“Maaf,” cicit Belle melepaskan belitan tangan dari leher Luis. Luis menurunkan anak itu dan merengkuh pinggang ramping Estefania. Tadi, selama perjalanan menuju rumah, dua insan itu saling bertukar kata. Baik Luis atau Estefania sama-sama jujur menyampaikan isi hati.Masing-masing tidak percaya selama beberapa hari ini memendam kekecewaan. Maka dari itu Estefania berbesar hati menerima kehadiran Belle di rumah sang suami, tentu saja dengan catatan Luis tidak memanjakan secara berlebihan. “Jangan galak-galak Sayang. Dia anak kecil dan tidak salah apa-apa,” bisik Luis sembari mengecup daun telinga sang istri.“Ah iya, aku punya sesuatu untukmu. Ini ambilah!” Estefania menjulurkan tangan ke depan Belle.Ragu-ragu anak itu menerima pemberian bibi barunya. “Terima kasih coklatnya. Dan … selamat datang di rumah Paman,” sambut Belle tersenyum merekah.Estefania berjongkok di depan gadis kecil itu, mengacak rambut rapi yang terikat sempurna. Kemudian mencubit gemas pipi berisi Belle. Bagaim
“Aku janji Sayang, pelan-pelan supaya kamu nyaman,” oceh Luis sambil mengerutkan kening. Pria itu benar-benar tidak tahan menuntaskan kegiatan tertunda. Gairah yang telah di ujung, siap meledak di tempat seharusnya.Namun, Estefania menggelengkan kepala. Wanita cantik bak model papan atas itu menggigit bibir bawah. Bagi Luis pemandangan ini tentu menggoda, tetapi tidak menurut Estefania.Adik ipar Livy sedang berusaha merangkai kalimat terbaik agar suaminya tidak sakit hati. Ia memutar bola mata ke atas, sesaat menghindari tatapan dari lelakinya.“Kenapa Sayang? Kamu takut? Tidak perlu, karena aku sudah berjanji tidak melakukannya terburu-buru,” ucap Luis membelai surai panjang berwarna pirang basah oleh keringat.“Bu-bukan itu Luis.” Tanggapan Estefania membuat pria atas tubuhnya memicingkan mata. “Aku … belum siap hamil, sebaiknya kamu gunakan pengaman. Aku ingin me—akh.”Belum selesai mengatakan kalimat panjang bak kereta, mulut Estefania dibungkam paksa oleh Luis. Pria itu tidak m
“Ini paella untukmu Es. Sesuai pesanan lebih banyak udang dan cumi-cumi.” Livy meletakkan satu wadah besar berisi nasi lezat dimasak secara khusus.“Terima kasih Livy.”Bola mata Estefania berbinar melihatnya, mulut terbuka lebar tergiur paella buatan Livy. Tanpa menunggu anggota keluarga lain, adik bungsu El menyantap satu suapan besar sampai mulutnya penuh.Akibat tergesa-gesa, tidak tahan menghabiskan semuanya, Estefania tersedak. Segera Livy memberikan segelas air putih diambil dari kran. “Pelan-pelan Es. Jangan takut kehabisan, ini sangat banyak, sengaja aku bikin porsi besar.” Livy membantu menepuk punggung adik ipar.“Kamu tidak tahu, aku menginginkan ini dari seminggu lalu, tapi di NYC tidak ada. Dan suami, maksudku Luis tidak bisa memasaknya. Jadi … jangan melarangku menghabiskan semua ini,” tutur Estefania sembari menunjuk wadah besar di depannya.Satu bulan paska perhelatan cinta, baik Estefania atau Luis selalu sibuk. Namun, sebagai istri yang baik, wanita itu mengekor ke
“Al terima kasih bekalnya, ini sangat enak. Maaf, aku pernah bilang kalau mommy-mu itu—“ “Tidak apa-apa Belle, itu ‘kan dulu. Kamu juga sudah minta maaf,” sela Al tidak mau temannya berkecil hati.Kedua anak itu sedang duduk di taman, menanti bel istirahat mengalun. Belakangan ini Al sangat dekat dengan Belle, paska kerja sama mereka menyatukan Estefania dan Luis. Namun, Belle lebih banyak diam, apalagi mengetahui kalau Al memiliki banyak teman dekat perempuan. Gadis kecil itu tidak merasa istimewa lagi, kenyataannya, Al memang bersikap baik pada semua orang.“Oh iya, Al. Beberapa hari ini Bibi Es sering muntah di pagi hari, katanya ....” Belle mencoba mengingat beberapa kalimat yang tidak sengaja didengarnya. “Bibi Es bilang perutnya kram.” “Hah?! Lalu apa kata Paman Luis?” tanya Al menggebu sangat penasaran.Belle menghela napas dan mengangkat bahu, lalu menggelengkan kepala. Gadis kecil itu menggosok rumput dengan sepatunya.“Sudah tiga hari Paman Luis pergi, aku juga sempat hera
“Es ada apa? Ayo masuk.” Livy memundurkan langkah menoleh adik ipar. Melihat Estefania bergeming, sama sekali tidak merespon, Livy mengikuti arah pandang wanita berambut pirang panjang sepinggang. Mendadak, ibu dua anak itu melebarkan kelopak mata, seketika ia langsung merangkul bahu adik ipar.“Sekarang, sebaiknya periksa dulu, kamu—“ Estefania menyela, “Hu’um, boleh aku minta tolong?” Sorot mata biru safir itu teramat mengiba.Livy mengangguk pelan, sambil terus memandangi dua orang yang kini telah menghilang entah ke mana. Ia mengerti perasaan adik iparnya, untuk itu meminta Estefania lebih mementingkan kondisi tubuhnya sendiri.“Rahasiakan ini dari Kak El! Aku ingin menyelidiki sendirian,” lirih Estefania merasakan desakan kuat dari lambung.Melihat adik iparnya menerobos masuk dan meminta izin menggunakan toilet dalam ruang poli, Livy menghela napas. Ia memandangi wajah El dan punggung Estefania yang menyelinap ke toilet.‘Kasihan sekali dia. Aku harus membantunya, sebenarnya s
“Kamu dari mana? Kenapa mengabaikan pesanku? Apa kamu tidak tahu kalau aku mencemaskanmu?” Luis memberondong banyak pertanyaan pada Estefania yang baru memasuki rumah. “Kamu tanya aku dari mana?!” jawab Estefania sambil melepas heels. “Bukankah kamu bisa melihat sendiri?! Tentu saja aku pulang kerja.”Estefania melangkah anggun melewati Luis. Bahkan kedua matanya enggan menatap Luis, ia melenggang begitu saja menuju kamar.Ketika tanganya hendak menutup pintu, sebelah kaki Luis menghalangi. Pria itu mendorong Estefania sampai melekat pada dinding. “Katakan ada apa?” Luis menangkup pipi mulus sang istri, sayangnya Estefania mengelak dan menepis sentuhan. “Aku dengar dari Belle, kemarin kamu ke rumah sakit, sakit apa?”Adik bungsu El berdecih sinis, mengingat bagaimana tangan Luis merangkul seorang wanita di lorong rumah sakit. Lalu tadi pagi mengirim pesan akan pulang besok, dan sekarang pria itu bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa.“Ya itu benar, aku hanya pusing dan kurang dara
“Iya, aku sedang mengikuti Estefania. Sebaiknya kamu cepat ke sini El, aku khawatir ….” Livy memutus sambungan telepon, kembali fokus memperhatikan mobil Estefania. “Tunggu! Aku kira dia mau ke apartemen itu, ini ‘kan … jalan ke rumah Luis.”Livy tidak bisa tenang sebab Estefania pergi dalam keadaan suasana hati buruk. Ia memerintah sopir melanju lebih cepat tepat di belakang mobil adik ipar.Sampai di kediaman William, Livy bergegas masuk dan mencari keberadan Estefania. Ia melihat adik iparnya itu melangkah lebar menaiki anak tangga. Ibu Al dan Gal berlari dengan cepat membuntuti sang adik.Tepat di depan pintu kamar, Livy sempat mengambil napas dan menyeka peluh, lalu masuk ke ruangan itu. Ia terbelalak karena Estefania merapikan pakaian ke dalam koper.“Es?” panggl Livy.“Sebaiknya kamu bantu aku Livy! Aku mau pindah dari tempat ini.” Wanita itu bergerak cepat seolah tidak berbadan dua.Tidak ingin ada perdebatan yang mengakibatkan suasana bertambah keruh. Livy mengerjakan perminta
“Paman tidak sopan!” seru Gal karena Luis memasuki mansion seenaknya.Pria itu langsung mencari keberadaan Estefania di beberapa ruangan termasuk kamar tamu yang terletak di lantai satu, serta bangunan lain mansion. “Maaf Gal, tapi Paman harus melakukan ini,” kata Luis sembari berpikir ruangan mana lagi yang belum diperiksa.“Memang Paman cari siapa? Ini masih jam kerja, Daddy-ku di kantor, Mommy jemput Kak Al,” tegas Gal bertolak pinggang.Luis mengangguk, sebenarnya tidak menyimak kalimat Gal. Pria itu melihat lantai dua, langkahnya segera maju hendak memastikan apa sang istri bersembuyi di kamar utama atau tidak.Lagi, bukan perkara mudah menggeledah kediaman orang lain, langkah kaki Luis seketika berhenti karena Gal merentangkan tangan di depan tubuh pria dewasa itu.“Paman susah sekali dikasih tahu! Daddy dan Mommy tidak ada di rumah!” Bahu Gal turun naik. “Paman benar-benar mengganggu orang lain!” ketus putra bungsu Livy.Luis menghela napas lantaran apa yang dikatakan Gal mema