”Beberapa bulan berlalu, kandungan para ibu hamil itu telah memasuki tri semester tiga. Apalagi Estefania kurang dari satu bulan lagi melahirkan. Paska terjadi hal tidak diinginkan di salon, wanita itu terpeleset dan mengalami pendarahan ringan. Luis sangat posesif, melarang Etefania melakukan kegiatan apa pun, termasuk belanja kebutuhan bayi.Estefania melirik Livy. “Lalu kamu sudah membeli apa saja?”“Oh itu, karena dokter bilang calon anak ketiga kami laki-laki, kebetulan beberapa baju bayi Al dan Gal masih ku simpa