“Belle?” panggil Al sembari berlari dari dalam ruang kelas menuju luar gedung.Gadis kecil berambut pirang kecoklatan, panjang sebahu dan menggunakan bandana merah jambu menoleh ke belakang. Belle tersipu-sipu melihat Al, seolah-seolah perutnya terdapat banyak kupu-kupu berterbangan. Tidak biasanya Al mengejar sampai ke gerbang, kalau ada sesuatu yang penting pasti anak itu selesaikan sebelum pulang sekolah.“Ada apa Al?” Gadis kecil itu berusaha menyembunyikan rona merah pada pipi, sayangnya tetap terlihat.“Bagaimana kalau kamu ikut ke mansionku? Umm … begini.” Al mendekat, jaraknya hanya lima senti saja. Putra sulung Livy mmbisikkan sesuatu ke telinga Belle. Gadis cilik itu langsung manggut-manggut dan tertawa renyah.“Ok, kalau begitu, tapi setelah selesai antar aku pulang, Al. Maaf bikin repot.” Belle tersenyum manis.Satu hari paska Estefania memohon bantuan dari Al, anak itu berencana menjalankan misinya sesegera mungkin. Al menolak ide gila bibinya lantaran merugikan beberapa
“Bagaimana ini? Pasti Kak El dan Livy marah besar. Apa yang harus aku lakukan Luis?” Panik Estefania menggigiti kuku jari. “Seandainya aku tetap tidur sampai siang dan pergi ke salon, Al tidak mungkin hilang,” keluhnya.Sama halnya dengan Luis, pria itu kebingungan sebab Belle turut menghilang. Bahkan setelah dilakukan pemeriksaan CCTV tidak ada tanda kejahatan, tetapi beberapa kejadian ganjil tertangkap kamera.Keduanya juga menghabiskan kopi sembari menyimak setiap gerakan di layar monitor. Tanpa diminta, Luis memberikan segelas kopi yang dibelinya atas perintah Belle.“Kita laporkan ini ke polisi, mereka harus ditemukan hari ini juga!” Luis tak melepas tautan jarinya dari tangan sang istri.Pria itu berusaha menenangkan Estefania yang sesenggukan sejak satu jam lalu. Keduanya telah mencari ke seluruh sudut taman bermain, nahas tidak menemukan jejak apa pun. Al dan Belle tersapu angin entah ke mana. “Kamu benar, mungkin ini ulah pesaing bisnis. Ya ampun kasihan mereka, kenapa harus
“Hey Kak Al! Kasihan Belle menunggu di mini bar! Teman apaan yang meninggalkan temannya sendirian?” Gal geleng-geleng kepala.Mendengar celotehan sang adik, buru-buru Al turun dari sofa ruang baca. Anak itu berlari kecil sambil membawa tabletnya. Ketika menerima panggilan video dari teman baik, dunia Al benar-benar teralihkan. Ia tidak lagi memikirkan apa pun, karena menggebu ingin bertukar kabar serta merindukan seseorang di balik tab.Sampai di area dapur, Al mengedarkan pandangan. Ia mencari seseorang yang duduk di mini bar. Bahkan Al melihat ke kolong meja lalau sudut dapur bersih, sayangnya tidak ada.“Katanya Belle menungguku, kenapa menghilang? Mungkin dia ke kamar mandi,” gumam Al sembari manggut-manggut, lalu duduk di mini bar, bermain tab.Anak itu tersenyum, sesekali tertawa mengingat isi percakapan beberapa menit lalu bersama teman baiknya. Al menepuk dada, merasa lega karena sosok itu masih mau berkomunikasi dengannya. “Semoga kamu cepat sembuh, dan kita bisa bermain be
“Maaf,” cicit Belle melepaskan belitan tangan dari leher Luis. Luis menurunkan anak itu dan merengkuh pinggang ramping Estefania. Tadi, selama perjalanan menuju rumah, dua insan itu saling bertukar kata. Baik Luis atau Estefania sama-sama jujur menyampaikan isi hati.Masing-masing tidak percaya selama beberapa hari ini memendam kekecewaan. Maka dari itu Estefania berbesar hati menerima kehadiran Belle di rumah sang suami, tentu saja dengan catatan Luis tidak memanjakan secara berlebihan. “Jangan galak-galak Sayang. Dia anak kecil dan tidak salah apa-apa,” bisik Luis sembari mengecup daun telinga sang istri.“Ah iya, aku punya sesuatu untukmu. Ini ambilah!” Estefania menjulurkan tangan ke depan Belle.Ragu-ragu anak itu menerima pemberian bibi barunya. “Terima kasih coklatnya. Dan … selamat datang di rumah Paman,” sambut Belle tersenyum merekah.Estefania berjongkok di depan gadis kecil itu, mengacak rambut rapi yang terikat sempurna. Kemudian mencubit gemas pipi berisi Belle. Bagaim
“Aku janji Sayang, pelan-pelan supaya kamu nyaman,” oceh Luis sambil mengerutkan kening. Pria itu benar-benar tidak tahan menuntaskan kegiatan tertunda. Gairah yang telah di ujung, siap meledak di tempat seharusnya.Namun, Estefania menggelengkan kepala. Wanita cantik bak model papan atas itu menggigit bibir bawah. Bagi Luis pemandangan ini tentu menggoda, tetapi tidak menurut Estefania.Adik ipar Livy sedang berusaha merangkai kalimat terbaik agar suaminya tidak sakit hati. Ia memutar bola mata ke atas, sesaat menghindari tatapan dari lelakinya.“Kenapa Sayang? Kamu takut? Tidak perlu, karena aku sudah berjanji tidak melakukannya terburu-buru,” ucap Luis membelai surai panjang berwarna pirang basah oleh keringat.“Bu-bukan itu Luis.” Tanggapan Estefania membuat pria atas tubuhnya memicingkan mata. “Aku … belum siap hamil, sebaiknya kamu gunakan pengaman. Aku ingin me—akh.”Belum selesai mengatakan kalimat panjang bak kereta, mulut Estefania dibungkam paksa oleh Luis. Pria itu tidak m
“Ini paella untukmu Es. Sesuai pesanan lebih banyak udang dan cumi-cumi.” Livy meletakkan satu wadah besar berisi nasi lezat dimasak secara khusus.“Terima kasih Livy.”Bola mata Estefania berbinar melihatnya, mulut terbuka lebar tergiur paella buatan Livy. Tanpa menunggu anggota keluarga lain, adik bungsu El menyantap satu suapan besar sampai mulutnya penuh.Akibat tergesa-gesa, tidak tahan menghabiskan semuanya, Estefania tersedak. Segera Livy memberikan segelas air putih diambil dari kran. “Pelan-pelan Es. Jangan takut kehabisan, ini sangat banyak, sengaja aku bikin porsi besar.” Livy membantu menepuk punggung adik ipar.“Kamu tidak tahu, aku menginginkan ini dari seminggu lalu, tapi di NYC tidak ada. Dan suami, maksudku Luis tidak bisa memasaknya. Jadi … jangan melarangku menghabiskan semua ini,” tutur Estefania sembari menunjuk wadah besar di depannya.Satu bulan paska perhelatan cinta, baik Estefania atau Luis selalu sibuk. Namun, sebagai istri yang baik, wanita itu mengekor ke
“Al terima kasih bekalnya, ini sangat enak. Maaf, aku pernah bilang kalau mommy-mu itu—“ “Tidak apa-apa Belle, itu ‘kan dulu. Kamu juga sudah minta maaf,” sela Al tidak mau temannya berkecil hati.Kedua anak itu sedang duduk di taman, menanti bel istirahat mengalun. Belakangan ini Al sangat dekat dengan Belle, paska kerja sama mereka menyatukan Estefania dan Luis. Namun, Belle lebih banyak diam, apalagi mengetahui kalau Al memiliki banyak teman dekat perempuan. Gadis kecil itu tidak merasa istimewa lagi, kenyataannya, Al memang bersikap baik pada semua orang.“Oh iya, Al. Beberapa hari ini Bibi Es sering muntah di pagi hari, katanya ....” Belle mencoba mengingat beberapa kalimat yang tidak sengaja didengarnya. “Bibi Es bilang perutnya kram.” “Hah?! Lalu apa kata Paman Luis?” tanya Al menggebu sangat penasaran.Belle menghela napas dan mengangkat bahu, lalu menggelengkan kepala. Gadis kecil itu menggosok rumput dengan sepatunya.“Sudah tiga hari Paman Luis pergi, aku juga sempat hera
“Es ada apa? Ayo masuk.” Livy memundurkan langkah menoleh adik ipar. Melihat Estefania bergeming, sama sekali tidak merespon, Livy mengikuti arah pandang wanita berambut pirang panjang sepinggang. Mendadak, ibu dua anak itu melebarkan kelopak mata, seketika ia langsung merangkul bahu adik ipar.“Sekarang, sebaiknya periksa dulu, kamu—“ Estefania menyela, “Hu’um, boleh aku minta tolong?” Sorot mata biru safir itu teramat mengiba.Livy mengangguk pelan, sambil terus memandangi dua orang yang kini telah menghilang entah ke mana. Ia mengerti perasaan adik iparnya, untuk itu meminta Estefania lebih mementingkan kondisi tubuhnya sendiri.“Rahasiakan ini dari Kak El! Aku ingin menyelidiki sendirian,” lirih Estefania merasakan desakan kuat dari lambung.Melihat adik iparnya menerobos masuk dan meminta izin menggunakan toilet dalam ruang poli, Livy menghela napas. Ia memandangi wajah El dan punggung Estefania yang menyelinap ke toilet.‘Kasihan sekali dia. Aku harus membantunya, sebenarnya s