Pagi Kakak ... Adakah yg sudah mudik atau di rumah aja? Tetap jaga kesehatan ya (◠‿・) Ngomong-ngomong, setelah ini gemana hubungan Luis & Estefania? ditunggu komentarnya (◕ᴗ◕✿)
“Aku harus menghubungi Tuan Leonard Torres,” ucap ibu kandung Luis.“Cepatlah! Sepertinya mereka tidak tahan hidup bersama! Daripada menimbulkan skandal dan berdampak buruk bagi keluarga juga perusahaan.” Ayah kandung Luis memaling wajah karena segan melihat tubuh hampir polos seorang gadis.Meskipun dikelilingi dunia bebas, Estefania masih menjaga kesuciannya. Bungsu dari empat berasaudara itu, tidak mau memberikan Cuma-Cuma kepada pria yang belum jelas menjadi jodohnya.Saking pemilihnya, Estefania dijuluki ‘perawan tua’ oleh teman-teman serta kerabat dekat. Lagi, wanita itu tidak peduli, karena ia enggan menikah cepat dan berujung menyesal mendapatkan pria yang salah.“Ayah, ini bukan—“Ayah Luis menyela, “Aku tunggu kalian di ruang keluarga! Bangunkan calon istrimu itu! Entah sampai jam berapa kalian bermain, sampai-sampai dia kelelahan begitu.” Kemudian melenggang pergi.Luis menghela napas, kejadian pagi ini entah malapetaka atau anugerah dari Yang Maha Kuasa. Di satu sisi ia se
“Bibi jangan!” teriak Al, segera mengejar Estefania ke balkon. “Jangan lompat! Kami semua sayang Bibi.” Al mengedip, tidak tahan mengeluarkan air matanya. Anak itu kebingungan, mendadak otak Al membeku tidak bisa digunakan berpikir. Ia takut bibinya terjun dari lantai tiga. Ia ingin menarik badan Estefania tetapi sadar diri, dengan tenaga kecilnya mana sanggup. Sedangkan keluar kamar pun sangat takut, saat kembali nanti bibinya sudah menghilang.“Bibi tenang! Tidak boleh begitu, Bibi harus ingat abuelo dan abuela!” Al terisak.“Hey, anak kecil! Kamu ini bilang apa? Kamu pikir aku mau loncat?!” Estefania memutar tubuh, menatap heran keponakan ajaibnya.“Ya Bibi. Lalu, mau apa ke balkon?” Al melangkah pelan-pelan.Seketika Estefania tergelak, menutup mulut dengan punggung tangan, dan sebelahnya lagi memegangi perut. Wanita itu geleng-geleng kepala kemudian merunduk tepat di depan wajah Al.“Dengar ya jagoan kesayangan Donatello Xavier. Aku ke balkon bukan berarti mau loncat, aku masih
Estefania berjalan mundur ketika sang suami melangkah maju. Sikap arogan wanita itu mendadak sirna tak bersisa ketika menatap iris coklat karamel milik Luis. Jantungnya berdetak semakin cepat, bahkan ia berkeringat dingin.‘Ke-kenapa perasaan ini muncul lagi?’ tanya Estefania dalam hati.“Yakin mau mendengar keinginanku?” ucap Luis membuyarkan pikiran Estefania.“Ten-tu saja yakin! Memangnya kenapa? Kamu lupa siapa aku?” kata adik bungsu El mencoba tetap mengintimidasi meskipun sulit.Kenyataannya, sekarang Estefania-lah yang berada dalam posisi sulit. Luis memenjarakannya menempel pada dinding, jarak sepasang pengantin baru itu sangat dekat. Masing-masing indera penciuman dapat mengendus aroma parfum yang membangkitkan gelenyar manusiawi.Estefania menelan saliva, ia juga mendadak sesak napas karena Luis memajukan kepala lebih dekat. Namun, ada sesuatu yang mampu mengalihkan fokus seorang Estefania Mireya Torres.“I-tu luka apa?” Bola mata wanita itu bergerak dari bekas luka di bawah
“Siapa yang mengganggu malam-malam begini?”Lima belas menit sebelumnya, Luis yang sedang menunggu Estefania mendengar suara ketukan pintu. Pria itu buru-buru membukanya dan mendapati seseorang berdiri di depan.Suami Estefania ini tersenyum hangat lalu berjongkok di depan seorang anak kecil. Al membawa bantal kesayangan kemudian mengulurkannya pada Luis.Anak itu mengedip-ngedipkan kelopak, dari mata sayunya saja tampak mengantuk, tetapi Luis tidak tahu alasan Al mendatangi kamar Estefania.“Kenapa belum tidur Al?” Luis membelai puncak kepala anak itu.“Aku mau tidur di sini boleh ‘kan?” tanya Al begitu polos, nyaris membuat Luis tertawa. “Bibi Es pasti kesulitan menerima Paman di kamar, untuk itu Paman memerlukan bantuanku.”Luis terbahak kemudian menggendong Al dan membawanya ke kamar. Pria itu tidak akan meloloskan siapa pun mengganggu malam pertamanya, setidaknya ia ingin menghabiskan malam hanya berdua bersama Estefania.Nahas, setelah mengantar Al kembali ke kamarnya, tantangan
“Ekhem … apa aku boleh mengobrol sebentar dengan Bibi Estefania?” tanya Luis tampak sungkan.Setelah perdebatan kecil di meja makan, wanita itu memutuskan beranjak ke kamar ditemani Al dan Gal, serta keponakan lain yang melihat isyarat dari Estefania. Ia juga malas berangkat kerja.Ia benar-benar enggan bertemu Luis. Estefania kira suaminya itu berbeda dari kebanyakan pria, ternyata sama saja. Tidak bisa menjadikan istri sebagai prioritas utama.Adik ipar Livy itu tidak suka Luis memanjakkan Belle, apalagi melupakan dirinya. Ia benar-benar merasa perlu bersaing merebut perhatian suami dari anak kecil.“Masuklah, biarkan mereka di sini! Aku juga ingin bermain bersama keponakanku,” rajuk Estefania sembari menatap jengah pada suami.Mendengar kalimat itu seketika para anak kecil saling berpandangan, termasuk Al melirik bibinya. Anak itu memang tidak mengerti alasan dua manusia dewasa di depannya bertengkar.Sama halnya dengan Luis menatap kecewa pada sang istri, karena ingin bicara empat
“Belle?” panggil Al sembari berlari dari dalam ruang kelas menuju luar gedung.Gadis kecil berambut pirang kecoklatan, panjang sebahu dan menggunakan bandana merah jambu menoleh ke belakang. Belle tersipu-sipu melihat Al, seolah-seolah perutnya terdapat banyak kupu-kupu berterbangan. Tidak biasanya Al mengejar sampai ke gerbang, kalau ada sesuatu yang penting pasti anak itu selesaikan sebelum pulang sekolah.“Ada apa Al?” Gadis kecil itu berusaha menyembunyikan rona merah pada pipi, sayangnya tetap terlihat.“Bagaimana kalau kamu ikut ke mansionku? Umm … begini.” Al mendekat, jaraknya hanya lima senti saja. Putra sulung Livy mmbisikkan sesuatu ke telinga Belle. Gadis cilik itu langsung manggut-manggut dan tertawa renyah.“Ok, kalau begitu, tapi setelah selesai antar aku pulang, Al. Maaf bikin repot.” Belle tersenyum manis.Satu hari paska Estefania memohon bantuan dari Al, anak itu berencana menjalankan misinya sesegera mungkin. Al menolak ide gila bibinya lantaran merugikan beberapa
“Bagaimana ini? Pasti Kak El dan Livy marah besar. Apa yang harus aku lakukan Luis?” Panik Estefania menggigiti kuku jari. “Seandainya aku tetap tidur sampai siang dan pergi ke salon, Al tidak mungkin hilang,” keluhnya.Sama halnya dengan Luis, pria itu kebingungan sebab Belle turut menghilang. Bahkan setelah dilakukan pemeriksaan CCTV tidak ada tanda kejahatan, tetapi beberapa kejadian ganjil tertangkap kamera.Keduanya juga menghabiskan kopi sembari menyimak setiap gerakan di layar monitor. Tanpa diminta, Luis memberikan segelas kopi yang dibelinya atas perintah Belle.“Kita laporkan ini ke polisi, mereka harus ditemukan hari ini juga!” Luis tak melepas tautan jarinya dari tangan sang istri.Pria itu berusaha menenangkan Estefania yang sesenggukan sejak satu jam lalu. Keduanya telah mencari ke seluruh sudut taman bermain, nahas tidak menemukan jejak apa pun. Al dan Belle tersapu angin entah ke mana. “Kamu benar, mungkin ini ulah pesaing bisnis. Ya ampun kasihan mereka, kenapa harus
“Hey Kak Al! Kasihan Belle menunggu di mini bar! Teman apaan yang meninggalkan temannya sendirian?” Gal geleng-geleng kepala.Mendengar celotehan sang adik, buru-buru Al turun dari sofa ruang baca. Anak itu berlari kecil sambil membawa tabletnya. Ketika menerima panggilan video dari teman baik, dunia Al benar-benar teralihkan. Ia tidak lagi memikirkan apa pun, karena menggebu ingin bertukar kabar serta merindukan seseorang di balik tab.Sampai di area dapur, Al mengedarkan pandangan. Ia mencari seseorang yang duduk di mini bar. Bahkan Al melihat ke kolong meja lalau sudut dapur bersih, sayangnya tidak ada.“Katanya Belle menungguku, kenapa menghilang? Mungkin dia ke kamar mandi,” gumam Al sembari manggut-manggut, lalu duduk di mini bar, bermain tab.Anak itu tersenyum, sesekali tertawa mengingat isi percakapan beberapa menit lalu bersama teman baiknya. Al menepuk dada, merasa lega karena sosok itu masih mau berkomunikasi dengannya. “Semoga kamu cepat sembuh, dan kita bisa bermain be
“Ini sudah siang, di mana Al? Dia bilang olahraga di sekitar hotel,” gusar Livy bolak-balik melihat jam digital.“Periksa saja kamarnya, anak itu senang kabur, menyelinap masuk dan seolah tidak terjadi sesuatu,” jawab El begitu enteng sembari bermain lego bersama An.Livy mendengus kasar mendengar jawaban sang suami. Ia ingin sekali mengahancurkan susunan lego yang terhampar luas di atas lantai. Suaminya itu bukan mencari keberadaan Al malah asyik bermain seperti anak kecil. Alhasil ibu tiga anak itu membuka pintu kamar Al, ternyata kosong.“Al belum pulang,” lirih Livy melirik putra kedua yang asyik bermain game.Akibat kesal, tidak ada yang peduli pada perasaannya, Livy mengunjungi pusat kebugaran serta taman hotel. Memang banyak orang menggunakan fasilitas untuk olahraha, tetapi setengah jam ia mengamati, tidak menemukan putra sulungnya.“Di mana kamu Al?” Livy memijat pelipis.Ketika ia berjalan menuju lobi, Livy tercenung melihat El menggendong An, berjalan tergesa-gesa, diikuti
“Kenapa kamu di sini?” Kedua bola mata Al berbinar menatap sosok gadis cantik di depannya.“Menurumu, untuk apa aku di sini?” goda anak kecil yang kini menjelma menjad remaja luar biasa.“Mommy-mu di sini?” Al menolehkan kepala ke kanan dan kiri.Gadis itu terkekeh geli melihat tingkah teman baiknya. Lalu mendekati Al yang masih kebingungan, sebab ini Swiss bukan New York, lintas benua yang tidak mudah dilalui hanya dengan satu atau dua jam.“Tentu saja Al, aku menemani Mommy,” sahut anak itu.“Ah, aku pikir kamu nyasar. Bagaimana kabarmu Belle?” Al maju satu langkah hendak mengulurkan tangan.Namun, gadis itu mundur satu langkah dengan wajah tersipu, tetapi pandangannya tidak teralihkan dari Al. Seakan kehabisan kosakata, Belle bungkam, tidak menjawab pertanyaan Al. Anak itu larut dalam pesona remaja tampan di hadapannya.Tidak ingin semakin salah tingkah, Belle meraih minuman tinggi gula, lantas meneguknya. Membuat Al semakin mengikis jarak.Bahkan, putra sulung El dan Livy, merebu
“Mi Amor?!” pekik El, melihat Livy berjalan gontai di tengah ramainya orang berlalu-lalang.“Mom, ada apa?!”Seketika El, Al, dan Gal berlarian menghampiri Livy. Bahkan El memapah tubuh wanitanya yang gemetaran.“An … di-a menghilang.” Tangis Livy pecah, perhatian semua orang tertuju pada keluarga kecil itu.Setelah mendengar hal itu, Al dan Gal bergegas ke toilet wanita, mereka masuk tanpa izin, hingga para pengguna kamar kecil berteriak. Tak sedikit dari beberapa orang melempar dengan sepatu. “Kak, bagaimana ini? An benar-benar menghilang.” Gal tidak menyangka hari istiewa yang dinanti berujung petaka.“Ayo temui Mom dan Daddy,” ajak Al menyeret pergelangan tangan adik laki-laki. Walaupun perih menjalar, Gal tidak peduli, karena saat ini paling penting menemukan keberadaan Antonia. Pikiran dua remaja tampan itu khawatir adiknya diculik, tetapi mengingat belakang ini tidak ada sesuatu yang mencurigakan, hal itu pun mustahil.Livy dan El menuju ruang keamanan, di susul Al dan Gal.
“Berisik!” teriak seorang gadis kecil, menutup telinga dan memelotot menatap dua remaja di depannya.“Anak nakal!” seru suara bass sambil menunjuk penuh amarah. “Itu milikku!”“Ambil saja kalau berani!” sahut remaja satunya lagi.Dalam beberapa tahun berlalu, putra dan putri Livy tumbuh pesat. Ketiganya meramaikan mansion, terutama ketika momen liburan seperti sekarang.Di mana, bukan hanya Al, Gal dan An berkumpul, tetapi Estelle serta para sepupu lain turut menyumbang suara di Mansion Torres.“Kalian itu sudah besar kenapa bertingkah seperti kami?!” lontar An menatap gemas dua kakak laki-lakinya.“Galtero merebut laptopku!” geram Al, “Adik nakal, seharusnya kamu ikut Daddy dan Mommy ke pertemuan bisnis, bukan menjadi pengganggu!” Kalimat pedas Al tertuju pada adiknya.Tidak ingin acara bermainnya terusik, An melangkah maju, mendekati kakak keduanya. Bocah itu bertolak pinggang, menjulurkan tangan, meminta secara baik-baik supaya Gal mengembalikan laptop Al. Akan tetapi, Galtero sang
“Jika itu sakit tidak mungkin Livy hamil sampai tiga kali!” jawab El.Livy langsung menundukkan wajah, entah dari mana suaminya bisa memiliki jawaban memalukan seperti itu. Jujur, saat ini ia kehilangan muka di hadapan adik ipar. Bukan hanya adik ipar, tetapi ibu mertua yang mendadak masuk kamar. Seketika, ingin sekali Livy melempar bantal pada wajah tampan suami.“Sudah, tidak perlu dibahas. Itu rahasia ranjang,” celetuk Mom Pamela setelah melihat kulit pipi menantu berubah masak.“Tapi … aku penasaran Mom. Setidaknya aku tahu, ternyata tidak sakit.” Tawa Estefania sambil menubrukkan bahu ke lengan Livy.Rasa malu Livy semakin menggunung ketika El sengaja menghampiri, merunduk, lalu menaruh ibu jari di bawah dagu, perlahan menariknya, mempertemukan dua bibir.“Wah, romantis sekali. Tapi seharusnya kalian tidak pamer kemesraan,” ucap Estefania dengan lemas. “Luis belum pulang. Huh, kenapa dia betah sekali di NYC mengunjungi kakak sepupunya, padahal kami lebih membutuhkan,” sambungnya
[Kak El, cepat ke mansion utama! Sepertinya Livy mengalami kontraksi.]Isi pesan Estefania, dikirim secara diam-diam, sebab Livy selalu menolak. Wanita itu berdalih berdasarkan pengalaman, belum waktunya bersalin.Kedua wanita itu entah sudah berapa putara mengelilingi taman mansion yang luas. Estefania dibanjiri keringat, sama seperti Livy. Akan tetapi, ibu hamil itu enggan mengakhiri kegiatan olahraga ringan.“Akh … tidak apa-apa, semakin terasa sakit, maka waktu bertemu kita lebih cepat,” gumam ibu dari Al dan Gal, membelai bagian bawah perut, seakan mengetahui di sanalah letak kepala bayi.“Mommy percaya kita bisa Nak. Kakak Al dan Gal tidak sabar bermain denganmu,” sambung Livy sembari terkekeh pelan.Sementara Estefania berlinang air mata, menatap Livy sesekali meringis, keringat bercucuran dari kening, bahkan bagian punggung tampak basah.Wanita berambut pirang itu sesenggukan karena ia selalu mengeluh tidak mau mengandung dan melahirkan lagi. Sebab, adik bungsu El merasa tidak
“Ternyata kamu masih mengingatnya, aku tidak suka! Di dalam sini dan sini.” El menunjuk kepala serta dada Livy. “Hanya ada aku, pria lain tidak boleh!”Setelah mengatakan itu, El masuk ke mansion lebih dulu, tujuannya bukan ruang kerja atau kamar.Puas menikmati pemandangan langit malam serta suasana kota yang diramaikan pejalan kaki, El memutuskan membawa Livy pulang.Tadi, dalam perjalanan menuju mansion, El penasaran alasan wanitanya sangat menyukai kopi di café itu tetapi enggan berkunjung.Rupanya, di tempat itu Livy kerap menghabiskan waktu, membuang lelah serta perih karena memikirkan nasib pernikahannya bersama Sergio. “Mommy, bagaimana Bibi Es? Apa adik bayi sudah lahir?” tanya Al antara khawatir dan gembira.“Estefania sakit perut karena terlalu banyak makan pedas. Doakan yang terbaik untuk Bibi ya.” Livy memulas senyum lantas memberi kecupan sebelum tidur pada kedua buah hati.Wanita berperut besar itu melangkah ke kamar, ia membersihkan kulit dari sisa-sisa debu. Menggant
“Kita mau ke mana Mi Amor?!” Dahi El berkerut cukup dalam.Pria itu tidak tahu apa pun, tanpa basa-basi Livy membuka pintu kamar, langsung menarik pergelangan tangan sang suami.“Hati-hati jalannya Mi Amor, sebenarnya ada apa? Kenapa kita buru-buru begini?” El mengamati wajah cantik Livy dihiasi garis kecemasan.“Nanti saja di mobil, ini penting El.” Livy tak melepas tangannya dari pergelangan El. “Tolong kemudikan dengan cepat Pak,” pinta wanita itu tanpa memberi perintah dan arah tujuan.Merasa terdapat sesuatu yang genting, El menjelaskan secara perlahan pada sopir untuk mempersiapkan mobil. Bahkan pria itu harus menambah stok kesabaran, lantaran Livy tidak bisa diam karena menarik-narik lengan kaos.Setelah duduk nyaman, kendaraan roda empat melaju menuju kediaman William. Terlebih dahulu, Livy meneguk setengah botol air mineral.“Pelan-pelan Mi Amor! Kamu bisa tersedak!” Nada peringatan El membuat sopir berjengit. “Lanjutkan, jangan berhenti!” titahnya pada pria di balik setir.“T
“Kenapa membeli pakaian bayi sebanyak ini, Es? Dia tumbuh cepat, dan berakhir tidak terpakai semua.” Livy melihat adik iparnya tersenyum lebar sambil memerintah maid merapikan kamar bayi. “Kamu tahu Livy, aku sudah tidak sabar berbelanja pakaian bayi sejak kita mendekor kamar anaknya Abril. Akhirnya sekarang Luis mengizinkan aku keluar, ah senangnya.” Estefania menjentikkan telunjuk pada maid. “Lemarinya digeser sedikit, ranjangnya jangan terlalu dekat dengan jendela!”Beberapa bulan berlalu, kandungan para ibu hamil itu telah memasuki tri semester tiga. Apalagi Estefania kurang dari satu bulan lagi melahirkan. Paska terjadi hal tidak diinginkan di salon, wanita itu terpeleset dan mengalami pendarahan ringan. Luis sangat posesif, melarang Etefania melakukan kegiatan apa pun, termasuk belanja kebutuhan bayi.Estefania melirik Livy. “Lalu kamu sudah membeli apa saja?”“Oh itu, karena dokter bilang calon anak ketiga kami laki-laki, kebetulan beberapa baju bayi Al dan Gal masih ku simpa