“Sayang bukankah itu Luis?” Livy menunjuk seseorang baru saja keluar dari dalam mobil.Sontak El mengikuti arah yang ditunjukkan sang istri. Ia menggeram marah karena melihat adik ipar mengetahui keberadaan Estefania. Jujur, sebagai seorang kakak sangat menyayangi adik perempuan satu-satunya. El diliputi kekecewaan, hinga pria itu menitipkan kedua anaknya pada Livy, bergegas kembali ke griya tawang. El menggunakan lift khusus supaya lebih cepat tiba dibanding Luis. Ketika pintu besi terbuka tepat di depan unit penthouse-nya, El menekan bel. Tak disangka, Estefania begitu mudah membuka pintu saat mendengar suara bel. Seharusnya ibu hamil itu selalu waspada, karena sedang bersembunyi, serta tidak menunggu kedatangan tamu.“Kenapa Kakak pelupa? Barang apa yang tertinggal?” tanya Estefania ketika membuka pintu. “Kamu, aku meninggalkan kamu sendirian di sini,” sahut suara seorang pria. “Cepat ikut aku!” sambungnya sembari menarik pergelangan tangan Estefania.“Eh tunggu! Kita mau ke ma
“Entah kenapa aku percaya Luis,” kata Livy, menoleh El.Wanita itu menelan air liur karena melihat perubahan air muka sang suami. Ia segera memundurkan langkah kaki, sebab El menatap tajam padanya. “A-aku ha-nya menyampaikan pendapat. Tidak salah ‘kan?” Livy tergagap. Ia benar-benar tidak menyangka ucapannya sefatal ini, mengakibatkan El marah besar. “Maaf,” cicitnya.El mendengus sebal, dadanya bergemuruh karena Livy membela pria salah. Ia keberatan dengan kalimat sang istri, bukan khawatir memiliki perasaan berlebih pada Luis, tetapi … El berpikir kata-kata Livy bisa mempengaruhi Estefania.Sekarang, punggung berlapis baju hangat melekat pada dinding. Livy melihat kanan dan kiri, seakan meminta pertolongan. Ia sadar ini balkon kamar El, tidak mungkin orang lain berlalu-lalang seenaknya.“Apa kamu marah? Ta-tapi aku melihat kejujuran di mata Luis.” Livy mengangsurkan punggung tangan ke lengan kiri El, membelai otot bisep yang memberontak ingin menunjukkan eksistensi. “Tidak ada salah
“Estefania?!” pekik Livy.Ketika hendak menggunakan lift di mansion utama, wanita itu melewati kamar adik iparnya. Pintu yang sedikit terbuka membuat Livy bisa mendengar erang kesakitan Estefania.Livy berlari cepat memasuki kamar adik ipar, ia melihat wanita berambut pirang itu sedang kepayahan di depan wastafel. Sigap, Livy melepas ikat rambut dan membantu merapikan surai panjang wanita di depannya.Estefania mual dan muntah hebat, melalui cermin, ibu dua anak itu bisa melihat betapa pucat wajah cantik adik iparnya. Ia menuang air kran ke dalam gelas, memudahkan ibu hamil membasuh mulut.“Terima kasih, Livy.” Suara Estefania tidak terdengar jelas. “Aku antar ke dokter Es. Bila perlu membuat janji sekarang, suapaya Penelope bisa mengosongkan jadwalnya,” kata Livy, memperhatikan kulit wajah Estefania yang benar-benar putih seakan tak dialiri darah merah.Adik bungsu El menggeleng lemah. “Tidak perlu Livy, baru hari ini aku mual dan muntah lagi. Tenang saja, tidak akan lama. Umm ….” Es
“Kenapa kamu menyembunyikannya?” Luis menaruh semangkuk bubur gandum tepat di samping paha Estefania. “Aku juga ayahnya, berhak mengetahui tentang kehamilanmu.”Estefania mendelik dan menggelengkan kepala. “Tapi aku tidak mau, dan ini anakku bukan—““Es, apa yang terjadi? Sebenarnya ada apa?!” berondong El langsung membuka pintu ruang rawat inap.Akibat khawatir pada kesehatan sang adik, El mengekor mobil Luis sejak keluar mansion. Hanya saja, ia tidak diizinkan masuk di IGD, sebab peraturan rumah sakit melarang penunggu pasien lebih dari satu orang.Ketika Estefania dipindahkan ke kamar rawat inap, barulah El bernapas lega, bisa melihat kondisi adiknya. Namun, lelaki itu tidak nyaman, sebab menganggap Luis sebagai akar permasalahan.“Aku sudah ada di sini, kamu boleh pulang dan menjenguk saja seperlunya,” ucap El sambil melirik pintu.“Tidak mau! Aku suaminya, sejak kami menikah aku resmi menjadi walinya. Sebaiknya kamu pergi, karena istriku memerlukan ketenangan dan waktu istirahat
“Daddy mengizinkannya tinggal di sini?” Estefania melirik ke lantai satu, sehari setelah fakta terungkap, ia pikir bisa hidup nyaman di mansion utama.Ternyata Luis hilir mudik di kediaman mewah ini, terlihat pria itu sedang menunggu wanitanya turun. Luis menengadahkan kepala sambil mengukir senyum, memandang putri jelita satu-satunya di Mansion Torres.“Aku mau duduk dekat Mommy! Kakak harus mengalah!” teriak Gal mampu mengalihkan atensi seorang ibu hamil.“Tidak bisa! Tadi malam kamu sudah tidur bersama Mom juga Dad, pagi ini gantian aku yang mau dimanja,” balas Al sambil mejentikkan jari telunjuk.“Ah, Kakak jahat.” Gal memajukan bibirnya. Rasa tidak nyaman serta kekesalan dalam dada seolah menguap begitu saja. Estefania tergelak karena pertengkaran dua keponakannya. Ia merentangkan tangan mengundang salah satu dari mereka mendekat.“Bagaimana kalau kalian duduk di samping aku saja?” Estefania menaik-turunkan alis. “Bantu aku menjaga adik bayi,” sambungnya.Al dan Gal saling meliri
Kenyataannya, mimpi Luis menjadi kenyataan, sebab pria itu memiliki trik licik supaya sang istri kembali ke rumahnya. Sepulang dari toko permen, dengan mudah Luis membawa Estefania pulang.“Katanya, kamu mau memberikan coklat dan permen untuk Belle?! Di mana anak itu?” Wajah Estefania menekuk karena dilanda tak enak hati.“Ah itu, dia … sebenarnya Belle sudah dijemput Tuan Besar Marquez, maaf aku lupa kalau keponakanku tidak ada di rumah,” kata Luis tanpa rasa bersalah.Seketika Estefania memelotot, wanita itu bertolak pinggang dan mendengus kasar. Kaki jenjang yang dibingkai heels cantik melangkah lebar menuju pintu utama. Tampaknya Dewi Fortuna belum berpihak pada adik ipar Livy. Sebab Luis menggunakan kepintaran serta kekuasaannya di rumah ini.“Kenapa pintunya tidak bisa dibuka?” pekik Estefania sembari menarik handle.Ibu hamil itu berulang kali mendorong pintu dan memukulnya, tetapi percuma, tidak ada pergerakkan apa pun. Kemudian, ia teringat, rumah ini dilengkapi sistem keama
“Berikan coklatnya untuk anak-anak! Kamu jangan makan, jika menginginkan coklat, lebih baik kita membeli sendiri!” El menatap jengah isi coklat itu.“Hu’um baiklah. Tapi sepertinya dia ingin memperbaiki hubungan denganmu. Lihat saja bentuk hurufnya benar-benar dilakukan seorang professional.” Jari telunjuk Livy mengarah pada kotak makanan manis.Sebagai permohonan maaf dan adik ipar yang berusaha merebut hati kakak ipar, Luis memberi coklat berbentuk kata-kata cinta ditujukan pada El. Bukan hanya ditujukan pada kakak tertua, tetapi ketiga kakak laki-laki Estefania mendapat hal serupa. Alhasil, saat ini anak-anak di mansion mendapat banyak coklat.“Kamu mau ke mana?” tanya Livy melihat suaminya menuju garasi.“Oh, aku ingin makan coklat. Sebaiknya kamu pergi bersamaku, bantu aku memilih makanan itu.” El memaksa Livy untuk ikut denganya.Sejurus kemudian, keduanya tiba di toko permen, sepasang orang dewasa itu memenuhi satu troli dengan aneka coklat beragam bentuk serta kemasan. El ters
“Kenapa kamu melamun?” bisik El sangat pelan, khawatir mengganggu kualitas tidur Al. “Kamu masih mengingat percakapan makan malam tadi?” Ia menyentuh dan membelai bahu Livy.Selesai dengan acara makan malam di kediaman Marquez, El dan Livy bergegas pulang ke mansionnya. Ia juga tidak betah berlama-lama di tempat itu, khawatir Tuan Marquez mendesak masalah perjodohan.“Ya kamu benar, aku mengira kamu berubah pikiran karena Tuan Besar menawarkan sesuatu yang menggiurkan,” adu Livy.“Ck, untuk apa semua itu? Kalau aku menerima penawarnya, bukankah sama saja menjual anak kita hanya demi memiliki setengah dari perusahaan mereka?” El mendesis karena tidak menyangka pria paruh baya itu rela memberi lima puluh persen saham Cuma-Cuma.“Terima kasih telah mempertahankan hak anak-anak.” Livy tersenyum manis sambil melingkarkan tangan pada lengan kokoh suami, pria itu merespon dengan sayu.Melalui gerakan bola mata, Livy bisa mengetahui jika saat ini suaminya sedang membutuhkan waktu berdua. Atas
“Ini sudah siang, di mana Al? Dia bilang olahraga di sekitar hotel,” gusar Livy bolak-balik melihat jam digital.“Periksa saja kamarnya, anak itu senang kabur, menyelinap masuk dan seolah tidak terjadi sesuatu,” jawab El begitu enteng sembari bermain lego bersama An.Livy mendengus kasar mendengar jawaban sang suami. Ia ingin sekali mengahancurkan susunan lego yang terhampar luas di atas lantai. Suaminya itu bukan mencari keberadaan Al malah asyik bermain seperti anak kecil. Alhasil ibu tiga anak itu membuka pintu kamar Al, ternyata kosong.“Al belum pulang,” lirih Livy melirik putra kedua yang asyik bermain game.Akibat kesal, tidak ada yang peduli pada perasaannya, Livy mengunjungi pusat kebugaran serta taman hotel. Memang banyak orang menggunakan fasilitas untuk olahraha, tetapi setengah jam ia mengamati, tidak menemukan putra sulungnya.“Di mana kamu Al?” Livy memijat pelipis.Ketika ia berjalan menuju lobi, Livy tercenung melihat El menggendong An, berjalan tergesa-gesa, diikuti
“Kenapa kamu di sini?” Kedua bola mata Al berbinar menatap sosok gadis cantik di depannya.“Menurumu, untuk apa aku di sini?” goda anak kecil yang kini menjelma menjad remaja luar biasa.“Mommy-mu di sini?” Al menolehkan kepala ke kanan dan kiri.Gadis itu terkekeh geli melihat tingkah teman baiknya. Lalu mendekati Al yang masih kebingungan, sebab ini Swiss bukan New York, lintas benua yang tidak mudah dilalui hanya dengan satu atau dua jam.“Tentu saja Al, aku menemani Mommy,” sahut anak itu.“Ah, aku pikir kamu nyasar. Bagaimana kabarmu Belle?” Al maju satu langkah hendak mengulurkan tangan.Namun, gadis itu mundur satu langkah dengan wajah tersipu, tetapi pandangannya tidak teralihkan dari Al. Seakan kehabisan kosakata, Belle bungkam, tidak menjawab pertanyaan Al. Anak itu larut dalam pesona remaja tampan di hadapannya.Tidak ingin semakin salah tingkah, Belle meraih minuman tinggi gula, lantas meneguknya. Membuat Al semakin mengikis jarak.Bahkan, putra sulung El dan Livy, merebu
“Mi Amor?!” pekik El, melihat Livy berjalan gontai di tengah ramainya orang berlalu-lalang.“Mom, ada apa?!”Seketika El, Al, dan Gal berlarian menghampiri Livy. Bahkan El memapah tubuh wanitanya yang gemetaran.“An … di-a menghilang.” Tangis Livy pecah, perhatian semua orang tertuju pada keluarga kecil itu.Setelah mendengar hal itu, Al dan Gal bergegas ke toilet wanita, mereka masuk tanpa izin, hingga para pengguna kamar kecil berteriak. Tak sedikit dari beberapa orang melempar dengan sepatu. “Kak, bagaimana ini? An benar-benar menghilang.” Gal tidak menyangka hari istiewa yang dinanti berujung petaka.“Ayo temui Mom dan Daddy,” ajak Al menyeret pergelangan tangan adik laki-laki. Walaupun perih menjalar, Gal tidak peduli, karena saat ini paling penting menemukan keberadaan Antonia. Pikiran dua remaja tampan itu khawatir adiknya diculik, tetapi mengingat belakang ini tidak ada sesuatu yang mencurigakan, hal itu pun mustahil.Livy dan El menuju ruang keamanan, di susul Al dan Gal.
“Berisik!” teriak seorang gadis kecil, menutup telinga dan memelotot menatap dua remaja di depannya.“Anak nakal!” seru suara bass sambil menunjuk penuh amarah. “Itu milikku!”“Ambil saja kalau berani!” sahut remaja satunya lagi.Dalam beberapa tahun berlalu, putra dan putri Livy tumbuh pesat. Ketiganya meramaikan mansion, terutama ketika momen liburan seperti sekarang.Di mana, bukan hanya Al, Gal dan An berkumpul, tetapi Estelle serta para sepupu lain turut menyumbang suara di Mansion Torres.“Kalian itu sudah besar kenapa bertingkah seperti kami?!” lontar An menatap gemas dua kakak laki-lakinya.“Galtero merebut laptopku!” geram Al, “Adik nakal, seharusnya kamu ikut Daddy dan Mommy ke pertemuan bisnis, bukan menjadi pengganggu!” Kalimat pedas Al tertuju pada adiknya.Tidak ingin acara bermainnya terusik, An melangkah maju, mendekati kakak keduanya. Bocah itu bertolak pinggang, menjulurkan tangan, meminta secara baik-baik supaya Gal mengembalikan laptop Al. Akan tetapi, Galtero sang
“Jika itu sakit tidak mungkin Livy hamil sampai tiga kali!” jawab El.Livy langsung menundukkan wajah, entah dari mana suaminya bisa memiliki jawaban memalukan seperti itu. Jujur, saat ini ia kehilangan muka di hadapan adik ipar. Bukan hanya adik ipar, tetapi ibu mertua yang mendadak masuk kamar. Seketika, ingin sekali Livy melempar bantal pada wajah tampan suami.“Sudah, tidak perlu dibahas. Itu rahasia ranjang,” celetuk Mom Pamela setelah melihat kulit pipi menantu berubah masak.“Tapi … aku penasaran Mom. Setidaknya aku tahu, ternyata tidak sakit.” Tawa Estefania sambil menubrukkan bahu ke lengan Livy.Rasa malu Livy semakin menggunung ketika El sengaja menghampiri, merunduk, lalu menaruh ibu jari di bawah dagu, perlahan menariknya, mempertemukan dua bibir.“Wah, romantis sekali. Tapi seharusnya kalian tidak pamer kemesraan,” ucap Estefania dengan lemas. “Luis belum pulang. Huh, kenapa dia betah sekali di NYC mengunjungi kakak sepupunya, padahal kami lebih membutuhkan,” sambungnya
[Kak El, cepat ke mansion utama! Sepertinya Livy mengalami kontraksi.]Isi pesan Estefania, dikirim secara diam-diam, sebab Livy selalu menolak. Wanita itu berdalih berdasarkan pengalaman, belum waktunya bersalin.Kedua wanita itu entah sudah berapa putara mengelilingi taman mansion yang luas. Estefania dibanjiri keringat, sama seperti Livy. Akan tetapi, ibu hamil itu enggan mengakhiri kegiatan olahraga ringan.“Akh … tidak apa-apa, semakin terasa sakit, maka waktu bertemu kita lebih cepat,” gumam ibu dari Al dan Gal, membelai bagian bawah perut, seakan mengetahui di sanalah letak kepala bayi.“Mommy percaya kita bisa Nak. Kakak Al dan Gal tidak sabar bermain denganmu,” sambung Livy sembari terkekeh pelan.Sementara Estefania berlinang air mata, menatap Livy sesekali meringis, keringat bercucuran dari kening, bahkan bagian punggung tampak basah.Wanita berambut pirang itu sesenggukan karena ia selalu mengeluh tidak mau mengandung dan melahirkan lagi. Sebab, adik bungsu El merasa tidak
“Ternyata kamu masih mengingatnya, aku tidak suka! Di dalam sini dan sini.” El menunjuk kepala serta dada Livy. “Hanya ada aku, pria lain tidak boleh!”Setelah mengatakan itu, El masuk ke mansion lebih dulu, tujuannya bukan ruang kerja atau kamar.Puas menikmati pemandangan langit malam serta suasana kota yang diramaikan pejalan kaki, El memutuskan membawa Livy pulang.Tadi, dalam perjalanan menuju mansion, El penasaran alasan wanitanya sangat menyukai kopi di café itu tetapi enggan berkunjung.Rupanya, di tempat itu Livy kerap menghabiskan waktu, membuang lelah serta perih karena memikirkan nasib pernikahannya bersama Sergio. “Mommy, bagaimana Bibi Es? Apa adik bayi sudah lahir?” tanya Al antara khawatir dan gembira.“Estefania sakit perut karena terlalu banyak makan pedas. Doakan yang terbaik untuk Bibi ya.” Livy memulas senyum lantas memberi kecupan sebelum tidur pada kedua buah hati.Wanita berperut besar itu melangkah ke kamar, ia membersihkan kulit dari sisa-sisa debu. Menggant
“Kita mau ke mana Mi Amor?!” Dahi El berkerut cukup dalam.Pria itu tidak tahu apa pun, tanpa basa-basi Livy membuka pintu kamar, langsung menarik pergelangan tangan sang suami.“Hati-hati jalannya Mi Amor, sebenarnya ada apa? Kenapa kita buru-buru begini?” El mengamati wajah cantik Livy dihiasi garis kecemasan.“Nanti saja di mobil, ini penting El.” Livy tak melepas tangannya dari pergelangan El. “Tolong kemudikan dengan cepat Pak,” pinta wanita itu tanpa memberi perintah dan arah tujuan.Merasa terdapat sesuatu yang genting, El menjelaskan secara perlahan pada sopir untuk mempersiapkan mobil. Bahkan pria itu harus menambah stok kesabaran, lantaran Livy tidak bisa diam karena menarik-narik lengan kaos.Setelah duduk nyaman, kendaraan roda empat melaju menuju kediaman William. Terlebih dahulu, Livy meneguk setengah botol air mineral.“Pelan-pelan Mi Amor! Kamu bisa tersedak!” Nada peringatan El membuat sopir berjengit. “Lanjutkan, jangan berhenti!” titahnya pada pria di balik setir.“T
“Kenapa membeli pakaian bayi sebanyak ini, Es? Dia tumbuh cepat, dan berakhir tidak terpakai semua.” Livy melihat adik iparnya tersenyum lebar sambil memerintah maid merapikan kamar bayi. “Kamu tahu Livy, aku sudah tidak sabar berbelanja pakaian bayi sejak kita mendekor kamar anaknya Abril. Akhirnya sekarang Luis mengizinkan aku keluar, ah senangnya.” Estefania menjentikkan telunjuk pada maid. “Lemarinya digeser sedikit, ranjangnya jangan terlalu dekat dengan jendela!”Beberapa bulan berlalu, kandungan para ibu hamil itu telah memasuki tri semester tiga. Apalagi Estefania kurang dari satu bulan lagi melahirkan. Paska terjadi hal tidak diinginkan di salon, wanita itu terpeleset dan mengalami pendarahan ringan. Luis sangat posesif, melarang Etefania melakukan kegiatan apa pun, termasuk belanja kebutuhan bayi.Estefania melirik Livy. “Lalu kamu sudah membeli apa saja?”“Oh itu, karena dokter bilang calon anak ketiga kami laki-laki, kebetulan beberapa baju bayi Al dan Gal masih ku simpa