kura-kura ada apa ya?
“Es ada apa? Ayo masuk.” Livy memundurkan langkah menoleh adik ipar. Melihat Estefania bergeming, sama sekali tidak merespon, Livy mengikuti arah pandang wanita berambut pirang panjang sepinggang. Mendadak, ibu dua anak itu melebarkan kelopak mata, seketika ia langsung merangkul bahu adik ipar.“Sekarang, sebaiknya periksa dulu, kamu—“ Estefania menyela, “Hu’um, boleh aku minta tolong?” Sorot mata biru safir itu teramat mengiba.Livy mengangguk pelan, sambil terus memandangi dua orang yang kini telah menghilang entah ke mana. Ia mengerti perasaan adik iparnya, untuk itu meminta Estefania lebih mementingkan kondisi tubuhnya sendiri.“Rahasiakan ini dari Kak El! Aku ingin menyelidiki sendirian,” lirih Estefania merasakan desakan kuat dari lambung.Melihat adik iparnya menerobos masuk dan meminta izin menggunakan toilet dalam ruang poli, Livy menghela napas. Ia memandangi wajah El dan punggung Estefania yang menyelinap ke toilet.‘Kasihan sekali dia. Aku harus membantunya, sebenarnya s
“Kamu dari mana? Kenapa mengabaikan pesanku? Apa kamu tidak tahu kalau aku mencemaskanmu?” Luis memberondong banyak pertanyaan pada Estefania yang baru memasuki rumah. “Kamu tanya aku dari mana?!” jawab Estefania sambil melepas heels. “Bukankah kamu bisa melihat sendiri?! Tentu saja aku pulang kerja.”Estefania melangkah anggun melewati Luis. Bahkan kedua matanya enggan menatap Luis, ia melenggang begitu saja menuju kamar.Ketika tanganya hendak menutup pintu, sebelah kaki Luis menghalangi. Pria itu mendorong Estefania sampai melekat pada dinding. “Katakan ada apa?” Luis menangkup pipi mulus sang istri, sayangnya Estefania mengelak dan menepis sentuhan. “Aku dengar dari Belle, kemarin kamu ke rumah sakit, sakit apa?”Adik bungsu El berdecih sinis, mengingat bagaimana tangan Luis merangkul seorang wanita di lorong rumah sakit. Lalu tadi pagi mengirim pesan akan pulang besok, dan sekarang pria itu bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa.“Ya itu benar, aku hanya pusing dan kurang dara
“Iya, aku sedang mengikuti Estefania. Sebaiknya kamu cepat ke sini El, aku khawatir ….” Livy memutus sambungan telepon, kembali fokus memperhatikan mobil Estefania. “Tunggu! Aku kira dia mau ke apartemen itu, ini ‘kan … jalan ke rumah Luis.”Livy tidak bisa tenang sebab Estefania pergi dalam keadaan suasana hati buruk. Ia memerintah sopir melanju lebih cepat tepat di belakang mobil adik ipar.Sampai di kediaman William, Livy bergegas masuk dan mencari keberadan Estefania. Ia melihat adik iparnya itu melangkah lebar menaiki anak tangga. Ibu Al dan Gal berlari dengan cepat membuntuti sang adik.Tepat di depan pintu kamar, Livy sempat mengambil napas dan menyeka peluh, lalu masuk ke ruangan itu. Ia terbelalak karena Estefania merapikan pakaian ke dalam koper.“Es?” panggl Livy.“Sebaiknya kamu bantu aku Livy! Aku mau pindah dari tempat ini.” Wanita itu bergerak cepat seolah tidak berbadan dua.Tidak ingin ada perdebatan yang mengakibatkan suasana bertambah keruh. Livy mengerjakan perminta
“Paman tidak sopan!” seru Gal karena Luis memasuki mansion seenaknya.Pria itu langsung mencari keberadaan Estefania di beberapa ruangan termasuk kamar tamu yang terletak di lantai satu, serta bangunan lain mansion. “Maaf Gal, tapi Paman harus melakukan ini,” kata Luis sembari berpikir ruangan mana lagi yang belum diperiksa.“Memang Paman cari siapa? Ini masih jam kerja, Daddy-ku di kantor, Mommy jemput Kak Al,” tegas Gal bertolak pinggang.Luis mengangguk, sebenarnya tidak menyimak kalimat Gal. Pria itu melihat lantai dua, langkahnya segera maju hendak memastikan apa sang istri bersembuyi di kamar utama atau tidak.Lagi, bukan perkara mudah menggeledah kediaman orang lain, langkah kaki Luis seketika berhenti karena Gal merentangkan tangan di depan tubuh pria dewasa itu.“Paman susah sekali dikasih tahu! Daddy dan Mommy tidak ada di rumah!” Bahu Gal turun naik. “Paman benar-benar mengganggu orang lain!” ketus putra bungsu Livy.Luis menghela napas lantaran apa yang dikatakan Gal mema
“Sayang bukankah itu Luis?” Livy menunjuk seseorang baru saja keluar dari dalam mobil.Sontak El mengikuti arah yang ditunjukkan sang istri. Ia menggeram marah karena melihat adik ipar mengetahui keberadaan Estefania. Jujur, sebagai seorang kakak sangat menyayangi adik perempuan satu-satunya. El diliputi kekecewaan, hinga pria itu menitipkan kedua anaknya pada Livy, bergegas kembali ke griya tawang. El menggunakan lift khusus supaya lebih cepat tiba dibanding Luis. Ketika pintu besi terbuka tepat di depan unit penthouse-nya, El menekan bel. Tak disangka, Estefania begitu mudah membuka pintu saat mendengar suara bel. Seharusnya ibu hamil itu selalu waspada, karena sedang bersembunyi, serta tidak menunggu kedatangan tamu.“Kenapa Kakak pelupa? Barang apa yang tertinggal?” tanya Estefania ketika membuka pintu. “Kamu, aku meninggalkan kamu sendirian di sini,” sahut suara seorang pria. “Cepat ikut aku!” sambungnya sembari menarik pergelangan tangan Estefania.“Eh tunggu! Kita mau ke ma
“Entah kenapa aku percaya Luis,” kata Livy, menoleh El.Wanita itu menelan air liur karena melihat perubahan air muka sang suami. Ia segera memundurkan langkah kaki, sebab El menatap tajam padanya. “A-aku ha-nya menyampaikan pendapat. Tidak salah ‘kan?” Livy tergagap. Ia benar-benar tidak menyangka ucapannya sefatal ini, mengakibatkan El marah besar. “Maaf,” cicitnya.El mendengus sebal, dadanya bergemuruh karena Livy membela pria salah. Ia keberatan dengan kalimat sang istri, bukan khawatir memiliki perasaan berlebih pada Luis, tetapi … El berpikir kata-kata Livy bisa mempengaruhi Estefania.Sekarang, punggung berlapis baju hangat melekat pada dinding. Livy melihat kanan dan kiri, seakan meminta pertolongan. Ia sadar ini balkon kamar El, tidak mungkin orang lain berlalu-lalang seenaknya.“Apa kamu marah? Ta-tapi aku melihat kejujuran di mata Luis.” Livy mengangsurkan punggung tangan ke lengan kiri El, membelai otot bisep yang memberontak ingin menunjukkan eksistensi. “Tidak ada salah
“Estefania?!” pekik Livy.Ketika hendak menggunakan lift di mansion utama, wanita itu melewati kamar adik iparnya. Pintu yang sedikit terbuka membuat Livy bisa mendengar erang kesakitan Estefania.Livy berlari cepat memasuki kamar adik ipar, ia melihat wanita berambut pirang itu sedang kepayahan di depan wastafel. Sigap, Livy melepas ikat rambut dan membantu merapikan surai panjang wanita di depannya.Estefania mual dan muntah hebat, melalui cermin, ibu dua anak itu bisa melihat betapa pucat wajah cantik adik iparnya. Ia menuang air kran ke dalam gelas, memudahkan ibu hamil membasuh mulut.“Terima kasih, Livy.” Suara Estefania tidak terdengar jelas. “Aku antar ke dokter Es. Bila perlu membuat janji sekarang, suapaya Penelope bisa mengosongkan jadwalnya,” kata Livy, memperhatikan kulit wajah Estefania yang benar-benar putih seakan tak dialiri darah merah.Adik bungsu El menggeleng lemah. “Tidak perlu Livy, baru hari ini aku mual dan muntah lagi. Tenang saja, tidak akan lama. Umm ….” Es
“Kenapa kamu menyembunyikannya?” Luis menaruh semangkuk bubur gandum tepat di samping paha Estefania. “Aku juga ayahnya, berhak mengetahui tentang kehamilanmu.”Estefania mendelik dan menggelengkan kepala. “Tapi aku tidak mau, dan ini anakku bukan—““Es, apa yang terjadi? Sebenarnya ada apa?!” berondong El langsung membuka pintu ruang rawat inap.Akibat khawatir pada kesehatan sang adik, El mengekor mobil Luis sejak keluar mansion. Hanya saja, ia tidak diizinkan masuk di IGD, sebab peraturan rumah sakit melarang penunggu pasien lebih dari satu orang.Ketika Estefania dipindahkan ke kamar rawat inap, barulah El bernapas lega, bisa melihat kondisi adiknya. Namun, lelaki itu tidak nyaman, sebab menganggap Luis sebagai akar permasalahan.“Aku sudah ada di sini, kamu boleh pulang dan menjenguk saja seperlunya,” ucap El sambil melirik pintu.“Tidak mau! Aku suaminya, sejak kami menikah aku resmi menjadi walinya. Sebaiknya kamu pergi, karena istriku memerlukan ketenangan dan waktu istirahat
“Ini sudah siang, di mana Al? Dia bilang olahraga di sekitar hotel,” gusar Livy bolak-balik melihat jam digital.“Periksa saja kamarnya, anak itu senang kabur, menyelinap masuk dan seolah tidak terjadi sesuatu,” jawab El begitu enteng sembari bermain lego bersama An.Livy mendengus kasar mendengar jawaban sang suami. Ia ingin sekali mengahancurkan susunan lego yang terhampar luas di atas lantai. Suaminya itu bukan mencari keberadaan Al malah asyik bermain seperti anak kecil. Alhasil ibu tiga anak itu membuka pintu kamar Al, ternyata kosong.“Al belum pulang,” lirih Livy melirik putra kedua yang asyik bermain game.Akibat kesal, tidak ada yang peduli pada perasaannya, Livy mengunjungi pusat kebugaran serta taman hotel. Memang banyak orang menggunakan fasilitas untuk olahraha, tetapi setengah jam ia mengamati, tidak menemukan putra sulungnya.“Di mana kamu Al?” Livy memijat pelipis.Ketika ia berjalan menuju lobi, Livy tercenung melihat El menggendong An, berjalan tergesa-gesa, diikuti
“Kenapa kamu di sini?” Kedua bola mata Al berbinar menatap sosok gadis cantik di depannya.“Menurumu, untuk apa aku di sini?” goda anak kecil yang kini menjelma menjad remaja luar biasa.“Mommy-mu di sini?” Al menolehkan kepala ke kanan dan kiri.Gadis itu terkekeh geli melihat tingkah teman baiknya. Lalu mendekati Al yang masih kebingungan, sebab ini Swiss bukan New York, lintas benua yang tidak mudah dilalui hanya dengan satu atau dua jam.“Tentu saja Al, aku menemani Mommy,” sahut anak itu.“Ah, aku pikir kamu nyasar. Bagaimana kabarmu Belle?” Al maju satu langkah hendak mengulurkan tangan.Namun, gadis itu mundur satu langkah dengan wajah tersipu, tetapi pandangannya tidak teralihkan dari Al. Seakan kehabisan kosakata, Belle bungkam, tidak menjawab pertanyaan Al. Anak itu larut dalam pesona remaja tampan di hadapannya.Tidak ingin semakin salah tingkah, Belle meraih minuman tinggi gula, lantas meneguknya. Membuat Al semakin mengikis jarak.Bahkan, putra sulung El dan Livy, merebu
“Mi Amor?!” pekik El, melihat Livy berjalan gontai di tengah ramainya orang berlalu-lalang.“Mom, ada apa?!”Seketika El, Al, dan Gal berlarian menghampiri Livy. Bahkan El memapah tubuh wanitanya yang gemetaran.“An … di-a menghilang.” Tangis Livy pecah, perhatian semua orang tertuju pada keluarga kecil itu.Setelah mendengar hal itu, Al dan Gal bergegas ke toilet wanita, mereka masuk tanpa izin, hingga para pengguna kamar kecil berteriak. Tak sedikit dari beberapa orang melempar dengan sepatu. “Kak, bagaimana ini? An benar-benar menghilang.” Gal tidak menyangka hari istiewa yang dinanti berujung petaka.“Ayo temui Mom dan Daddy,” ajak Al menyeret pergelangan tangan adik laki-laki. Walaupun perih menjalar, Gal tidak peduli, karena saat ini paling penting menemukan keberadaan Antonia. Pikiran dua remaja tampan itu khawatir adiknya diculik, tetapi mengingat belakang ini tidak ada sesuatu yang mencurigakan, hal itu pun mustahil.Livy dan El menuju ruang keamanan, di susul Al dan Gal.
“Berisik!” teriak seorang gadis kecil, menutup telinga dan memelotot menatap dua remaja di depannya.“Anak nakal!” seru suara bass sambil menunjuk penuh amarah. “Itu milikku!”“Ambil saja kalau berani!” sahut remaja satunya lagi.Dalam beberapa tahun berlalu, putra dan putri Livy tumbuh pesat. Ketiganya meramaikan mansion, terutama ketika momen liburan seperti sekarang.Di mana, bukan hanya Al, Gal dan An berkumpul, tetapi Estelle serta para sepupu lain turut menyumbang suara di Mansion Torres.“Kalian itu sudah besar kenapa bertingkah seperti kami?!” lontar An menatap gemas dua kakak laki-lakinya.“Galtero merebut laptopku!” geram Al, “Adik nakal, seharusnya kamu ikut Daddy dan Mommy ke pertemuan bisnis, bukan menjadi pengganggu!” Kalimat pedas Al tertuju pada adiknya.Tidak ingin acara bermainnya terusik, An melangkah maju, mendekati kakak keduanya. Bocah itu bertolak pinggang, menjulurkan tangan, meminta secara baik-baik supaya Gal mengembalikan laptop Al. Akan tetapi, Galtero sang
“Jika itu sakit tidak mungkin Livy hamil sampai tiga kali!” jawab El.Livy langsung menundukkan wajah, entah dari mana suaminya bisa memiliki jawaban memalukan seperti itu. Jujur, saat ini ia kehilangan muka di hadapan adik ipar. Bukan hanya adik ipar, tetapi ibu mertua yang mendadak masuk kamar. Seketika, ingin sekali Livy melempar bantal pada wajah tampan suami.“Sudah, tidak perlu dibahas. Itu rahasia ranjang,” celetuk Mom Pamela setelah melihat kulit pipi menantu berubah masak.“Tapi … aku penasaran Mom. Setidaknya aku tahu, ternyata tidak sakit.” Tawa Estefania sambil menubrukkan bahu ke lengan Livy.Rasa malu Livy semakin menggunung ketika El sengaja menghampiri, merunduk, lalu menaruh ibu jari di bawah dagu, perlahan menariknya, mempertemukan dua bibir.“Wah, romantis sekali. Tapi seharusnya kalian tidak pamer kemesraan,” ucap Estefania dengan lemas. “Luis belum pulang. Huh, kenapa dia betah sekali di NYC mengunjungi kakak sepupunya, padahal kami lebih membutuhkan,” sambungnya
[Kak El, cepat ke mansion utama! Sepertinya Livy mengalami kontraksi.]Isi pesan Estefania, dikirim secara diam-diam, sebab Livy selalu menolak. Wanita itu berdalih berdasarkan pengalaman, belum waktunya bersalin.Kedua wanita itu entah sudah berapa putara mengelilingi taman mansion yang luas. Estefania dibanjiri keringat, sama seperti Livy. Akan tetapi, ibu hamil itu enggan mengakhiri kegiatan olahraga ringan.“Akh … tidak apa-apa, semakin terasa sakit, maka waktu bertemu kita lebih cepat,” gumam ibu dari Al dan Gal, membelai bagian bawah perut, seakan mengetahui di sanalah letak kepala bayi.“Mommy percaya kita bisa Nak. Kakak Al dan Gal tidak sabar bermain denganmu,” sambung Livy sembari terkekeh pelan.Sementara Estefania berlinang air mata, menatap Livy sesekali meringis, keringat bercucuran dari kening, bahkan bagian punggung tampak basah.Wanita berambut pirang itu sesenggukan karena ia selalu mengeluh tidak mau mengandung dan melahirkan lagi. Sebab, adik bungsu El merasa tidak
“Ternyata kamu masih mengingatnya, aku tidak suka! Di dalam sini dan sini.” El menunjuk kepala serta dada Livy. “Hanya ada aku, pria lain tidak boleh!”Setelah mengatakan itu, El masuk ke mansion lebih dulu, tujuannya bukan ruang kerja atau kamar.Puas menikmati pemandangan langit malam serta suasana kota yang diramaikan pejalan kaki, El memutuskan membawa Livy pulang.Tadi, dalam perjalanan menuju mansion, El penasaran alasan wanitanya sangat menyukai kopi di café itu tetapi enggan berkunjung.Rupanya, di tempat itu Livy kerap menghabiskan waktu, membuang lelah serta perih karena memikirkan nasib pernikahannya bersama Sergio. “Mommy, bagaimana Bibi Es? Apa adik bayi sudah lahir?” tanya Al antara khawatir dan gembira.“Estefania sakit perut karena terlalu banyak makan pedas. Doakan yang terbaik untuk Bibi ya.” Livy memulas senyum lantas memberi kecupan sebelum tidur pada kedua buah hati.Wanita berperut besar itu melangkah ke kamar, ia membersihkan kulit dari sisa-sisa debu. Menggant
“Kita mau ke mana Mi Amor?!” Dahi El berkerut cukup dalam.Pria itu tidak tahu apa pun, tanpa basa-basi Livy membuka pintu kamar, langsung menarik pergelangan tangan sang suami.“Hati-hati jalannya Mi Amor, sebenarnya ada apa? Kenapa kita buru-buru begini?” El mengamati wajah cantik Livy dihiasi garis kecemasan.“Nanti saja di mobil, ini penting El.” Livy tak melepas tangannya dari pergelangan El. “Tolong kemudikan dengan cepat Pak,” pinta wanita itu tanpa memberi perintah dan arah tujuan.Merasa terdapat sesuatu yang genting, El menjelaskan secara perlahan pada sopir untuk mempersiapkan mobil. Bahkan pria itu harus menambah stok kesabaran, lantaran Livy tidak bisa diam karena menarik-narik lengan kaos.Setelah duduk nyaman, kendaraan roda empat melaju menuju kediaman William. Terlebih dahulu, Livy meneguk setengah botol air mineral.“Pelan-pelan Mi Amor! Kamu bisa tersedak!” Nada peringatan El membuat sopir berjengit. “Lanjutkan, jangan berhenti!” titahnya pada pria di balik setir.“T
“Kenapa membeli pakaian bayi sebanyak ini, Es? Dia tumbuh cepat, dan berakhir tidak terpakai semua.” Livy melihat adik iparnya tersenyum lebar sambil memerintah maid merapikan kamar bayi. “Kamu tahu Livy, aku sudah tidak sabar berbelanja pakaian bayi sejak kita mendekor kamar anaknya Abril. Akhirnya sekarang Luis mengizinkan aku keluar, ah senangnya.” Estefania menjentikkan telunjuk pada maid. “Lemarinya digeser sedikit, ranjangnya jangan terlalu dekat dengan jendela!”Beberapa bulan berlalu, kandungan para ibu hamil itu telah memasuki tri semester tiga. Apalagi Estefania kurang dari satu bulan lagi melahirkan. Paska terjadi hal tidak diinginkan di salon, wanita itu terpeleset dan mengalami pendarahan ringan. Luis sangat posesif, melarang Etefania melakukan kegiatan apa pun, termasuk belanja kebutuhan bayi.Estefania melirik Livy. “Lalu kamu sudah membeli apa saja?”“Oh itu, karena dokter bilang calon anak ketiga kami laki-laki, kebetulan beberapa baju bayi Al dan Gal masih ku simpa