Ikutan giveaway-nya ya Kak untuk pengumumannya tanggal 16 Mei. Aku umumkan di ulasan dan ig @maciba_nacl (◠‿・)—☆
“Kenapa kamu melamun?” bisik El sangat pelan, khawatir mengganggu kualitas tidur Al. “Kamu masih mengingat percakapan makan malam tadi?” Ia menyentuh dan membelai bahu Livy.Selesai dengan acara makan malam di kediaman Marquez, El dan Livy bergegas pulang ke mansionnya. Ia juga tidak betah berlama-lama di tempat itu, khawatir Tuan Marquez mendesak masalah perjodohan.“Ya kamu benar, aku mengira kamu berubah pikiran karena Tuan Besar menawarkan sesuatu yang menggiurkan,” adu Livy.“Ck, untuk apa semua itu? Kalau aku menerima penawarnya, bukankah sama saja menjual anak kita hanya demi memiliki setengah dari perusahaan mereka?” El mendesis karena tidak menyangka pria paruh baya itu rela memberi lima puluh persen saham Cuma-Cuma.“Terima kasih telah mempertahankan hak anak-anak.” Livy tersenyum manis sambil melingkarkan tangan pada lengan kokoh suami, pria itu merespon dengan sayu.Melalui gerakan bola mata, Livy bisa mengetahui jika saat ini suaminya sedang membutuhkan waktu berdua. Atas
“Mi Amor, siang ini aku tidak bisa menjemput anak-anak. Ada rapat mendadak,” ucap El melalui sambungan telepon.[Baiklah, tidak apa, kebetulan Estefania masih di mansion. Biar dia menjemput Gal.]“Hati-hati di jalan, kalau sopir ngebut, jangan lupa menegurnya!” Peringatan El, lalu mengakhiri sambungan telepon.Dua jam lalu, ketika El baru menyelesaikan rapat di ruang kerjanya, ia terkejut melihat kepala Luis menyembul dari balik pintu.Pria itu datang tanpa permisi dan menguping pembahasan penting di ruangan kerja. El tersentak sebab materi rapat kali ini bersifat pribadi. Terbukti, Luis menyeringai penuh maksud.Setelah beberapa orang pergi dari ruang kerja, El tidak langsung mempersilakan adik ipar masuk, melainkan menghadiahi Luis dengan pulpen terbang. Hasil bidikan Bos Torres inc itu tepat sasaran, mendarat sempurna di puncak hidung mancung Luis William.“Ada perlu apa? Tidak sopan menguping rahasia orang lain,” gerutu El mengepalkan tinju di udara.Luis berdeham, lalu berujar, “K
Hari berlalu, tetapi sesekali Livy mengungkit kesalahan El. Hingga pria itu kehilangan nafsu makan dan enggan berkerja. Alhasil beberapa hari ini pria itu disidang oleh Dad Leon.Semua tidak lain lantaran El berbohong tidak bisa menjemput anak-anak mengatasnamakan rapat, tetapi bukti berbicara lain.“Kamu masih marah? Maaf Mi Amor, tolong jangan hukum aku seperti ini,” keluh El sambil menatap Livy yang membantunya melepas dasi lalu kemeja putih.“Bagaimana tidak marah dibohongi suami, Luis juga sudah menjelaskan alasannya mengajakmu ke café itu. Tapi ....” Livy menggelengkan kepala sambil memutar badan menjauh dari suaminya.Sedangkan El memijat pelipis yang berdenyut, jangankan bercinta, mendapat kecupan selamat pagi pun tidak. Ibu dua anak itu benar-benar kecewa dan marah.Sampai satu minggu kemudian, Livy tetap berperang dingin dengan El, kendati pria itu berusaha meluruskan masalah.“Aku berbohong demi kebaikan,” lirih El di sela sarapan.Air muka mengenaskan pria itu menjadi perta
“Bagaimana Daddy, bisa menghubungi Paman Luis tidak?” desak Al, wajah berisinya memancarkan rasa iba, bagi El dan Livy sangat menggemaskan.Keluarga kecil itu telah tiba di Kota Valencia, Al ingin segera mengetahui di mana keberadaan temannya.“Tidak bisa, mungkin masih di pesawat.” El menunjukkan ponsel, supaya anak itu bisa melihat layarnya. ‘Kalau bukan karena Al, malas sekali menghubungi Luis,’ gerutunya dalam hati.“Sebaiknya kita ke hotel, tunggu Paman Luis memberi kabar,” ajak Livy. Kemudian, wanita itu menoleh Gal. “Memangnya Al tidak kasihan pada Gal? Dia ‘kan tidak boleh kelelahan.”Setelah mengatakan itu, Livy melihat putra sulungnya luluh. Al mengangguk pelan, lantas menghampiri Gal, menggenggam tangan adiknya, berjalan beriringan keluar dari bandar udara. Sesampainya di hotel, bukannya istirahat, Al mengeluarkan tab. Tidak lama, sambungan video terhubung, anak itu tersenyum manis melihat layar tipisnya dipenuhi wajah cantik seorang gadis kecil.[Katanya mengantar teman,
Hari berubah menjadi minggu, entah mengapa kekecewaan Livy terhadap suaminya kian menggunung, setiap waktu selalu ada alasan baginya menggerutu. Meskipun dirundung kekesalan luar biasa, ia tidak melupakan tugasnya.Terpaksa melayani kebutuhan suami termasuk biologis, dan El menyadari hal itu, sebab Livy tampak enggan disentuh di atas ranjang. Akhirnya selama dua minggu ini kegiatan panas yang biasanya terjadi hampir setiap hari, sudah jarang dilakukan.“Kenapa Tuan lemas dan pucat?” tanya Alonso baru saja menaruh tab di atas meja kerja. “Bagaimana jika dibuatkan jadwal cuti?” sambungnya.Lamunan El buyar, matanya beralih memandangi tablet. Pria itu menatap serius, lalu manggut-manggut dan memberi tanda tangan digital.Bukan menjawab, El malah mengajukan pertanyaan. “Apa yang dia lakukan? Masih bersama Estefania?” Tanpa menyebutkan nama yang dimaksud.“Benar Tuan. Nyonya sedang memasak, sangat banyak. Memangnya acara itu dilangsungkan di sini?” ucap Alonso sangat pelan dan hati-hati.El
“Tidak perlu, aku baik-baik saja,” tolak Livy pada Estefania.Bukan tanpa alasan ia melontarkan kalimat itu, sebab adik ipar dan Penelope memaksanya untuk memeriksakan diri. Livy tampa kekurangan darah, hingga menjadi pertimbangan dokter obgyn, khawatir pada kesehatannya.“Mumpung kita ada di sini! Apa kamu lama tidak check up rutin? Bisa-bisanya Kak El lalai, biar ku marahi dia!” Estefania bertolak pinggang sambil merapikan dress. Wanita itu baru saja selesai melakukan USG, hasilnya sangat bagus. Ibu dan bayi sehat, berkembang sesuai usia kehamilan.Livy tersenyum melihat hasil cetak gambar calon keponakan. Ia tidak sabar menanti bayi itu lahir ke dunia. “Bagaimana, mau tidak?!” desak adik ipar cerewet, lalu duduk di samping Livy yang berhadapan dengan Dokter Penelope.“Belakangan ini tubuhku memang kurang sehat, tapi setelah minum multivitamin dan istrahat cukup, aku sehat lagi.” Bola mata Livy bergerak ke atas, mengingat kesehatannya. “Tidak perlu cek ambil darah, aku yakin ini b
“Memangnya kenapa El? Kami ke sini sengaja untuk me—“El menyela ucapan Dad Leon, “Bagaimana kalau kita ke ruang kerja, di sana ada masalah yang harus kita diskusikan Dad.”Buru-buru El menggiring Dad Leon ke ruang kerja, menutup rapat pintu, tidak lupa menguncinya. Pria itu mengusap kasar wajahnya, bahkan berkeringat.“Istriku tidak tahu tentang itu Dad, aku mohon jangan sekarang. Biarkan sebentar lagi.” El mengiba di depan sang ayah.Dad Leon mengangguk, saking senangnya pria paruh baya itu melupakan sandiwara yang diperintahkan oleh El. Pemilik Torres Inc itu tergelak, lantaran melihat wajah pucat putra sulungnya.“Baiklah, aku senang karena memiliki cucu lagi. Jaga istrimu, bebanmu semakin berat, jangan sampai mengabaikan salah satu diantara mereka!” pesan Dad Leon, memutar badan, keluar ruang kerja lalu bercengkerama bersama cucu.Memasuki waktu makan siang, Al dan Gal mengamati beberapa pria serta para maid sibuk mondar-mandir dari satu sisi ke tempat lain. Bahkan anak-anak itu m
Livy terpaku melihat pemandangan di depannya, senyum manis mengembang sempurna menghiasi wajah cantik. Ia berkedip, dan lelehan bening pun turun membasahi pipi. “Kenapa Mommy nangis? Tidak suka ya?” Al mendongak sambil mengulurkan saputangan.“Terima kasih Sayang.” Livy membelai puncak kepala putra sulung, tidak ketinggalan Gal yang sedang menekuk wajah. “Bukan itu, tapi Mommy suka.”Livy menyeka air mata hingga kering, ia pikir semua tamu yang hadir langsung pulang karena pesta ulang tahunnya menjadi kacau. Ternyata, mereka tidak menginggalkan mansion ini, melainkan berpindah tempat.“Ini bukan seperti … garasi,” ucap ibu hamil itu terkekeh. “Bagaimana caranya memiliki ide di sini?” “Kata Bibi Claudya, meskipun semua bunga dibersihkan tetap saja serbuknya masih ada. Jadi Bibi menyarankan pestanya dipindahkan,” jawab Al sambil mencuri tatapan ke arah lain.“Ah, kalau begitu Mommy harus mengucapkan banyak terima kasih pada Claudya.” Livy mengalihkan tatapan pada wanita bergaun navy
“Ini sudah siang, di mana Al? Dia bilang olahraga di sekitar hotel,” gusar Livy bolak-balik melihat jam digital.“Periksa saja kamarnya, anak itu senang kabur, menyelinap masuk dan seolah tidak terjadi sesuatu,” jawab El begitu enteng sembari bermain lego bersama An.Livy mendengus kasar mendengar jawaban sang suami. Ia ingin sekali mengahancurkan susunan lego yang terhampar luas di atas lantai. Suaminya itu bukan mencari keberadaan Al malah asyik bermain seperti anak kecil. Alhasil ibu tiga anak itu membuka pintu kamar Al, ternyata kosong.“Al belum pulang,” lirih Livy melirik putra kedua yang asyik bermain game.Akibat kesal, tidak ada yang peduli pada perasaannya, Livy mengunjungi pusat kebugaran serta taman hotel. Memang banyak orang menggunakan fasilitas untuk olahraha, tetapi setengah jam ia mengamati, tidak menemukan putra sulungnya.“Di mana kamu Al?” Livy memijat pelipis.Ketika ia berjalan menuju lobi, Livy tercenung melihat El menggendong An, berjalan tergesa-gesa, diikuti
“Kenapa kamu di sini?” Kedua bola mata Al berbinar menatap sosok gadis cantik di depannya.“Menurumu, untuk apa aku di sini?” goda anak kecil yang kini menjelma menjad remaja luar biasa.“Mommy-mu di sini?” Al menolehkan kepala ke kanan dan kiri.Gadis itu terkekeh geli melihat tingkah teman baiknya. Lalu mendekati Al yang masih kebingungan, sebab ini Swiss bukan New York, lintas benua yang tidak mudah dilalui hanya dengan satu atau dua jam.“Tentu saja Al, aku menemani Mommy,” sahut anak itu.“Ah, aku pikir kamu nyasar. Bagaimana kabarmu Belle?” Al maju satu langkah hendak mengulurkan tangan.Namun, gadis itu mundur satu langkah dengan wajah tersipu, tetapi pandangannya tidak teralihkan dari Al. Seakan kehabisan kosakata, Belle bungkam, tidak menjawab pertanyaan Al. Anak itu larut dalam pesona remaja tampan di hadapannya.Tidak ingin semakin salah tingkah, Belle meraih minuman tinggi gula, lantas meneguknya. Membuat Al semakin mengikis jarak.Bahkan, putra sulung El dan Livy, merebu
“Mi Amor?!” pekik El, melihat Livy berjalan gontai di tengah ramainya orang berlalu-lalang.“Mom, ada apa?!”Seketika El, Al, dan Gal berlarian menghampiri Livy. Bahkan El memapah tubuh wanitanya yang gemetaran.“An … di-a menghilang.” Tangis Livy pecah, perhatian semua orang tertuju pada keluarga kecil itu.Setelah mendengar hal itu, Al dan Gal bergegas ke toilet wanita, mereka masuk tanpa izin, hingga para pengguna kamar kecil berteriak. Tak sedikit dari beberapa orang melempar dengan sepatu. “Kak, bagaimana ini? An benar-benar menghilang.” Gal tidak menyangka hari istiewa yang dinanti berujung petaka.“Ayo temui Mom dan Daddy,” ajak Al menyeret pergelangan tangan adik laki-laki. Walaupun perih menjalar, Gal tidak peduli, karena saat ini paling penting menemukan keberadaan Antonia. Pikiran dua remaja tampan itu khawatir adiknya diculik, tetapi mengingat belakang ini tidak ada sesuatu yang mencurigakan, hal itu pun mustahil.Livy dan El menuju ruang keamanan, di susul Al dan Gal.
“Berisik!” teriak seorang gadis kecil, menutup telinga dan memelotot menatap dua remaja di depannya.“Anak nakal!” seru suara bass sambil menunjuk penuh amarah. “Itu milikku!”“Ambil saja kalau berani!” sahut remaja satunya lagi.Dalam beberapa tahun berlalu, putra dan putri Livy tumbuh pesat. Ketiganya meramaikan mansion, terutama ketika momen liburan seperti sekarang.Di mana, bukan hanya Al, Gal dan An berkumpul, tetapi Estelle serta para sepupu lain turut menyumbang suara di Mansion Torres.“Kalian itu sudah besar kenapa bertingkah seperti kami?!” lontar An menatap gemas dua kakak laki-lakinya.“Galtero merebut laptopku!” geram Al, “Adik nakal, seharusnya kamu ikut Daddy dan Mommy ke pertemuan bisnis, bukan menjadi pengganggu!” Kalimat pedas Al tertuju pada adiknya.Tidak ingin acara bermainnya terusik, An melangkah maju, mendekati kakak keduanya. Bocah itu bertolak pinggang, menjulurkan tangan, meminta secara baik-baik supaya Gal mengembalikan laptop Al. Akan tetapi, Galtero sang
“Jika itu sakit tidak mungkin Livy hamil sampai tiga kali!” jawab El.Livy langsung menundukkan wajah, entah dari mana suaminya bisa memiliki jawaban memalukan seperti itu. Jujur, saat ini ia kehilangan muka di hadapan adik ipar. Bukan hanya adik ipar, tetapi ibu mertua yang mendadak masuk kamar. Seketika, ingin sekali Livy melempar bantal pada wajah tampan suami.“Sudah, tidak perlu dibahas. Itu rahasia ranjang,” celetuk Mom Pamela setelah melihat kulit pipi menantu berubah masak.“Tapi … aku penasaran Mom. Setidaknya aku tahu, ternyata tidak sakit.” Tawa Estefania sambil menubrukkan bahu ke lengan Livy.Rasa malu Livy semakin menggunung ketika El sengaja menghampiri, merunduk, lalu menaruh ibu jari di bawah dagu, perlahan menariknya, mempertemukan dua bibir.“Wah, romantis sekali. Tapi seharusnya kalian tidak pamer kemesraan,” ucap Estefania dengan lemas. “Luis belum pulang. Huh, kenapa dia betah sekali di NYC mengunjungi kakak sepupunya, padahal kami lebih membutuhkan,” sambungnya
[Kak El, cepat ke mansion utama! Sepertinya Livy mengalami kontraksi.]Isi pesan Estefania, dikirim secara diam-diam, sebab Livy selalu menolak. Wanita itu berdalih berdasarkan pengalaman, belum waktunya bersalin.Kedua wanita itu entah sudah berapa putara mengelilingi taman mansion yang luas. Estefania dibanjiri keringat, sama seperti Livy. Akan tetapi, ibu hamil itu enggan mengakhiri kegiatan olahraga ringan.“Akh … tidak apa-apa, semakin terasa sakit, maka waktu bertemu kita lebih cepat,” gumam ibu dari Al dan Gal, membelai bagian bawah perut, seakan mengetahui di sanalah letak kepala bayi.“Mommy percaya kita bisa Nak. Kakak Al dan Gal tidak sabar bermain denganmu,” sambung Livy sembari terkekeh pelan.Sementara Estefania berlinang air mata, menatap Livy sesekali meringis, keringat bercucuran dari kening, bahkan bagian punggung tampak basah.Wanita berambut pirang itu sesenggukan karena ia selalu mengeluh tidak mau mengandung dan melahirkan lagi. Sebab, adik bungsu El merasa tidak
“Ternyata kamu masih mengingatnya, aku tidak suka! Di dalam sini dan sini.” El menunjuk kepala serta dada Livy. “Hanya ada aku, pria lain tidak boleh!”Setelah mengatakan itu, El masuk ke mansion lebih dulu, tujuannya bukan ruang kerja atau kamar.Puas menikmati pemandangan langit malam serta suasana kota yang diramaikan pejalan kaki, El memutuskan membawa Livy pulang.Tadi, dalam perjalanan menuju mansion, El penasaran alasan wanitanya sangat menyukai kopi di café itu tetapi enggan berkunjung.Rupanya, di tempat itu Livy kerap menghabiskan waktu, membuang lelah serta perih karena memikirkan nasib pernikahannya bersama Sergio. “Mommy, bagaimana Bibi Es? Apa adik bayi sudah lahir?” tanya Al antara khawatir dan gembira.“Estefania sakit perut karena terlalu banyak makan pedas. Doakan yang terbaik untuk Bibi ya.” Livy memulas senyum lantas memberi kecupan sebelum tidur pada kedua buah hati.Wanita berperut besar itu melangkah ke kamar, ia membersihkan kulit dari sisa-sisa debu. Menggant
“Kita mau ke mana Mi Amor?!” Dahi El berkerut cukup dalam.Pria itu tidak tahu apa pun, tanpa basa-basi Livy membuka pintu kamar, langsung menarik pergelangan tangan sang suami.“Hati-hati jalannya Mi Amor, sebenarnya ada apa? Kenapa kita buru-buru begini?” El mengamati wajah cantik Livy dihiasi garis kecemasan.“Nanti saja di mobil, ini penting El.” Livy tak melepas tangannya dari pergelangan El. “Tolong kemudikan dengan cepat Pak,” pinta wanita itu tanpa memberi perintah dan arah tujuan.Merasa terdapat sesuatu yang genting, El menjelaskan secara perlahan pada sopir untuk mempersiapkan mobil. Bahkan pria itu harus menambah stok kesabaran, lantaran Livy tidak bisa diam karena menarik-narik lengan kaos.Setelah duduk nyaman, kendaraan roda empat melaju menuju kediaman William. Terlebih dahulu, Livy meneguk setengah botol air mineral.“Pelan-pelan Mi Amor! Kamu bisa tersedak!” Nada peringatan El membuat sopir berjengit. “Lanjutkan, jangan berhenti!” titahnya pada pria di balik setir.“T
“Kenapa membeli pakaian bayi sebanyak ini, Es? Dia tumbuh cepat, dan berakhir tidak terpakai semua.” Livy melihat adik iparnya tersenyum lebar sambil memerintah maid merapikan kamar bayi. “Kamu tahu Livy, aku sudah tidak sabar berbelanja pakaian bayi sejak kita mendekor kamar anaknya Abril. Akhirnya sekarang Luis mengizinkan aku keluar, ah senangnya.” Estefania menjentikkan telunjuk pada maid. “Lemarinya digeser sedikit, ranjangnya jangan terlalu dekat dengan jendela!”Beberapa bulan berlalu, kandungan para ibu hamil itu telah memasuki tri semester tiga. Apalagi Estefania kurang dari satu bulan lagi melahirkan. Paska terjadi hal tidak diinginkan di salon, wanita itu terpeleset dan mengalami pendarahan ringan. Luis sangat posesif, melarang Etefania melakukan kegiatan apa pun, termasuk belanja kebutuhan bayi.Estefania melirik Livy. “Lalu kamu sudah membeli apa saja?”“Oh itu, karena dokter bilang calon anak ketiga kami laki-laki, kebetulan beberapa baju bayi Al dan Gal masih ku simpa